ES [5]

Menyadari kesalahan posisi tangannya, refleks Fathir menjauhkannya dari stir mobil. Setelah itu dia kembali menatapku.

"Tapi waktu kamu buat rekening baru, di KTP kamu itu dituliskan islam. Apa mata aku yang salah baca atau gimana Kala?"

"Oh itu KTP-nya salah buat. Kamu tahu kan yang ngurus KTP banyak banget, sampai ngantri panjang. Bukan cuma aku yang alami kesalahan itu, beberapa orang yang lain juga. Tapi aku udah mengurus lagi di dinas kependudukan kemarin. Dan aku disuruh tunggu sekitar tiga hari baru bisa mengambilnya."

Fathir hanya terdiam mendengar jawabanku. Dia terlihat masih terkejut karena ternyata aku tidak seagama dengannya.

"Fathir, kamu nggak apa-apa?" Tanyaku memandangnya.

Dia menoleh ke arahku. "Memangnya aku kenapa?"

Aku tertunduk. "Mungkin kamu nyesal sudah berteman dan menolong aku. Soalnya kamu kayak kaget, begitu tahu aku berbeda. Jadi aku pikir kamu...."

"Bukan." Fathir langsung menyela ucapanku. "Aku tidak pernah memilih dalam hal berteman. Sebagian rekan kerja aku juga juga non muslim. Aku berteman baik dengan mereka. Hanya saja tadi aku... " Dia berpikir untuk melanjutkan ucapannya. "Ah lupakan saja."

Aku mengangguk pelan. "Jadi kamu masih mau numpang sholat subuh di kontrakan aku?"

"Iya. Itu pun kalau kamu bolehin."

"Tentu saja boleh. Tapi aku nggak punya alat sholat di rumah."

Melihat raut kebingungan di wajahnya Fathir, maka segera kujelaskan maksud dari perkataan tadi padanya.

"Yang kayak di Mesjid itu. Di sana kan ada sarung, sajadah sama peci."

"Oh," Gumamnya tersenyum. "Aku masih bisa sholat tanpa harus mengenakan itu semua. Yang terpenting dari sholat itu, badan bersih, pakaian bersih dan tempat sholatnya juga bersih."

Aku mengangguk dengan penjelasan darinya. "Baiklah kalau begitu. Ayo kita masuk ke rumah kontranku."

Fathir berdiri di belakangku sambil menatap bunga-bunga hias yang sengaja aku buat di teras rumah.

"Kamu pasti rajin menyiram semua tanaman ini. Dan bunga mawar yang mekar itu, tampak indah untuk dipandang mata."

Aku hanya tersenyum dan membuka lebar pintu rumah untuknya. "Silahkan masuk, Fathir."

Dia memandangku sejenak, lalu akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah. Hal pertama yang dia lihat adalah kayu salib Yesus yang bertengger pada dinding. Fathir juga mengamati gambar bunda Maria yang berada di samping salib tersebut.

"Kamu Katolik?" Tanyanya.

"Iya. Mungkin ini terdengar lucu tapi meskipun aku seorang wanita malam, aku masih ingat dan takut pada Tuhan. Makanya setiap hari minggu pagi, aku dan Kasih selalu beribadah bersama di Gereja."

Fathir kembali memandangku dalam diam. Membuatku bingung harus melakukan apa.
Lalu dia menghela napas dan memandang ke arah lain. "Aku mau wudhu. Kamar mandinya di mana?"

Tanganku menunjuk. "Itu di belakang."

Dia pun berjalan ke arah kamar mandi. Tak berapa lama dia kembali lagi ke ruang depan. Tampak tetesan air wudhu itu masih membasahi wajah Fathir, membuatnya terlihat bercahaya dengan kulitnya yang memang bersih jadi putih cemerlang. Jika tadi Fathir mengatakan bunga mawar yang ada di depan itu indah untuk dipandang. Maka aku ingin berkata padanya kalau wajahnya juga begitu sejuk dipandang mata.

"Kala, kamu tahu arah barat di mana?"

"Hmm? Barat?" Aku bingung.

"Kalau dari rumah kamu ini, biasanya matahari itu tenggelam ke arah mana?"

"Tenggelamnya di arah sana," Kataku sambil menunjuk ke belakang dapur. "Kenapa kamu tanya itu?"

"Aku kan mau sholat, jadi harus tahu arah kiblatnya," Ujar Fathir sambil mengambil tempat untuk memulai ibadahnya

"Fathir, tunggu sebentar!" Larangku. Lalu aku berjalan ke dapur untuk mengambil sapu dan membersihkan lantai depan yang akan menjadi tempat sholatnya.

"Lantai ini kelihatan sudah bersih Kala," Ujar Fathir.

Aku tetap menyapu lantainya. "Biar lebih bersih, Fathir."

"Terimakasih." Dia tersenyum dan memulai sholat subuhnya.

Saat Fathir sedang beribadah, Kasih terbangun dan berdiri di depan pintu kamar memandang Fathir. Aku segera menghampiri dia.

"Kamu udah bangun, sayang?" Tanyaku pelan sambil mengecup puncak kepalanya.

"Mama... siapa Om itu?"

"Dia teman Mama."

"Teman kerja Mama?"

"Bukan. Om itu kerjanya di Bank."

"Oh... tempat untuk menabung uang itu ya Ma?"

Aku mengangguk. "Iya."

"Berarti Om itu uangnya banyak dong Ma."

"Mama nggak tahu. Nanti kamu tanya sendiri aja, berapa banyak uang Om itu."

Sebelum Fathir selesai sholat, aku berinisiatif membuatkan kopi untuknya. Supaya dia tidak mengantuk saat menyetir pulang dari sini.

"Hai, Om!" Terdengar suara sapaan Kasih. Sepertinya Fathir sudah selesai sholat.

"Oh hai cantik. Kamu pasti yang bernama Kasih?"

"Iya, Om. Kalau Om, namanya siapa?"

"Panggil om Fathir saja. Ayo sini, duduk di sebelah Om."

Aku berjalan ke arah mereka berdua dan meletakkan gelas berisi kopi itu di atas meja. "Kopi buat kamu. Diminum ya."

"Makasih. Nggak enak jadi ngerepotin kamu."

"Cuma kopi kok," Ujarku tersenyum.

"Om Fathir," Panggil Kasih. Sehingga pria itu menoleh lagi ke arahnya seraya tersenyum.

"Hmm?"

"Kata Mama, om Fathir itu kerja di Bank. Uang Om banyak nggak sih?"

"Kenapa Kasih tanya gitu?"

"Kalau uang Om banyak, Kasih boleh nggak minta dibeliin boneka panda yang gede?"

Fathir terlihat berpura-pura berpikir, sehingga ekspresi Kasih saat ini seperti harap-harap cemas. "Ok. Nanti Om akan beli boneka pandanya."

"Yes!" Kasih berteriak girang dengan merangkul lengan Fathir. "Makasih Om, makasih. Om baik banget."

Fathir membalas rangkulan Kasih. "Tapi Kasih janji dulu, bakal selalu dengerin nasehat Mama kamu."

"Iya janji. Kasih sayang banget sama Mama. Jadi nggak akan buat Mama sedih karena Kasih."

Baru kali ini aku melihat Kasih sebahagia itu. Hidup memang terkadang begitu lucu. Dion adalah Ayah kandung dari Kasih, tapi dia hanya bisa memberi kesedihan dan penderitaan untuk Putrinya sendiri. Sementara Fathir yang bukan siapa-siapanya, dia bisa sebegitu akrab dan berinteraksi baik dengan Kasih.

Beruntunglah wanita yang akan mendapatkan pria yang ada di depanku ini. Menurutku, pria yang suka dengan anak kecil adalah tipe family-man. Pria yang seperti itu sudah pasti lebih matang dan siap menjalani rumah tangga. Dan yang pasti terlihat lebih macho.

"Mama! Om Fathir cakep kan? Di sekolah Kasih, nggak ada anak cowok yang cakep kayak om Fathir."

Celetukkan dari Kasih tadi membuatku tersenyum malu. Sementara Fathir terlihat biasa saja, dia tidak terpengaruh. Mungkin sudah terbiasa dipuji seperti itu.

"Sayang, Mama buatkan air hangat untuk kamu mandi ya? Habis itu kamu sarapan biar langsung berangkat sekolah."

"Bentar lagi dong, Ma. Kasih masih mau di sini sama om Fathir."

"Kayaknya Om harus pulang sekarang," Ucapnya sambil melirik jam tangan. "Jadi Kasih harus mandi ya."

"Yaudah deh Om. Tapi nanti Om bakal sering main ke sini kan?"

Aku menunggu jawaban Fathir akan pertanyaan dari Kasih tadi. Dan aku sedikit merasa kecewa sebab Fathir tidak memberikan jawaban apapun. Melainkan hanya tersenyum dan membelai rambut Kasih. Setelah itu dia meneguk kopi yang kubuat tadi dan menghabiskannya.

"Aku balik dulu. Terimakasih untuk kopinya."

Saat dia berdiri dari kursi, aku cukup terkejut melihat Kasih menahan jari tangan kanan Fathir. Sehingga pria itu menoleh padanya. "Biasanya Mama selalu sendiri. Mama nggak punya teman. Tapi hari ini Mama bawa Om ke rumah. Berarti Om adalah orang yang baik di mata Mama. Terimakasih ya Om udah mau berteman sama Mama Kasih."

Perkataan polos dari Kasih itu hampir saja membuatku meneteskan air mata. Bagaimana bisa anak berumur tujuh tahun mampu mengucapkan hal seperti itu?

*****

Fathir menepati janjinya waktu di parkiran mobil itu. Sekarang aku dan Kasih sudah memiliki kartu BPJS. Berkat dia juga, kini aku mendapat pekerjaan sesuai dengan keahlianku. Yaitu sebagai perangkai bunga. Baik itu bunga papan, bunga box dan hand bouquet di salah satu toko bunga terkenal di Jakarta. Dan ternyata gajinya cukup besar dari perkiraanku.

Maka dari itu, aku ingin membalas budi pada Fathir untuk semua bantuannya padaku. Hari ini aku off bekerja, jadi aku berniat ingin mentraktir Fathir makan siang di luar sebagai ucapan terimakasih. Tapi entah kenapa, aku merasa dia sedang menghindar untuk bertemu denganku.

Semenjak Fathir tahu agamaku, sejak itulah kami tak pernah bertemu lagi. Dia hanya berkomunikasi denganku lewat pesan. Bahkan dia menyuruh salah satu temannya yang mengantarkan kartu BPJS itu ke rumahku. Dan mengenai lowongan pekerjaan, dia hanya memberikan pesan padaku alamat toko bunga itu. Di situ aku berpikir postif, mungkin Fathir memang lagi sibuk dengan pekerjaannya.

Pernah satu kali aku coba menghubunginya, tapi dia tidak menjawab teleponku. Aku benar-benar sangat malu waktu itu. Jadi aku putuskan tidak akan menghubunginya lebih dulu lagi. Namun Kasih selalu mendesakku untuk menghubungi pria itu. Dia bilang, ingin bicara dengan om Fathir. Kali itu, aku tidak langsung menelpon melainkan mengirimkan pesan padanya bahwa Kasih merindukannya. Tanpa terduga, Fathir langsung menghubungiku dan berbicara dengan Kasih. Dari situlah aku menyimpulkan, kalau dia memang sengaja menghindariku.

Hari ini aku berniat menemui Fathir untuk mendapatkan jawaban dari semua itu. Aku berdiri di luar Bank, menunggu jam makan siang para karyawan kantor. Aku tersenyum begitu melihat sosok Fathir keluar dari dalam gedung itu. Tapi aku tidak berani menghampirinya, karena dia sedang bersama teman-temannya. Ada tiga pria tampan dan satu wanita cantik.

"Fathir," Panggilku agak kuat.

Dia berhenti dan melihatku. Aku tersenyum. Dan karena terlalu senang melihatnya, tanpa sadar tanganku melambaikan ke atas. Dia terlihat terkejut dengan keberadaanku di sini. Mungkin dia juga tidak menyangka aku  seberani ini mendatanginya.

Fathir menyuruh empat teman-temannya itu untuk pergi lebih dahulu. Tapi wanita cantik yang berdiri di sampingnya itu, terlihat cemberut dan tidak rela jika Fathir tidak pergi bersama mereka. Wanita itu sejenak memandangku dan berbicara sesuatu pada Fathir, tapi aku tidak tahu apa yang dia katakan.

Aku begitu bahagia saat Fathir lebih memilih menemuiku dan membiarkan teman pria dan wanitanya itu pergi. Padahal aku sempat was-was, kalau Fathir akan bersikap cuek padaku.

"Kala, untuk apa kamu ada di sini?" Tanyanya saat berdiri di hadapanku.

Aku masih mempertahankan senyum di bibirku. "Aku ingin mentraktirmu makan siang sebagai ucapan terimakasih."

31-Januari-2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top