ES [31]
Setelah dua hari mencari, akhirnya Fathir menemukan satu tempat yang bisa disewakan sesuai dengan budget milikku. Luas tanah toko ini 100 m2 dan luas bangunan sekitar 80 m2. Lokasi juga ramai dilewati orang-orang karena sangat strategis di pinggir jalan raya. Ditambah lagi dekat dengan wilayah perkantoran seperti pengadilan, kejaksaan, imigrasi dan yang paling utama ada kampus. Namun ada sesuatu yang janggal menurutku. Harga sewanya terlalu murah.
"Fathir, ini nggak salah ya harganya? Beneran 15juta per tahun?"
"Iya," Jawabnya seraya membantu mengangkat kardus yang berisi barang-barang pindahanku dari dalam mobil pick-up yang sudah disewa.
"Kenapa bisa murah ya? Padahal waktu itu kita cari malam-malam kemarin, harganya di atas 30juta semua."
"Anggap aja ini rezeki Tuhan buat kamu."
"Tuhan itu baik ya, tahu banget kalau duit di ATM aku nggak banyak."
"Sisa duit kamu tinggal berapa lagi?" Tanyanya menatapku.
"Hmm... kurang lebih sejuta."
"Itu cukup buat modal beli bunga-bunganya nanti?"
Aku mengangguk. "Cukuplah untuk awal-awal jualan. Modal 100ribu juga udah bisa dapat beberapa batang mawar sama bunga gerbera. Lagipula nanti aku beli bunga mentahnya dari petani, biar lebih murah."
"Oh jadi harga bunga mentah itu murah? Aku pikir mahal, karena harga satu buket bunga yang dijualkan rata-rata mahal semua."
"Yang buat mahal itu sebenarnya seni merangkainya. Mahal atau murahnya satu buket bunga tergantung dari seberapa kreatif tangan kita merangkai bunganya itu jadi lebih menarik," Jelasku padanya.
"Iya benar. Seni itu memang mahal. Dan kamu..." Fathir mencolek hidungku dengan jari telunjuknya. "Beruntung karena memiliki bakat seni merangkai bunga. Semoga dengan bakat itu bisa membawa kamu menjadi sukses nantinya."
"Amin."
"Ngomong-ngomong, udah ada nama buat toko bunganya?"
Aku mengangguk senyum. "Kasih Bouquet. Gimana menurut kamu?"
"Sangat bagus," Komentarnya sambil menyelipkan helaian rambut panjangku ke belakang telinga. "Jangan lupa juga, segala sesuatu itu diawali dengan niat. Kalau niat kamu baik, maka hasilnya juga akan baik. Dan setiap niat baik, pasti akan dimudahkan oleh Tuhan. Walaupun nggak segera, namun itu udah pasti. Yang penting kita percaya. Oke?"
Aku hanya bergumam menjawabnya. Karena posisi wajah Fathir sangat dekat denganku saat ini. Aku menyentuh tangannya yang sedang menghusap pipiku. Aku tahu Fathir ingin menciumku tapi dia terlihat menahan dirinya. Mungkin bagiku berciuman sudah hal yang biasa dalam berpacaran, namun bagi seorang Fathir itu sangat berat sekali.
"Kamu lagi berpikir ya? Mau cium aku atau enggak?" Tanyaku pelan dan menatap matanya.
Fathir hanya tersenyum, lalu detik berikutnya, dia sudah memberi jarak di antara kami.
"Kamu kenapa nggak mau cium aku?" Tanyaku penasaran. "Padahal kalau orang pacaran, itu udah hal yang biasa."
Dia berjalan mendekati kardus dan membuka isinya keluar. "Kalau kita berciuman sekarang, itu artinya aku melecehkan seorang perempuan. Dan berarti aku nggak ada bedanya dengan pria-pria hidung belang di luar sana."
"Tapi aku nggak merasa kamu lecehkan, Fathir."
"Enggak bisa Kala. Karena nanti, aku pasti akan merasa bersalah ke kamu."
Aku tertunduk dan tidak memandang ke arahnya lagi. Entah kenapa aku merasa sangat kecewa. Aku tahu niat Fathir baik untuk menjagaku tapi sikapnya itu justru membuat hatiku sedikit terluka.
Segera kuhapus air mata di pipiku, saat dia datang menghampiri.
"Kamu nangis?" Tanyanya menangkup wajahku dengan kedua tangannya. "Maaf kalau omongan aku menyakiti kamu, aku nggak bermaksud begitu."
Aku bergeleng cepat dan melepaskan tangannya dari wajahku. "Nggak apa-apa. Tadi mata aku cuma kena debu."
Aku beranjak pergi dapur, namun Fathir menahanku. Tapi aku berusaha untuk melepaskan pegangannya itu.
"Maaf, Kala."
Aku tidak menjawab dan terus mencoba melepas pegangannya yang begitu kuat.
"Lepasin," Ucapku yang sudah menangis di depannya. Melihatku seperti itu, dia langsung memeluk tubuhku dan mengucapkan kata maaf berkali-kali.
"Maafkan aku... maaf."
"Penolakanmu tadi buat aku ngerasa nggak pantas untuk berpasangan sama orang suci seperti kamu," Ujarku menangis.
"Aku hanya berniat menjaga dan melindungimu, Kala. Maaf kalau caraku itu salah, tapi aku melakukannya karena aku sayang dan cinta sama kamu."
"Bukan karena kamu jijik sama aku kan?" Tanyaku memastikan.
Dia melepaskan pelukan kami dan menatapku lekat. "Kalau aku memang jijik, mungkin aku nggak akan berjuang sejauh ini buat dapatkan kamu, Kala. Nggak mudah buat aku untuk bisa berdiri di depan kamu sekarang. Ada banyak hal yang aku pertaruhkan untuk kamu. Jadi tolong jangan ragukan perasaan aku ke kamu hanya karena masalah ciuman itu.
"Maaf. Mungkin aku yang terlalu sensitif menanggapinya tadi." Kepalaku mendongak menatapnya. "Kamu mau maafkan aku?"
"Mana bisa aku marah sama kamu, pasti aku maafkanlah."
Aku tersenyum dan menghapus sisa air mataku. Aku tidak tahu kenapa jadi sensitif seperti ini. Mungkin aku terlalu takut kehilangan dia.
"Yaudah... sekarang kita lanjut beres-beres lagi," Ajak Fathir padaku. Namun tiba-tiba terdengar bunyi ponsel di dalam kantongnya, yang langsung dia jawab. "Assalamu ‘alaikum, ada apa Bu? ... kenapa nggak Zahra yang pergi? Besok nggak bisa ya Bu? ... Yaudah aku langsung ke sana. Wa’alaikum salam...."
"Kenapa?" Tanyaku.
"Aku ada urusan. Nggak apa-apa kan aku pergi?"
Aku mengangguk. "Tinggal bongkar barang dari dalam kardus. Jadi nggak apa-apa."
Sebelum pergi, dia mengecup keningku dulu. Itu pertama kalinya dia melakukannya dalam hubungan kami. Mungkin efek karena kejadian tadi. Aku membalas kecupannya balik dengan memegang wajahnya seraya berjinjit karena dia lebih tinggi dariku.
"Hati-hati di jalan," Ucapku selesai mengecup keningnya.
Dia tersenyum dan menyentuh keningnya di tempat ciumanku tadi. "Aku nggak mau tahu ya, Kala. Pokoknya kamu harus nikah sama aku," Ujarnya seraya berjalan ke arah pintu keluar.
"Iya-iya. Udah sana, nanti Ibu kamu lama nungguin."
Setelah Fathir pergi, aku kembali merapikan barang-barang pindahanku. Namun kegiatanku berhenti ketika mendengar suara ketukan di pintu. Ternyata itu adalah pemilik dari toko ini.
"Lagi beres-beres ya Mbak?" Tanya Bapak itu.
"Iya. Hmm... ada apa ya Pak?"
"Ini kemarin pacar Mbak minta dibuatkan kunci cadangan tokonya. Katanya buat jaga-jaga kalau kunci satunya hilang, jadi biar pacarnya nggak repot lagi nyarinya."
"Makasih ya Pak."
"Iya Mbak sama-sama. Kalau begitu saya pergi dulu."
"Pak tunggu sebentar, ada yang mau saya tanyakan. Tapi Bapak harus jujur ya?"
Wajah Bapak itu terlihat ragu untuk menjawab. "Mbak mau tanya apa?"
"Sebenarnya harga sewa toko ini berapa per tahun?"
"15juta Mbak."
Aku menatapnya serius. "Bapak jangan bohong. Jujur saja, saya tidak akan mengatakannya pada siapapun."
Beliau tampak berpikir. Dan aku terus memaksanya untuk berbicara jujur. Hingga akhirnya dia menyerah juga.
"Sebenarnya saya udah janji sama pacar Mbak itu, untuk tidak membuka rahasia ini."
"Jadi?" Tanyaku penasaran.
"Harga asli sewa toko ini 30juta per tahun. Tapi pacarnya Mbak, bilang ke saya untuk mengatakan pada Mbak, kalau harganya hanya 15juta. Jadi sisanya dia yang bayar ke saya."
"Yaudah, makasih ya Pak. Saya hanya ingin tahu saja."
"Tapi Mbak jangan bilang-bilang ke pacarnya ya?"
Aku mengangguk. Setelah itu beliau pamit pergi. Ternyata dugaanku benar. Harga sewa toko ini memang mahal. Tapi Fathir sengaja menyuruh pemiliknya itu membohongiku, karena dia tahu budget yang aku punya tidak akan cukup untuk menyewa. Aku semakin jatuh cinta dengan kerendahan hatinya yang selalu menolongku tanpa harus mendapat pujian dariku. Aku janji akan mengganti uangnya jika bisnis ini berjalan lancar.
*****
Keesokan harinya, aku pergi sendiri membeli beberapa keperluan untuk bisnis toko bungaku. Namun aku tidak sengaja melihat Fathir sedang memboncengi perempuan cantik di atas motornya yang biasa aku tempati. Aku percaya pada Fathir. Tapi melihat kedua tangan perempuan itu bertengger manis di pinggang kekasihku, membuatku jadi cemburu.
"Pak, tolong ikutin motor ninja hitam itu ya?" Seruku pada supir taksi yang membawaku tadi.
Ternyata mereka berdua singgah ke mall. Dan aku semakin cemburu karena Fathir membiarkan perempuan itu bergelayut manja di lengannya. Dari belakang aku terus mengikuti mereka jalan seraya menghubungi nomor Fathir.
"Halo sayang?" Jawabnya lembut.
"Lagi di mana?" Tanyaku langsung.
"Lagi di mall."
"Sendiri?"
Fathir tidak sempat menjawab, karena perempuan cantik itu sudah menarik-narik lengannya.
"A'a di sebelah sana banyak deh pilihannya." suara perempuan muda itu terdengar di ujung telepon.
"Iya bentar. A'a lagi teleponan."
"A'a lagi ngobrol sama siapa sih?"
Fathir memberikan isyarat pada perempuan cantik itu untuk diam sebentar. Lalu dia kembali berbicara padaku.
"Halo Kala? Kamu masih dengar aku?"
"Iya dengar. Itu tadi siapa?"
"Itu Zahra, adik perempuanku. Kami lagi di mall mau beli laptop baru buat dia."
Ternyata perempuan cantik itu adiknya Fathir. Untung aku masih waras untuk tidak menghampiri mereka berdua tadi. Aku pasti malu sekali karena sudah mencemburuinya.
"A'a..." Rengek adiknya itu dengan wajah memelas.
Fathir merangkul bahu adik perempuannya. "Sabar sayang."
"Yaudah kalian lanjut lagi. Adik kamu udah nggak sabar."
"Kamu sendiri lagi di mana?" Kini dia bertanya balik.
"Aku lagi di luar mau beli keperluan toko."
"Naik apa?"
"Taksi."
"Kamu sms kan di mana tempatnya, biar pulang nanti aku yang jemput."
"Nggak usah, aku naik taksi aja.
"Jadi kamu lebih pilih supir taksi daripada aku?"
Aku tertawa. "Udah ah, bye-bye."
"Kaladhipa, kirim alamat----"
Aku langsung memutuskan teleponnya dan berbalik arah keluar dari dalam mall. Dan seketika aku terkejut melihat Gio berdiri di hadapanku.
"Bisa kita berbicara berdua?" Tanyanya dengan wajah yang serius.
30-April-2018
Btw kemarin ada satu penerbit mayor yg namanya cukup besar mau meminang cerita ini untuk diterbitkan. Belum gue jawab, karena gue segan menolak. Soalnya gue mau terbitkan ini secara self publishing (SP). Duitnya lebih banyak wkwkkkk. Kalo mayor royaltinya dikit banget.
Dasar Author matre #plak!
Tapi kalian tenang aja, ceritanya bakal tetap ending kok di wattpad. Cuma extra part ada di buku ya wkwkkkk
#lempar golok
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top