ES [30]

Ciyee nungguin update ya? Wkwkwkk.

Sebelum baca part ini, gue mau minta para readersnya agar berpikiran terbuka ya. Dari awal part gue udah kasih warning ya. Kalo misalkan cerita ini gak sesuai dengan yg kalian inginkan, gampang kok. Tinggalkan cerita ini dan carilah cerita yg sesuai selera kalian. Masih banyak kok author di wattpad yg punya cerita bagus. Oke? Gue malas berdebat, apalagi hanya untuk sebuah cerita FIKSI.

Cukup sekian uneg-uneg dari gue. Happy reading.

.....

.....

.....


Motor Fathir berhenti di sebuah warung pecel lele yang ada di pinggir jalan. Kami putuskan untuk makan malam di sana, setelah beberapa jam tadi keliling tempat mencari toko yang mau disewakan per tahun. Rencananya aku akan membuka bisnis florist dan sekaligus jadi tempat tinggalku. Maka dari itu, aku harus mencari wilayah yang stategis dan banyak dilalui orang-orang. Misalnya di dekat jalan raya, pusat perbelanjaan, kampus dan sebagainya.

Namun sayang, semua toko yang ada di pinggir jalan Jakarta begitu mahal sekali. Harga sewanya tidak sesuai dengan budget yang aku miliki.

"Nanti aku minta bantuan teman aku, buat cari toko yang sesuai dengan uang yang kamu punya. Sekarang kita makan dulu, aku udah lapar banget," Ujar Fathir seraya mengambil buku menu yang ada di meja.

"Terus malam ini aku tidur di mana?"

Fathir menatapku. "Kamu maunya di mana? Kalau ke rumah aku, kamu mau?"

Kepalaku langsung bergeleng cepat menolak tawarannya. "Ada Ibu sama Adik kamu."

"Ya nggak apa-apa. Kan sekalian kenalan."

"Aku belum siap ketemu Ibu kamu. Aku tidur di hotel aja. Eh tapi..." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. " Barang-barang aku masih ada di toko tante Maria. Kunci cadangannya juga masih aku pegang. Apa aku tidur di sana dulu?"

"Aku yang nggak akan tenang tidurnya, kalau kamu di sana. Mendingan kamu nginap di rumah teman SMA aku."

Aku terkikik geli. "Makin ke sini, kamu jadi posesif banget."

"Bukan posesif, Kala. Aku hanya menjaga apa yang aku sayang. Itu aja."

"Iya tahu. Tapi aku agak kaget aja. Apalagi kalau dengar kamu panggil sayang ke aku."

Fathir meletakkan kembali buku menunya. Lalu satu tangannya meraih tangan kananku yang ada di atas meja dan dia genggam erat. "Di dunia ini, hanya tiga perempuan yang aku panggil sayang dalam hidupku. Pertama itu Ibu yang melahirkan aku, kedua Adik perempuanku dan terakhir kamu."

"Mantan-mantan kamu?"

"Aku nggak pernah panggil mereka sayang, hanya nama saja. Kamu boleh tanya ke Alma, biar lebih yakin."

"Fathir, kenapa kamu memilih aku? Kamu pria yang pintar, punya kerjaan bagus, sopan, dan berkelas. Di luar sana, ada banyak perempuan yang lebih baik dan cantik yang bisa kamu dapatkan. Kamu nggak akan tahu berapa banyak pria yang udah pernah nyentuh dan melihat tubuhku. Apa kamu nggak malu pilih perempuan bekas seperti aku?"

"Mau cantik atau perawan, kalau hati aku nggak satu frekuensi, bagaimana? Aku nggak pernah menyesal udah bertemu kamu. Jika diberi pilihan pun harus mengulang hidupku lagi... aku akan tetap pilih kamu."

Aku tersenyum dengan air mata yang berlinang. "Makasih udah memilih aku."

"Seharusnya aku yang bilang makasih. Kamu udah izinkan aku buat menjaga, menyayangi dan membahagiakanmu." Ibu jarinya menghapus air mata di pipiku. "Udah jangan nangis, nanti orang-orang di sini pikirnya aku ngapa-ngapain kamu."

Aku mengangguk. Setelah berhenti menangis, Fathir segera memesan menu makan malam untuk kami berdua.

*****


"Ardhan, Gebby. Aku titip Kala beberapa hari di sini ya," Pinta Fathir kepada pasangan suami-istri itu.

"Tenang Fathir, dia aman sama kami," Sahut Gebby tersenyum.

Ardhan mengangguk. "Iya santai aja."

Fathir melirik jam di tangan kanannya, lalu menatapku. "Udah jam sepuluh, aku balik sekarang ya?"

Aku mengangguk dan ikut berdiri dari kursi. "Aku antar kamu sampai depan."

Gara-gara ucapanku itu, Ardhan dan Gebby tertawa dan habis-habisan meledek kami berdua. Mungkin kami terlihat seperti pasangan yang lagi kasmaran. Padahal aku hanya berniat mengantar Fathir saja. Tidak ada niat untuk berbuat hal yang aneh-aneh.

"Nanti kabarin aku, kalau udah sampai di rumah ya."

Fathir bergumam seraya menyalakan motor ninjanya. Setelah itu kami berdua saling bertatapan mata. Sampai akhirnya dia tersenyum sendiri.

"Kamu masuk ke dalam sana," Ujarnya lembut.

Aku mengangguk dan sengaja berjalan lambat memasuki rumah. Sesekali aku menoleh ke belakang menatapnya yang masih di sana.

"Kala!" Aku berhenti berjalan saat dia memanggilku.

"Sini!" Satu tangannya mengisyaratkanku untuk kembali mendekatinya.

"Apa?" Tanyaku ketika sudah berdiri di dekat motornya.

"Kamu kenapa noleh-noleh ke belakang lihatin aku?"

"Memangnya nggak boleh ya?"

Fathir tersenyum. "Kirain kamu berharap sesuatu dari aku."

"Berharap apa?"

"Cium mungkin?"

"Hah? Enggak-enggak." Aku bergeleng cepat. "Aku nggak ada berharap begitu."

"Tapi wajah kamu langsung merona gitu."

Kusentuh kedua pipiku yang katanya merona. "Mungkin ini efek udara malam yang dingin."

Dia meraih kedua tanganku dan dikecupnya lembut secara bergantian. "Segini cukup ya? Kalau cium di bibir, takutnya nanti aku nggak mau pulang. Kan bahaya sayang."

"Udah pulang sana." Aku tertunduk malu dan langsung menarik kedua tanganku darinya.

Fathir tertawa sambil mengelus kepalaku. "Kamu gemesin banget sih?"

"Fathir jangan gitu, aku malu."

"Iya-iya. Ini aku balik deh. Tapi serius, kamu lucu kalau lagi malu gitu."

"Kamu nyebelin banget!" Kataku berpura-pura marah dan segera berbalik menuju rumah.

"Love you too, baby!" Balasnya lagi sambil tertawa. Setelah melihatku menutup pintu, dia pun akhirnya pergi.

*****


Di balik pintu aku tersenyum sendiri menatap kedua tanganku yang baru saja dia kecup tadi. Dan seketika aku terkesiap menyadari kehadiran Ardhan.

"Fathir udah pulang?" Tanyanya ramah.

"Iya, barusan."

"Kamu udah makan? Kalau belum, makan dulu sana. Kebetulan Gebby tadi masak banyak."

"Sebelum ke sini, tadi kami udah makan dulu."

Ardhan mengangguk, lalu dia duduk di kursi. "Aku mau ngobrol mengenai hubungan kamu dengan Fathir. Boleh?"

"Ya." Aku ikut duduk di kursi satunya lagi.

"Aku dan Fathir dulu satu sekolah dari SMP-SMA di pesantren milik Kakeknya. Fathir itu anak laki-laki satu-satunya di keluarga Ibrahim. Jujur saja, aku cukup terkejut waktu dia bilang menyukai seorang perempuan yang non-muslim. Waktu itu dia tampak galau sekali bercerita semuanya. Aku hanya menyuruh untuk mengikuti kata hatinya saja. Dan aku tidak menyangka Fathir akan mengikuti jejakku. Dia memilih untuk menjalin hubungan denganmu."

"Apa maksudnya mengikuti jejakmu?" Tanyaku bingung.

Ardhan mengernyit. "Fathir nggak ada cerita tentang aku dan Gebby?"

"Fathir hanya mengatakan, aku akan menginap di rumah temannya yang sudah menikah."

Lalu terdengar suara tawa dari Ardhan. "Aku dan Gebby sudah menikah tiga tahun yang lalu. Kami menikah di Singapore karena berbeda agama. Aku muslim dan dia hindu. Sekarang kami dikaruniakan seorang putra yang udah berumur setahun."

Aku terdiam memandangnya yang masih bercerita.

"Buat aku sendiri, jodoh itu ada di tangan Tuhan. Dan cinta itu anugrah dariNya juga. Cinta tidak mengenal perbedaan, karena sifatnya menyatukan manusia. Yang sifatnya memisahkan adalah kebencian, peperangan dan ego manusia itu sendiri. Ada banyak orang memilih untuk tidak pacaran dengan orang berbeda agama. Alasannya yang pasti karena orang tua tidak mengijinkan, tidak ingin meninggalkan agama yang sudah dianut sejak kecil, ingin mencari pasangan yang bisa menuntun ke jalan yang benar, jika berbeda agama sulit untuk membesarkan anak-anak, dan alasan-alasan lainnya. Waktu itu, orang-orang di sekitarku hanya memberi petunjuk yang menurut mereka adalah yang terbaik untukku. Tetapi pilihan dan keputusan itu kembali lagi padaku, apakah aku ingin membahagiakan diriku atau orang lain."

"Dan kamu lebih memilih membahagiakan dirimu?" Tanyaku padanya.

Ardhan mengangguk tersenyum. "Ya... pilihanku jatuh pada membahagiakan diriku juga Gebby. Kami berdua tidak pernah mempermasalahkan keyakinan yang kami anut. Gebby membebaskan dan mendukungku untuk menjalani keyakinanku, begitu pun sebaliknya aku membebaskan dan mendukung dia untuk menjalankan keyakinannya. Jadi selama tiga tahun menikah, tidak pernah ada perdebatan dan perkelahian tentang siapa yang harus ikut keyakinan siapa. Keliatan mudah yah? Tetapi jangan lupa tantangan terbesarnya adalah orang tua dan keluarga. Aku pernah dihadang pakai golok sama kedua orang tua Gebby saat datang kerumahnya. Waktu itu aku langsung kena vonis tidak boleh menginjakkan kaki di rumahnya, ketika tahu kami berbeda agama. Tapi di situlah kedewasaan dan pilihanku diuji. Kalau aku menyerah, mungkin Gebby bukan jodohku. Aku memilih untuk tidak menyerah karena aku mencintainya. Dan aku beruntung karena kami bisa keluar sebagai pemenang, sebagai keluarga yang bahagia seperti sekarang ini."

Aku menunduk menatap meja yang ada di depanku. "Jujur, sebenarnya yang aku takutkan menjalin hubungan dengan Fathir nanti adalah konflik dengan keluarga besarnya. Aku nggak mau dia diusir hanya karena memilihku."

"Tenang, jangan takut Kala. semua masalah bisa diselesaikan. Jika memang jodoh, kalian akan temukan jalannya. Mungkin Tuhan mempertemukan kalian yang berbeda agar kalian bisa belajar untuk saling menghargai.
Sehingga bisa jadi inspirasi."

"Bagaimana kalau hubungan kami hanya untuk sementara saja?"

"Ya mungkin agar kalian bisa belajar dari pengalaman sendiri," Jawab Ardhan pelan. Lalu dia menghela napasnya. "... Aku tahu kamu masih bingung apa yang harus kamu lakukan. JALANI saja, jangan takut, jangan BANYAK BERFIKIR. NIKMATI saja anugrah itu."

Aku mengangguk. "Terimakasih untuk masukkannya."

"Semoga kalian berdua bisa  menemukan kebahagiaan bersama."

"Amin."

Selesai berbincang dengan Ardhan, aku masuk ke dalam kamar dan mendapatkan pesan dari Fathir yang sudah sampai di rumahnya. Aku memilih untuk menghubunginya daripada membalas pesan.

"Hmm...." Dia bergumam saat menjawab teleponku.

"Cepat banget nyampe rumah? Kamu pasti ngebut ya?"

"Enggak. Jarak rumah aku dengan Ardhan memang dekat sayang."

Bibirku tersenyum saat mendengar kata sayang darinya. "Kamu lagi apa?"

"Lagi baring di ranjang. Kalau kamu?"

"Aku juga lagi baring."

"Besok kan sabtu. Kalau kita  kencan di Mall. Mau?"

"Kemana aja aku mau. Asal bareng sama kamu."

"Tapi jangan pakai tank top sama jaket lagi ya? Aku nggak masalah kamu pakai itu di rumah, tapi kalau lagi jalan bareng aku di luar, jangan. Kayak kita pergi ke Bogor waktu itu, aku nggak bisa marah sama semua pria di sana untuk nggak ngelihatin kamu terus."

Aku tertawa. "Fathir, mereka punya mata makanya ngelihatin aku. Memangnya masih seksi? Padahal udah ketutup jaket gitu."

"Bukan seksi, tapi lekuk badan kamu terbentuk kalau pake baju tank top. Tapi terserah kamu, kalau kamu nyamannya pakai begitu yaudah. Paling aku yang menahan diri untuk nggak nonjok orang yang lihatin kamu."

"Karena aku sayang sama kamu, jadi aku bakal nuruti permintaan kamu. Kalau perlu semua tank top-nya bakal aku buang, biar kamu nggak perlu nonjok orang lagi."

Kali ini Fathir yang tertawa di ujung telepon sana karena mendengar perkataanku tadi.

"Yaudah kamu tidur gih, ini udah jam sebelas malam."

"Kamu juga tidur, jangan begadang."

"Iya ini mau tidur. Jangan lupa mimpiin aku. Sampai ketemu besok, sayang." Ucapnya sebelum mengakhiri telepon.

*****

Selama perjalanan menuju Mall, Fathir terus menggenggam saty tanganku dengan sebelah kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir mobil. Tanganku baru akan Fathir lepas ketika dia pergunakan untuk memindahkan gigi mobil saja. Selebihnya selalu dipegang dan sesekali dikecupnya.

"Fathir jangan noleh-noleh gitu, nanti mobilnya nabrak," Kataku sambil mendorong wajahnya pelan agar tetap memperhatikan jalanan.

"Ada sesuatu yang indah di sebelahku, ya mesti dilihatkan? Tuhan menciptakan yang indah-indah untuk dilihat dan dinikmati. Itu artinya aku mensyukuri ciptaan Tuhan."

"Udah mulai pintar ngegombal ya?"

Dia tersenyum melirikku. "Kan cuma sama kamu gombalnya. Atau kamu mau aku gombalin wanita lain?"

"Memangnya kamu mau?" Tanyaku penasaran.

"Enggak. Malas juga gombalinnya."

"Kalau gitu jangan. Nanti aku cemburu."

Kami berdua tertawa bersama. Lalu dia kembali menggenggam satu tanganku dan mengecupnya dengan lembut.

Sesampainya di salah satu Mall, Fathir mengajakku makan lebih dulu sebelum menonton film di bioskop. Sebenarnya aku tidak terlalu suka menonton, tapi aku bilang mau supaya ada alasan bisa jalan berdua dengannya.

Seperti sekarang ini, kami sudah duduk di barisan tengah penonton. Fathir tampak serius menikmati jalan cerita film tersebut. Sementara aku sibuk memainkan jari-jari tangannya, kadang aku remas-remas dan terkadang kupilin-pilin. Aku sengaja melakukan itu karena ingin minta perhatian darinya yang terlalu fokus menonton dan melupakan keberadaanku yang duduk di sampingnya.

Karena tak kunjung dilihat, akhirnya dengan iseng aku memencet ibu jarinya kuat. Dia tetap tidak menoleh namun tangannya tadi langsung menangkap dan menggenggam tanganku untuk berhenti. Setelah adegan pertempuran di film itu lewat, baru Fathir melihatku.

"Kenapa? Bosan?" Tanyanya lembut.

Aku bergeleng. "Nggak apa -apa," Jawabku bohong. Tapi semoga dia mengerti raut wajahku yang tidak ingin dicuekin olehnya.

Dia merangkul dan menarik kepalaku untuk bersandar ke dadanya. "Tidur aja. Nanti kalau filmnya udah habis, aku bangunkan."

Sambil menonton, dia mengelus pelan rambutku. Fathir berpikir aku mengantuk. Tapi tidak apa-apa. Setidaknya aku sudah mendapat perhatiannya kembali.

29-April-2018

Nikmatin dulu part romantis mereka berdua, sebelum gue kasih part batu, kerikil dan hujan badai ke depannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top