ES [3]
"Terimakasih," Ucapku seraya memakai sendalnya pada kaki kananku.
Kemudian pria itu bangkit berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam kantong jaketnya, lalu duduk di sebelahku dengan jarak yang sedikit jauh.
"Kalau dihitung-hitung ini pertemuan ke tiga kita bukan?"
Aku mengangguk menanggapi pertanyaannya. "Aku tidak menyangka kamu masih mengingatku."
Dia menoleh dan menatapku cukup lama. "Apa perempuan kecil tadi itu Putrimu?"
Aku mengangguk.
"Kamu terlihat begitu sedih. Apa sakit Putrimu cukup serius?"
Kepalaku tertunduk ke arah lantai. Apakah aku harus bercerita padanya? Aku bahkan tak mengenal dia. Kami hanya pernah tiga kali bertemu karena tidak sengaja. Bukan berarti kami berteman baik kan?
"Maaf membuatmu tidak nyaman atas pertanyaanku tadi. Kamu tidak harus menjawabnya. Aku hanya bersimpati saja," Ujarnya tersenyum.
Apa dia bisa membaca pikiran? Atau raut wajahku yang terlalu menunjukkan semuanya?
Tapi kalau dipikir lagi, sepertinya tidak ada salahnya jika aku berbagi cerita. Dia juga terlihat pendengar yang baik. Di saat seperti ini aku memang membutuhkan teman untuk mengobrol.
"Putriku Kasih menderita kelainan jantung bawaan. Dokter menyebutnya VSD (Ventrical Septal Defect/ Bocor pada bagian bawah). Gara-gara itu, Kasih jadi sering sekali sakit-sakitan. Setiap Kasih lari-lari atau bermain pasti dia langsung batuk-batuk dan keringat dingin. Dokter tidak menjelaskan berapa persen keadaan Kasih. Hanya saja dokter selalu bilang, kalau aku mau Kasih sembuh, maka Putriku harus cepat cepat di operasi. Jika tidak, Putriku tidak akan bisa bertahan hidup lebih lama lagi. Hatiku terasa begitu sakit, waktu mendengarnya. Aku merasa belum bisa menjadi Ibu yang baik untuk Kasih. Aku merasa tidak berguna karena tidak bisa membiayai operasi Kasih." Pipiku kembali basah seiring bercerita tadi. Entah berapa banyak air mata yang sudah aku keluarkan untuk malam ini.
"Jangan berkata seperti itu. Jika kamu merasa tidak berguna, bagaimana mungkin Kasih dapat bertahan hidup sampai sekarang? Kamu sudah bekerja keras untuk dia. Kamu juga sudah melakukan hal terbaik untuk Putrimu. Menurut aku, kamu wanita yang kuat. Terlepas dari pekerjaanmu sebagai wanita penghibur. Percayalah, Kasih pasti sangat bangga memiliki Ibu sehebat kamu. Tidak semua wanita bisa seperti dirimu."
Kutatap wajah pria itu dengan serius. Percaya atau tidak, dari awal pertemuanku dengan pria ini, aku merasa setiap kata yang keluar dari bibirnya selalu dapat menenangkan hatiku. Terasa begitu menyejukkan.
"Terimakasih," Kataku.
"Untuk apa?"
Aku mencoba tersenyum sambil menghapus air mataku. "Kata-katamu tadi terdengar seperti pujian. Aku jarang dipuji seperti itu. Kamu terlihat tulus mengatakannya. Sekali lagi terimakasih."
"Boleh aku bertanya padamu?"
"Tentu."
"Tadi pagi wajahmu terlihat baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang memiliki lebam seperti itu?" Tanyanya serius.
Spontan tanganku menyentuh area luka yang menjadi korban keganasan Dion. "Oh ini ulah mantan suamiku yang hobi mabuk dan selingkuh. Dia suka memukulku jika aku tidak memberikannya uang."
"Lelaki macam apa yang begitu tega melakukan hal itu pada seorang wanita?"
"Aku sudah terbiasa dengan lebam seperti ini. Sekitar dua sampai tiga hari juga hilang lebamnya, tinggal dikompres air hangat saja." Aku begitu malu karena dia harus melihat lebam-lebam itu. Wajahku pasti terlihat mengerikan sekali. "Ngomong-ngomong kamu kenapa bisa berada di sini? Siapa yang sakit?" Tanyaku sengaja mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku datang menjenguk temanku yang sudah seminggu dirawat di rumah sakit," Jawab Fathir sekenanya.
"Sakit apa?"
"Dokter mengatakan bahwa temanku menderita kerusakan ginjal yang sangat parah, mungkin akibat terlalu banyak merokok dan minum alkohol. Dia memang hobi minum di tempat hiburan malam."
"Umur berapa?"
"27 tahun. Hanya setahun lebih tua dariku."
Aku mengangguk pelan. "Aku turut simpati dengan temanmu itu."
"Satu-satunya harapan mungkin hanya dengan melakukan operasi cangkok ginjal. Itu pun kalau ada orang yang rela mendonorkan, karena itu resikonya sangat besar."
Donor ginjal?
Dua kata itu terngiang di pikiranku.
"Apa belum ada pendonornya?" Tanyaku penuh harap.
Dia bergeleng. "Belum ada."
Seketika aku merasa lega mendengarnya. Mungkin aku bisa mendapatkan uang tambahan biaya operasi Kasih lewat donor ginjal itu. Aku tersenyum menatap Fathir. Sekarang aku tahu kenapa Tuhan mempertemukanku dengan Fathir. Karena pria ini dapat membantuku mendapatkan uang.
"Kenapa kamu tiba-tiba tersenyum seperti itu?" Tanyanya bingung.
"Kamu tahu kan aku sangat membutuhkan uang? Jadi bolehkah aku saja yang jadi pendonor ginjal pada temanmu itu?"
*****
Sudah seminggu berlalu, tapi Fathir belum juga menghubungiku mengenai donor ginjal itu. Apa dia ragu dengan kondisi kesehatan organ tubuh seorang pelacur?
Aku bergabung sekitar enam bulan yang lalu, meskipun terbilang baru dalam pekerjaan ini, tapi tetap saja aku merasa was-was. Maka dari itu, setiap tiga bulan sekali aku selalu memeriksa kesehatan. Karena bagaimanapun aku takut akan penyakit yang selalu menghantui para pekerja seks. Selama ini hasil tesnya selalu normal, makanya aku berani mengajukan diriku sebagai pendonor.
"Kala!"
Aku berhenti di depan pintu toilet hiburan malam, ketika Fika menyerukan namaku.
"Ya?" Tanyaku merespon Fika yang tidak lain adalah teman seprofesiku di tempat hiburan malam ini.
"Ada yang nyariin elo di luar."
"Siapa?"
Fika mengangkat kedua bahunya. "Mana gue tahu. Lo lihat sendiri deh."
Karena penasaran dan tidak ingin membuat orang yang mencariku tadi menunggu lebih lama, jadi aku batalkan niat untuk buang air kecil. Aku berjalan ke luar mencari orang yang dimaksud Fika tadi.
Sesampainya di parkiran, tiba-tiba ada seseorang yang menarik wig panjangku dengan kasar. Lalu tubuhku diterjang begitu saja sehingga kini aku terjerembab ke tanah.
"Dasar pelacur! Berani sekali kamu menggoda suami saya! Rasakan ini!" Teriak wanita paruh baya tersebut. Dia duduk di atas perutku sambil menjambak, menampar dan mencakar wajahku sepuasnya.
Aku berusaha untuk mengelak dari pukulannya. Namun tenaganya begitu kuat dariku. "Anda ini siapa? Mungkin anda salah orang. Saya tidak kenal suami anda!"
Tangannya berhenti memukul dan memandangku dengan penuh rasa benci. "Tidak kenal kamu bilang? Saya lihat sendiri kamu keluar dari hotel dengan suami saya dua hari yang lalu! Dan wig hitam ini juga yang kamu pakai saat bersama suami saya!" Teriaknya seraya melempar wig itu tepat ke wajahku.
Kejadian seperti ini sudah sering aku alami selama menjalani profesi ini. Dan biasanya aku akan memasang muka tebal saat jadi bahan tontonan orang-orang.
Sesaat aku bernafas lega begitu wanita itu turun dari atas tubuhku dan berdiri tegak. Namun tatapan jijiknya tak lepas dariku. "Pelacur sepertimu harusnya mati dan membusuk di neraka! Terkutuklah orang yang sudah melahirkan dan membesarkan orang seperti dirimu!"
"Maaf, saya tidak tahu kalau pria itu sudah memiliki istri." Hanya itu pembelaan yang biasa aku lakukan.
Dia mendengus. "Pelacur mana perduli langganannya sudah menikah atau tidak. Selama dompetnya tebal, maka dengan senang hati kalian membuka lebar selangkangan. Bukan begitu?"
Aku bangkit berdiri dan membenarkan pakaianku. Namun tiba-tiba dia menarik lagi rambut asliku. Bukannya aku tidak bisa melawan, tapi aku sadar akan kesalahanku. Aku memang pantas mendapatkan perlakuan ini.
"Sekali lagi saya melihat kamu jalan dengan suami saya. Tunggu saja apa yang akan saya lakukan padamu pelacur!" Ancamnya dengan mendorongku sampai terjatuh kembali di parkiran mobil. "Ngerti?!"
Aku meringis kesakitan saat tanganku tergores karena dorongannya yang kuat tadi.
Dia terlihat geram karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya itu, lalu dia mengangkat sebelah tangannya lagi. Spontan aku menunduk wajahku agar tidak mengenai tamparannya.
"Siapa Anda? Lepaskan tangan saya!" Terdengar suara bentakan wanita itu. "Jangan ikut campur, ini bukan urusan anda!"
Aku mendongak untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata tangan wanita itu ditahan oleh Fathir. Aku merasa senang dengan kehadirannya di sini. Membuatku merasa terlindungi.
"Perbuatan yang Anda lakukan padanya bukanlah tindakan terpuji. Jadi bagaimana mungkin saya membiarkan Anda menganiaya dia?"
"Dia ini seorang pelacur! Dia pantas mendapat perlakuan seperti itu karena sudah menggoda suami saya!"
Fathir melepaskan tangan wanita itu dari cengkramannya. "Bukan sepenuhnya salah wanita ini jika suami Anda tergoda dengannya. Karena yang namanya 'tamu' tidak akan pernah bisa masuk jika 'penghuni rumahnya' tidak membukakan pintu. Jadi seharusnya suami Anda yang perlu dipertanyakan, kenapa bermain ke tempat seperti ini padahal sudah memiliki seorang istri."
Mungkin karena sudah tidak tahu harus merespon apalagi, wanita itu pun memilih untuk pergi.
Kusentuh kedua pipiku yang terasa panas karena tamparan keras di awal tadi. Bahkan leher dan lenganku terasa perih akibat terkena cakarannya.
"Kamu bisa berdiri sendiri atau perlu bantuan?" Tanya Fathir padaku.
"Aku bisa sendiri," Jawabku tersenyum. Meskipun aku jawab begitu, Fathir tetap membantuku untuk bangkit berdiri. "Terimakasih."
"Apa kamu baik-baik saja?" Wajahnya terlihat khawatir sekali.
"Ya. Ini hanya luka kecil. Cuma tergores saja. Eh ngomong-ngomong untuk apa kamu ke sini?"
"Aku ingin bertemu denganmu. Ini mengenai donor ginjal yang kamu tawarkan."
Aku menatapnya penuh antusias. "Bagaimana? Apa mereka mau?"
27-Januari-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top