ES [24]

Untuk kesekian kalinya aku mendengar suara helaan napas Dante yang tampak bosan menunggu. Aku masih sibuk memasukkan barang satu per satu ke dalam kotak kardus.
Sedangkan dia duduk santai di kursi sambil bermain ponsel. Aku tidak berharap dia akan membantu dalam beres-beres, karena dari awal Dante sudah menekankan padaku bahwa dia hanya akan mengangkat barang saja.

"Bisa lebih cepat lagi nggak kerjanya?" Tanyanya ketus.

"Sabar ya. Barangnya sedikit lagi yang mau di bawa."

"Tinggal aja udah," Ucapnya gampang. "Barang murahan gitu, ngapain di bawa? Berat-beratin di mobil doang."

"Barang-barang punya aku memang murahan semua. Tapi ada banyak kenangan di sana yang sangat penting buat aku. Jadi aku nggak bisa main tinggal gitu aja."

"Tapi itu buat aku lebih lama nunggu kamu di sini! Mana rumahnya panas lagi."

"Kalau bosan menunggu. lebih baik kamu pulang duluan saja. Nanti aku sewa mobil pick-up buat bantu angkat barang-barang. "

"Dari tadi juga sebenarnya aku udah mau cabut. Tapi nggak bisa, karena aku orangnya selalu menepati janji. Dan aku sudah janji ke Mama buat bantu angkat barang-barang pindahan kamu."

"Jadi kamu masih mau nunggu kan?" Tanyaku lagi memastikan.

"Masihlah. Tapi cepat ya, nggak pakai lama."

Aku mengangguk dan segera memasukkan sisa barang yang akan di bawa.

"Ngomong-ngomong, kamu tadi kenapa ada di rumah sakit?" Tanya Dante sambil berjalan ke arahku.

"Mau jenguk Fathir, tapi udah keburu pulang ke rumah. Kalau aku minta alamat rumah Fathir, apa kamu mau memberikan?"

"Ya enggak lah. Nggak akan aku kasih ke kamu!" Jawabnya tegas.

"Kenapa?"

"Karena Fathir udah bahagia dengan Nabila. Aku tahu sih kamu itu mantan pelacur, tapi jangan kelihatan murahannya lah. Udah jelas dilarang dekatin Fathir, eh masih aja dipepet."

Gerakan tanganku berhenti memasukkan barang. Lalu aku menatap Dante yang juga sedang melihatku.

"Memangnya salah kalau mantan pelacur sepertiku mendekati seorang pria?"

"Salah. Karena yang kamu dekatin itu sahabat baik aku. Kalau kamu ngejar pria lain di luar sana, ya silahkan. Aku nggak peduli."

"Kalau aku maunya Fathir, memangnya kamu bisa apa? Mau pukul atau tampar aku?"

Dante mendengus. "Memang ya, pelacur itu di mana-mana sama. Selain nggak punya rasa malu. Mereka juga suka merusak hubungan orang lain dan sering mengkhayal ketinggian. Salah satunya ya kamu. Berharap bisa mendapatkan Fathir. Ngaca dong, kamu pantas nggak bersanding sama dia? Heran, punya otak kok nggak dipakai buat mikir."

Kuabaikan rasa sakit di hatiku. "Kamu sendiri apa pernah berpikir, kalau setiap kata-kata yang keluar dari mulut kamu itu selalu kasar untuk didengar?"

"Aku kasarnya cuma ke kamu, karena kamu memang pantas untuk dikasarin, biar nggak makin ngelunjak."

"Memangnya aku pernah buat salah apa ke kamu? Kenapa kamu sebegitu bencinya ke aku?"

"Aku benci dengan yang namanya pelacur! Rumah tangga orang tuaku hancur karena wanita murahan sepertimu. Kalau Mama aku tahu latar belakang siapa kamu, beliau nggak akan bisa sebaik itu padamu!" Bentak Dante melampiaskan amarahnya.

"Oke, aku paham untuk alasanmu yang membenci seorang pelacur. Tapi aku udah lama berhenti. Jadi tolong, jangan memandang masa laluku lagi. Lihat pekerjaanku sekarang ini, yang udah menjadi pegawai toko bunga Mama kamu."

"Sulit bagiku untuk merubah pandangan mengenai dirimu. Karena aku tipe orang yang kalau udah benci sesuatu, selamanya bakal aku benci."

Aku menghela napas. "Terserah kamu. Silahkan benci aku sesuka hati. Aku juga nggak peduli. Yang berdosa kan kamu sendiri. Kalau kamu nggak mau kasih alamat rumah Fathir juga nggak apa-apa. Aku bisa kok temui dia di tempat kerjanya."

Dante tertawa mengejekku. "Pakai acara ngomong dosa lagi ke aku. Hey, sadar nggak sih? Dosa kamu itu lebih banyak dibanding aku."

Kali ini aku menanggapinya dengan kalem. "Sadar diri kok. Lagian yang bilang dosa aku sedikit siapa? Nggak ada kan? Wanita hina seperti aku udah pasti banyak dosanya. Kalau kamu kan pria baik, jadi dosanya dikit."

"Kamu lagi nyindir aku?" Tanyanya sambil menendang pelan kardus yang sedang aku lakban.

"Tersindir kenapa? Kan aku bilang kamu pria baik. Aku salah di mana lagi?" Tanyaku bingung.

"Aku nggak suka dipuji sama kamu!"

"Berarti kamu suka kalau aku hina? Begitu?"

"Enggak kedua-duanya. Pokoknya aku nggak suka lihat kamu."

"Itu kamu lagi lihatin aku, katanya nggak suka. Kenapa masih dilihat?" Tanyaku yang mulai jengkel dengan sikapnya.

"Jangan ge'er kamu dilihatin!
Ini itu tatapan jijik. Bukan tatapan suka."

"Mau itu jijik atau bukan, intinya kamu lagi ngelihat aku sekarang."

"Ya wajarlah aku ngelihat, kan aku punya mata! Nggak tahu fungsi mata itu untuk apa?"

"Kamu itu jilat ludah sendiri ya. Tadi bilangnya nggak suka lihat aku. Tapi sekarang? Lain lagi alasannya. Jangan-jangan kamu suka sama aku, tapi pura-pura benci."

Dante menatapku dari bawah kaki hingga ke atas kepala. "Kamu memang menarik sih. Tapi sori, aku nggak suka yang namanya barang bekas. Kalau cuma untuk hiburan, boleh lah. Tapi untuk diseriusin? Enggak sama sekali. Sama seperti Fathir. Kamu pikir dia serius deketin kamu? Jangan mimpi Kala! Fathir nggak mungkin tinggalin emas asli seperti Nabila hanya untuk emas imitasi seperti dirimu."

"Oh ya? Tapi kenapa Fathir belum juga menikahi Nabila?" Tanyaku tersenyum menang karena Dante langsung terlihat bingung mencari jawabannya.

"Ya itu... karena... tinggal menunggu waktu yang tepat saja. Tapi aku yakin mereka pasti akan menikah."

"Kamu salah Dante. Jawabannya itu karena Fathir tidak mencintai Nabila. Itu alasan yang sebenarnya."

"Sok tahu kamu!"

"Jelas aku tahu. Karena Fathir sendiri yang mengatakan itu. Fathir juga bilang, kalau dia cinta sama aku. Hanya saja waktu itu aku bodoh menolak dia. Tapi sekarang aku mau berjuang buat dapatkan Fathir lagi. Karena aku juga cinta sama dia."

Dante menatapku tajam. "Dengar Kala. Aku nggak akan biarkan kamu mengambil Fathir dari Nabila. Jadi lebih baik kamu urungkan niatmu itu, sebelum aku benar-benar berbuat jahat padamu."

Ancaman Dante membuatku sedikit takut tapi aku tidak peduli. Aku akan tetap mengejar kebahagiaanku. "Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan padaku. Aku tidak takut."

*****

Setelah bekerja sebulan penuh, akhirnya aku mendapatkan gaji lagi. Dan tante Maria memberiku bonus yang cukup banyak karena semua pembelinya menyukai hasil rangkaianku. Bahkan tante Maria mendukungku untuk membuka toko bunga sendiri. Dia yakin aku pasti bisa sukses membuka usaha toko bunga. Aku juga sempat berpikiran seperti itu, jadi aku harus menabung lebih banyak lagi agar bisa menyewa di tempat yang strategis. Karena biayanya pasti sangat mahal.

Pagi aku ini aku izin dengan tante Maria untuk pergi sebentar ke Bank. Selain alasan untuk menabung gaji, sebenarnya aku juga ingin bertemu Fathir. Genap sudah dua bulan aku tidak bertemu dengannya. Dan rindu itu sangat menyiksa sekali. Kadang aku bertanya dalam hati, apa dia juga merasakan hal yang sama setiap harinya? Jujur aku takut, jika ternyata Fathir sudah melupakanku.

Dengan tangan yang masih berkeringat dingin, pelan-pelan aku mendorong pintu kaca itu ke depan. Aku masuk dan kedua mataku langsung tertuju ke arah meja kerja Fathir. Aku tersenyum bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengannya lagi. Fathir tampak sibuk melayani customer di depannya. Ada yang berbeda dari Fathir, sepertinya dia baru potong rambut. Dan itu membuatnya dua kali lebih tampan dari biasanya.

Aku terus memandangnya sambil berjalan mengambil nomor antrian. Setelah itu aku duduk dan memandangnya lagi.
Mungkin Fathir sadar ada orang yang memandangnya, jadi dia menatap ke arahku. Awalnya dia tampak kaget, lalu akhirnya membalas senyumanku. Hanya sebentar saja, setelah itu dia kembali lagi menatap layar komputer.

Aku masih terus memandangnya, menunggu dia melihat ke arahku lagi. Namun sampai nomor antrianku dipanggil hingga selesai pun, Fathir tak kunjung melihat lagi. Padahal sudah tidak ada customer yang dia layani. Dia hanya sibuk memandang komputer dan sesekali mengetik ponsel di tangannya.

Sengaja aku melambatkan jalan ketika melewati meja Fathir, berharap dia akan tersenyum atau menegurku. Tapi dia hanya diam saja. Sampai aku berdiri di depan pintu pun, kembali aku menoleh ke mejanya. Fathir masih tetap sibuk sendiri dengan ponselnya. Rasanya aku ingin menarik pria itu keluar dan menangis di pelukannya. Tapi aku tidak berani melakukan itu. Jadi aku memilih untuk pergi dengan perasaan kecewa.

19-April-2018

Yang satu sensian. Yang satunya lagi ngambek ama Kala. Gue pusing sendiri jadinya. Huffttt....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top