ES [22]
Sebelum baca part ini. Gue mau promosiin cerita punya teman gue Ogahmuncullagi judulnya LARA. Cerita sedih gitu guys. Gue yakin kalian pasti sukaaaaaaaaaa. Monggo mampir yaa :)
.....
.....
.....
Sebulan sudah berlalu. Dan aku merasakan kesepian tanpa ada sosok Kasih ataupun Fathir. Hidupku seperti kehilangan roh dalam jasadnya. Sekarang aku benar-benar yakin bahwa kehilangan mampu membuat semuanya mati di dalam hidupku. Hanya tetesan air mata yang masih bisa kurasakan saat ini. Setelah dan sesudahnya, aku seperti mayat hidup. Mati rasa.
Setiap harinya aku habiskan waktu di dalam kamar. Keluar rumah hanya untuk membeli makan karena aku sedang tidak semangat untuk melakukan apapun. Hanya saja dua hari ini, setiap jam makan siang aku secara diam-diam mendatangi tempat kerja Fathir sekedar melihat wajahnya dari jauh. Tapi sepertinya aku kurang beruntung. Dia tidak keluar dari dalam kantor. Mungkin Fathir sudah membawa bekal dari rumah, jadi dia tidak perlu makan di luar lagi.
Tapi aku tidak menyerah. Hari ini aku masih datang lagi dan menunggu sosoknya keluar bersama teman-temannya dari pintu itu. Namun sampai waktu jam makan siang habis, aku tidak melihat Fathir sama sekali. Jadi aku putuskan untuk menunggu sampai jam pulang kerja. Aku benar-benar ingin melihat wajahnya, meskipun hanya sebentar. Aku tidak kepikiran untuk menyimpan foto Fathir di ponsel. Kebodohanku yang tidak meminta satu foto bersamanya saat liburan ke puncak bogor waktu itu.
Akhirnya setelah menunggu lama, aku melihat para karyawan di bank keluar untuk pulang. Termasuk Alma dan Revan, pria yang dulu hampir melecehkanku di Kafe. Namun aku tidak melihat Fathir di sana. Setelah suasana agak sepi, aku nekad bertanya pada satpam di bank tersebut.
"Pak saya mau tanya, apa hari ini pegawai bernama Fathir masuk kerja?"
"Oh enggak Mbak. Kan mas Fathir lagi cuti."
"Cuti?" Tanyaku kaget.
Satpam itu mengangguk. "Iya Mbak. Mas Fathir cuti sakit karena udah tiga hari ini dirawat."
"Sakit apa?"
"Itu saya kurang tahu Mbak. Tapi kata mbak Alma, mas Fathir dirawat di rumah sakit Medika. Mbak datang ke sana saja kalau mau jenguk."
Aku mengangguk. "Terimakasih untuk informasinya, Pak. Saya permisi dulu."
"Iya Mbak, sama-sama."
Aku terus berjalan sambil berpikir apakah aku harus datang menjenguknya atau tidak. Di satu sisi aku khawatir mendengar dia sakit. Aku ingin berada di sana untuk merawatnya. Tapi di sisi lain, aku takut mempermainkan perasaannya dengan kehadiranku.
Setelah melalui pergulatan batin yang panjang, aku memilih untuk mendatanginya ke rumah sakit. Aku hanya ingin memastikan kalau Fathir baik-baik saja. Habis itu aku akan langsung pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah sakit, aku mendatangi bagian resepsionis untuk bertanya di ruang mana Fathir dirawat. Kemudian aku lanjut berjalan menyusuri koridor mencari ruangannya. Dan aku berhenti, saat melihat dua wanita berhijab keluar dari pintu tempat Fathir dirawat.
"Makasih udah datang bawain bubur. Dari kemarin Fathir memang nggak mau makan bubur yang dari rumah sakit."
Dia tersenyum malu. "Nabila senang kok bisa masakin bubur buat Fathir. Apalagi tadi buburnya langsung dihabisin."
"Itu karena masakan Nabila memang enak. Ibu nggak perlu khawatir lagi, kalau seandainya Nabila yang akan jadi istri Fathir. Anak Ibu pasti teratur pola makannya karena udah ada Nabila yang selalu ingatkan dan masakin enak buat dia."
"Sebenarnya Nabila udah siap untuk jadi seorang istri. Nabila cuma menunggu keputusan dari Fathir, Bu. Karena dia pihak laki-laki."
"Nanti Ibu coba bicarakan dengan Fathir. Apalagi kalian berdua itu, udah cukup lama proses saling mengenalnya. Jadi Ibu pikir nggak perlu di lama-lamakan lagi."
"Tapi jangan terlalu memaksakan Fathirnya juga ya Bu. Nabila nggak mau kalau menikah hanya karena paksaan.
Nabila mau niat dari Fathirnya sendiri."
Wanita paruh baya itu mengangguk. "Iya Ibu mengerti."
Nabila tersenyum lembut, kemudian menunduk sambil mencium tangan. "Kalau gitu Nabila pamit dulu ya, Bu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam. Hati-hati di jalan," Jawab ibunya Fathir sebelum masuk kembali ke dalam ruangan.
Sementara aku masih berdiri diam di tempat. Melihat interaksi Ibu Fathir dan Nabila yang begitu akrab satu sama lain, membuat nyaliku semakin ciut untuk menjenguk Fathir. Dan aku cukup terkejut, ketika Nabila berjalan ke arahku.
"Hai," Sapanya tersenyum. "Kamu pegawai di toko bunga tante Maria kan?"
"Iya. Nama saya Kala. Ternyata Mbak masih mengingat wajah saya."
"Oh iya Kala." Dia tersenyum lagi karena mengingat kembali namaku. "Hmm... siapa yang sakit di sini?" Tanyanya padaku.
"Teman saya."
"Ohh."
"Mbak jenguk siapa?" Tanyaku balik meskipun aku sudah tahu jawabannya.
Nabila terlihat ragu untuk menjawab apa. "Jenguk teman juga."
"Beneran teman?"
Dia tersenyum malu. "Teman dekat maksudnya."
"Teman Mbak sakit apa?" Aku mencoba mencari tahu dari Nabila.
"Ya biasa, masalahnya di lambung. Pola makannya nggak teratur ditambah lagi sering tidur larut malam. Dokternya bilang kalau dia terlalu banyak pikiran sampai akhirnya ngedrop."
"Jadi gimana kondisinya sekarang?" Tanyaku tanpa memperlihatkan jelas rasa khawatir di wajahku.
"Alhamdulillah udah baikan."
Sekarang aku merasa lega setelah tahu keadaan Fathir baik-baik saja. Jadi aku tidak perlu menjenguknya lagi.
"Maaf ya aku harus balik ke rumah dulu. Takut kemalaman di jalan," Lanjutnya lagi.
"Iyaa Mbak silahkan." Aku tersenyum dan mengamati kepergiannya.
Dia wanita yang ramah sekali. Dia juga murah senyum. Persis seperti Fathir. Jika dipikir-pikir, mereka berdua memang pasangan yang serasi. Dan tidak seharusnya aku cemburu dengan wanita sebaik itu.
Mungkin sebaiknya aku harus berkencan dengan pria lain untuk mengalihkan pikiranku dari sosok Fathir. Aku harus mencobanya.
*****
Melihat Ibu pemilik kontrakan sedang berdiri di depan pintu, membuatku mempercepat langkah menuju rumah.
"Mbak Kala lagi di luar ternyata, pantas saya ketuk pintu dari tadi nggak ada yang jawab."
"Iya ini habis beli makan malam di warung depan. Ada apa ya Bu?" Tanyaku bingung dengan kehadirannya. Ini jelas bukan tentang uang kontrakan, karena aku sudah membayarnya sampai tiga bulan ke depan.
"Begini mbak Kala... aduh saya bingung harus bagaimana menyampaikannya."
"Menyampaikan tentang apa Bu?"
Ibu itu memandangku tak tega. Sepertinya dia dipaksa untuk mengatakan sesuatu yang bukan dari keinginannya. "Ini uang kontrakan mbak Kala yang untuk tiga bulan ke depan. Saya harus mengembalikannya."
"Kenapa dikembalikan Bu?"
"Ibu-ibu di sini udah pada tahu mbak Kala pernah kerja di hiburan malam. Dan ada yang bilang kalau Mbak itu seorang pelacur, maaf sebelumnya. Jadi mereka semua merasa risih dengan adanya Mbak di sini. Mereka melapor ke pak RT dan akhirnya beliau mendatangi saya untuk bilang lebih baik tidak melanjutkan kontrakan bulan depan ke mbak Kala."
Aku hanya bisa mengangguk mendengarnya. Dikucilkan ditengah masyarakat sudah menjadi hal biasa kami alami bersama Kasih dulu. Berpindah kontrakan dari satu ke tempat lainnya. Bahkan aku pernah diusir kasar dari kafe, restoran, swalayan, sampai salon rambut. Lagi-lagi karena alasan yang sama, menganggu kenyamanan, meskipun aku sanggup membayar semua yang kupesan di sana. Tapi aku tidak pernah marah, aku menjawab usiran mereka dengan tenang dan ikhlas. Karena aku sadar dengan pekerjaanku yang buruk di masyarakat.
"Saya sebenarnya tidak keberatan mbak Kala ngontrak di sini. Tapi Ibu-ibu luar sana yang pada ribut. Apalagi semenjak putri Mbak meninggal, jadi sendiri di kontrakan. Mereka makin resah kalau suami mereka ya gitulah... Mbak ngerti kan maksud saya?" Lanjut Ibu itu lagi.
"Iya nggak apa-apa Bu. Saya mengerti. Tapi saya boleh minta waktu sekitar dua atau tiga hari? Soalnya saya harus cari kontrakan dulu. Dan barang-barang saya cukup banyak yang harus dibawa."
"Boleh kok. Kalau gitu saya permisi pamit ya mbak Kala. Selamat malam."
Aku mengangguk lemah. Besok pagi, aku harus mencari kontrakan. Memulai semuanya dengan yang baru. Semoga tidak ada yang mengenal masa laluku lagi.
15-April-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top