ES [20]
Taman Safari Indonesia
Tulisan itu terlihat jelas di papan besar saat mobil kami masuk ke pintu lokasi wisata, beserta patung-patung satwa pun terpampang ketika sudah berada di mulut objek wisata. Hawa sejuk pegunungan langsung menyelimuti begitu aku turun dari mobil sambil menunggu Fathir yang sedang membeli tiket masuk.
"Tiket udah beres," Seru Fathir tersenyum. "Here we go!"
Fathir menancapkan gas mobil lagi memasuki Safari Journey. Lokasi pertama yang kami temui adalah binatang jinak seperti gajah, unta, kijang, kancil, anoa dan sebagainya. Aku menurunkan kaca jendela mobil untuk melihat seekor kijang yang kami lewati asyik mengunyah dengan tenang di tengah jalan, padahal banyak kendaraan yang lalu-lalang.
"Boleh kasih makan nggak ya?" Tanyaku menoleh ke Fathir.
"Kayaknya boleh. Lagian mereka bukan binatang buas kok." Kemudian Fathir sengaja melambatkan laju mobil saat kancil dan kijang menghampiri mobil kami.
Meskipun agak was-was, tapi aku tetap mengeluarkan tangan dari kaca untuk memberi makan wortel pada dua binatang itu.
Seandainya Kasih masih hidup, dia pasti senang sekali diajak ke sini. Aku sedikit menyesal karena tidak pernah mengajaknya berliburan ke mana pun. Aku terlalu fokus menjaga dia untuk sembuh. Selama Kasih hidup, yang dia tahu hanya pergi sekolah, minum obat dan rumah sakit. Harusnya aku menunjukkan dunia luar yang belum pernah dia nikmati. Bermain di tepi pantai, melihat kebun teh, mengenali hewan yang ada di kebun binatang. Sekarang aku baru menyadari, ternyata aku belum bisa menjadi Ibu yang baik untuk Kasih.
"Kala, kamu melamun?"
"Enggak. Aku cuma menikmati pemandangan hewan di sini."
"Kalau gitu kamu dengar nggak tadi aku barusan ngomong apa?"
Jangan sampai Fathir tahu kalau aku beneran melamun. Tanpa sengaja aku melihat papan peringatan untuk tidak membuka kaca terpasang di mana-mana.
"Menutup kaca?" Tebakku harap-harap cemas saat melirik Fathir.
"Iyaaaaaaa. Tepat sekali. Lalu kenapa kacanya belum ditutup Kaladipa?? Hmm?" Tanya Fathir yang tampak gemas seperti ingin mencubitku.
"Kenapa harus ditutup? Kan aku masih mau ngasih makan hewan-hewannya?"
Fathir menatapku seperti sedang melihat seorang Limbad yang sedang beraktraksi. "Kamu mau kasih makan hewan buas dari mobil ini? Jangan bilang kamu lagi mencoba membuat lelucon. Itu sama sekali nggak lucu Kala."
Aku baru sadar ke mana arah pembicaraan Fathir, saat kedua mataku melihat langsung dua ekor harimau dari sisi mobil kami. Astaga! Ternyata kami sudah masuk ke zona hewan buas. Spontan aku langsung menutup kaca jendela mobil.
Fathir bergeleng kepala melihat kecerobohanku itu. "Kalau tadi kamu diterkam harimaunya, gimana coba? Aku bawa kamu pergi dalam keadaan utuh, berarti pulang juga harus gitu. Kalau kamu kenapa-napa, terus nanti aku nikahnya sama siapa?"
"Ni--nikah?" Tanyaku kaget.
"Maksud aku," Fathir langsung meralat perkataannya tadi. "Kalau kamu kenapa-napa, kasihan calon suami kamu nanti."
"Tapi sekarang ini aku kan belum punya pasangan. Bentuk mukanya aja belum tahu yang gimana."
"Ya justru karena itu. Kan nggak lucu jodohnya meninggal duluan sebelum ketemu, gara-gara diterkam harimau di taman safari."
"Kamu kok jauh banget sih mikirnya," Kataku geli.
Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih 45 menit di alam liar, Fathir segera memarkirkan kendaraan. Sebelum makan siang, Fathir menuaikan sholat dzuhur terlebih dahulu. Jadi aku duduk menunggunya di luar Musholla yang disediakan di taman safari.
Sekitar 15 menit Fathir pun keluar dan langsung menghampiriku.
"Kelamaan ya?"
"Dikit," Jawabku jujur. "Emang kamu doain apa aja sih. Yang lain pada keluar, kamu masih di dalam."
"Doa aku cuma satu. Cuma memang sepertinya agak sulit untuk dikabulkan. Jadi aku harus banyak usaha buat ngerayu yang di atas dulu."
"Kamu minta apa?" Tanyaku penasaran.
"Itu rahasia antara aku dengan Allah," Ujarnya tersenyum. Lalu dia menarik tanganku. "Kamu udah lapar kan? Kita makan di food court aja. Mau?"
Aku mengangguk dan berjalan sambil menatap genggaman tangan kami.
Setelah mengisi perut sampai kenyang, kami putuskan untuk menonton Cowboy Show. Dari food court ke area itu lumayan jauh tempat pertunjukannya. Sekitar jam 14.00 acaranya dimulai. Suasana ala cowboy begitu terasa karena mereka pintar membuat setting tahun 1800'an. Tempat duduk penonton dibuat setengah lingkaran mengarah ke atas seperti susunan tempat duduk bioskop.
Ada tiga warna kursi, yaitu hijau, kuning dan biru. Seorang pemandu mengarahkan para pengunjung, termasuk aku dan Fathir untuk menempati kursi bewarna kuning lebih dulu yang berada di tengah. Tapi alarm curiga langsung berdering di kepala kami, saat mendengar si pemandu itu memberitahu bahwa anak-anak dan orang tua harus duduk di kursi belakang. Aku dan Fathir pun saling bertatap-tatapan. Sepertinya ada yang tidak beres. Tapi kami berusaha untuk tetap santai menikmati tontonan yang ada di depan.
Suara tembakan dan ledakan benar-benar meramaikan acara show. Efek ledakannya juga cukup keren. Karena hawa panas dari ledakannya terasa di wajah kami. Dan yang makin membuatku terpukau adalah adegan di mana seorang cowboy menembak gelas yang ada di pagar depan penonton. Aku kaget bukan main mendengar suara ledakan senapan dari speaker yang bersamaan dengan gelas pecah berkeping-keping.
Pakaian kami pun sedikit basah saat beberapa cowboy kecebur ke dalam kolam, sehingga kami terkena cipratan airnya. Tak cukup sampai di situ. Ini trik terakhir mereka yang tak akan aku dan Fathir lupakan. Ketika mereka adegan tembak-menembak dan ledakan ramai-ramainya. Kursi yang kami duduki ternyata sudah disetting untuk lepas secara tiba-tiba. Sehingga kami penonton yang duduk di atasnya terjatuh. Kami sangat terkejut dan panik, apalagi ditambah suara tembakan yang masih berlangsung.
"Kamu nggak apa-apa kan Kala?" Tanya Fathir tertawa.
Aku bergeleng ikut tertawa. "Sekarang aku paham, kenapa anak-anak kecil dan orang tua dilarang duduk di depan. Ternyata ini kursi jebakan."
Selesai acara itu, selanjutnya kami melihat dan memberi makan pinguin langsung dari dalam kandang. Ditemani satu pawang, aku memberi makan pinguin dan Fathir yang mengabadikan momen itu lewat kamera ponselnya. Pawangnya memberi arahan dari angle mana ambil foto yang bagus, serta dia yang membawa ember berisi ikan. Sambil memberi makan kita bisa belai-belai pinguinnya, dengan syarat jangan sentuh bagian kepala. Hanya boleh elus punggungnya saja.
"Pak, bisa tolong fotokan kami berdua?" Tanya Fathir pada si pawangnya, yang langsung diberi anggukan kepala oleh Bapak itu sebagai tanda setuju.
"Kamu berdiri di sebelah kiri. Terus aku di kanan. Jadi pinguinnya ada di tengah," Ucapku memberi arahan.
Fathir menolak. "Aku nggak mau di dekat pinguin. Aku di sebelah kamu aja." Lalu dia berdiri di dekatku dan merangkul bahuku. Kemudian dia tersenyum ke depan menghadap kamera. "Ayo Pak, fotoin."
*****
Wisata kedua yang kami datangi selanjutnya adalah Little Venice Bogor. Tempat dan suasana pemandangannya mirip seperti kota di luar negeri, yaitu Venesia yang ada di negara Italia. Selain bangunan-bangunan khas Kota Venice, terdapat sungai yang membelah antara dua kompleks bangunan yang berarsitektur Eropa.
"Aku ngerasa kita berdua kayak lagi di Italia," Ucapku memulai obrolan saat kami sedang menaiki wahana Gondola untuk mengarungi sungai kecil tersebut.
Fathir memandang lekat wajahku. "Kamu senang?"
"Banget." Aku mengangguk cepat seraya merapikan rambut ke belakang karena hembusan angin. "Makasih ya."
"Aku juga senang bisa buat kamu senang."
"Ada satu judul lagu yang aku suka dengerin setiap hari. Kamu mau dengar nggak?"
"Lagu apa?"
Sebelum memutar lagunya dari ponsel, lebih dulu aku memasangkan sebelah earphone ke telinga Fathir dan sebelahnya lagi untukku.
"Ini lagu apa?" Tanyanya sambil mendengarkan. "Seperti bahasa spanyol. Melodinya enak tapi terdengar sedih."
"Itu bahasa Italia. Judulnya Eppure Sentire. Dan Eliza nama penyanyinya."
"Siapa itu Eliza?" Tanya Fathir polos.
"Aku juga nggak kenal. Tapi lagunya keren kan?" Sahutku dengan semangat. "Pertama kali tahu lagu ini dari novel Sunshine Becames You-nya milik Ilana Tan."
"Kamu tahu apa artinya Eppure Sentire?" Tanyanya kemudian.
Aku bergeleng. "Ini lagu Italia pertama yang aku dengar. Alunan musiknya yang sendu langsung membutku jatuh cinta, padahal nggak tahu artinya apa-apa. Tapi menurut aku, mungkin lagu ini bercerita tentang seseorang yang tidak berani melangkah. Dia lebih memilih menjauh. Karena dia takut semua hal yang akan dia temui di depan nanti. Takut akan semua hal yang belum dia dengar."
Fathir melepaskan earphone itu dari telinganya dan memandangku. "Kamu tahu Kala? Terkadang apa yang kita takutkan itu belum tentu terjadi. Dan apa yang kita harapkan juga belum tentu terwujud. So, hidup itu harus dijalani. Seperti air sungai yang terus mengalir dari hulu menuju hilir, tanpa peduli berapa banyak sampah yang dia bawa dalam genangan air. Air itu nggak peduli ada sampah atau apapun yang menghambat jalannya. Karena tujuannya cuma satu, yaitu mencapai muara atau hilir."
"Kamu selalu pintar dalam hal memberi motivasi," Pujiku padanya. "Calon istrimu begitu beruntung punya kamu di sisinya."
Kali ini Fathir hanya tersenyum menanggapi ucapanku tadi. Lalu aku teringat satu hal yang mengusik pikiranku sejak bertemu dengan Alma di kafe waktu itu.
"Fathir, boleh aku tanya sesuatu?"
Dia mengangguk dan memasukkan kedua tangannya ke dalam jaket. Udaranya memang semakin dingin. Semoga hujan tidak turun sampai kami di penginapan nanti.
"Kamu udah berapa kali pacaran sih?"
"Nggak banyak. Hanya tiga kali pacaran. Selebihnya cuma aku anggap teman." Jawabnya santai.
"Kamu pacaran itu ngapain aja?"
Fathir menaikkan sebelah alisnya menatapku. "Menurut kamu ngapain?"
Aku pura-pura berpikir. "Hmm... mungkin pelukan? Ciuman? Atau yang lainnya."
Fathir tertawa sambil menunduk. Lalu dia kembali memandangku. "Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Soalnya sejauh ini kamu seperti pria baik-baik. Jadi aku penasaran, bagaimana gaya pacaran kamu."
"Yang namanya laki-laki itu nafsunya muda bangkit, karena normalnya manusia pasti memiliki kebutuhan biologis. Aku nggak munafik, dulu iya memang aku pegangan tangan, pelukan, dan ciuman waktu pacaran. Itupun cuma cium pipi. Dan aku nggak pernah sampai melebihi batas lainnya. Karena aku punya prinsip, nggak mau melakukan hal yang memanjakan hawa nafsu. Lagipula aku punya saudara perempuan. Jadi mana tega aku ngerusak anak gadis orang."
Aku semakin kagum dengan Fathir. Seandainya saja semua pria di dunia ini punya sifat seperti dia. Tidak akan ada yang namanya pelecehan wanita.
"Terus terakhir pacaran kapan?"
"Udah lama. Terakhir Alma yang jadi pacar aku waktu masih kuliah. Habis itu aku nggak pernah. Lalu sebulan wisuda, Ayahku meninggal. Dan Beliau minta aku untuk mengenal anak gadis dari sahabatnya."
"Oh dia yang akan jadi calon istri kamu? Namanya siapa?" Tanyaku berpura-pura tidak tahu. Meskipun aku sudah pernah bertemu dengan Nabila di toko bunga mamanya Dante.
"Namanya Nabila. Dia wanita yang baik. Hatinya cantik seperti rupa wajahnya. Tapi aku belum merasakan kenyamanan atau kecocokkan saat bersama dia. Jujur kalau secara keelokan fisik, ya aku tertarik padanya. Tapi untuk hal lainnya nggak ada."
"Mungkin kamu butuh waktu lebih lagi untuk mengenal dia."
"Sayangnya aku terlanjur cinta dengan seseorang," Ujarnya menatapku.
Aku takut untuk bertanya siapa orang itu. Jadi aku lebih memilih untuk diam. Selama kurang lebih 15 menit mengelilingi, akhirnya gondola pun berhenti. Saat perjalanan menuju parkiran mobil, Fathir mengajakku untuk foto bersama. Namun dia hanya mengambil gambar bayangan kami saat berdiri.
"Kenapa yang kelihatan cuma kaki sama bayangan kita?"
"Buat kenang-kenangan aja. Karena cuma di bayangan ini, kita berdua bisa kelihatan bersatu."
Aku mundur satu langkah ke belakang untuk menjauh sambil berpura-pura melihat ke atas langit. "Kayaknya mulai mendung deh. Kita langsung ke penginapan aja."
"Kala...."
"Ini mau hujan Fathir."
"Aku mau ngomong sesuatu."
"Nanti aja dilanjut. Aku kayaknya capek deh. Kita ke penginapan yuk?" Sengaja kupasang wajah memelas.
Aku menghela nafas lega ketika Fathir akhirnya setuju. Di dalam mobil pun aku sengaja berpura-pura tidur sampai di penginapan, untuk menghindari obrolan tadi. Aku punya firasat kalau Fathir menyukaiku. Tapi aku tidak menyangka kalau dia akan nekad menyatakan perasaannya itu. Apa dia tidak tahu itu akan membuat hubungan pertemanan kami jadi tidak nyaman lagi.
Di malam harinya aku terbangun saat mendengar ketukan di pintu kamar penginapan. Aku yakin itu Fathir. Dia pasti mau lanjut omongan tadi. Mungkin aku bisa menghindar malam ini, tapi tidak untuk besok. Jadi aku memutuskan menemuinya.
Begitu membuka pintu aku melihat Fathir berdiri memegang cupcake dengan lilin di atasnya.
"Happy Birthday Kala." Itu adalah kalimat pertama yang dia ucapkan.
"Aku ulang tahun?" Tanyaku yang masih kaget.
"Coba ingat ini tanggal berapa?"
"4 april.... Astaga!" Aku benar-benar lupa kalau ini adalah hari ulang tahunku. Sebelum meniup lilin, Fathir menyuruhku untuk berdoa. Harapanku sederhana, hanya ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya. "Jadi acara ke puncak ini dalam rangka ulang tahunku?" Tanyaku setelah meniup lilin.
"Iya."
"Harusnya kamu nggak perlu buat hal seperti ini," Kataku seraya memegang cupcake yang dia berikan. "Tapi aku akan tetap mengucapkan terimakasih padamu untuk semuanya."
"Kenapa aku melakukan semua itu jelas karena ada alasannya. Awalnya aku udah berusaha untuk tidak melibatkan perasaan dalam pertemanan kita. Tapi semakin ke sini mengenalmu, perasaan itu menjadi semakin kuat. Aku yakin kamu paham apa yang aku maksudkan."
"Fathir please... jangan merusak pertemanan kita." Aku tidak berani menatapnya.
"Kala, aku ingin hubungan ikatan di atas pertemanan. Hubungan ikatan yang tanpa batas. Ikatan hati. Ikatan cinta. Dan ikatan sayang."
"Fathir aku nggak mau dengar lagi kamu ngomong kayak gitu. Aku mau tidur. Selamat malam."
Dia menahan satu tanganku saat aku akan berbalik ke dalam kamar.
"Kenapa nggak bisa? Apa aku melakukan dosa jika berkata I love you?"
"Kamu tahu kan agama kita beda? Jadi aku mohon..."
Fathir langsung menyela. "Aku tahu kita beda agama. Pikiranku pun kacau memikirkan itu. Tapi aku cinta sama kamu. Aku harus apa Kala?" Wajahnya tampak frustasi melihatku.
"Lupakan," Kataku tegas. "Aku mau kamu melupakan perasaan itu, karena aku pun nggak punya perasaan lebih padamu. Hanya menganggapmu sebagai teman baikku. Anggap aku nggak pernah dengar pernyataanmu barusan. Jadi besok pagi kita bedua bersikap seperti biasanya. Sekali lagi terimakasih untuk kue ulang tahunnya. Selamat malam Fathir."
Setelah menutup pintu kamar, aku berjalan menuju ranjang. Aku duduk dan mengatur nafas. Tiba-tiba mataku sudah basah saat menatap kue yang diberikan Fathir tadi. Dan sejurus kemudian aku menangis sejadi-jadinya.
7-April-2018
By the way hari ini gue sedih. Gue nggak bisa foto sama artis idola gue Rory Asyari, padahal dia lagi di medan. Masa gue dm di ig tanya kpn dia pulang, biar gue datang ke bandara untuk foto. Eh diaa cuma balas ♥ doang :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top