ES [2]
Prankk!
Kedua tangan Kasih langsung memeluk pinggangku begitu mendengar suara pecahan gelas yang sengaja dibanting ke lantai. Tubuhnya terasa bergemetar dalam pelukanku. Dia begitu ketakutan melihat sosok pria mabuk itu, yang tidak lain adalah Ayah Kasih yang sekarang sudah menjadi mantan suamiku. Kami berdua sudah bercerai sekitar enam tahun lalu, karena dia berselingkuh dengan wanita lain. Bahkan dia juga sering memukulku dengan tangan atau benda apapun yang ada di sekitarnya hingga tubuhku memiliki lebam-lebam saat mabuk seperti saat ini.
"Mama, Kasih takut sekali. Kenapa Papa seperti orang jahat?" Dia menangis dan menyembunyikan wajahnya dalam pelukanku.
Aku tidak tahu harus memberi jawaban apa. Aku tidak ingin menjelekkan nama Dion. Karena bagaimana pun dia adalah Ayah kandung dari putriku. Meskipun perilakunya tidak menunjukkan jiwa seorang Ayah.
Kuabaikan rasa nyeri di wajahku yang terkena tamparannya tadi. Hiasan di wajahku pun luntur karena air mataku yang terus berjatyhan. Seharusnya malam ini aku sudah harus pergi mencari pelanggan demi mengumpulkan rupiah untuk biaya operasi jantung putriku.
"Berikan aku uang!" Bentak Dion dengan napas tersenggal-senggal.
"Kenapa kau selalu meminta uang dariku?! Kita sudah tak punya hubungan apa-apa lagi Dion! Kita sudah berpisah! Ingat itu, kita sudah berpisah!" Balasku setengah berteriak.
Wajahnya memerah. Terlihat jelas dia emosi mendengar perkataanku barusan. Dan seketika aku terpekik kaget dan segera melindungi putriku saat Dion menendang kuat tong sampah di dekat pintu ke arah kami berdua. Bahkan remot tv pun dia layangkan ke punggungku yang memeluk Kasih agar tidak terkena benda yang dilemparkan olehnya.
Tak cukup sampai di situ, Dion berjalan ke arah taplak meja kemudian menariknya sehingga piring, gelas serta benda yang ada di atasnya hancur berantakan di lantai.
"Cukup Dion! Tolong pergi dari kontrakanku. Jika tidak, aku akan melaporkanmu ke polisi!" Ancamku yang berharap membuatnya takut.
Dion tidak memperdulikan ancaman itu. Dia malah masuk ke dalam kamar mandi, lalu menarik keluar selang air dan menyemprotkan air itu ke semua ruangan. Dalam sekejap rumah hancur berantakan dan basah, penuh genangan air, akibat gejolak amarah Dion. Aku tidak mengerti, kenapa dia suka merusak barang ketika sedang mabuk dan marah.
"Aku baru sadar, ternyata putri kita memiliki wajah yang cantik sepertimu Kala." Dion tersenyum penuh arti saat menatap Kasih.
"Jangan sakiti dia, Dion. Kasih itu putrimu! Darah dagingmu sendiri."
"Justru karena dia putriku, maka dia harus bekerja dan menghasilkan uang yang banyak."
"Kamu gila?! Dia masih kecil!" Teriakku.
"Aku akan menjualnya ke orang kaya. Pasti ada yang mau mengangkatnya menjadi anak karena dia memiliki paras yang cantik. Ayo berikan Kasih padaku!" Dion menarik satu tangan putriku.
"Mama!" Kasih menangis sambil menarik bajuku dengan satu tangannya lagi.
"Dion, lepaskan putriku! Kamu tidak berhak mengambilnya dariku! Aku yang melahirkannya. Aku juga yang membesarkannya dengan kedua tanganku sendiri!" Sekuat tenaga aku menarik tubuh Kasih dari Dion.
"Mama!" Teriak Kasih saat melihat Dion mendorongku kuat hingga terbentur dinding. Aku meringis kesakitan. "Papa jangan sakiti Mama. Kasih mohon...." Dia menangis dalam gendongan Dion. "Kasih mau tinggal sama Mama."
Dengan berpegangan kursi, aku berusaha untuk berdiri. "Aku akan memberikanmu uang Dion. Tapi tolong, lepaskan Kasih. Demi Tuhan, dia sedang sakit Dion! Kalau tidak percaya, lihatlah kuku jari tangannya yang membiru. Apa menurutmu akan ada keluarga yang mau mengangkatnya jika sudah seperti itu?"
Dion memeriksa kuku jari tangan dari Kasih. Setelah itu dia menatapku yang sudah menangis di tempatku berdiri. Aku lega begitu Dion melepaskan Kasih dari gendongannya. Kasih berlari sambil menangis ke arahku. Langsung kupeluk dan kucium kening, mata serta pipinya. "Tenang sayang... Mama di sini. Semua pasti baik-baik saja."
"Mana janjimu? Berikan aku uang sekarang juga!" Seru Dion.
Meskipun dengan tertatih aku tetap menggendong Kasih dan berjalan ke dalam kamar untuk mengambil duit yang kusisihkan dalam dompet.
"Hanya segitu uang aku punya saat ini." Keberi beberapa lembar uang lima puluh dan seratus ribu ke tangannya.
"Sedikit sekali? Apa tubuhmu sudah tidak diminati pelanggan hidung belang? Kamu pasti menyimpan uang di dalam kamar itu kan?" Dion memaksa masuk ke dalam dan membongkar tempat tidur dan lemari bajuku.
Beruntung aku sudah menyimpan sebagian uang itu ke bank tadi pagi. Jika tidak, dia pasti sudah mengambil semuanya.
"Tidak ada lagi Dion. Hanya itu uang yang aku pegang. Semuanya habis untuk membeli obat Kasih."
Dion berhenti dan menatapku. "Lain kali kamu melacur dengan pria yang berdompet tebal! Jangan asal terima pelanggan saja. Tubuhmu terlalu indah dan enak untuk dinikmatin pria miskin."
"Kamu sudah mendapatkan uangnya. Bisakah kamu pergi sekarang juga?"
"Ok. Ok. Aku pergi. Tapi ingat ya Kala, sekali saja kamu melaporkanku pada polisi, aku tidak akan segan-segan mengambil Kasih darimu! Jangan harap kamu bisa bertemu dengannya. Paham kamu?" Ujarnya sambil menyimpan duit itu ke dalam kantong celananya. Lalu setelah itu dia pergi.
"Mama...." Ucap Kasih pelan.
"Kenapa sayang?" Kusentuh wajahnya yang terlihat pucat. Kaki dan tangannya pun terasa dingin.
"Dada Kasih sakit lagi," Keluhnya dengan satu tangan memegangi dada.
Kurebahkan tubuhnya yang sudah berkeringat di atas ranjang. Segera aku mengambil obatnya dari dalam laci. Aku terlalu kalut saat mendengar napasnya yang tersenggal-senggal. Dia pasti kelelahan karena menangis sedari tadi. Dan saat aku berbalik dengan memegang kapsul obatnya, kudapati Kasih sudah tak sadarkan diri lagi.
*****
Aku turun dari dalam taksi dan berlari ke dalam rumah sakit meminta bantuan para perawat membawa brankar untuk Kasih. Tanpa sengaja aku menabrak tubuh seseorang saat membuka pintu IGD. Aku hanya meminta maaf tanpa melihat wajahnya.
Setelah mendapatkan bantuan, putriku akhirnya dirawat karena penyakitnya kambuh. Tubuhnya terlihat bengkak dan membiru.
Dokter memberikan selang oksigen pada Kasih karena ia kesulitan untuk bernapas.
"Kalau kamu mau putrimu sembuh, maka dia harus cepat-cepat dioperasi. Karena bocornya cukup besar, sekitar 8 mm. Lubang di jantungnya harus segera ditutup," Ujar dokter Ardi yang selama ini mengobati putriku.
Aku menunduk meneteskan air mata. Kugenggam tangan Kasih yang begitu dingin dan menciumnya.
Sejak lahir, Kasih sudah terdiagnosa terkena penyakit jantung bawaan (jantung bocor). Menurut dokter, ada kebocoran pada waktu pembentukan jantung saat masih janin. Sehingga sekat jantungnya tidak tertutup dengan sempurna. Karena sekatnya bocor maka terjadilah percampuran antara darah kotor dan darah besih. Sehingga itulah yang membuat jantung Kasih tidak berfungsi secara normal. Jadi, ketika Kasih kelelahan maka napasnya otomatis langsung sesak. Dan kelainan ini hanya bisa diatasi dengan operasi.
"Kamu tahu kan penyakit yang diderita Kasih? Kalau terlalu lama dioperasi takutnya darah kotor dan darah bersih tergabung dalam tubuh Kasih. Darah yang membawa sari-sari makanan, yang seharusnya diedarkan ke seluruh tubuh untuk pertumbuhan tubuh, malah masuk ke paru-paru dan bercampur dengan darah kotor. Akibatnya pertumbuhan tubuh jadi lambat. Berat badannya akan susah naik. Paru-paru Kasiu juga harus bekerja ekstra karena terlalu banyak darah yang masuk ke paru-paru, dan daya tahan tubuh Kasih melemah sehingga mudah terserang penyakit."
Aku mengangguk pelan. "Iya Dokter, saya tahu."
"Baiklah. Saya permisi dulu."
Kutatap wajah Kasih yang sedang tertidur. Apapun akan aku lakukan untuk dia. Bukan aku tak ingin dia segera dioperasi. Hanya saja aku terkendala di dana. Uangku belum cukup untuk membiayainya. Aku tidak tahu lagi harus dengan cara seperti apa untuk mendapatkan uang yang banyak. Aku benar-benar putus asa.
Aku tak ingin mengganggu tidur Kasih karena suara isakan tangisku, jadi aku memilih duduk di luar ruangan. Ternyata bajuku lembab karena terkena siraman air yang dilakukan oleh Dion di kontrakan tadi. Pantas saja aku merasa kedinginan. Semoga saja besok aku tidak meriang. Aku harus kembali bekerja dan mencari uang yang banyak.
"Bukan aku ingin mengganggu, tapi sepertinya sendal ini milikmu yang tertinggal di IGD tadi."
Aku mengenal suara itu. Tapi tidak mungkin pria itu ada di sini. Perlahan aku menoleh ke arah samping.
Dia berdiri memegang sendal di tangannya dan tersenyum. Senyum itu. Hanya dia yang memiliki senyum hangat saat memandangku.
Pria itu menghampiriku dan menunduk untuk meletakkan sendal itu ke bawah kakiku. Setelah itu dia mendongak dan menatapku. "Tadi kamu berlari ke dalam IGD dan tidak sengaja menabrakku. Aku yakin kamu sedang panik sehingga tidak menyadari sendalmu sudah terlepas dari kakimu sendiri."
Ada begitu banyak pertanyaan dalam benakku. Salah satunya yaitu, kenapa aku harus bertemu dengan pria ini lagi?
25-Januari-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top