ES [15]

Tanganku mengusap perlahan batu nisan yang bertuliskan Kasih Janiella. Aku menangis dan memeluk makam putriku dengan meletakkan pipi kanan di gundukan tanah merah itu.

"Kenapa kamu harus pergi tinggalin Mama? Malam sebelumnya Mama masih bisa menyalakan lampu kamar untuk Kasih. Tapi malam nanti, kamu terbaring sendirian di dalam kuburan yang gelap ini. Mama khawatir, Kasih ketakutan karena nggak ada yang bisa menerangi tempatmu. Mama juga takut Kasih kedinginan dan nggak ada yang menyelimuti di bawah sana."

Tangisanku berhenti begitu menyadari sosok Dion tengah berdiri di antara kerumuman orang. Kedua mataku menatap nyalang pada lelaki brengsek itu. Aku bangkit berdiri dan menghampirinya.

"Udah puas kamu lihat Kasih terkubur di dalam tanah? Itu kan yang kamu mau Dion?!" Teriakku di hadapannya. Dia hanya diam mematung dan menatap kuburan Kasih.

"Selamat Dion! Kamu berhasil membunuh putrimu dengan cara halus. Polisi nggak akan tahu semua perlakuan burukmu selama ini pada kami berdua. Hey! Kenapa kamu lemas dan diam begitu?" Tanyaku tertawa namun raut wajahku tampak sedih. Lalu aku mengangguk paham. "Oh pasti sekarang kamu bingung karena udah nggak punya cara lagi untuk minta uang dari aku kan? JAWAB AKU DION! JANGAN HANYA DIAM SAJA!" Aku memukulnya dengan sekuat tenaga.

"Sabar Kala." Fathir menarik tubuhku menjauh.

"Lepas Fathir!" Aku berusaha berontak, tapi gagal karena Fathir lebih kuat. "Dion yang jadi penyebab semua ini. Aku benci sama dia! Harusnya dia yang mati dan dikubur dalam tanah ini, bukan Kasih!"

"Kenapa kamu seperti orang tak terkendali Kala? Ingat ini adalah hari pemakaman putri kalian berdua. Biar bagaimana pun, Dion itu Ayah kandung Kasih. Jadi dia berhak untuk datang dan melihatnya."

"Aku nggak mau lihat wajahnya. Tolong suruh dia pergi dari sini," Ujarku menangis.

Dion tertunduk saat mendengar permintaanku barusan. Sebelum pergi, dia menaburkan bunga di atas makam Kasih tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ada satu hal yang membuatku ikut terdiam, Dion meneteskan air mata. Namun dengan cepat dihapusnya sebelum dilihat banyak orang.

*****


Selesai acara pemakaman, Fathir mengantarku pulang. Dengan langkah gontai aku masuk ke dalam rumah kontrakan.

"Kamu nggak pulang?" Tanyaku pada Fathir yang ikut masuk ke rumah. Seharian ini dia ada di sampingku terus. Aku jadi merasa tidak enak hati, karena terlalu merepotkannya.

"Aku mau di sini, temani kamu."

Aku mencoba tersenyum untuk meyakinkan Fathir. "Nggak usah. Serius deh, aku nggak apa-apa. Kamu pulang aja."

"Mungkin kamu memang terlihat baik-baik aja. Tapi itu karena kamu pintar menyembunyikan rasa sedihmu dari orang lain. Sekarang hanya ada aku di sini, jadi menangislah. Jangan berpura-pura kuat, itu hanya akan membuatmu sakit. Luapkan aja perasaan sedih dan semua sesak yang kamu rasakan."

"Jujur Fathir, aku belum ikhlas menerima kenyataan kalau Kasih udah pergi untuk selamanya. Dan aku capek kalau harus menangis lagi. Karena sebanyak apapun air mata yang aku keluarkan, tetap aja Tuhan nggak akan ngembalikan putriku lagi. Jadi malam ini aku mau tidur sambil memeluk boneka kesayangannya yang kamu beli untuk dia waktu itu. Aku ingin merasakan kehadiran Kasih dalam mimpiku."

"Yaudah kamu sekarang cuci tangan dan kaki dulu sebelum tidur. Jangan lupa berdoa. Dan kalau ada apa-apa, kamu panggil aku aja. Seperti biasa, aku tidur di sofa."

Aku mengangguk dan masuk ke dalam kamar. Begitu pintu tertutup, aku menangis sendiri di dalam kegelapan. Aku sengaja tidak menghidupkan lampu kamar, karena bagiku sekarang semuanya itu tampak gelap. Satu-satunya cahaya penerang dalam hidupku telah diambil Tuhan. Aku hancur sekali. Entah seperti apa hariku esok, yang jelas aku sudah tak semangat untuk melanjutkan hidup.

Anehnya aku bisa tidur nyenyak di saat suasana hatiku sedang kacau seperti ini. Dan aku terbangun begitu mendengar suara Fathir dari luar. Kulihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul 5 pagi. Perlahan aku bangkit bangun dan mengintipnya dari pintu kamar. Tampak Fathir duduk dengan memegang Al qur'an kecil di tangannya.

Apa yang Fathir lakukan? Apa dia sedang mengaji? Subuh begini?

Meskipun aku tidak tahu apa arti dari yang dibacakan Fathir, tapi aku tetap berdiri di depan pintu untuk mendengar suaranya yang halus sekali di telingaku.

"Shodaqollahuladzim," Ucap Fathir sambil mencium Al qur'an itu. Sepertinya dia sudah selesai. Aku bahkan tidak sadar sudah berapa menit berdiri di sini.

Segera kututup lagi pintu kamar. Dan aku terduduk di pinggir ranjang karena tidak tahu harus melakukan apa. Mendengar suara ketukan pintu di kamar, membuatku refleks untuk berpura-pura tidur lagi.

"Kala... kamu belum bangun?" Tanya Fathir dari luar. Mungkin karena tak mendapat jawaban dariku, Fathir berinisiatif untuk membuka pintu. Terdengar suara lampu yang dihidupkan, lalu dia menyelimutiku sebatas bahu dengan selimut.

Fathir kembali memanggilku dengan suara lembutnya. Tak lupa menggoyang bahuku pelan. Sehingga mau tidak mau, akhirnya aku pun membuka mata. "Kala, aku balik dulu ya? Pagi ini aku harus masuk kerja, tapi nanti sore aku datang lagi ke sini. Kamu jangan lupa sarapan ya?"

Aku mengangguk saja. Sementara Fathir tersenyum dan mengusap rambutku. Setelah itu dia pergi dan aku kembali sendiri. Bahkan aku tidak keluar kamar sampai siang hari. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Sampai akhirnya aku bosan dan memilih untuk keluar rumah.

Aku pergi ke tempat kuburan Kasih. Di sana aku hanya duduk termenung seraya melihat burung-burung yang berkicau di sekitar pohon. "Bagaimana Tuhan bisa merawat burung-burung kecil itu sementara putriku tidak?" Tanyaku yang merasa dikecewakan oleh Tuhan.

"Aku yang bersalah, aku yang berdosa. Kenapa tidak mencabut nyawaku saja? Kenapa Tuhan mengujiku dengan sebegini hebat? Apakah Tuhan begitu membenciku, sampai-sampai hal kecil yang kupinta pun tidak Engkau kabulkan?" Lanjutku lagi dengan memandang langit yang tampak mendung.

"Kutuklah aku karena aku patut menerimanya. Masa laluku memang buruk. Tapi aku melakukan itu dengan terpaksa. Aku harus keluar setiap malam, berdandan dan tersenyum di balik semua dukaku. Setiap malam aku hanya menunggu laki-laki yang tidak mampu mengendalikan nafsu birahi mereka. Mungkin mereka menikmatiku. Tapi jujur, aku tidak menikmati itu semua. Hanya demi lembaran rupiah aku harus memuaskan mereka agar aku dapat melihat putriku tetap bertahan hidup. Aku selalu jijik melihat diriku selesai melakukannya. Tapi meskipun begitu, aku selalu percaya dan menyembahmu. Tidak pernah sedikitpun aku melupakanmu. Aku selalu menunggu keadilan Tuhan datang dalam hidupku. Namun sepertinya harapanku sia-sia, karena keadilan itu tidak berlaku bagi orang-orang hina sepertiku. Di rumah sakit Tuhan membuktikannya. Kau berpaling di saat aku meminta padaMu untuk menyelamatkan putriku!" Dalam keadaan menangis aku berteriak lantang dan menunjuk jari telunjuk ke atas langit.

Aku marah dan sangat kecewa pada Tuhan. Dia tidak pernah adil untuk jalan hidupku. Aku menjadi ragu padanya, aku rasa Tuhan itu tidak pernah ada untuk manusia yang mengalami kesusahan.

Selepas menumpahkan amarah pada Tuhan di depan makam Kasih, aku pun pergi untuk menenangkan hati dan pikiranku saat ini. Hari mulai gelap, tapi aku belum ingin pulang ke rumah. Jadi aku singgah di sebuah warung pecel lele di pinggir jalan untuk mengisi perutku yang kosong sedari tadi pagi.

Seorang pria yang masih muda muncul ke dalam sambil membawa gitarnya. Dia meminta izin pada orang-orang yang di sini untuk bernyanyi dan menghibur kami. Pria itu mulai memetik gitar dan menyanyikan lagu 'Lirih' milik Ari Lasso.

Kesunyian ini lirihku bernyanyi
Lagu indah untukmu
Aku bernyanyi

Engkaulah cintaku
Cinta dalam hidupku
Bersama rembulan aku menangis

Mengenangmu
Sgala tentangmu ooh...
Kumemanggilmu dalam hati lirih

Engkaulah hidupku
Hidup dan matiku
Tanpa dirimu

Aku menangis mengenangmu
Sgala tentangmu ooh...
Kumemanggilmu dalam hatiku...

Aku bernyanyi
Mengenangmu
Sgala tentangmu ooh..

Kumemanggilmu dalam hati lirih
Kumemanggilmu dalam hati lirih
Kukenang dirimu...

Dan aku tak kuasa menahan air mataku yang jatuh menetes sepanjang lagu tersebut. Lirik lagunya sangat mewakili hatiku yang lirih karena mengenang kenangan indah bersama Kasih.

*****

Setibanya di depan rumah, aku tertegun melihat sosok Fathir tengah duduk di teras dengan masih memakai pakaian kerja miliknya. Apa sepulang kerja, dia langsung datang ke sini?

Fathir berdiri dari kursi dan langsung menghampiriku. "Kala kamu dari mana? Tiga jam aku nunggu kamu di sini. Dan puluhan kali aku coba hubungi ponselmu tapi nggak ada jawaban. Aku sangat khawatir terjadi sesuatu. Jadi pintu rumahnya aku dobrak, karena aku pikir kamu...." Dia berhenti bicara saat menyadari tengah mencengkram kuat kedua bahuku. Kemudian dia melepaskannya. "Ah sudahlah... yang penting kamu baik-baik aja."

Aku menatap Fathir tanpa berkedip. Lalu aku melirik ke arah pintu yang posisinya sudah terbuka lebar. 

"Aku minta maaf karena terlalu khawatir berlebihan. Tapi aku janji akan mengganti pintunya besok."

Aku masih diam dan hanya memberi anggukkan kepala padanya.

"Yaudah kita masuk dulu ke dalam, aku udah bawa makan malam untuk kita." Ajak Fathir menarikku ke dalam rumah.

"Hmm... aku udah makan tadi di luar."

"Oh." Dia bergumam. "Kalau gitu kamu temani aku makan ya? Gara-gara nungguin kamu nih, aku belum makan dan ganti baju."

Aku pergi ke dapur untuk mengambil piring dan minum untuknya. Setelah itu aku duduk menemaninya makan. Aku tersenyum melihat Fathir begitu lahap makan. Sepertinya dia sangat lapar karena lama menungguku.

"Tadi sebenarnya kamu habis dari mana?" Tanyanya begitu selesai makan.

"Aku bosan di rumah jadi pergi ke kuburan Kasih terus jalan ke mana aja cari hiburan."

"Kenapa telepon dari aku nggak dijawab?"

"Hp aku tinggal di kamar. Aku keluar cuma bawa dompet."

Fathir mengangguk. "Minggu besok kamu gereja kan? Biar aku yang antar ya."

"Aku nggak mau gereja lagi."

"Kenapa?"

Sejenak aku terdiam. Lalu aku kembali memandangnya. "Aku lagi marah sama Tuhan. Kenapa Dia ngasih cobaan yang berat gini ke aku? Padahal aku rajin ibadah setiap minggu. Meskipun aku pelacur dan hidupku selalu dipenuhi masalah tapi seenggaknya aku selalu berusaha berbuat baik. Tapi sekarang aku merasa percuma aja semua yang aku lakukan itu. Tuhan nggak akan pernah mengabulkan doa yang aku minta."

"Sabar Kala... Doa itu bukan ATM tunai yang saat kamu masukin kartu, langsung keluar duit berapa pun yang kamu pencet." Fathir menghela nafas sejenak. "Sekarang anggap aja cobaan yang kamu alami itu adalah untuk instrospeksi diri. Tuhan cuma ingin kamu mengingat-ingat apa yang udah kamu lakukan di masa lalu."

Air mataku jatuh menetes. "Dari semua cobaan yang ada untuk menegurku. Kenapa harus dengan cara mengambil orang yang penting dalam hidupku?"

"Aku paham apa yang kamu rasakan. Karena aku pun pernah merasa kehilangan sosok Ayah yang sangat aku hormati. Ada satu hal yang perlu kamu ingat Kala, bahwa semua yang kamu miliki di dunia ini adalah milik Allah, termasuk putrimu. Allah hanya menitipkan Kasih sebentar pada kamu. Jadi apa hak kamu untuk marah kepada-Nya sedangkan yang diambil darimu itu adalah milik-Nya?"

Kepalaku tertunduk ke bawah dan menangis. Aku tahu apa yang dikatakan Fathir benar, tapi tetap saja aku merasa kalau Tuhan itu tidak adil padaku dan juga Kasih.

"Aku pernah dengar satu ceramah. Kalau nggak salah cerita Rasul dengan seorang pemuda. Jadi begini, ada satu pria yang sendirian duduk di Mesjid selama 44 hari lamanya. Rasul lihat dia nangis sebelum dan sesusah sholat. Bahkan selalu pulang paling lambat dari jemaah lain. Lalu Rasul bertanya kenapa dia selalu terlihat sedih dan murung. Terus dijawab sama pria muda tadi, katanya dia baru ditinggal sang Ayah yang otomatis ngasih dia gelar yatim piatu. Dia benar-benar nggak ada saudara sama sekali. Rasul penasaran dan bertanya lagi apa sebab kematian Ayahnya. Ternyata orangtua pria itu terkena sakit kusta. Hampir diusir sama penduduk karena takut ikut terjangkit. Jadi nggak ada satupun tabib yang mau obati, hingga akhirnya meninggal dunia karena nggak ada pengobatan."

Aku diam mendengarkan cerita dari Fathir.

"Di situ Rasul senyum dan bilang, kadang memang kita terlalu merayakan kehilangan secara berlebihan. Dan orang yang kehilangan itu cenderung nyalahin keadaan. Padahal dalam kasus pria tadi, kematian itu adalah hadiah untuk orangtuanya. Karena udah berhenti dari semua penyiksaan.
Sebab kalau orangtuanya hidup pun, Rasul yakin bahwa si pria tadi nggak akan pernah bahagia melihat orangtuanya diperlakukan seperti itu. Nah maksud dari cerita tadi adalah jangan terlalu fokus dengan rasa kehilangan kita. Coba lihat, alasan apa di balik takdir Tuhan berikan itu. Kasih udah bahagia di sisi Tuhan, dia nggak akan merasakan sakitnya lagi. Jadi ikhlaskan kepergiannya Kala. Aku yakin, sekarang Kasih udah jadi salah satu malaikat kecil yang cantik di surga. Dia akan jaga kamu dari atas."

Kuhapus air mataku dan menatap Fathir. "Ya... kamu benar, mungkin ini yang terbaik untuk Kasih. Jadi aku akan berusaha mengikhlaskan dia. Meskipun aku masih nggak ngerti, kenapa Tuhan selalu memisahkan aku dari orang-orang yang aku cintai. Pertama orang tuaku meninggal. Kedua mantan suamiku lebih memilih pergi dengan wanita lain di saat aku masih mengandung. Dan terakhir Kasih, dia juga pergi selamanya meninggalkanku. Sekarang aku hanya sendiri di dunia ini. Dulu Kasih adalah alasan aku untuk bertahan hidup. Tapi dia udah nggak ada, entah apa tujuan hidupku lagi."

"Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuannya. Tuhan tahu kekuatanmu Kala, dan Dia ingin membuatmu lebih kuat dari ini. Kelak setelah badai hidup ini berhasil kamu lalui, kamu akan tersenyum di akhir cerita nanti. Sebab apapun yang kamu alami tidak ada yang sia-sia."

"Aku nggak sekuat itu Fathir."

Dia menggenggam satu tanganku. "Aku udah janji pada Kasih untuk nemani kamu. Jadi aku nggak akan biarkan kamu hidup sendiri. Kalau kamu lelah berdiri, ingatlah ada sepasang kakiku yang berdiri sama kamu. Dan ada sepasang tanganku yang pegang erat kamu biar nggak jatuh."

"Selamanya?" Tanyaku ragu.

Fathir mengangguk. "Asal kamu nggak melangkah menjauh dari aku, aku janji selamanya berada di sampingmu."

3-Maret-2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top