ES [14]

Baca part ini sambil dengarkan mulmed di atas ya.

Cekidot!

....

....

....

Awalnya Dante menolak untuk mengantarku tapi setelah aku menjelaskan bahwa putriku sedang berada di rumah sakit, akhirnya dia pun mau. Meski raut wajahnya tak percaya padaku.

"Awas kalau kamu berbohong. Akan langsung saya pecat," Ancamnya seraya mengambil kunci mobil.

Aku mengangguk lemah. Dan selama perjalanan menuju rumah sakit, aku memejamkan mata serta merafalkan doa di dalam hati untuk keselamatan Kasih.

Begitu mobil Danter terparkir di IGD rumah sakit Harapan Kita, aku segera masuk dan mencari keberadaan putriku. Di dalam aku bertemu dengan wali kelasnya Kasih. Dia sedang berdiri menjaga putriku yang duduk terkulai lemas di atas tempat tidur. Berapa peralatan medis menancap di tubuh mungilnya. Jarum infus di tangan kiri, sedangkan rongga hidung dan mulutnya dipasangi selang oksigen.

Kugenggenggam lembut tangan kanannya. "Kasih," Ucapku sedih. Hampir sebagian tubuh putriku tampak bengkak dengan bibir yang membiru.

"Maafkan saya ibu Kala. Ini terjadi karena kesalahan saya yang kecolongan tidak mengawasinya. Jamie yang beritahukan ke saya, bahwa Kasih diam-diam berlari mengitari halaman belakang sekolah saat jam istirahat sedang berlangsung. Begitu saya datang, Kasih sudah kelelahan dan sesak nafas hingga akhirnya pingsan," Kata Guru Kasih menjelaskan.

"Kasih baik-baik aja kan Tante?"

Aku menatap Jamie yang menjadi teman sebangku Kasih di kelas.

"Doain Kasih bisa sehat lagi ya," Ucapku sambil mengelus kepalanya.

"Jamie nggak mau lihat Kasih sakit. Jamie janji nggak akan jahilin dia di sekolah lagi."

"Jamie?" Tanya Dante terkejut.

"Om Dante?"

"Kamu ngapain di sini?"

"Teman sebangku Jamie sakit Om. Tadi dia pingsan di sekolah."

Dante menatap Kasih yang terbaring lemah, setelah itu dia memandangku. "Dia putrimu?" Tanyanya memastikan.

Aku mengangguk. "Iya. Dia putri saya."

Dante terdiam sesaat. Mungkin merasa malu atau bersalah karena menuduhku berbohong mengenai sakit yang diderita putriku. Tiba-tiba seorang Dokter datang menghampiri kami untuk bertanya siapa orang tua dari Kasih dan aku langsung menjawabnya. Dia menjelaskan bahwa kondisi Kasih sangat menurun sehingga harus dirawat intensif di sini.

"Ada berapa tempat tidur pasien di dalam ruangan ICU?" Dante menyela pembicaraanku dengan Dokter.

"Untuk non VIP berjumlah empat tempat tidur. Rumah sakit juga menyediakan satu tempat tidur ICU VIP bagi pasien yang memerlukan privasi. "

"Kalau begitu masukkan pasien anak kecil itu ke ICU VIP saja."

Aku menatap Dante dengan tatapan bertanya.

"Aku capek harus bicara formal. Dengar ya, aku tetap tidak menyukai dirimu. Aku hanya merasa bersalah pada anakmu. Dan aku paling tidak bisa seperti itu, jadi biar aku aja yang menanggung biayanya. Lebih baik sekarang isi informasi data putrimu agar dia segera dimasukkan ke ICU, aku mau mengabari Fathir dulu." Dante pergi keluar sambil bergerutu kesal. "Ah sial, kenapa aku harus terjebak dalam masalah ini?"

*****

Akhirnya Kasih tertidur di atas ranjang dengan posisi duduk, karena dia merasa sesak nafas jika harus berbaring. Sedari tadi siang dia batuk meskipun sudah diberi obat oleh dokter.

Aku duduk disamping ranjang sambil mengelus kepalanya. Ada banyak alat yang melekat ditubuh Kasih. Aku menatap bedside monitor di sebelahnya yang berfungsi untuk memonitor vital sign pasien. Seperti detak jantung, nadi, tekanan darah, dan temperatur suhu tubuh.

Ya Tuhan, aku tidak sanggup untuk melihatnya. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung rasa sakit yang ia derita.

"Kasih akan baik-baik saja. Dia putrimu, darahmu mengalir deras ditubuhnya. Kasih pasti kuat sepertimu. Kamu juga harus berdoa supaya dia bisa bertahan." Fathir berusaha menghiburku yang terus menangis karena aku tahu sebenarnya Kasih sedang tidak dalam keadaan baik, sehingga harus masuk ICU.

"Setiap saat aku selalu berdoa untuk kesembuhan dia." Suaraku  terdengar parau karena habis menangis.

"Ma-ma...." Kasih terbangun dan memanggilku dengan susah payah.

"Ya sayang? Kenapa? Kamu mau minum? Atau lapar?" Tanyaku yang tetap mengelus rambutnya.

Kasih hanya diam dan kedua matanya memerah seperti menahan tangisnya. Dia tampak sedih menatapku. Seolah ingin menyampaikan sesuatu.

"Kasih sa-sayang Mama."

Aku mengangguk menahan isakan tangisku. "Mama juga sayang Kasih. Yang kuat ya. Mama akan terus di sini temani Kasih sampai sembuh."

"Om Fathir, tolong jangan biarkan ma-ma Kasih sendiri ya. Temani Mama di sini. Kasih mau tidur dulu."

"Iya Om akan temani mama Kasih. Tapi Kasih juga harus kuat dong, biar kita pergi bareng makan coklat lagi."

Kasih tersenyum kecil. Lalu dia kembali menutup mata untuk tidur.

"Malam ini aku nginap di sini. Kamu tidur duluan aja, matamu kelihatan sayu gitu. Nanti tiap tiga jam sekali, kita jaga bergantian," Saran Fathir padaku.

Aku tidak menolak, karena sejujurnya kedua mataku sangat lelah dan ingin terpejam sedari tadi. Kehadiran Fathir sangat membantuku. Dia yang bolak-balik dari rumah ke sini untuk mengambil perlengkapan baju gantiku dan Kasih. Tadi sore Fathir sempat bertanya kenapa aku membiarkan Dante yang menanggung biaya ICU VIP ini. Kenapa tidak meminta padanya saja. Lalu aku menjawab kalau itu memang kemauan Dante dan aku tidak ada memintanya.

"Yaudah nanti bangunkan aku kalau udah waktunya gantian jaga," Kataku sambil mengambil posisi di sebelah tempat tidur Kasih.

Entah sudah berapa jam aku tertidur, sampai aku mendengar suara Fathir yang membangunkanku.

"Kala, aku keluar sebentar mau sholat subuh. Kamu jaga Kasih dulu ya?"

"Hmm...." Aku hanya bergumam mendengar bisikan dari Fathir.

Demi Tuhan kedua mataku sulit untuk dibuka. Aku tidak pernah semengantuk ini saat kondisi putriku sedang sakit. Tidak pernah, ini adalah yang pertama kalinya. Aku berusaha membuka mata untuk melawan rasa ngantuk, tapi tak bisa. Hingga akhirnya aku pun tertidur lagi sampai aku mendengar suara cegukan Kasih. Dan tiba-tiba muntah mengeluarkan isi makanan yang dia makan tadi malam. Spontan aku terbangun memegang tubuhnya kaku. Tangan dan kakinya pun terasa dingin.

Aku yang panik langsung menekan tombol di samping bed Kasih untuk memanggil dokter dan suster. Kulihat ke layar monitor. Tekanan darahnya menurun, grafik aktivitas jantungnya juga tidak beraturan.

Saat perawat dan dokter datang, Kasih sudah tidak sadarkan diri. Mereka langsung melakukan tindakan resusitasi sambil menatap ke monitor. Tanganku berkeringat dingin, aku tidak tahu apa yang terjadi pada Kasih saat ini.

"Siapkan defibrilator!" Perintah sang Dokter.

Aku menangis dan meminta tolong pada Tuhan jangan mengambil Kasih. Cabut nyawaku saja, aku rela menukar umurku untuknya.

"Apa yang terjadi?" Tanya Fathir menghampiriku. Raut wajahnya ikut pucat melihat kondisi Kasih.

Aku bergeleng sesenggukan. "Nggak tahu. Waktu aku bangun tiba-tiba Kasih cegukan dan muntah."

Perawat segera membawa alat defibrilator itu kearah sang  dokter. Lalu meminta kami untuk keluar dari ruangan, tapi aku bersikeras tidak mau. Aku mau di sini menemani putriku. Aku sudah berjanji tidak akan membiarkannya sendiri.


"Tolong selamatkan Kasih. Selamatkan dia," Pinta Fathir ke dokter dengan mata berkaca-kaca.

Dokter mengangguk. Sang perawat mengeringkan bagian dada Kasih dari kelembapan, kemudian mengoleskan gel pada alat kejut jantung yang mirip seperti setrikaan kecil.

"100 joule, all clear??" Terdengar suara Dokter memberi aba-aba.

"Clear!!" Jawab para perawat serentak.

Aku menahan nafas melihat alat kejut jantung itu berada di tubuh Kasih.

"Selamatkan putriku. Selamatkan putriku. Aku mohon," Ucapku terus agar Tuhan mendengar doaku.

Sesaat aku menoleh ke samping ketika merasakan rangkulan tangan Fathir di bahuku. Dia menyuruhku untuk tetap kuat. Tapi hal itu justru membuatku menangis dan spontan memeluknya.

Dalam pelukan Fathir aku berdiri kuat untuk melihat bagaimana kedua bilah alat kejut jantung tadi ditempelkan ke dada Kasih. Tubuh putriku mengejang sejenak lalu lunglai kembali. Lalu dokter menatap layar monitor yang menunjukan garis tidak beraturan.

"200 joule, all clear??" Sepertinya belum mendapatkan hasil normal. Sehingga dokter melanjutkan tindakannya lagi.

"Clear!!"

Tubuh Kasih dikejutkan kembali untuk kedua kalinya dengan alat itu. Semua menatap diam ke arah monitor. Garis yang muncul masih belum normal. Sampai akhirnya terdengar suara yang membuatku terkejut dan ingin mati detik itu juga.

TIIITTT... TITTTTTTT...

Kulihat ke arah monitor jantung Kasih yang menunjukkan terukur nol dan aktivitas listrik membentuk garis lurus (flat line). Jantungku berhenti seketika dan merasakan sesak nafas didadaku.

Mataku pun memanas melihat keadaannya. Apa arti semua itu? Apa putriku sudah tidak bernafas lagi? Apa dia sudah....

Fathir memelukku erat karna kedua kakiku terasa lemas dan tidak bisa berdiri kuat.

"Kita RJP sekarang dan injeksikan epinefrin dua dosis sekaligus, cepat!!" Suara dokter itu bergema diruangan ini.

Mereka cepat melakukan tindakan RJP, sementara perawat lainnya memegang sebuah balon seperti yang berbentuk sungkup.

Kurang lebih sudah dua puluh menit mereka melakukan tindakan. Kulihat sang dokter menatap layar monitor yang tidak menunjukkan ada perubahan, bahkan setelah perawat menyuntikkan epinefrin untuk memicu detak jantung Kasih.

Sampai akhirnya perawat serta dokter menyerah dan menatap kami yang juga menatap mereka.

"Maafkan kami. Kasih putri Anda tidak bisa diselamatkan," Ucap dokter dengan raut menyesal.

Aku menggelengkan kepala, aku tidak percaya putriku pergi begitu saja meninggalkanku.

"Coba dokter dan suster beri pertolongan sekali lagi. Aku yakin Kasih pasti bangun. Jantungnya pasti kembali berdetak." Aku menarik tangan dokter itu dan mengarahkannya ke tubuh putriku. "A-ayo dokter. Tolong sekali lagi... selamatkan dia.

"Maaf ibu Kala. Kasih sudah pergi meninggalkan kita. Saya tidak bisa menghidupkannya kembali."

Aku menatapnya. "Putriku masih kecil! Dia baru berusia 7 tahun. Bagaimana mungkin dia bisa meninggal begitu cepat?!"

Kulihat perawat itu ingin membuka alat yang ada ditubuh putriku. Aku langsung berlari dan melarang mereka membukanya. "JANGAN SENTUH PUTRIKU!! DIA BELUM MENINGGAL!! KALIAN DENGAR?!" Aku berteriak histeris.

"Bangun Kasih... Mama mohon bangunlah." Aku mengguncang tubuhnya. Lalu aku mengambil nafas panjang dan meniupkan udara ke dalam mulutnya. Aku melakukan itu sampai kelelahan namun dia tak kunjung bernafas.

"Jangan tinggalkan Mama Kasih. Mama mohon," Ucapku sesenggukan.

"Jangan seperti ini Kala, aku mohon. Kasih tidak akan bangun lagi. Dia sudah pergi meninggalkan kita." Suara Fathir menyadarkanku bahwa Kasih benar-benar telah pergi.

Kugigit bibir bawah yang bergetar menahan isakan tangisku. Kedua mata Kasih terpejam. Dia tampak damai dengan tidur panjangnya. Kudekatkan wajahku seraya mengelus pipinya yang lembut. Lalu kucium kening, kedua mata dan terakhir pipinya sebagai tanda perpisahanku pada Kasih.

Kejadiannya terjadi begitu cepat. Kasih telah pergi. Pergi selamanya meninggalkanku.

26-Februari-2018

Jangan bilang gue author paling tega atau jahat karena matiin para tokohnya. Ini memang udah gue konsepkan seperti itu :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top