ES [10]
Maaf ya kelamaan update. Jujur gue lagi dilanda malas. Gue adalah manusia paling malas di dunia ini.
Hmm... semoga cerita ini bisa tetap lanjut. Karna kalo udah masuk ke tahap 'malas' pasti ujung-ujungnya cerita ini bakalan gue unpublish untuk kesekian kalinya. LOL.
#harap maklum kalo part ini nggak dapat feelnya. Serius, gue lagi kehilangan semangat dalam hal apapun :")
Happy reading guys....
....
....
Begitu kembali pulang, kami tidak melihat sosok Dion di depan rumah lagi. Sepertinya dia sudah sadar dan langsung pergi. Hal itu membuatku merasa sangat lega. Aku harap dia tidak berani untuk datang ke rumah ini lagi.
"Biar aku yang gendong Kasih. Kamu yang bukain pintu rumah," Ucap Fathir sembari melepas helmnya setelah memarkirkan motor.
Aku mengangguk dan memegang tubuh Kasih yang tertidur dalam sepanjang perjalanan pulang. Tanpa mengganggu kenyamanan tidur Putriku, Fathir berhasil menggendongnya begitu mudah.
Lalu aku berjalan ke depan untuk membuka kunci pintu rumah.
"Langsung bawa ke kamar aja," Pintaku seraya menunjukkan kamar yang mana padanya. Karena di rumah ini memiliki dua kamar.
Setelah membaringkan Kasih di tempat tidur, Fathir keluar dari kamar. Sehingga kini hanya ada kami berdua yang duduk di ruang depan.
"Kamu mau minum dulu atau langsung pulang?" Tanyaku.
Fathir melirik jam di tangannya. "Aku terlalu ngantuk untuk pulang. Boleh aku tidur di sini?"
"Tidur di sini?" Aku yakin kedua bola mataku membesar saat ini menatapnya. "Kamu yakin?"
Dia bergumam sambil menganggukkan kepala. "Bolehkan?"
Aku tahu alasan Fathir ingin tidur di sini sebenarnya bukan karena benar-benar sudah mengantuk. Melainkan untuk memastikan Dion tidak kembali mengganggu aku dan Kasih lagi.
Menurutku Fathir itu jenis pria yang paham bagaimana konsep melindungi atau menolong tanpa harus pamer. Sehingga orang tersebut tidak akan sadar, kalau pria ini sebenarnya sedang membantu. Kecuali orang yang ditolongnya mememiliki kepekaan tinggi dengan semua isyarat halus dari setiap tindakan Fathir. Malapetakanya, aku memiliki kepekaan itu. Dan hal tersebut membuat perasaanku semakin tidak karuan padanya.
"Boleh. Aku beresin kamar sebelah dulu buat kamu."
"Tidak usah. Aku tidur di sofa panjang ini saja," Tolaknya halus.
Aku tahu dia pasti sebenarnya sangat segan untuk menginap di sini. "Yaudah kalau gitu aku ambil bantal sama selimut untukmu."
"Oke."
Fathir langsung berbaring di sofa begitu aku memberikan bantal dan selimutnya. Lalu dia menyuruhku untuk segera masuk ke kamar dan tidur. Aku mengangguk dan berjalan ke dalam kamarku. Dari balik pintu aku melihat tubuhnya bergerak ke kanan ataupun kiri untuk mencari posisi tidur yang nyaman. Aku tersenyum sendiri karena hal itu.
"Fathir," Panggilku padanya dari pintu kamar.
Dia menoleh. "Hmm?"
"Terimakasih untuk hari ini."
Dia hanya tersenyum. Lalu mengisyaratkanku dengan jari tangannya untuk segera menutup pintu dan tidur secepatnya.
*****
"Sayang jangan ganggu om Fathir yang lagi tidur," Seruku pada Kasih yang sedari tadi menatapnya seraya menyentuh hidung dan alis tebal milik pria itu.
Sepertinya Fathir kelelahan, makanya belum bangun padahal ini sudah jam tujuh pagi.
"Kita kan mau pergi ke Gereja pagi ini Ma. Jadi om Fathir tinggal di rumah aja?"
Oh iya, ini hari minggu. Aku dan Kasih harus pergi kebaktian di Gereja. Aku segera keluar dari dapur sambil membawa segelas kopi.
"Kasih mandi duluan ya. Biar Mama yang bangunin om Fathir."
"Iya Ma."
Setelah Kasih pergi mandi, kini aku memandangi pria yang tidur begitu tenang di depanku. "Fathir bangun," Panggilku pelan. Namun tidak terlihat ada reaksi darinya. Dengan agak ragu-ragu aku menyentuh bahu dan menggerakkannya.
"Fathir kamu nggak pulang? Ini udah pagi loh." Suaraku terdengar gemetar. Aku benar-benar grogi dan keringat dingin sendiri. Padahal hanya sekedar menyentuh bahunya saja. Bagaimana lagi jika aku memeluknya? Mungkin aku akan beku dalam dekapannya.
Dia menghusap kedua mata dengan tangannya sambil bergumam padaku. "Hmm?"
"I-ini udah pagi," Ujarku tergagap. Lalu dia bangkit bangun dan melipat rapi selimut yang dipakainya. "Subuh tadi kamu sholat?" Tanyaku.
Dia mengangguk. "Iya. Tapi habis itu tidur lagi karena ngantuk banget."
"Ooh. Aku pikir kamu kelupaan karena tertidur."
"Enggaklah. Mungkin karena udah terbiasa dari kecil jadi otomatis akan terbangun kalau udah waktunya sholat subuh."
Aku mengangguk paham seraya menyimpan bantal dan selimut. "Oh iya Fathir, itu kopi aku buatkan untukmu."
"Makasih," Serunya. "Kasih udah bangun?"
"Udah. Dia lagi mandi tuh. Minggu pagi ini kami mau kebaktian di Gereja."
"Jauh tempat ibadahnya?"
Aku bergeleng. "Cuma dua gang dari sini."
"Aku antar ya?"
"Kamu nggak pulang? Aku takut keluargamu khawatir."
"Semalam sebelum keluar, aku udah minta izin dari Ibu aku. Jadi aku rasa beliau nggak akan khawatir lagi."
"Hmm...." Aku berpikir sejenak. "Kamu nggak masalah antar aku dan Kasih ke Gereja?"
Dia tersenyum. "Aku tidak ikut masuk Kala. Aku hanya mengantar kalian berdua sampai depan saja."
"Oh iya." Aku tertunduk malu. Membuat keadaan di antara kami berdua menjadi canggung. Kehadiran Kasih yang baru keluar dari dalam kamar mandi langsung menyelamatkanku dari situasi tersebut. Lalu aku segera permisi pada Fathir untuk mandi.
*****
Semenjak kejadian malam itu, hubungan pertemananku dengan Fathir menjadi sangat baik. Dia rajin mengirimiku pesan hanya untuk sekedar mengingatkanku jangan lupa makan atau jangan tidur terlalu malam. Entah ini hanya perasaanku saja, tapi aku berpikir dia seperti seorang pria yang sedang melakukan pendekatan pada lawan jenisnya. Aku bisa mengatakan itu, karena aku pernah mengalami yang namanya proses pedekate di masa sekolah putih abu-abu dulu.
Dan pagi ini, aku agak terkejut melihat kehadiran sosok Fathir yang sudah berdiri di depan rumah kontranku. Dia bilang akan mengantarku kerja. Aku tidak bisa menolak karena memang kebetulan tempat kerja kami berdua satu arah. Sebelum mengantarku, Fathir terlebih dahulu mengantar Kasih ke sekolah yang tidak jauh dari rumah.
Tak sampai lima belas menit, dia sudah kembali dan memberikan aku helm warna putih bermotif bunga untuk kupakai. "Punya siapa kamu pinjam? Masih baru kayaknya," Komentarku sembari memasangnya di kepala.
"Bukan pinjam tapi dibeli. Tadi waktu antar Kasih, aku lihat ada yang jual helm. Jadi aku berhenti sebentar untuk membelikannya untukmu."
"Untuk apa dibeli? Kayak aku bakal sering naik motor aja." Aku masih agak kesusahan memakai helmnya di kepala, karena jujur aku jarang naik motor.
"Ke sini." Jari telunjuk Fathir mengisyaratkanku untuk mendekat. Aku menurut saja mengikuti perintahnya. Aku menahan napas karena posisi kami berdua terlalu dekat ketika dia memasang helm itu dengan benar dikepalaku. "Alasan aku membeli helm itu karena mungkin kamu akan lebih sering naik motor bareng aku nantinya."
Aku masih terdiam dengan napas tertahan. "Oke, helmnya sudah terpasang pas di kepala kamu. Silahkan bernapas kembali. Jangan ditahan begitu Kala, paru-paru kamu sangat membutuhkan oksigen," Ujarnya dengan senyuman jahil.
Aku tidak tahu harus menyembunyikan ke mana lagi wajahku ini. Ternyata Fathir sadar kalau sedari tadi aku menahan napas saat berdekatan dengannya.
"Kala jangan bengong begitu. Kita bisa telat kerja. Ayo naik!" Serunya dengan keadaan motor yang sudah menyala.
Dalam keadaan menahan malu, aku pun menaiki motor ninja miliknya. Dan lagi-lagi aku merasa canggung berada di atas motor berdua dengan Fathir. Begitu motor melaju beberapa kali Fathir mengerem motor saat di jalan raya, sehingga kadang tubuhku menubruk punggungnya. Padahal kedua tanganku sudah kuat memegang bagian belakang motor.
Sampai akhirnya Fathir menyuruhku untuk memegang bagian bahu atau memeluk pinggangnya saja. Dia takut kalau aku terjatuh karena tidak memiliki pegangan. Jadilah aku memeluknya dari belakang. Semoga Fathir tidak menyadari detakan jantungku di punggungnya. Kenapa mendadak alamat tempat kerjaku menjadi jauh saat berdua dengan pria ini.
"Kala." Dia menoleh sebentar sambil memanggilku agak kuat karena kami masih berada di atas motor.
Aku mendekatkan kepala di dekat bahunya. "Ya?"
"Aku rasa posisi kedua tanganmu terlalu memeluk agak ke bawah. Membuatku sulit berkonsentrasi membawa motor."
"Astaga! Maaf. Sumpah maafkan aku Fathir. Aku tidak sengaja." Responku yang begitu panik saat menyadari kesalahan posisi kedua tanganku.
Fathir tertawa. "Iya-iya aku tahu. Berhenti bergerak Kala. Kita berdua bisa jatuh kalau kamu panik seperti itu di atas motor."
"Aku tidak sengaja demi Tuhan!" Pekikku sambil memegang bahu Fathir.
"Kamu kenapa sih? Memangnya aku bilang apa? Kan aku bilang kalau aku percaya."
Aku memejamkan mata menahan rasa malu. Aku merasa seperti sedang ditelanjangi di depan umum. Meskipun Fathir bilang dia percaya, tapi aku tahu dia sedang menahan tawanya saat ini.
Begitu sampai di tempat kerja. Aku langsung turun dari motor dan berusaha melepas helmnya, namun lagi-lagi aku kesusahan untuk membukanya dari kepalaku.
"Nggak bisa dibuka," Keluhku pada Fathir.
Lalu dia kembali mengisyaratkanku untuk mendekat dengan jari telunjuknya. Kali ini aku tidak akan menahan napas lagi. "Bisa dibuka kan?" Ujarnya saat helm itu sudah tidak ada lagi di kepalaku. "Helmnya kamu pegang saja."
"Tapi aku...."
Fathir langsung menyela ucapanku. "Sore nanti aku jemput. Sampai ketemu lagi."
Aku hanya terdiam memandang kepergiannya. Lalu aku berjalan ke dalam toko bunga sambil memeluk helm pemberian Fathir tadi. Namun langkahku berhenti di depan pintu saat ada yang menghalangi jalanku masuk. Aku mendongak untuk menatap siapa orangnya. Ternyata itu ulah dari Dante. Untuk apa dia ada di sini? Apa dia tidak punya kerjaan sehingga harus menghantuiku terus?
"Ck!" Dia berdesis dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. "Kamu benar-benar tidak mengindahkan peringatan saya waktu itu ya? Dasar murahan!"
Aku memandang ke arah lain. "Sudah? Atau masih ada lagi hinaan yang harus saya dengar?"
"Kamu dipecat! Silahkan pergi dari sini!"
17-Februari-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top