ETP | 9

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Turut campur dalam kehidupan orang lain merupakan tabiat yang harus dienyahkan."

⏭️⏸️⏮️

MENONTON bioskop bersama Hanin adalah suatu tradisi wajib. Kebetulan selera film kami sama, jadi nyambung dan sama-sama antusias untuk menyaksikannya.

Namun kali ini sedikit berbeda karena Haikal, yang merupakan suami Hanin ikut serta. Hamzah tidak jadi bergabung karena deadline pekerjaannya yang dimajukan. Hanin sempat bernegosiasi, tapi untunglah lelaki itu tidak terbuai bujuk rayu.

Saya kira Hanin akan lebih memilih untuk bergandengan mesra dengan suaminya, tapi di luar dugaan dia malah bergelayut di lengan saya. Sedangkan Haikal mengekor jauh di belakang, bak seorang bodyguard.

Film yang berlangsung selama satu jam setengah itu terasa singkat, karena kami yang terlalu menikmati. Setelahnya sejenak mampir ke restoran untuk mengisi perut yang sudah keroncongan.

"A Hamzah nggak asik, malah sibuk ngedit!" keluh Hanin di tengah kegiatan kami yang sedang menikmati hidangan.

"Kerjaan yang utama, Nin, kalau nonton, kan masih bisa di lain hari," sahut saya.

"Aku tuh kadang suka sebel kalau A Hamzah sudah asik sama dunianya, lupa segala hal kalau sudah ngedit depan komputer. Makan saja kadang harus diingetin," ocehnya malah menjadi.

"Itu namanya A Hamzah bertanggung jawab atas pekerjaannya, Nin."

"Belain saja terus. Enggak asik kamu, Tha!"

"Yang dikatakan Zanitha ada benarnya, Hanin, seharusnya kamu bangga sama A Hamzah karena berdedikasi tinggi pada pekerjaan. Lelaki itu yang dilihat tanggung jawabnya," timpal Haikal.

"Ya, ya, ya, terserah lha!"

Kami pun beranjak saat makanan sudah dilahap habis tanpa sisa.

"Saya bisa pulang sendiri, kalian nggak usah antar saya," tutur saya saat berada di parkiran.

Hanin menggeleng tegas. "Bisa digorok aku sama A Hamzah kalau biarin kamu pulang sendiri. Aku anterin sampai depan pintu rumah."

"Ini mau hampir jam sepuluh malem lho, Tha. Enggak baik perempuan pulang sendirian malam-malam," imbuh Haikal.

"Enggak enak saya, merepotkan kalian. Enggak papa, saya bisa pulang sendiri," tolak saya.

Hanin menarik tangan saya dan memaksa saya untuk masuk ke kursi belakang, dia pun duduk nyaman di sisi saya. "Aku sudah janji sama A Hamzah buat anterin kamu sampai depan pintu, bahkan harus ketemu dulu sama mama kamu. Jangan keras kepala!"

"Iya, iya, kamu duduk di depan sana. Masa suami kamu jadi sopir betulan sih," titah saya merasa sungkan.

"Santai saja, Tha," sahut Haikal lalu melajukan mobilnya keluar parkiran.

"Sebenarnya kamu ada perasaan nggak sih, Tha sama A Hamzah?" tanya Hanin tiba-tiba.

Saya tersedak ludah sendiri. "Apaan sih, Nin. Enggak jelas banget!"

"Kalau nggak jelas harus diperjelas. Kamu ada rasa sama A Hamzah?"

"Kenapa harus nanya gitu sih, Nin?"

"Tinggal jawab saja, suka atau nggak," desak Hanin.

"Kalau diem tandanya kamu suka, perempuan suka gengsi buat ngakuin perasaannya sendiri," tambahnya karena saya tak kunjung buka suara.

"Aku tuh kasian sama A Hamzah yang selalu dituntut sempurna sama Mama dan juga Ayah. Harus inilah, harus itulah, jangan beginilah, jangan begitulah. Beda sama kamu yang bisa ngertiin A Hamzah tanpa menuntut apa pun, A Hamzah butuh pendamping yang bisa menyeimbangkan kehidupannya. Sudah cukup selama ini dia diatur dengan sedemikian rupa."

"Saya, kan bukan siapa-siapanya A Hamzah. Ada hak apa saya menuntut ini dan itu sama dia? Sebagai orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, begitu juga dengan orang tua kalian."

"Kamu tahu A Hamzah pernah akan meminang seorang perempuan, tapi ditolak mentah-mentah sama Mama karena pada saat itu A Hamzah masih merintis kariernya sebagai fotografer, sampai akhirnya A Hamzah kayak kehilangan gairah untuk menikah," ungkap Hanin membuat saya sangat terkejut.

Saya memang sudah lama mengenal Hamzah, tapi lelaki itu jarang sekali bercerita ihwal masalah percintaan. Kami memang sering bertukar cerita, tapi pembahasannya tak jauh-jauh dari keluarga dan karier.

"Mama pernah bilang sama saya, beliau ingin mempersiapkan A Hamzah sebagai pemimpin yang layak dan mampu bertanggung jawab. Saya bisa mengerti akan kecemasan beliau, finansial kerapkali menjadi akar permasalahan dalam rumah tangga. Mungkin juga ada faktor lain yang menjadi pertimbangan beliau, kita nggak bisa menghakimi keputusan beliau. Mau bagaimana pun orang tua sudah lebih dulu mencicipi asam garam kehidupan. Pernikahan nggak sesingkat ijab kabul, Nin."

"Kamu bisa ngomong kayak gitu, karena kamu nggak tahu siapa perempuan yang hendak dipinang A Hamzah," sahut Hanin cukup menohok.

"Memangnya siapa?"

"Tanya langsung saja sama A Hamzah."

Saya menggeleng tegas. "Enggak."

"Kenapa? Enggak kepo emangnya?"

"Bukan ranah saya untuk mempertanyakan hal yang private. A Hamzah butuh privasi, nggak semua harus saya ketahui."

"Aku tuh heran sama kamu, kayak nggak minat banget sama kehidupan orang lain. Terlalu cuek sama sekitar!"

Saya sedikit tersenyum. "Mengurus hidup sendiri saja saya masih terseok-seok. Lagi pula nggak ada manfaatnya mengetahui kehidupan orang lain. Kepo itu penyakit, Nin."

"Susah emang kalau bahas soal kayak ginian sama kamu."

"Sudah jangan dibahas lagi yah, Nin," pinta saya karena tidak ingin memperpanjang perdebatan.

"Ya, ya, ya," sahut Hanin terdengar malas.

"Maaf kalau perkataan saya menyinggung kamu," kata saya merasa sungkan.

"Kamu nggak salah apa-apa, Tha."

Saya pun mengangguk kecil sebagai respons.

"Ini titipan dari A Hamzah buat mama kamu," katanya seraya menyerahkan sebuah bingkisan.

"Padahal nggak usah, Nin. Kebiasaan A Hamzah yang kayak gini nih yang buat saya nggak enak hati," tolak saya.

"Enggak mau tahu harus diterima!"

"Ini kamu yang beli, kan?" tanya saya saat melihat isinya.

"Iya, tapi atas arahan A Hamzah. Oleh-oleh buat mama kamu karena sudah kasih izin anaknya keluar sama aku," jawabnya.

"Sampaikan ucapan terima kasih saya pada A Hamzah yah, Nin. Dia selalu ingat sama Mama, meskipun sekarang dia nggak ada."

"Bilang saja sendiri. Ada hape, kan? Video call supaya jelas."

Saya menolak keras. "Enggak mau."

"Gengsi?"

"Takut ganggu, Nin, apalagi A Hamzah lagi dikejar deadline," kilah saya.

Padahal saya tidak berani untuk melakukan hal tersebut. Jangankan video call, sebatas telepon atau mengirim voice note saja saya tidak memiliki cukup nyali. Tidak terbiasa dan tak ingin dibiasakan.

Hanin tak menyahut, dia malah fokus pada gawai dan mengacuhkan saya.

"Pinjem hape kamu coba, Tha," pintanya.

"Buat apa?"

"Pinjem sebentar, nggak akan aneh-aneh kok."

Saya pun menyerahkannya dan dibuat kaget setengah mati kala Hanin melakukan panggilan video call pada Hamzah. Wajah suntuk dan lelah lelaki itu langsung terpampang nyata.

"Giliran Zanitha yang video call langsung diangkat, tadi panggilan aku dianggurin. A Hamzah emang bener-bener nyebelin!"

"Apaan sih, Nin. Aa tadi lagi sibuk ngedit, ini baru beres. Enggak kedengaran kalau kamu video call. Kenapa?"

"Bohong banget!"

"Kenapa, Hanin?"

Hanin tak menjawab malah menyerahkan gawai tersebut pada saya.

"Ada apa, Tha?"

"Enggak ada apa-apa, hanya mau bilang makasih. Maaf yah, A Hamzah sudah ganggu."

"Sa-"

Belum sempurna dia berucap, saya langsung mematikan video call tersebut.

"Jahil banget sih, Nin!"

"Kalau nggak kayak gitu, kamu nggak akan pernah mau video call A Hamzah," katanya seraya tertawa puas.

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 09 September 2023

Usil banget Hanin ini 😌🙈 ... Kasihan Zanitha yang mendadak panas dingin😂

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

BANTU LIKE, KOMEN & SHARE YAH GUYS! KUNJUNGI AKUN INSTAGRAM AKU DAN JUGA GMG DI @idrianiiin & @gmgbranding2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top