ETP | 8

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jadilah perempuan yang tidak mudah terbawa perasaan. Sebab, yang hadir mungkin hanya sekadar mampir."

⏭️⏸️⏮️

GRAMEDIA menjadi tempat favorit para pecinta buku, begitupun dengan saya. Menghabiskan waktu untuk berkeliling serta membawa pulang beberapa judul adalah suatu keharusan.

Pandangan saya terpaku kala menarik buku yang ternyata ditarik juga oleh orang lain di seberang sana. Saya dibuat mematung saat melihatnya, dia sedikit tersenyum lalu menghilang dari pandangan.

"Buat kamu saja."

Saya terperanjat kala mendapati suara seseorang dari arah belakang, refleks saya pun memutar tubuh dan kembali menegang melihat dia yang tengah menyodorkan buku yang tadi hendak saya ambil.

"Kenapa malah bengong, jadi ambil bukunya tidak?"

Saya pun mengerjap cepat, dan mengambil alih buku tersebut. "Maaf, Mas."

Dia malah tertawa kecil. "Reaksi kamu melihat saya sudah seperti sedang melihat setan."

Saya sedikit meringis. "Maaf, saya tidak bermaksud untuk menyinggung, Mas Dipta."

"Santai saja, Zani. Saya hanya bergurau. Sendiri?"

Saya hanya mengangguk kecil.

"Sama, saya juga sendiri."

Saya pun tersenyum tipis sebagai respons. Merasa sedikit canggung.

"MOU-nya sudah dibaca dan dipelajari?"

"Sudah, Mas, tapi ada beberapa point yang kurang saya setujui. Bisa didiskusikan lagi?"

"Tentu bisa, kapan kita akan mendiskusikannya?"

"Nanti saya kabari lagi. Apa, Mas Dipta tidak keberatan?" tanya saya meminta persetujuan.

Dia mengangguk mantap. "Silakan."

"Mas Dipta ada urusan pekerjaan ke Gramedia?"

"Tidak ada, hanya sekadar healing untuk mencium aroma buku."

"Bau buku baru memang candu," timpal saya.

Mas Dipta mengangguk setuju. "Betul sekali. Oh, ya kamu beneran sendiri? Hamzah tidak ikut?"

"A Hamzah sedang ada pekerjaan, Mas. Lagi pula kami tidak pernah jalan berdua tanpa ada tujuan yang jelas."

"Saya paham."

"Film produksi ND Production sedang tayang di bioskop yah, Mas? Saya belum sempat menonton, masih menunggu Hanin ada waktu," tutur saya mencoba untuk mencairkan suasana.

"Iya baru dua hari lalu naik layar."

"Saya pernah baca novelnya, dan saya penasaran melihat versi audio-visualnya. Penontonnya juga sudah hampir mencapai angka satu juta, kan, Mas."

"Alhamdulillah mendapat sambutan baik dari penikmat film," sahutnya begitu rendah hati.

"ND Production kerapkali mengangkat novel ke layar lebar yah, Mas? Hasilnya juga selalu memuaskan."

"Alhamdulillah, terima kasih untuk pujiannya. Papa saya memang selalu berusaha untuk menghasilkan karya-karya terbaik. Walau, kadang tidak semua hasilnya sesuai ekspektasi. Kadang booming, kadang juga sepi, tapi saya percaya bahwa setiap karya sudah membawa rezekinya masing-masing," balas Mas Dipta diakhiri sunggingan tipis.

Sependek pengetahuan saya, ND Production didirikan oleh Nara Dharmawan, yang tidak lain ialah ayah dari Mas Dipta, rumah produksi yang sudah ada sejak 20 tahun lalu. Menjadi perusahaan produksi film terkemuka di Indonesia, yang mempelopori perusahaan film.

ND Production memulai debut kariernya di televisi dengan memproduksi serial drama yang kala itu sangat amat diminati masyarakat. Berlanjut sampai sekarang, hingga banyak melahirkan talent-talent baru dan karya-karya berkelas serta berkualitas. Dari mulai sinetron, film televisi (FTV), mini series, bahkan film layar lebar sekalipun.

Kalau tidak salah ingat Mas Dipta menjadi Co Executive Produser di ND Production, yang biasanya bertugas untuk membantu Executive Produser dalam memimpin dan melakukan supervisi produser di bawahnya.

Sedangkan ND Publisher didirikan oleh Mas Dipta sendiri, sejak tujuh tahun lalu. Selain bertindak sebagai owner, Mas Dipta pun turun tangan sebagai editor guna mencari bibit-bibit baru untuk diterbitkan.

"Malah melamun, kenapa?"

Saya terkesiap dan berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Malu sekali tertangkap basah tengah melamun, apalagi yang dilamunkan tepat ada di depan muka.

"Tidak apa-apa, Mas."

"Saya duluan kalau begitu, masih ada pekerjaan lain. Untuk kelanjutan kerja sama kita, bisa dibicarakan lagi nanti. Kamu tinggal hubungi saya saja yah, Zani," katanya.

"Baik, Mas, tapi bolehkah saya meminta kontak Mas Dipta? Selama ini komunikasi di antara saya dan Mas kurang efektif karena tiga arah."

"Boleh, ini kartu nama saya," sahutnya seraya menyerahkan selembar kartu nama.

"Terima kasih."

Mas Dipta mengangguk dan tersenyum, lantas berlalu meninggalkan saya yang masih menatap kepergiannya.

Sebuah pesan singkat masuk, saya pun dengan segera mengambil gawai dalam tas. Nama Hanin tertera di sana, dengan cepat saya pun membalas pesannya.

Hanindita Wiratama

Tha, ba'da isya kita ke bioskop. 


Iya, Nin.

Aku sama Mas Suami, nggak papa, kan? Lumayan ada sopir gratis yang bisa anterin kita.

Iya, nggak papa.

Aku ajak A Hamzah juga supaya kamu ada temennya.

Padahal nggak usah, Nin.

Kenapa?

A Hamzah lagi sibuk.

Tahu banget kamu jadwalnya A Hamzah, Tha. Jadi makin curiga.

Curiga apa sih, Nin?

Ya curiga kalian ada apa-apa, something spesial. Tapi, aku harap emang gitu sih, supaya hubungan kalian ada kejelasan. Enggak ngambang.

Saya hanya membacanya saja, tidak ada sedikit pun keinginan untuk membalas. Hanin itu kompor beledug, gemar sekali mendekatkan saya dengan kakaknya.

Bukan apa-apa, saya takut Hamzah merasa risi dan tidak nyaman. Saya pun mendadak bingung dan salah tingkah jika Hanin sudah melancarkan berbagai aksi.

Sebuah pesan kembali masuk, dan pengirimnya kali ini adalah Hamzah. Isinya benar-benar singkat padat dan jelas, saya pun hanya membalas dengan satu kata. Tidak berniat untuk memperpanjang obrolan.

Hamzah

Ba'da isya saya jemput.

Ya.

Bisa saya prediksi, Hanin yang mengompori Hamzah untuk mengirimkan pesan tersebut, karena pesan yang dia kirimkan tidak saya respons. Anak itu memang benar-benar.

Seringkali juga Hanin membajak gawai Hamzah, mengirimkan pesan manis yang jujur saja membuat saya geli setengah mati. Bahkan, parahnya mengirimkan foto candid Hamzah dengan ekspresi yang sangat amat tidak terkontrol.

Pokoknya banyak sekali tingkah laku Hanin yang kadang saya pun sampai tidak habis pikir.

Saya bergegas menuju kasir untuk membayar tiga buku yang sudah saya ambil. Namun, saya terperangah kala kasirnya mengatakan bahwa buku yang saya pegang sudah dibayar.

"Bukunya sudah dibayar sama Masnya."

"Saya bisa bayar sendiri."

Dia menggeleng kuat. "Uangnya sudah saya terima, dan Masnya berpesan jika ada kembalian lebih berikan saja pada Mbaknya."

Akhirnya saya pun mengangguk pasrah. "Terima kasih."

Siapa kiranya yang sudah membayar buku saya. Mana sisa uangnya masih lumayan banyak, mungkin bisa dibelikan untuk dua judul buku lagi. Apa mungkin Mas Dipta?

Tapi masa sih? Untuk apa juga dia melakukannya.

Saya kembali melihat kantung berisi buku, nota pembelian, serta kembaliannya. Ternyata di sana terdapat secarik kertas yang terselip di antara uang serta nota pembelian.

Terima kasih untuk pertemuan tidak disengaja hari ini. —Dipta

Rasanya baru kali ini saya dibelikan buku oleh orang yang bahkan baru saya temui dua kali. Mana cara yang dilakukannya cukup anti-mainstream pula. Mas Dipta ini memang ada-ada saja tingkahnya.

Saya pun mengambil gawai dan kartu nama yang tadi Mas Dipta berikan. Menulis kalimat terima kasih karena sudah berbaik hati membelikan buku. Murni hanya ungkapan terima kasih, tidak ada hal-hal lain.

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 08 September 2023

Yowes, sekarang mau pilih Mas Editor atau Aa Fotografer, nih?

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top