ETP | 55

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Tampil seolah baik-baik saja itu susah. Jadi, tak usah menyudutkan seakan itu merupakan perkara mudah."

⏭️⏸️⏮️

KEGUGUPAN sangat jelas sama-sama kami rasakan. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan, padahal saat ini kami sedang berada di dalam ruangan yang sama. Hanya berdua.

Saya duduk di depan cermin, sedangkan Mas Dipta berdiri tepat di belakang saya. Pandangan kami saling terkunci menatap bingkai diri di depan sana.

"Mas."

"Zani."

Kami kembali terdiam, setelah secara bersamaan saling memanggil satu sama lain. Entah kenapa lidah ini terasa kelu untuk berujar.

Mas Dipta memutar kursi yang saya tempati, lantas dia berjongkok di depan saya.

"Berdiri, Mas," cicit saya pelan.

Dia malah menggeleng dan tetap bertahan di posisinya.

Sekilas saya melihat dia tersenyum. "Boleh saya buka niqab-nya?"

Tak kuasa untuk menjawab, saya pun memilih untuk mengangguk.

"Boleh saya tahu, kenapa Zani memutuskan untuk memakai niqab pada saat akad?"

Saya menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berucap, "Ini adalah kali pertama saya berhias, dan saya ingin hanya Mas yang bisa melihatnya. Apa Mas merasa keberatan?"

Tangannya yang hendak membuka tali niqab terhenti. Dia mengangkat dagu saya agar menatap ke arahnya. "Tentu saja tidak. Saya justru merasa dihargai dan dihormati karena kamu begitu pandai menjaga diri. Tapi ada satu hal yang saya sayangkan."

"Apa Mas?"

"Memakai niqab itu bertujuan untuk menyembunyikan kecantikan, tapi yang saya lihat dari kamu justru sebaliknya. Kamu semakin terlihat cantik dengan balutan kain suci itu."

Saya kembali menunduk, berusaha untuk menyembunyikan semburat merah di pipi. Rasanya wajah saya sudah sangat panas.

Mas Dipta menarik lepas niqab yang saya kenakan. Saya hanya bisa diam, menikmati debaran di dada yang kian meronta dengan begitu hebatnya.

"Berkenankah kalau sekarang kita menunaikan salat hajat?" tanyanya.

Saya mengangguk singkat. "Wudu saya sudah batal karena bersentuhan dengan Mas. Saya izin untuk menghapus make up-nya untuk berwudu."

Dia bangkit berdiri. "Biar saya bantu."

Dengan telaten dia mengambil sebuah kapas dan micellar water, lantas mulai menyapukan benda itu pada wajah saya.

"Selesai," katanya dengan dihiasi senyum mengembang.

"Terima kasih."

Dia mengangguk. "Zani bisa wudu lebih dulu, biar saya yang siapkan peralatan salatnya."

Saya menurut tanpa banyak membantah.

Benar saja, sekembalinya dari kamar mandi. Dua sajadah sudah tergelar. Sajadah yang biasanya terhampar seorang diri, kini ada yang mendampingi.

Saya pun bergegas untuk memakai mukena. Berdiri tegak seraya menunggu Mas Dipta. Saat dia sudah kembali dan berdiri tegak di depan saya, suara takbir langsung terlantun indah dari sela bibirnya.

Dua rakaat salat hajat, lantas ditutup dengan empat rakaat salat duha. Saya merasa sangat beruntung, kami memulai biduk rumah tangga dengan sebuah ibadah sunnah. Ini adalah impian saya.

Mas Dipta memutar tubuh agar kami saling berhadapan. Dia mengukir senyum lebar. "Ada banyak hal yang ingin saya lakukan bersama kamu, salah satunya ialah mengimami kamu salat. Saya harap, kita bisa sama-sama saling bergandengan untuk menggapai rida Allah."

"Aamiin, Mas, aamiin, insyallah."

"Perlu saya panggilkan MUA lagi untuk merias kamu? Sebentar lagi acara makan-makan akan dimulai."

Saya pun menggeleng. "Saya lebih nyaman tampil polosan. Itu, pun jika Mas meridai."

Dia mengelus puncak kepala saya yang masih terbalut mukena. "Tentu saja saya meridainya."

"Apa Mas tidak malu?"

"Malu kenapa?"

"Biasanya di hari pernikahan, perempuan akan tampil full make up, sedangkan saya justru sebaliknya. Saya tampil sederhana apa adanya."

Dia menangkup wajah lembut. "Kamu itu berbeda dan satu-satunya. Jangan samakan kamu dengan perempuan lain, karena setiap orang memiliki pernikahan impiannya masing-masing."

Saya bernapas lega mendengarnya. "Boleh saya tanya sesuatu pada Mas?"

"Apa?"

"Kenapa Mas memanggil saya dengan sebutan Zani?"

Dia terkekeh kecil. "Memangnya kenapa? Kamu keberatan?"

"Bukan keberatan, hanya sedikit merasa aneh. Orang-orang lebih sering memanggil saya dengan sebutan Tha ataupun Nitha."

"Jika saya memanggil kamu, Tha, saya seperti tengah menyebut nama saya sendiri. Karena sebagian orang ada yang memanggil saya dengan sebutan demikian," terangnya.

"Tha saya dan Mas beda. Yang saya pakai h, yang Mas tidak."

Dia malah tertawa puas. "Kalau sama Ta yang di pantai apa bedanya, hm?"

"Kalau yang itu pakainya huruf k, tak," jawab saya diakhiri sunggingan.

"Huruf hijaiyah urutan ketiga sekarang sudah berubah jadi huruf hijaiyah urutan ke-28. Iya, kan?"

Saya sedikit tersipu dan mengangguk pelan.

"Saya punya sesuatu untuk kamu," katanya seraya menyerahkan sebuah amplop.

"Apa?" tanya saya seraya mengambil alihnya.

"Buka."

Saya terperangah kala mendapati isinya, ada dua buah tiket umrah.

"Kita akan umrah bersama, sekaligus keliling negara-negara yang memiliki sejarah peradaban islam."

"Mas serius? Tidak sedang bercanda, kan?"

Lagi-lagi dia malah tertawa. "Untuk apa juga saya bercandain kamu, kalau bisa serius kenapa memilih untuk bergurau?"

Berulang kali saya mengucapkan terima kasih, bahkan tak terasa air mata haru bercampur bahagia keluar dari sudut mata.

"Jangan menangis, Zani," tuturnya seraya menghapus air mata saya.

Saya mengangguk, tapi cairan bening itu semakin mengalir deras. Entah amalan apa yang membuat saya bisa bersanding dengan sosok sepertinya?

"Sudah yah, mari keluar," ajak Mas Dipta seraya membantu saya untuk melepas mukena.

Saya sedikit merapikan hijab dan memastikan tidak ada lagi bekas air mata. Lalu kami pun jalan beriringan keluar kamar.

"Lama banget sih, Tha, padahal izinnya cuma salat doang," oceh Mama saat kami baru saja ikut bergabung.

"Hapus make up dulu, itu yang lama."

Beliau geleng-geleng. "Itu make up mahal, kenapa cuma bertahan sebentar?" omelnya.

"Lebih mahal dua rakaat salat hajat dan juga empat rakaat salat duha dibanding dengan riasan make up," jawab saya sekenanya.

"Iya, terserah kamu saja, Tha."

Saya merangkul beliau sebentar. "Jangan cemberut, jelek tahu, Ma."

"Lagian kamu juga aneh, pengantin kok polosan. Dikira Mama nggak mampu bayar MUA kali."

Saya tertawa kecil. "Omongan orang kok dipikirin, orang Mas Dipta saja nggak keberatan istrinya tampil polosan di hari pernikahan."

Mama menyentil kening saya. "Sudah punya pawang sekarang, omongan Mama semakin nggak kamu dengar."

Saya sedikit terkikik geli. "Mama ini suka berlebihan ah."

Beliau malah memutar bola mata malas.

"Hanin dari tadi nyariin kamu, Tha," beritahu beliau.

"Sekarang di mana Haninnya?"

"Tadi pamitnya mau ambil makanan, tapi nggak tahu ke mana. Mama belum lihat lagi."

"Ya sudah Nitha cari Hanin dulu, Mas Dipta juga lagi asik sama temannya," pamit saya lalu melesat pergi.

Langkah saya tertahan saat mendapati Hanin tengah bersama Hamzah.

"A Hamzah nggak makan? Pura-pura bahagia itu perlu tenaga lho."

Saya tahu saat ini Hanin tengah berusaha untuk menghibur kakaknya, tapi tak ada sedikit pun respons yang Hamzah perlihatkan.

"Kenapa Allah nggak menjadikan Zanitha untuk Aa?"

Saya cukup terkejut mendengar kalimat tanya tersebut.

Terlihat Hanin mengelus punggung lebar Hamzah. "Karena Allah sudah menyiapkan seseorang yang lebih tepat untuk A Hamzah. Allah menyimpan cerita indah yang lebih berkesan untuk A Hamzah. Allah lebih tahu yang terbaik untuk A Hamzah. Nggak ada yang perlu dipertanyakan, cukup jalankan sesuai dengan garis takdir yang sudah Allah persiapkan."

"Aa seperti orang yang sangat munafik. Di depan Zanitha seolah baik-baik saja, seolah bisa menerima, tapi di belakangnya Aa terlihat sangat menyedihkan."

Hanin menggeleng tak setuju. "Bukan munafik, tapi A Hamzah mampu bersikap dengan bijak. Aa tahu, kalau memang tidak sewajarnya menampilkan kesedihan di hari bahagia perempuan yang pernah Aa cintai."

"Lebih tepatnya masih Aa cintai, bukan pernah."

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 26 Oktober 2023

Masih mau lanjut?

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top