ETP | 52
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Cinta itu sederhana, jika mampu halalkan, jika tidak maka tinggalkan."
⏭️⏸️⏮️
NIAT hati ingin memperpanjang silaturahmi, tapi yang terjadi justru beliau ingin mengakhiri dan menghakimi. Seolah sayalah yang bertindak sebagai penjahat karena telah tega mencampakkan putranya.
Padahal, Hamzah sudah tak mempermasalahkan. Dia justru lebih bisa mengerti dan memahami, bahwa memang inilah takdir yang harus dijalani. Semua sudah diatur oleh Sang Illahi dia tak memiliki hak lebih untuk memprotes.
"Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk suka terhadap apa yang sudah kita putuskan. Pro kontra itu pasti akan ada, dan kita tak memiliki kewajiban untuk memikirkan ihwal tanggapan orang-orang. Satu hal yang harus Zani ingat, bahwasannya kita tidak bisa menyenangkan semua orang."
Saya mengangguk pelan.
"Apa yang membuat tangis Zani tak kunjung reda? Apa tangis penyesalan karena status yang Zani sandang justru akan menjadi menantu Ibu saya, bukan menjadi menantu dari Ibu Anggi."
Refleks saya pun mendongak dan menggeleng. "Kenapa Mas Dipta memiliki pemikiran seperti itu?"
"Saya hanya khawatir menjadi alasan dari rasa sakit yang Zani alami."
"Keputusan yang saya ambil sudah berdasarkan pada petunjuk Allah, tak ada sedikit pun yang saya sesali. Saya hanya tidak menyangka dengan respons yang Mama Anggi berikan, kalau dibilang kecewa, pasti. Tapi, saya pun tak bisa menutup mata kalau beliau pun memiliki kekecewaan terhadap saya."
"Hubungan saya dan Mama Anggi sudah sangat dekat, dan saya sangat menyayangkan dengan apa yang baru saja terjadi. Silaturahmi kami rusak, hanya karena pilihan saya tidak beliau kehendaki."
"Maafkan saya, pernikahan belum terlaksana tapi masalah datang berbondong-bondong menguji kamu. Mau bagaimanapun, saya ikut andil dalam kekacauan ini," ungkapnya.
Saya menggeleng pelan. "Ini bukan salah Mas Dipta, saya yang salah karena sejak dulu tidak bisa bertindak tegas. Seharusnya saya dan A Hamzah tidak terjebak dalam hubungan tanpa status. Itu adalah akar dari permasalahan."
"Lantas sekarang bagaimana? Apa Zani masih berkenan untuk melanjutkan pernikahan?"
Sebuah anggukan kecil saya berikan. "Insyaallah, Mas."
"Terkait permintaan Hamzah, apa masih dipertimbangkan?" selorohnya.
"Saya ikut Mas Dipta. Jika memang Mas rida silakan, kalaupun tidak, ya tak jadi masalah."
"Ada banyak hal yang saya pertimbangkan, jika saya mengizinkan itu sama saja seperti saya tengah melukai dia dengan sangat terang-terangan. Namun, jika saya menolak pintanya, saya khawatir malah akan menimbulkan masalah baru, seolah saya benar-benar ingin menjauhkan Zani darinya. Jujur, saya masih bingung."
Saya mengangguk paham, sebab itu juga yang tengah ada dalam pikiran saya.
"Zani, tolong jangan beritahu Ibu saya terkait masalah ini. Saya khawatir akan berpengaruh pada kesehatannya," pinta Mas Dipta setelah cukup lama kami sama-sama berkawan geming.
"Baik, Mas."
"Apa keberatan jika saya ajak Zani mampir dulu sebentar?"
"Ke mana?"
"Meninjau tanah yang sudah saya persiapkan untuk membangun rumah."
"Boleh, Mas."
Mas Dipta kembali fokus menyetir, sedangkan saya asik berkawan dengan lamunan. Kejadian beberapa waktu lalu benar-benar menyita pikiran.
"Tidak ada keberkahan dalam pernikahan kalian, karena pernikahan itu dibangun di atas rasa sakit putra saya."
Kalimat itu menghadirkan kecemasan berlebih, terlebih saya pun tahu bahwasannya doa orang yang terdzolimi sangat mudah dikabulkan.
Tak dapat dipungkiri, kalau saya memang telah dzolim pada Mama Anggi, saya pun sadar diri kalau saya sudah melukai Hamzah.
Apa mungkin yang beliau katakan itu benar? Pernikahan saya dan Mas Dipta tidak diliputi keberkahan karena ada banyak hati dilukai.
"Zani sudah sampai."
Lamunan saya seketika buyar saat mendengar suara Mas Dipta. Saya pun bergegas untuk keluar mobil, dan mengintil di belakanganya.
Hamparan tanah kosong langsung menyambut netra. Lokasinya cukup strategis, karena berada di tengah-tengah kota, akses jalan pun mudah.
"Saya membeli tanah di sini, karena lokasi ini berada di tengah-tengah. Tidak terlalu jauh dari kediaman orang tua saya, begitupun dengan kediaman orang tua Zani. Saya tidak ingin terkesan memihak pada salah satu pihak, jika hunian yang kelak akan kita tempati lebih dekat pada salah satunya."
"Terima kasih, Mas, karena sudah sejauh itu memikirkan ihwal tempat tinggal."
Dia tersenyum samar. "Itu sudah menjadi tanggung jawab dan juga kewajiban saya, tidak perlu berterima kasih."
Saya merasa lega mendengar hal tersebut.
"Tanahnya tidak terlalu luas, tapi insyaallah cukup untuk kita tempati," katanya seraya mengajak saya untuk melihat-lihat ke segala penjuru tanah.
"Saya lebih suka hunian yang minimalis, jika memang bidang tanahnya masih tersisa bisa dijadikan sebagai halaman."
Mas Dipta manggut-manggut. "Zani bebas untuk merealisasikan apa yang Zani inginkan. Saya akan siapkan arsitek untuk mewujudkan rumah impian Zani."
"Apa itu tidak berlebihan? Pasalnya status saya masih calon."
"Tidak ada yang berlebihan, terlebih untuk seseorang yang sudah berkenan menghabiskan sisa hidupnya untuk membersamai saya."
Pandangan saya jauh menerawang ke depan, sedangkan kini kami berdiri berjarak saling berdampingan.
"Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan pada Mas."
Dia menoleh singkat. "Dengan senang hati saya akan menjawabnya."
"Terkait pekerjaan, apa saya masih Mas perkenankan jika tetap menjadi seorang penulis?"
"Tentu saja, lagi pula profesi kamu tidak akan menyita waktu, malah lebih banyak berdiam diri di rumah. Saya akan meridainya."
"Apa boleh jika saya tetap membantu Mama menjaga toko? Mencukupi kebutuhan beliau?"
Dia malah terkekeh pelan. "Tentu saja boleh, lagi pula hanya Bu Zakiyah yang saat ini kamu miliki. Saya tidak akan membatasi kamu untuk berbakti pada beliau."
"Zani, setelah kita menikah nanti saya akan menyerahkan kuasa sepenuhnya pada kamu untuk mengelola keuangan. Apa pun yang hendak kamu beli, kalau sekiranya bermanfaat silakan, terlebih untuk kebutuhan sehari-hari kita. Kamu bebas untuk mengelolanya, karena istri itu bendahara dalam rumah tangga."
Saya mengangguk paham. "Setiap bulan saya akan merinci pengeluaran, karena tak dapat dipungkiri masalah ini sangat sensitif. Saya tak ingin ada kalimat menyinggung yang kelak saya dapat, karena jujur saya cukup sensitif."
Mas Dipta tertawa kecil. "Saya tahu apa yang kamu takutkan. Insyaallah saya tidak akan mempertanyakan ke mana perginya uang yang telah saya berikan."
"Kalimat tanya yang dianggap biasa, kadang bisa melukai hati dengan sangat luar biasa. 'Kenapa cepat habis, uangnya dikemanakan?' Itu adalah pertanyaan yang mengundang prahara."
Untuk kali ini Mas Dipta begitu puas menggelegarkan tawa. Memangnya ada yang lucu?
"Pembagian waktu untuk mengunjungi orang tua masing-masing bagaimana, Mas?"
"Sebisa mungkin kita harus meluangkan waktu untuk mereka. Jangan sampai, setelah menikah malah membuat hubungan antara orang tua dan anak menjadi jauh. Kapan pun kamu mau berkunjung dan menginap di rumah orang tua kamu, saya akan memberikan izin serta menemani kamu. Begitu pula sebaliknya."
"Alhamdulillah," sahut saya bernapas lega.
"Apa masih ada lagi?" tanyanya.
"Sebagaimana yang pernah Mama katakan, bahwa saya ini perempuan akhir zaman yang punya banyak kekurangan. Apa di saat nanti Mas mendapati cela saya, Mas akan berusaha untuk mengubahnya, atau justru berusaha untuk menerima saya apa adanya?"
"Saya tidak akan memaksa kamu untuk berubah, karena saya tahu itu bukan perkara mudah. Kamu sudah hidup 25 tahun berdampingan dengan kekurangan dan kelebihan yang kamu miliki. Lantas saya datang, dan meminta kamu untuk mengubahnya?"
"Selagi kekurangan yang kamu miliki tidak memberatkan hisab saya sebagai suami, selagi kekurangan kamu bisa dimaklumi, saya tidak akan memaksakan diri kamu untuk berubah sesuai dengan keinginan saya. Yang memiliki kekurangan bukan hanya kamu, tapi saya pun memilikinya. Kita sama-sama belajar, bahwa memang kekurangan dan kelebihan itu hidup berdampingan. Fokus kita bukan untuk mengorek kekurangan, tapi lebih pada menyempurnakan kekurangan."
⏮️◀️⏭️
Padalarang, 23 Oktober 2023
Masih mau lanjut?
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top