ETP | 5

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Tidak ada mimpi yang terlalu tinggi, semua akan tercapai jika Allah meridai."

⏮️⏸️▶️

KEGUGUPAN menyapa, terlebih ini adalah kali pertama saya bertemu dengan seseorang yang dikagumi banyak penulis, diidolakan, bahkan dipuja-puja, karena keberhasilannya yang ikut serta memajukan dunia literasi.

Mas Dipta itu diibaratkan seperti tokoh novel yang ada di dunia nyata. Tampan sudah jelas, mapan jangan ditanya lagi, bonusnya beriman. Mana masih muda dan belum memiliki pasangan. Masyaallah.

"Maaf sedikit terlambat, sudah menunggu lama?" katanya saat baru saja duduk berdampingan dengan Hamzah.

Saya hanya mengangguk singkat lantas menunduk dalam.

Hamzah langsung memperkenalkan saya pada Mas Dipta. Kami pun saling menangkupkan tangan di depan dada dan sedikit melempar senyum.

"Sebelumnya perkenalkan saya Naradipta Dharmawan, lebih akrab disapa Dipta. Jangan panggil bapak, karena saya masih muda," tuturnya diakhiri dengan kekehan.

Ternyata Mas Dipta cukup humoris juga, sedikit bisa mencairkan suasana yang terasa mencekam untuk saya.

"Saya Zanitha Daniza, Mas."

Mas Dipta membuka laptopnya lalu berkata, "Setahu saya Zani pernah menerbitkan satu judul buku secara mayor, dan dua sisanya self publishing, kan?"

Otak saya sedikit loading saat mendengar nama sapaan yang diberi Mas Dipta. Terdengar asing, sebab sejauh ini tidak ada yang memanggil saya dengan sebutan demikian. Zani.

"Betul, Mas tapi sekarang saya lebih aktif menulis di beberapa paltform," sahut saya.

Mas Dipta manggut-manggut. "Masih muda, tapi sangat produktif. Saya suka penulis muda yang memiliki semangat dalam berkarya."

Mendapat pujian seperti itu, membuat saya tersipu. Merasa tersanjung sekaligus tidak percaya, ternyata seramah dan sesantai ini perangainya.

"Sedikit banyak saya sudah tahu kamu. Hamzah sudah cerita banyak," katanya seraya melirik sekilas ke arah Hamzah yang sedari tadi menyimak.

"Tenang, nggak cerita aneh-aneh kok. Enggak usah melotot," cetus Hamzah begitu santai.

Saya hanya mampu meringis pelan.

Di luar dugaan, Mas Dipta justru tertawa kecil. "Hamzah ini cocok jadi sales. Cara dia mempromosikan karya kamu benar-benar mantap, sampai akhirnya saya tertarik untuk membahas naskah kamu lebih lanjut."

"A Hamzah memang sales berkedok fotografer, Mas."

Kemampuan Hamzah dalam mempromosikan sesuatu memang tidak bisa diragukan lagi. Dia itu sangat handal dan pintar melobi, wajar kalau banyak orang yang terpana kala dia menunjukkan keahliannya.

Mereka berdua tertawa lepas. Sedangkan saya sedikit tersenyum simpul.

"Bisa Zani jelaskan seperti apa sinopsis, premis, dan outline-nya? Naskahnya belum rampung, kan?"

Setiap kali kata Zani terlontar, rasa gugup seketika datang. Semacam ada sengatan listrik tak kasat mata.

Saya pun membuka laptop, mencari file presentasi yang sudah saya siapkan dari jauh-jauh hari, lantas menunjukkannya pada Mas Dipta.

"Saya kira kamu akan menyajikannya dalam bentuk word sederhana, ternyata berwujud salindia. Saya suka."

Mas Dipta terlihat sangat fokus menatap layar laptop. Saya merasa gugup seketika, takut dia mendadak berubah pikiran.

"Sudah Zani ketik berapa bab?" tanyanya.

Saya berdehem sejenak sebelum akhirnya berucap, "Baru tiga bab, Mas, karena memang itu naskah baru dan niatnya akan saya terbitkan secara self publishing. Jadi, saya tulis kalau ada waktu senggang, karena, kan sekarang saya sedang terikat kontrak dengan platform berbayar untuk menulis setiap hari tanpa henti. Semacam sinteron striping."

"Naskah sebagus dan sepotensial ini kamu terbitkan secara mandiri. Tidak sayang memangnya? Mimpi sebagian besar penulis ingin melihat bukunya berjajar di Gramedia lho."

"Pengalaman saya terbit di mayor cukup buruk. Naskah saya lama digarap, padahal pada saat awal dipinang selalu dikejar-kejar, proses revisi pun saya kebut untuk memenuhi deadline yang mereka berikan. Namun, setelah naskah itu utuh, prosesnya sangatlah lama, bahkan hampir setahun karena antre. Untuk royalti pun kerapkali bermasalah, tidak terbuka. Buku saya tidak tersebar merata di toko buku, banyak pembaca yang mengeluhkannya."

"Tidak sampai di sana saja, buku saya sudah akan dikontrak PH untuk dijadikan mini series, tapi batal entah karena apa. Sekarang baru ketahuan, ternyata penerbit itu bermasalah. Karena hal ini pulalah saya lebih memilih self publishing, ataupun menjadi penulis novel online."

Perjuangan saya untuk bisa tembus mayor tidaklah mudah, banyak drama yang dilewati, bahkan pahitnya saya telan sendiri. Menjadi seorang penulis memang harus tahan banting, terlebih kala mendapat kritik pedas dari pembaca. Mental kadang suka mendadak ambruk.

Terlebih kala saya tidak mampu memenuhi target penjualan yang penerbit patok. Suka mendadak overthinking saat mendekati masa-masa PO. Promosi sana-sini, agar tidak mengecewakan penerbit yang sudah menggelontorkan banyak biaya. Beban mental sangat amat luar biasa.

"Itu hanya oknum, Zani. Kamu tidak bisa memukul rata semua penerbit mayor seperti itu juga," sahut Mas Dipta.

"ND Publisher tidak fokus pada kuantitas, melainkan kualitas. Kami memperlakukan semua penulis sama rata, mendapatkan hak yang sama, dan juga tidak mengiming-imingi penulis dengan banyak janji manis. Kami bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, jadi memang dua arah dan sama-sama berjuang untuk mendapat hasil yang maksimal."

"Naskah yang masuk sesuai antrean, tapi tidak sampai tahunan. Untuk perkara royalti pun kami sangat terbuka, bahkan memberi kewenangan pada penulis terkait harga jual buku. Ini bukan promosi terselubung ataupun menganggap penerbit kami lebih baik dari yang lain. Saya hanya ingin menepis issue yang membuat kamu takut untuk mencoba kembali menerbitkan buku di penerbit mayor."

"Pengalaman itu guru terbaik, tapi jangan sampai karena pengalaman buruk di masa lalu membuat langkah kamu terpaku," tutur Hamzah menimpali.

"Saya setuju dengan yang Hamzah katakan. Kita tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita memiliki peluang besar untuk menata masa depan," imbuh Mas Dipta.

Saya mengangguk paham dan mengucapkan terima kasih karena sudah diberi motivasi oleh dua orang hebat ini.

"Kira-kira kapan naskah Zani selesai?"

Saya sedikit tersentak mendapat pertanyaan horor tersebut. "Harus banget selesai dalam waktu dekat, Mas?"

Mas Dipta menggeleng pelan. "Tidak juga, saya hanya bertanya agar naskah kamu masuk antrean di waktu yang tepat."

"Mas Dipta yakin ingin meminang naskah saya?"

"Inginnya saya meminang kamu, bukan hanya naskahnya saja. Tapi sepertinya sudah kecolongan start."

Saya dibuat terbatuk-batuk. Merasa speechless dengan apa yang baru saja saya dengar.

Sedangkan Hamzah pun tak jauh berbeda, dia menyemburkan espresso yang belum sempurna ditelannya.

Tawa Mas Dipta menggelegar, saya dan Hamzah hanya mampu saling berpandangan singkat lantas kembali membuang arah pada sembarang tempat.

"Saya hanya bergurau, kalian ini terlalu tegang dan serius," katanya masih berusaha untuk meredam tawa.

"Bercandanya nggak lucu!" komentar Hamzah.

"Saya memang bukan seorang pelawak," sahutnya begitu santai.

Hamzah mendesis pelan, lalu membersihkan kemejanya yang sedikit kotor.

"Oh, iya ini MOU-nya, Zani bisa pelajari terlebih dahulu. Surat perjanjian ini fleksibel, bisa diubah atas kesepakatan bersama," katanya seraya menyerahkan map biru ke arah saya.

"Ini serius? Mas Dipta tidak lagi bergurau, kan sama saya?"

"Serius. Itu surat perjanjian kerja sama, bukan surat perjanjian pranikah."

Lagi-lagi saya tersedak ludah sendiri.

⏭️▶️⏮️

Padalarang, 05 September 2023

Ada tokoh baru yang muncul nih 😌 ... Kira-kira ada yang naksir nggak sama Mas Dipta? ☺️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top