ETP | 46
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Senantiasalah berkhusnuzan pada setiap takdir yang telah Allah gariskan."
⏭️⏸️⏮️
JODOH itu tak bisa hanya dinanti, tapi harus didapati. Sebagaimana Adam dan Hawa yang saling mencari untuk bisa kembali bersama. Akan percuma, jika hanya bermodalkan menunggu bisa mendapatkannya.
Istilah kalau jodoh takkan ke mana, hanya sekadar asumsi agar tidak membuat resah hati. Padahal perkara pasangan haruslah di-ikhtiarkan tidak cukup dengan hanya didoakan.
"Zanitha!"
Tubuh saya mematung linglung seraya memegang pagar. Mata saya pun tak berkedip sedikitpun, terus memandang objek yang baru saja menggaungkan nama saya dengan begitu lantang.
Apa saya tidak salah lihat? Inikah yang dinamakan dengan terlalu banyak berhalusinasi?
Raga yang sudah lama tidak saya jumpai, kini berdiri dengan gagahnya tepat di depan mata. Senyum yang dulu terlihat sendu, kini mengembang dengan begitu lebarnya. Bahkan suara, yang sudah lama menghilang dan absen menyapa rungu, sekarang bisa kembali terdengar.
"A Hamzah?" lirih saya pelan.
Berulang kali saya mengucek mata, tapi sosoknya tak kunjung hilang. Apa mungkin dia sudah benar-benar pulang?
Dia berjalan mendekat dan berdiri cukup berjarak. "Apa kabar?"
Tubuh saya menegang seketika. Bahkan, untuk sekadar meneguk ludah pun rasanya sangat tidak mampu.
Dia sudah kembali.
"Kenapa bengong? Kamu baik-baik saja, kan, Tha?" ulangnya.
Saya mengerjap pelan.
"Boleh saya masuk? Ada sesuatu yang perlu saya bahas lebih lanjut. Mama ada, kan, Tha?"
"Maksud A Hamzah?"
Dia terkekeh pelan. "Kita sudah lama tidak berjumpa, dua tahun lho, Tha. Saya kira akan mendapat sambutan hangat, ternyata tidak."
"Sambutan seperti apa yang A Hamzah inginkan?"
"Dibukakan pintu selebar-lebarnya, dan ditawari teh tawar hangat sebagaimana biasanya. Apa kebiasaan itu sudah kamu lupakan?"
"Silakan masuk," tutur saya setelah menyingkir, memberi akses masuk selebar-lebarnya.
Kosakata saya seolah tercekat di kerongkongan. Tak bisa bertutur dan bersikap sebagaimana dulu. Ada apa dengan saya?
Apa mungkin saya sudah benar-benar terbiasa dengan ketidakhadirannya. Sebab, kini saya merasa asing.
"Habis kedatangan tamu, Tha? Saya lihat ada dua mobil yang baru keluar dari pelataran rumah. Siapa?"
Kaki saya yang hendak melangkah mengikutinya terhenti begitu saja. Bahkan, dapat saya rasakan, dada ini berdetak diambang batas wajar.
"Ditanya malah bengong. Kamu kenapa, Zanitha?"
Saya berdehem pelan. "Silakan duduk, A Hamzah. Saya panggilkan Mama dulu. Hanya Mama, kan yang ingin A Hamzah temui?"
Dia mengangguk singkat. "Kalau bersedia, kamu pun bisa tetap di sini."
"Untuk apa?"
Hamzah tersenyum tipis. "Ternyata, dua tahun bisa mengubah seseorang. Kamu seperti enggan untuk menemui dan berbincang dengan saya. Ekspektasi saya terlalu tinggi, kamu seperti tidak senang dengan kepulangan saya."
"Saya pulang, Tha. Saya ingin menuntaskan sesuatu yang seharusnya sejak dulu saya lakukan."
"Apa?"
Dia tersenyum kecut. "Dari jawaban kamu, saya tahu, bahwa memang kedatangan saya tidak kamu inginkan. Saya pulang untuk memperjelas hubungan."
"Hubungan mana yang hendak diperjelas?"
"Kita."
Sontak kepala saya pun mendongak. Menatapnya sekilas lantas kembali membuang pandangan. "Apalagi yang hendak diperjelas?"
Suara Mama lebih dulu mengambil alih, padahal dia sudah akan menjawab kalimat tanya saya.
"Nak Hamzah."
Senyum lelaki itu mengembang seketika, terlihat sangat bahagia kala Mama ikut duduk bersama kami.
"Kapan pulang?" tanya beliau cukup antusias dan begitu ramah sebagaimana biasanya.
"Baru satu jam yang lalu, Hamzah sengaja langsung ke sini tanpa pulang ke rumah dulu. Hamzah ingin membahas lebih lanjut ihwal pembicaraan kita dua tahun lalu."
Mama tersenyum samar. "Nak Hamzah tunggu sebentar, Mama ambil sesuatu dulu. Tha, hidangkan minuman dan juga makanan. Nak Hamzah pasti lapar."
"Enggak perlu repot-repot, Tha. Saya sudah makan tadi, mampir ke angkringan sebelum ke sini."
"Ya sudah buatkan minum, dan juga camilan," titah Mama lantas melesat pergi.
Saya pun bergegas ke dapur, mengikuti perintah Mama dan kembali ke ruang keluarga di mana ternyata Mama sudah kembali duduk nyaman dan berbincang santai dengan Hamzah.
Mereka masih sama, terlihat sangat dekat dan akrab. Seolah, perpisahan dua tahun itu tidak pernah ada. Tidak seperti saya yang malah merasa risih serta canggung.
Saya merasa bingung sekaligus linglung dalam menyikapi kepulangan Hamzah.
"Sepertinya kamu lupa, Tha, saya kurang suka manis," komentarnya saat sudah meneguk teh yang saya hidangkan.
"Maaf," cicit saya pelan.
"Mama buatkan yang baru yah, Nak Hamzah," ucap Mama.
Dia menggeleng singkat. "Enggak usah, Ma. Ini sudah lebih dari cukup. Hamzah hanya sedikit heran, ternyata segampang itu Zanitha melupakan Hamzah. Dua tahun terlalu lama yah, Tha untuk kamu?"
Saya memilin resah ujung khimar, sangat tersentil dengan pertanyaannya. Perasaan saya pun mendadak campur aduk. Gemuruh dalam dada yang sempat lenyap, seolah kembali merambat naik.
Tangan saya sudah terbiasa menyeduhkan teh manis hangat untuk Mas Dipta. Seolah, lupa kalau dulu tangan ini lebih sering menyeduhkan teh tawar hangat untuk Hamzah.
"Nak Hamzah," panggil Mama lembut.
"Iya, Ma?"
Mama menyerahkan sebuah benda, yang saya yakini merupakan kotak perhiasan. "Mama kembalikan cincin ini pada Nak Hamzah. Sebagaimana yang dulu pernah Nak Hamzah katakan. 'Cincin ini sebagai bukti pengikat, tapi kalau ada seseorang yang hendak mengambil alih dengan ikatan lebih kuat. Lepaskan dan biarkan orang itu yang menggantikan.' Maaf, Nak Hamzah Mama tidak bisa menahan Zanitha lebih lama lagi untuk menunggu kedatangan Nak Hamzah."
"Hamzah terlambat yah, Ma? Sudah ada yang lebih dulu datang."
Sebuah anggukan kecil Mama berikan.
Saya merasa tercurangi saat mengetahui fakta baru ini. Tapi, lidah saya kelu untuk bertutur.
"Tha, cincin yang dulu tersemat di jari kamu merupakan cincin pemberian Nak Hamzah. Maaf, karena Mama nggak berterus terang sama kamu," katanya seraya menatap saya.
"Kenapa Mama melakukan itu?"
"Saya yang memintanya, Tha. Saya khawatir kamu akan digoda dan dipermainkan lelaki lain. Cincin itu saya berikan untuk menjaga kamu," terang Hamzah saat Mama enggan untuk menjawab.
"Atas dasar apa sampai A Hamzah melakukan itu?"
"Saya belum mampu untuk mengajak kamu berakad. Saya hanya mampu memberikan cincin itu sebagai tanda pengikat. Tapi, saya pun sadar diri, saya tidak ingin memaksakan kehendak dan meminta kamu untuk menanti."
"Saya tidak ingin menjanjikan apa pun pada kamu. Namun, saya sudah memasrahkan semuanya sama Allah. Kalau memang kamu ditakdirkan untuk saya, cincin ini pasti akan tetap tersemat di jari kamu, selama apa pun saya pergi. Tapi pada nyatanya, kini sudah ada cincin lain yang jauh lebih apik dan pastinya datang dengan niat baik."
"Dua tahun bukan waktu yang sebentar, saya tahu itu. Kamu berhak untuk menentukan pilihan, dan pilihan kamu bukan saya. Tak apa, saya sudah mempersiapkan hati untuk kemungkinan terbaik ini."
"Kemungkinan terbaik?"
Ada senyum palsu yang dia perlihatkan. "Saya tidak ingin menganggap kepahitan yang saya rasa sebagai bentuk dari kemungkinan terburuk. Karena saya yakin takdir Allah selalu baik, sekalipun itu menyakitkan."
"Pria beruntung mana yang berhasil menyematkan cincin itu di jari kamu?"
⏮️◀️⏭️
Padalarang, 16 Oktober 2023
Jadi, gimana. #TimDipta atau #TimHamzah?
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top