ETP | 45
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Menikahlah dengan tujuan untuk beribadah, bukan hanya karena takut dia diambil orang lain."
⏭️⏸️⏮️
PADA akhirnya saya memutuskan untuk menjalani proses ta'aruf terlebih dahulu. Waktu yang semula saya minta enam bulan, dipangkas hanya menjadi tiga bulan. Para orang tua khawatir akan menimbulkan fitnah jika terlalu lama menapaki tahap perkenalan.
Selama ta'aruf berlangsung pun saya dan Mas Dipta berusaha untuk saling menjaga, baik dari segi pertemuan ataupun komunikasi. Semuanya benar-benar dibatasi.
Acara khitbah malam ini hanya dihadiri keluarga inti. Kami bersepakat untuk menggelarnya secara sederhana serta diam-diam saja. Bukan tak ingin ada yang mengetahui, tapi baik saya maupun Mas Dipta memang menginginkan acara seperti ini.
Sembunyikanlah lamaran dan umumkanlah pernikahan. Itu adalah prinsip yang kami pegang teguh.
Saat Bu Dinara hendak memasangkan cincin, beliau mengurungkan niat. Mengabaikan tangan saya yang sudah sangat siap menerima benda berbentuk lingkaran tersebut.
Kening saya mengernyit kala Bu Dinara mengambil sebuah benang lantas mengikatnya di jari manis.
Beliau mengukir senyum lalu berkata, "Dipasangnya sama Dipta yah, Tha. Nggak sentuhan, kok."
Mata saya membulat sempurna. Seniat itukah beliau?
Tangan Mas Dipta dituntun untuk mengangkat benang yang ujungnya sudah terikat di jari, membentangkan benang tersebut lantas memasukkan cincinnya hingga meluncur bebas dan bertengger apik di jari manis.
Suara hamdalah seketika menguar. Akhirnya saya bisa bernapas lega.
Definisi lamaran syar'i tanpa bersentuhan yang sesungguhnya. Entah mendapatkan ide dari mana, beliau sampai kepikiran hal semacam ini.
Bu Dinara memeluk saya begitu hangat. "Sekarang sudah semakin resmi, kamu jadi Calon Menantu Mama. Semoga dilancarkan sampai hari pernikahan nanti yah, Tha."
Saya membalas rengkuhannya. "Aamiin, Bu."
"Panggil Mama, sama Calon Mertua juga. Memangnya Mama ini pejabat, sampai dipanggil Ibu segala," protesnya saat pelukan kami terurai.
Saya hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan.
"Nak Dipta, ini baru lamaran. Tetap harus bisa saling menjaga jarak, jangan sampai proses menuju pernikahan ternodai. Mama titip Zanitha, yah," ujar Mama.
"Insyaallah, Bu."
Setelah prosesi pemasangan cincin, dilanjut dengan pembahasan tanggal. Di mana bulan depan insyaallah pernikahan akan digelar.
"Semuanya sudah sepakat, akad akan dilangsungkan pada tanggal 20 November 2023," ujar Pak Nara diangguki oleh kami semua.
"Untuk maharnya bagaimana, Zani?"
Saya berdehem sejenak. Berusaha untuk tetap tenang, padahal gemuruh dalam dada sudah kian meronta. Baru ditanya mahar, deg-degannya minta ampun.
Sangat payah sekali saya ini!
"Bagaimana, Tha?" ulang Bu Dinara.
"Disesuaikan dengan tanggal pernikahan saja, mau berupa uang ataupun perhiasan. Tapi, saya minta jangan pakai seperangkat alat salat pada saat ijab," jawab saya pada akhirnya.
Seperangkat alat salat sebagai mahar bukan hanya perkara tempelan, tapi kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban.
Akan sangat berdosa jika mahar tersebut tidak digunakan untuk beribadah. Saya hanya ingin menjaga, karena saya tahu kapasitas diri.
Untuk mukena dan sajadah pasti akan dipakai lima kali dalam sehari. Tapi, untuk al'quran khawatirnya mushaf itu hanya akan menjadi pajangan.
"Bisa dipaparkan saja? Takutnya perhitungan saya kurang tepat. Rp. 20.112.023 apa itu yang Zani maksud?"
"Saya rasa jumlahnya terlalu besar, Mas. Yang saya maksud ialah Rp. 201.123."
Semua mata seketika tertuju pada saya.
"Serius kamu, Tha?" Pertanyaan itu Bu Dinara lontarkan.
Saya mengangguk mantap. "Sebaik-baik mahar ialah yang paling mudah, tidak memberatkan pihak laki-laki pun tidak merendahkan pihak perempuan. Lagi pula, itu hanya syarat, tidak perlu terlalu besar. Yang penting terpenuhi dan sah."
"Saya keberatan jika harus memenuhi nominal mahar yang Zani pinta. Saya tidak merasa keberatan sekalipun nominal yang tadi saya sebutkan Zani setujui. Bahkan, lebih dari itu pun insyaallah akan saya penuhi."
Saya menggeleng tegas. "Saya sedang tidak menjual diri, jadi tidak perlu dipatok dengan harga tinggi."
"Mama sarankan, lebih baik pakai perhiasan. Mahar itu sesuatu yang bernilai, ada harga jual. Di mana saat kehidupan rumah tangga sedang ditimpa kesulitan ekonomi, mahar itu bisa dimanfaatkan," ungkap Mama ikut ambil peran.
"Nah iya setuju. Lebih baik memang seperti itu," timpal Bu Dinara.
Saya pun mengangguk. "Ya, sudah terserah bagaimana baiknya saja."
"20 gram perhiasan emas dan uang tunai senilai 112.023 dirham," putus Mas Dipta.
Saya membulatkan mata tak percaya. "Itu terlalu besar, Mas. Sangat berlebihan sekali rasanya."
"Tidak berlebihan, saya ingin memberikan mahar terbaik untuk istri saya."
Mendengar kata 'istri' yang terlontar dari bibirnya membuat pipi saya memanas seketika. Sontak saya pun semakin menenggelamkan wajah, karena saking malunya.
"Masih calon, belum benar-benar jadi istri. Kosakatanya tolong diperbaiki Bapak Editor," koreksi Pak Nara yang dihadiahi gelak tawa.
"Ya, terserah Papa."
"Wedding dream-nya mau bagaimana? Kami para orang tua tidak ingin terlalu ikut andil. Mau bagaimanapun yang akan menikah kalian. Jadi, kami pasrahkan semua konsepnya pada calon mempelai," ujar Bu Dinara.
"Cukup akad di KUA."
Spontan kami saling berpandangan kala apa yang kami ungkapkan sama persis dan berbarengan.
"Yakin nggak mau ada acara walimah?" seloroh Pak Nara.
"Kalau memang Zani berkenan silakan. Dipta hanya ingin akadnya dilangsungkan secara sederhana di KUA saja. Terkait perintilannya, Dipta serahkan pada Zani, Pa."
"Bagi saya walimah bukan hal yang wajib. Cukup akad lalu setelahnya dilanjut dengan acara makan-makan bersama. Sederhana tapi khidmat, serta tidak membutuhkan biaya banyak," saran saya.
"Ya, sudah jika memang kalian sudah bersepakat dan hanya ingin menggelar akad. Kami, selaku orang tua meridai keputusan kalian," ujar Mama mewakili.
"Mulai di-list untuk hantarannya yah, Tha. Biar Mama bisa mempersiapkannya dari sekarang," pinta Bu Dinara.
"Tidak usah, Bu. Yang wajib dan menjadi syarat sahnya sebuah pernikahan hanya mahar. Hantaran itu bagian dari budaya, Nitha rasa itu tidaklah perlu," sangkal saya.
"Tak etis rasanya kami datang dengan tangan kosong. Apalagi yang hendak dinikahi seorang gadis. Jangan terlalu berpikir minimalis, Tha," protes Bu Dinara.
Saya terkekeh pelan. "Nitha ingin menyederhanakan pernikahan, Mama."
Senyum Bu Dinara mengembang seketika. "Dipanggil Mama, jadi langsung luluh ni hati. Bisa banget kamu ngerayunya, Tha."
Saya pun tertawa kecil.
"Zani," panggil Mas Dipta.
"Ya?"
"Saya belum mempunyai rumah untuk kita tempati nanti. Apa keberatan jika semisal mengontrak dulu?"
Saya tersenyum tipis. "Saya ikut, Mas Dipta saja."
"Tinggal sama Mama dulu, kan bisa? Mama di rumah sendirian juga," serobot Mama tak terima.
"Mau tinggal di rumah Mama sama Papa juga boleh. Nggak usah ngontrak-ngontrak segala," imbuh Bu Dinara.
"Dipta mau hidup mandiri, tidak ingin menikmati fasilitas orang tua ataupun mertua. Lagi pula, Dipta sudah membeli sebidang tanah, tinggal menunggu dibangun saja. Rencananya rumah itu akan Dipta persembahkan untuk Zani, jadi biarkan dia yang memilih desain serta konsepnya mau seperti apa."
"Kapan kamu membeli tanah? Kok Papa nggak tahu."
"Belum lama, tepatnya saat Zani meminta untuk menjalani proses ta'aruf."
Pak Nara manggut-manggut. "Syukurlah, kamu sudah mempersiapkannya."
"Dipta ingin membangun rumah tangga. Maka dari itu haruslah mendirikan sebuah hunian yang memang bisa menjadi surga bagi istri dan juga anak-anak Dipta kelak. Memastikan mereka hidup layak dan nyaman tanpa kepanasan ataupun kehujanan. Itu kewajiban, maka dari itu haruslah dipersiapkan," terang Mas Dipta.
Hati saya menghangat seketika. Sudah sedetail itu dia mempersiapkannya. Ternyata memang benar, memilih pasangan haruslah yang memiliki rasa tanggung jawab.
⏮️◀️⏭️
Padalarang, 15 Oktober 2023
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Masih betah, kan? 😌🤭 ... Babnya lumayan banyak lho 🙃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top