ETP | 41

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Apa pun yang hendak diputuskan, alangkah baiknya selalu melibatkan Tuhan."

⏭️⏸️⏮️

GASTROESOPHAGEAL Reflux Disease (GERD) adalah penyakit asam lambung naik ke kerongkongan (esofagus) yang menyebabkan heartburn, iritasi kerongkongan, dan sakit dada.

Pada umumnya terjadi setelah makan dan saat jumlah serta keasaman dalam lambung lebih tinggi, sementara otot katup (sfingter) lambung tidak bekerja secara baik.

Asam lambung yang diderita Bu Dinara sudah termasuk kronis, bahkan disarankan untuk melakukan operasi tapi beliau selalu menolak dengan berbagai alasan.

Penyakit ini cukup sensitif dan kerapkali kambuh, ihwal terlalu banyak pikiran dan tidak menjaga pola makan saja bisa berakibat fatal. Jangan terlalu stress, itulah yang selalu dokter katakan setiap kali kontrol.

"Ada yang mengganggu pikiran Mama? Dipta rasa untuk pola makan Mama sudah lebih teratur, obatnya masih Mama konsumsi, kan?"

"Mama baik-baik saja, sudah biasa juga keluar masuk rumah sakit. Kamu nggak usah panik," sahut beliau terdengar sangat santai.

Mas Dipta menggeleng pelan. "Jangan dibiasakan, Mama kira jantung Dipta aman kalau dapat kabar Mama masuk ke rumah sakit terus? Nggak, Ma."

Beliau mengelus puncak kepala Mas Dipta lembut. "Mama takut nggak bisa lihat kamu nikah. Umur Mama sampai nggak yah? Keinginan Mama untuk mendampingi Teh Naray lahiran sudah terealisasi, tapi keinginan Mama untuk melihat kamu menikah, belum kunjung terwujud."

"Bulan depan kamu sudah masuk kepala tiga, tapi sampai sekarang belum juga ada tanda-tanda. Apa Mama harus meninggal dulu baru kamu menikah?"

"Mama jangan bicara seperti itu." Hanya kalimat tersebut yang mampu dia tuturkan.

"Bu Dinara jangan terlalu banyak pikiran, itu bisa berpengaruh pada kesehatan Ibu," kata saya ikut merasa khawatir, sebab perkataan Bu Dinara semakin tidak terkendali.

Beliau tersenyum tipis dan menggenggam salah satu tangan saya. "Maaf, Mama selalu merepotkan kamu, tapi makasih sudah bersedia meluangkan waktu untuk menemui Mama."

Saya mengelus punggung tangan beliau. "Ibu harus sehat, harus kembali pulih. Bukankah Ibu sangat ingin melihat cucu ibu tumbuh besar? Ibu harus menjaga pola hidup sehat, jangan stress, pikiran Ibu harus senantiasa positif."

Beliau mengangguk singkat.

"Jangan beritahu Papa ataupun Teh Naray kalau Mama masuk rumah sakit lagi. Mama nggak mau membuat mereka khawatir, apalagi Papa lagi di Jakarta. Teh Naray juga sedang sibuk-sibuknya mengurus bayi," pinta beliau pada Mas Dipta.

"Kebiasaan, Mama ini selalu menjadikan posisi Dipta serba salah. Dipta nggak tanggung jawab kalau sampai Papa dan juga Teh Naray ngamuk."

Bu Dinara malah terkekeh kecil.

Dalam kondisi sakit saja, beliau masih memikirkan orang-orang yang dikasihinya. Masyaallah semoga kesehatan senantiasa memayungi Bu Dinara dan keluarga.

"Mama mau minta sesuatu sama kamu, bisa, Tha?" tanyanya.

"Apa itu?"

"Lanjutkan proses ta'aruf kamu sama Dipta."

Sontak saya pun langsung menoleh ke arah Mas Dipta. Ternyata bukan hanya saya yang terkejut setengah mati, dia pun sepertinya sama. Terlihat jelas dari mimik wajahnya.

"Mama nggak sengaja lihat laptop Dipta yang menampilkan CV ta'aruf Zanitha. Mama senang karena ternyata di belakang Mama kalian sudah sedekat itu. Di saat hati Mama sudah berharap lebih pada kalian, Mama disadarkan dengan penolakan yang Zanitha layangkan. Tidak layakkah Putra Mama untuk kamu jadikan suami, Tha?"

"Mama salah paham. Terkait CV, itu hanya sebatas ingin sama-sama tahu, tidak ada niatan untuk melanjutkannya ke tahap yang serius. Zanitha hanya penasaran, bukan memiliki perasaan. Dipta harap Mama bisa paham," kata Mas Dipta meluruskan.

"Kalian mempermainkan syariat?"

Saya menggeleng lemah. "Saya hanya penasaran dan ingin tahu, tidak lebih. Tak ada maksud sedikit pun untuk mempermainkan syariat, jika ada pihak yang harus disalahkan maka saya orangnya. Sebab, saya yang sudah lancang ingin melihat CV Mas Dipta."

"Kamu tidak salah, Zani. Lagi pula hanya sekadar saling bertukar CV. Sangat wajar kalau kamu tidak ingin melanjutkan ataupun berdalih di balik kata penasaran. Ta'aruf tidak harus selalu berakhir di pelaminan, karena menolak adalah hak setiap orang. Apalagi menikah perkara masa depan. Saya bisa memahaminya."

"Seharusnya kamu lebih gigih lagi memperjuangkan Zanitha, bukan malah menyerah seperti ini, Dipta!"

Mas Dipta tersenyum tipis. "Dipta punya keinginan, Mama juga punya keinginan, tapi Zanitha punya pilihan. Kita nggak bisa memaksa Zanitha untuk menuruti keinginan kita, biarkan Zanitha teguh pada pilihannya. Itu hidup Zanitha, dia lebih tahu apa yang benar-benar dia butuhkan."

"Zani, mari pulang. Saya antar, akan lebih baik untuk kamu kalau tidak terlalu lama di sini. Saya tidak ingin menyulitkan posisi kamu. Saya tak ingin melibatkan kamu terlalu jauh dalam masalah keluarga saya," tutur dia kemudian.

"Mama belum selesai bicara, Zanitha belum menjawab pertanyaan Mama."

"Dipta mohon sama Mama, jangan lagi memaksa Zanitha. Kalau Mama menyayangi Zanitha, biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri. Jangan sampai pernikahan yang Mama impikan malah membuat Zanitha terluka dan menderita. Mama paham, kan maksud Dipta?"

"Tapi, kan—"

"Zani mari pulang," potong Mas Dipta tegas.

"Bisa beri saya waktu untuk memikirkan semuanya? Saya tidak ingin gegabah dalam memutuskan. Saya perlu waktu untuk istikharah terlebih dahulu," putus saya melerai perdebatan mereka.

"Zani!"

"Saya tahu, selama ini saya sudah sombong karena memutuskan sesuatu tanpa campur tangan Allah. Saya menolak lamaran Mas Dipta dengan alasan yang tidak jelas, bahkan saya tidak melibatkan Allah di dalamnya. Terkait tukar-tukaran CV beberapa waktu lalu pun, belum saya perbincangkan dengan Allah, saya terlalu sok tahu. Untuk sekarang, saya akan istikharah terlebih dahulu. Apa Mas tidak keberatan jika harus menunggu untuk yang kesekian kalinya?"

"Jika Mama yang kamu jadikan alasan untuk berpikir ulang, lebih baik jangan. Saya tidak ingin membuat kamu menyesal karena sudah membuang-buang waktu dengan percuma. Mama biarkan jadi urusan saya, kamu tak usah pikirkan," selanya.

Saya menggeleng pelan. "Keputusan ini saya buat atas dasar keinginan pribadi. Apakah Mas masih berkenan untuk menunggu?"

"Berapa lama waktu yang Zani perlukan?"

"Satu minggu."

Dia mengangguk singkat. "Baik."

"Tapi saya minta tolong, dalam waktu satu minggu itu Mas jangan hubungi saya, ataupun menemui saya. Tidak ada komunikasi dalam bentuk apa pun dan dengan alasan apa pun. Jika sudah ada jawabannya, saya yang akan lebih dulu menghubungi Mas," kata saya.

"Termasuk dalam hal pekerjaan?"

Saya mengangguk mantap. "Ya."

"Baik, saya akan menuruti permintaan Zani."

Kini saya beralih pada Bu Dinara yang sedari tadi menyimak. "Kalau begitu saya pamit dulu, Bu. Semoga lekas pulih."

"Mama menunggu kabar baik dari kamu, Tha."

Saya tersenyum tipis sebagai respons.

"Mari saya antar."

Saya menggeleng singkat. "Tidak usah, Mas, terima kasih."

"Fii amanillah, Zani."

"Ma'assalamah, Mas. Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikumusalam warohmatulloh."

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 11 Oktober 2023

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Lanjut atau cukup?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top