ETP | 40

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Untuk merealisasikan suatu rencana, pasti memerlukan waktu serta persiapan yang matang."

⏭️⏸️⏮️

AKHIRNYA setelah melewati berbagai macam proses dan persiapan, pameran foto yang semula hanya sekadar angan bisa saya wujudkan. Sungguh di luar dugaan, banyak sekali tamu yang hadir meramaikan.

Saya tidak berharap lebih dari sekadar, lancarnya acara hari ini. Dengan hasil yang sekarang, sudah sangat memuaskan sebab kami pun sudah memberikan yang terbaik.

Hamzah, meskipun kamu jauh di Jerman sana, tapi suatu saat nanti kamu pasti akan tahu bahwa saya sudah berusaha semaksimal yang saya bisa untuk mewujudkan mimpi kita berdua.

Ini rumah kita, Rumah Sang Pemimpi yang tidak hanya mampu saya nikmati seorang diri. Sebab, sekarang sudah diketahui khalayak ramai.

"Pameran foto ini saya dedikasikan untuk kerabat baik saya. Partner berproses dan bertumbuh, Hamzah Wiratama. Meskipun saat ini dia berhalangan hadir, sebab sedang menuntaskan pendidikan di Jerman. Saya harap dengan adanya acara ini, dia bisa semakin meningkatkan kualitas serta kemampuannya dalam bidang seni dan fotografi."

"Dengan ini, saya Zanitha Daniza selaku pihak penyelenggara menyatakan bahwasannya Rumah Sang Pemimpi dibuka untuk umum."

Suara gemuruh tepuk tangan saya sambut dengan senyuman lebar. Sungguh lega dan bahagia sekali rasanya, bisa berada di titik sekarang.

Bangunan yang dulu masih terbilang kosong, karena hanya diisi oleh beberapa pigura kini sudah kian banyak karena saya sengaja mencetak semua hasil karya Hamzah yang terarsip di dalam flashdisk, dan juga kamera yang dia amanahkan untuk saya rawat dan jaga.

Bahkan kini, sudah banyak juga buku-buku yang terpajang. Sebagian hasil karya saya, sisanya hasil dari teman-teman penulis yang lain. Impian saya untuk membuat sebuah perpustakaan dan taman baca, akhirnya bisa terwujud dengan adanya Rumah Sang Pemimpi.

Tak ketinggalan studio foto yang sengaja dia hadirkan pun menjadi nilai lebih, karena dengan begitu akan menjadi sebuah daya tarik untuk menjangkau para kaula muda yang memang sangat gemar mengabadikan momen.

Acara kali ini bukan hanya sekadar pameran foto biasa. Karena saya sengaja menggabungkannya dengan acara Grand Launching Rumah Sang Pemimpi. Saya harap tempat ini bisa bermanfaat bagi banyak orang, bisa menjadi motivasi, dan juga suntikan semangat.

Bahwa tidak ada mimpi yang terlalu tinggi, kala kita yakin dan percaya dengan ke-Mahabesaran Sang Illahi. Manusia akan mati, tapi karyanya akan senantiasa abadi.

Setelah turun dari panggung, Mama menyambut saya dengan pelukan. Tangis bahagianya membuat saya tak kuasa menahan linangan air mata.

"Mama bangga sama kamu, Tha," katanya membuat rasa bahagia saya semakin membara.

Hanin pun tak mau kalah, dia merentangkan tangannya agar saya bisa melesak masuk dalam rengkuhan wanita hamil tersebut.

Saya berulang kali mengucapkan terima kasih, karena atas bantuannya acara ini bisa terlaksana.

"Duduk lagi, Nin, kandungan kamu semakin besar. Capek pasti kalau terlalu lama berdiri," titah saya saat pelukan kami sudah terurai.

"Seandainya A Hamzah ada di sini, pasti dia akan bangga dan berterima kasih sama kamu, Tha. Aku sangat berterima kasih sama kamu, karena bisa mewujudkan impian A Hamzah," tutur Hanin.

Saya membantunya untuk duduk. "Kembali kasih, Hanin."

Saya pun beralih dan berjalan menghampiri Mama Anggi yang masih duduk serta menatap saya dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Tapi, satu hal yang sangat terlihat jelas, air mata beliau tidak kunjung reda sepanjang acara.

Saya memeluknya dengan hangat. Tangis beliau kian pecah kala saya mengelus punggungnya, bermaksud untuk menenangkan tapi yang terjadi malah sebaliknya.

"Seharusnya Hamzah ada di sini, Tha," lirih beliau saat pelukan kami terlepas.

Saya usap jejak air matanya lantas berkata, "Sebentar lagi A Hamzah pulang, Ma."

"Mama terlalu egois, Mama nggak bisa ngertiin Hamzah sebagaimana yang kamu lakukan. Mama gagal membuat dia bahagia. Mama gagal, Tha!"

Saya menggeleng pelan. "Kelak A Hamzah pun akan tahu, kalau apa yang saat ini Mama lakukan semata-mata untuk kebaikan dan juga kebahagiaannya. Nitha hanya mewujudkan apa yang memang kita berdua impikan."

"Nitha harap, setelah ini, tepatnya saat A Hamzah pulang nanti. Mama akan meridai dan merestui dia jika hatinya masih terpikat pada dunia seni dan fotografi."

Beliau mengangguk mantap. "Pasti, Tha, pasti. Mama nggak mau membuat Hamzah semakin tersiksa lagi dengan segala tuntutan yang Mama beri."

Saya tersenyum lebar dan mengucapkan banyak hamdalah. Saya harap, ini akan bertahan lama, bukan hanya sementara karena beliau terlalu terbawa suasana.

"Nitha pamit dulu, ada para awak media yang harus Nitha temui," kata saya pada semuanya.

"Maaf sedikit lama," bisik saya karena ternyata Mas Dipta sudah lebih dulu duduk di hadapan para awak media.

Sebuah anggukan dia berikan.

Acara press conference memang didampingi Mas Dipta. Sebab, mau bagaimanapun dia lebih berpengalaman dalam hal semacam ini, dan saya masih butuh bimbingannya.

Cukup banyak pertanyaan yang dilayangkan, tapi untungnya semua masih bisa saya dan Mas Dipta jawab dengan lugas dan lantang. Sangat amat bersyukur dengan lancarnya acara hari ini.

"Apa masih ada pertanyaan tambahan?" tanya Mas Dipta sebelum menutup acara press conference.

Seseorang mengacungkan tangan, dan langsung dipersilakan oleh Mas Dipta.

"Apa benar terkait berita yang beredar di luaran, bahwasannya Mas Dipta dan Mbak Zanitha terlibat cinlok?"

Saya membulatkan mata tak percaya, begitupun dengan Mas Dipta yang sama terkejutnya.

"Pertanyaan itu terlalu personal, dan saya rasa sangat tidak etis jika dilayangkan di acara formal seperti sekarang," sanggah Mas Dipta beberapa saat kemudian.

Suasana mendadak riuh dan ricuh, ada beberapa awak media yang berteriak dan mendesak jawaban lebih.

"Belum siap untuk go publik, kah?"

"Seharusnya kalau memang tidak ada apa-apa bisa Mas Dipta dan Mbak Zanitha jawab sekarang, tanpa perlu menyangkal ataupun ditutup-tutupi."

"Apa sengaja dirahasiakan karena ada pihak lain yang terlibat dalam hubungan kalian? Mas Hamzah misalnya."

"Harap tenang! Saya minta semuanya untuk tenang!" tegas Mas Dipta dengan suara sedikit meninggi.

Dia melirik ke arah saya sekilas, sebelum akhirnya berujar, "Baik saya maupun Zanitha tidak memiliki perasaan. Kami menjalin hubungan baik, hanya sebatas dalam hal pekerjaan. Tidak lebih, tidak kurang. Saya harap, jawaban itu sudah cukup menjelaskan."

Seketika saya pun menundukkan kepala. Ada setitik rasa sakit yang ditimbulkan, imbas dari apa yang baru saja dia katakan.

Mengapa perasaan saya mendadak tidak enak seperti sekarang?

"Mari, Zani," katanya setelah berdiri.

Saya mendongak, sampai tidak sadar ternyata Mas Dipta sudah menutup acara press conference-nya.

Mengangguk pelan dan berjalan mengekor di belakangnya.

"Apa ada yang Zani pikirkan?" tanyanya tiba-tiba seraya menghentikan langkah.

Saya yang memang sedang tidak fokus, sontak menabrak punggung lebar dia dan mengaduh kesakitan sebab jidat saya bertubrukan dengannya.

"Zani baik-baik saja? Ada yang sakit?" selorohnya terlihat sedikit panik.

Saya mengangguk kelu. "Sedikit, tapi masih aman."

Suara deringan gawai membuat fokus kami teralihkan.

"Saya angkat telepon dulu sebentar," katanya.

"Silakan, Mas."

Saya masih cukup bisa mendengar apa saja yang dia katakan. Karena memang Mas Dipta tidak sedikit pun menjauh kala menerima sambungan telepon.

"Sore, iya betul saya sendiri. Ada apa?"

"Saya segera ke rumah sakit. Baik, terima kasih."

"Siapa yang sakit, Mas?" tanya saya saat dia sudah kembali memasukan gawai ke dalam saku celana.

"Ibu saya masuk rumah sakit, Zani. Saya harus pamit duluan. Maaf."

"Boleh saya ikut, Mas?"

Sebuah anggukan kecil dia berikan.

⏮️◀️⏭️

Padalarang, 10 Oktober 2023

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top