بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Terlalu sibuk menerka, sampai tidak sadar jawabannya sudah ada di depan mata."
⏮️⏸️⏭️
SEMENJAK Hanin hamil, saya jadi cukup sering berkunjung ke rumahnya. Sekadar untuk menemani wanita itu berbincang, atau tak jarang juga kami sengaja jalan keluar berdua.
Menikmati masa-masa sebelum dia menyandang status sebagai ibu baru. Karena saya yakin, jika bayinya sudah lahir intensitas pertemuan kami pun pasti akan berkurang.
"Saya berencana ingin membuat sebuah pameran foto. Kamu bisa bantu saya nggak, Nin?" seloroh saya.
Keningnya mengernyit. "Memangnya kamu fotografer sampai mau ngadain pameran foto segala? Kapan?"
"Sebelum A Hamzah pergi ke Jerman, dia memberi amanah pada saya untuk merawat sebuah rumah. Bangunan itu berisi semua karya-karyanya selama menjadi fotografer, tempat itu juga dilengkapi dengan studio foto. Saya ingin memberdayakan tempat itu agar bisa dinikmati oleh orang-orang, bukan hanya sekadar bisa saya kunjungi seorang diri. Untuk waktunya masih saya pikirkan dan pertimbangan. Bagaimana?"
"A Hamzah ngasih kamu rumah?"
Saya menggeleng. "Kamu jangan salah paham, saya hanya diamanahkan untuk merawatnya. Enggak mungkin, lha rumah itu diberikan pada saya."
"Masa sih? Jangan-jangan itu rumah buat DP mahar lagi."
Saya menyemburkan thai tea yang belum sempurna saya telan. "Ngaco kamu!"
"Ya kali saja gitu, siapa yang tahu coba? Sertifikat rumahnya atas nama kamu, kan, Tha?"
"Mana saya tahu, saya hanya punya kuncinya. Sebatas itu, kamu jangan berpikiran terlalu jauh."
Hanin menaik-turunkan alisnya. "Sekarang memang hanya kuncinya yang baru kamu pegang, mungkin nanti setelah A Hamzah pulang kalian mendadak tinggal bareng. Rumah masa depan, bukan begitu?"
"Rumah Sang Pemimpi, bukan rumah masa depan," sela saya meluruskan.
Senyum Hanin kian mengembang. "Iya, Rumah Sang Pemimpi, di mana kalian akan mewujudkan banyak impian. Benarkan?"
"Jangan bercanda terus. Saya serius!"
"Iya tahu yang sudah kebelet ingin diseriusin, capek yah dibercandain terus."
Sisi jahil Hanin sudah mulai kumat, dan itu akan semakin panjang jika saya tidak segera menghentikannya.
"Saya hanya sedikit meminta bantuan kamu, insyaallah nggak akan membuat kamu kewalahan apalagi kelelahan. Saya cukup tahu diri, untuk nggak memberi beban banyak pada ibu hamil," terang saya berusaha untuk mengajak Hanin lebih serius.
"Bantuan apa memangnya?"
"Kamu ada kenalan yang biasa handel acara-acara semacam itu, nggak? Kalau ada minta tolong hubungi dan ajak kerja sama," jawab saya.
Dia terlihat tengah mengingat-ingat. "Aku sih nggak punya, Tha, tapi kalau nggak salah temannya Mas Suami ada yang punya Event Organizer. Mau aku coba tanyain sama Mas Suami nggak?"
Saya mengangguk setuju. "Boleh, Nin, saya sudah cari-cari belum ketemu yang cocok. Semoga saja temannya Haikal bisa membantu."
"Kenapa harus bikin pameran foto?" tanya Hanin tiba-tiba.
"Saya hanya ingin kembali menghidupkan karier A Hamzah yang sekarang sudah meredup, karena dia yang nggak lagi berkecimpung di dunia fotografi. Mungkin sepulangnya dari Jerman nanti, A Hamzah masih memiliki keinginan untuk meneruskan profesinya."
"Setidaknya branding dia sebagai fotografer nggak hilang. Sayang kalau karyanya hanya sekadar jadi pajangan. Siapa tahu juga dengan cara ini bisa membuat pikiran Mama Anggi terbuka. Kasihan A Hamzah kalau masih harus menerima penolakan dari Mama terkait hobinya yang nggak Mama sukai."
"Aku kira kamu sudah benar-benar nggak peduli sama A Hamzah, Tha. Ternyata aku salah, kamu masih se-care itu sama dia. Terharu aku sama niat baik kamu," sahut Hanin dengan mata sedikit berkaca-kaca.
"A Hamzah sudah membantu saya mewujudkan impian untuk menjadi penulis yang bisa dikenal banyak orang. Sekarang giliran saya yang membantunya."
Tanpa aba-aba Hanin memeluk saya. "A Hamzah beruntung bisa mengenal kamu, Tha. Kamu paling tahu dan bisa ngertiin A Hamzah. Di saat A Hamzah berjuang untuk berbakti pada Ayah dan Mama dengan segala tuntutan nggak masuk akalnya. Kamu hadir sebagai penyeimbang."
"Aku berharap hubungan kalian segera halal, aku nggak sabar menantikan waktu itu tiba. Aku mau melihat kamu dan juga A Hamzah bahagia," ungkapnya terdengar sangat tulus.
"Kenapa malah kesannya jadi mengharu biru seperti ini. Kamu jangan nangis, Nin," pinta saya seraya mengurai pelukan.
Menghapus air mata Hanin yang sudah beranak pinak. "Seharusnya pameran foto ini saya adakan sudah dari sejak lama, tapi karena terkendala biaya saya harus menundanya. Baru sekarang saya bisa mewujudkannya. Saya harap kamu mau membantu saya."
Hanin mengangguk semangat. Jejak air mata masih ada di sana, walaupun kedua sudut bibirnya terangkat sempurna. "Aku pasti akan bantu semampu aku, Tha. Mas Suami juga pasti mau bantu wujudin mimpi kamu dan A Hamzah."
"Kamu jangan bilang sama Mama Anggi, saya ingin beliau tahu pada saat acara nanti digelar."
Hanin memberikan hormat layaknya pada bendera merah putih. "Siapp!"
"Dananya cukup, Tha? Apa perlu aku ikut patungan?"
Saya menggeleng tegas. "Enggak perlu, insyaallah cukup. Saya sudah memperhitungkan semuanya, paling kalaupun melesat nggak akan terlalu jauh."
"Ada sponsor? Diliput media nggak?"
"Ada insyaallah, Nin. Atas bantuan Mas Dipta saya dapat sponsor dan juga ada beberapa media juga yang diundang."
"Mas Dipta baik yah, Tha. Apa kamu nggak jatuh cinta sama dia?"
"Kamu kenapa tanya seperti itu."
Dia tersenyum tipis. "Enggak papa, pengin tahu saja."
"Kamu itu kayak Mama, Nin, curiga terus kalau saya bahas soal Mas Dipta. Padahal kita nggak ada apa-apa. Sebatas rekan kerja."
"Kalau ada apa-apa juga nggak papa, Tha. Aku ngerti, kok kalau kamu itu butuh kepastian dan A Hamzah nggak bisa memberikan apa yang kamu butuhkan."
Dia tersenyum kecut. "Janjinya libur semester ganjil pulang, nyatanya nggak, kan. PHP doang. Aku yang berstatus sebagai adiknya saja kecewa berat, apalagi kamu yang dijanjiin dan jadi korban janji palsunya."
"Sudah jangan dibahas. Saya nggak semenyedihkan yang kamu kira. Saya baik-baik saja."
Hanin menggeleng pelan. "Mulut kamu bisa bilang gitu, tapi mata dan hati kamu nggak bisa bohong, Tha. Buktinya sekarang kamu seperti menjaga jarak sama Mama. Kamu pasti kecewa, kan, karena mau bagaimanapun Mama yang menjanjikan kepulangan A Hamzah."
Saya sedikit terkekeh. Tak ingin membuat dia semakin kepikiran. Sebisa mungkin saya terlihat tegar dan baik-baik saja. "Saya memang belum sempat saja berkunjung ke rumah Mama Anggi, lagi ada naskah yang harus saya selesaikan. Nanti kalau ada waktu, saya pasti akan menyambangi beliau."
"Kamu ada waktu buat ketemu aku, artinya kamu nggak sesibuk itu. Enggak papa, Tha, jangan sungkan kalau sama aku. Jujur saja," sela Hanin.
"Saya bisa menemui kamu karena memang saya ingin memastikan kesehatan kamu dan juga janin yang tengah kamu kandung. Insyaallah besok atau lusa saya ke rumah Mama Anggi yah."
"Enggak usah, Tha. Sudah cukup selama ini kamu menunjukkan effort, tapi nggak ada feedback sama sekali dari A Hamzah. Sebenarnya aku malu sama kamu, tapi aku juga nggak mau kalau sampai A Hamzah kehilangan perempuan sebaik kamu. Tapi kamu berhak untuk mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari A Hamzah, laki-laki yang nggak hanya modal janji."
"Hanin kamu lagi hamil, jangan banyak pikiran. Ini masalah saya dan A Hamzah, kamu nggak perlu ikut pusing. Saya sudah menganggap kamu seperti saudara, sangat wajar kalau saya rutin mengunjungi kamu. Enggak usah berpikir yang aneh-aneh," pinta saya.
Saya khawatir jika melihat dia seperti ini, terlebih kehamilannya sudah menginjak usia enam bulan. Tidak baik kalau terlalu banyak pikiran, takut memengaruhi tumbuh kembang sang jabang bayi.
⏭️◀️⏮️
Padalarang, 08 Oktober 2023
Masih panjang lho, yakin masih mau lanjut?
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top