ETP | 33
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Sejatinya kita memang hanya manusia yang memiliki banyak keterbatasan, tidak benar-benar tahu tentang perjuangan seseorang."
⏭️⏸️⏮️
TERNYATA benar, pria yang paham agama itu mengerikan. Tidak pernah mengumbar rayuan, tidak juga mengungkapkan perasaan, tapi tiba-tiba datang dan menawarkan sebuah lamaran.
Bukannya senang, saya justru takut. Membingungkan sekali, kerapkali mengeluh perihal jodoh yang hilalnya tak kunjung terlihat, tapi sekalinya nampak malah belingsatan dan langsung ditolak mentah-mentah.
Sebetulnya mau saya itu apa?
"Tha ada Bu Anggi sama Hanin, lagi nunggu kamu di ruang keluarga," ungkap Mama saat membuka pintu kamar.
Saya pun turun dari ranjang, mengambil khimar terusan dan memakainya secepat mungkin. "Perasaan Mama Anggi nggak ngabarin kalau mau ke sini. Ada apa yah?"
Beliau malah mengedikkan pundaknya lalu merangkul bahu saya. Kami pun berjalan beriringan dan duduk nyaman di sofa yang tersedia.
"Maaf kalau nunggu lama, Ma, Nin," tutur saya sejenak berbasa-basi.
"Enggak, Tha, baru datang kok."
Saya pun mengangguk singkat.
"Bu Anggi, Hanin, ditinggal dulu yah. Lagi masak di dapur. Maaf kalau kurang sopan," cetus Mama.
"Silakan, Bu, justru saya yang minta maaf karena datang kemari nggak mengabari terlebih dahulu. Jadi merepotkan."
"Enggak, Bu, malah saya senang." Setelah mengatakan hal tersebut, Mama benar-benar pamit undur diri.
"Saya ada oleh-oleh dari Garut untuk kamu, Nin. Untuk Mama juga ada, sebentar diambil dulu," kata saya hendak berdiri.
Mama menahan tangan saya. "Ada yang ingin Mama sampaikan sama kamu, Tha."
"Ada apa, Ma?"
Mama melirik ke arah Hanin sekilas lantas kembali menatap ke arah saya. Mendadak tidak enak hati mendapati gelagat yang cukup aneh dari beliau.
"Libur semester nanti Hamzah akan pulang."
"Kenapa? Bukannya A Hamzah nggak akan pulang kalau gelar belum dia dapatkan?"
"Mama yang minta dia untuk pulang."
Saya tersenyum tipis. "Mama kangen yah sama A Hamzah."
"Iya, tapi bukan itu tujuan utama Mama minta Hamzah pulang."
"Lantas apa?"
"Dia harus menyelesaikan sesuatu yang seharusnya sudah sejak dulu dilakukan."
"Padahal tanggung, Ma, kalau semester depan pulang. Sekarang, kan A Hamzah sudah memasuki semester tiga, hanya tinggal satu semester lagi untuk lulus."
"Memangnya kamu mau nunggu lebih lama lagi, Tha?" tanya Hanin cukup ambigu.
"Maksud kamu?"
"Sekarang A Hamzah baru memasuki semester tiga, untuk libur semester saja masih cukup lama. Kurang lebih setengah tahun, apalagi kalau pulangnya setelah mendapat gelar, perlu satu tahun lagi. Kamu yakin bisa sesabar itu?"
"Kenapa harus saya yang bersabar?"
"Karena Hamzah pulang untuk kamu, untuk memperjelas hubungan kalian."
Jawaban itu dilontarkan langsung oleh Mama. Saya meneguk ludah susah payah, benar-benar terkejut dan tidak percaya.
Saya menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. "Kalau kepulangan A Hamzah ada sangkut pautnya sama obrolan kita beberapa hari lalu. Dia nggak perlu melakukan itu,"
Mama menarik tangan saya dalam genggaman. "Maaf, Tha. Ini semua salah Mama."
"Mama nggak salah apa-apa."
Beliau menggeleng lemah. "Seharusnya sudah sejak dulu Hamzah datang ke rumah kamu, tapi karena kekhawatiran Mama yang berlebihan Mama nggak memberi dia restu untuk melamar kamu."
Refleks saya pun menarik tangan. Mata saya mendadak panas dan berembun. Tidak memberi restu katanya. Lantas apa kabar dengan perlakuan baik beliau selama ini?
Ternyata benar, sayanya saja yang terlalu percaya diri. Merasa sudah diterima dan diperlakukan dengan baik, tapi nyatanya ditolak secara mentah-mentah.
Sakitnya terasa lebih parah, sebab dari awal tidak pernah sedikitpun beliau menunjukkan ketidaksukaannya terhadap saya. Namun, apa yang terjadi sekarang?
"Semenjak kuliah Hamzah sudah bekerja paruh waktu sebagai freelance fotografer, hal itu dia lakukan untuk membuktikan pada Mama kalau dia bisa membiayai hidupnya sendiri."
"Selesai wisuda dia meminta izin pada Mama untuk melamar kamu. Tapi, Mama nggak memberikan restu. Karena pada saat itu, Hamzah belum bisa mewujudkan syarat dari Mama untuk bekerja sesuai dengan apa yang Mama inginkan. Menjadi PNS ataupun bekerja di BUMN."
"Mama khawatir Hamzah akan membuat hidup kamu susah karena finansial dia yang belum stabil. Sejak saat itu, dia semakin gigih untuk menjadi seorang fotografer profesional karena dia ingin membuktikan pada Mama, bahwa memang itulah yang dia inginkan. Dia bisa membiayai hidupnya sendiri, bahkan menyisihkan uang untuk modal kalian menikah."
Beliau menatap saya begitu lekat, membelai puncak kepala saya lembut lantas berkata, "Di saat dia sudah yakin dan kembali meminta izin, Mama justru kembali mengajukan syarat untuk dia kuliah S2 di Jerman. Dia menuruti permintaan Mama, meskipun awalnya sempat menolak."
"Sekarang Hamzah sudah kuliah di Jerman. Mama kira semua berjalan sesuai dengan rencana, semua baik-baik saja, bahkan Mama begitu optimis kalau kamu akan selalu sabar untuk menunggu kepulangan Hamzah. Tapi, ternyata nggak semudah itu yah, Tha."
Saya memalingkan wajah, berusaha untuk menahan cairan bening agar tidak terjatuh. Sakit sekali rasanya, tidak ada satu pun kata yang bisa mewakili sehancur apa perasaan saya saat ini.
"Kamu terkurung dalam ketidakpastian, kamu merasa lelah dan ingin menyerah. Orang yang patut untuk kamu salahkan bukanlah Hamzah, tapi Mama. Orang yang harusnya kamu benci itu Mama, Tha. Hamzah nggak salah apa-apa. Dia hanya ingin berbakti pada Mama, tapi Mamanya nggak tahu diri dan malah membuat keadaan kian sulit seperti sekarang."
Saya menyeka sudut mata yang sedikit berair, berusaha untuk tersenyum selebar mungkin. "Bilang sama A Hamzah, selesaikan pendidikannya dan jangan pikirkan apa pun yang berhubungan dengan Nitha."
"Kamu nggak ada perasaan apa-apa sama A Hamzah, Tha?"
"Bukankah A Hamzah pergi ke Jerman untuk membuktikan baktinya pada orang tua? Lantas kenapa sekarang dia harus dipaksa pulang, hanya karena saya yang statusnya tidaklah jelas. Yang A Hamzah lakukan sudah sangat betul, dia tahu mana yang harus diutamakan."
"A Hamzah pulang untuk memperjelas status kalian."
Saya menggeleng pelan. "Restu orang tua itu yang utama, rida Allah ada padanya. A Hamzah tidaklah salah dalam mengambil langkah, justru akan sangat keliru kalau dia melawan restu Mama. Saya nggak mau membangun sebuah mahligai, tanpa adanya rida dan juga restu orang tua."
"Kamu salah paham, Tha. Mama nggak merestui Hamzah untuk menikahi kamu bukan karena nggak suka sama kamu, tapi karena Mama terlalu sayang sama kalian. Mama takut Hamzah nggak bisa memenuhi kebutuhan kamu, Mama takut dia mengajak susah kamu, finansial Hamzah belum stabil kala itu. Mama cemas, perihal materi kerapkali menjadi penghancur rumah tangga, dan Mama nggak mau hal itu terjadi sama kalian berdua."
Saya mengangguk singkat. "Nitha mengerti akan kekhawatiran Mama, Nitha juga paham mengapa Mama melakukan hal tersebut. Kepulangan A Hamzah nggak akan membuat keadaan membaik. Biarkan dia menuntaskan pendidikannya, Nitha nggak mau menjadi penghalang baktinya pada Mama."
"Nitha percaya kalau jodoh nggak akan ke mana. Pasti Allah akan menunjukkan jalan untuk mempersatukan kita. Tapi kalau memang bukan jodohnya, ya harus terima. Itu memang takdir terbaik untuk kita semua."
Hanin menggeleng tegas. "Apa yang kamu katakan itu bohong. Sedangkan Ali bin Abi Thalib pernah berkata, 'Cinta itu jangan dinanti, harus didapati dengan penuh keberanian atau lepaskan dengan penuh keikhlasan dan keridaan.' Bagaimana mungkin Allah akan menunjukkan jalan, kalau nggak ada usaha yang kalian lakukan. Doa dan ikhtiar itu harus seimbang."
⏮️◀️⏭️
Padalarang, 03 Oktober 2023
Nah lho, ada apa lagi tuh🤧🙈
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Masih mau lanjut?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top