ETP | 27

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jika duduk di antara dua sujud masih terburu-buru, jangan terlalu bersemangat untuk segera duduk di depan penghulu. Malu."

⏮️⏸️⏭️

SEUMUR hidup itu lama, maka haruslah punya bekal untuk menjalaninya. Perkara memilih sepatu saja harus dipertimbangkan, agar tidak kebesaran ataupun kekecilan. Apalagi memilih suami yang kelak akan dijadikan sebagai imam.

Jelas harus dipikirkan dengan matang.

Menikah bukan hanya perihal menghalalkan, tapi janji suci yang melibatkan Tuhan. Di mana ada yang namanya hak serta kewajiban yang harus ditunaikan. Jangan sampai hanya karena bosan mendengar pertanyaan kapan nikah, membuat kita salah dalam mengambil keputusan.

"Ada yang ngelamar, Tha."

Sontak saya pun menarik tangan, menutupinya dengan tangan yang lain. "Bukan, Ma."

"Terus? Cincin itu?"

Saya tersenyum samar. "Ini cincin pemberian dari Mama, bukan cincin lamaran."

Beliau manggut-manggut. "Kirain, Mama shock banget ini."

"Kok gitu? Kenapa?"

Mama Anggi menggeleng pelan. "Enggak, bukan apa-apa."

Saya pun mengangguk singkat, tak ingin mengorek keterangan terlalu dalam. Takut membuat beliau kurang nyaman.

"Sudah tiga bulan Hamzah di Jerman, waktu berasa cepet banget padahal kayak baru kemarin Mama antar dia ke bandara," cetusnya tiba-tiba.

Bagi beliau mungkin cepat, tapi tidak bagi saya. Waktu sehari saja terasa sangat panjang, kala otak dan pikiran dipenuhi oleh bayang-bayangnya yang enggan menghilang.

Saya tahu ini tidaklah benar, sebuah tindakan yang bisa disebut sebagai zina pikiran. Saya berdosa karena sudah merindu terlalu dalam, padahal dia bukanlah mahram yang pantas untuk dirindukan.

Ternyata benar HTS itu menyiksa, lantas sekarang ditambah LDR pula. Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga juga.

Apakah di sana dia pun merasakan hal yang sama?

Jawabannya tentu saja tidak, karena buktinya dia jarang sekali mengabari.

"Diajak ngobrol malah bengong, kesambet nyaho kamu, Tha."

Saya pun mengerjap cepat, menoleh ke arah beliau lantas meringis pelan. "Maaf yah, Ma."

"Ngelamunin apa?"

"Bukan sesuatu yang penting."

Beliau mengangguk singkat lantas berucap, "Sekarang hubungan kamu sama Hamzah gimana, Tha?"

"Apanya yang gimana?"

"Enggak bukan apa-apa. Lupain saja."

Saya tidak ingin terlalu percaya diri, meskipun sering dibawa ke rumahnya, dikenalkan pada keluarga serta sanak saudaranya, status kami hanya teman. Tidak lebih, tidak kurang.

Saya cukup tahu diri dan sadar akan posisi.

"Nitha dan A Hamzah hanya berteman, saling berhubungan baik agar nggak memutuskan tali silaturahmi," ungkap saya karena beliau berkawan geming.

"Masa iya cuma teman? Mama nggak percaya. Kalian takut, kan kalau ngaku punya hubungan lebih, di-ulti Ayah."

Saya berusaha untuk sedikit tertawa. "Mana ada kayak gitu. Pacaran itu dosa, nggak boleh. Bukan takut kena ulti Ayah tapi takut kena ulti Allah."

"Jawaban kamu sama persis kayak Hamzah, paling jago nyangkal dan ngeles. Janjian dulu pasti ini, disamakan jawabannya supaya nggak mengundang banyak kecurigaan," selidik beliau.

Sama persis kayak Hamzah, katanya. Berarti memang benar kalau status kami sekarang hanya sebatas teman. Syukurlah akhirnya saya terbebas juga dari HTS berkepanjangan.

"Mama ini ada-ada saja, nggak, Ma. Nitha lagi fokus sama cita-cita. Ingin jadi penulis yang sukses dengan banyak karya yang bermanfaat bagi para pembaca. Untuk perihal cinta, biar jadi urusan Allah saja, Nitha nggak mau ikut campur."

"Enggak kabita gitu sama temen-temen seumuran yang sudah nikah dan punya anak?"

Saya terkekeh pelan. "Nikah itu bukan suatu pencapaian, bukan juga tujuan, yang kalau Nitha belum mendapatkannya serasa paling ternistakan. Enggak gitu, Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk Nitha, dan untuk saat ini yang terbaik bukan perihal pasangan."

"Dulu Mama seumur kamu sudah nikah, Tha, malah lagi hamil Hamzah. Anak-anak zaman sekarang umur segitu masih asik sama dunianya sendiri. Padahal ni yah, Mama nikah di umur 20 itu sudah kehitung terlambat, dan Mama juga perlu nunggu dua tahun lebih dulu untuk bisa hamil," tutur beliau.

"Zamannya sudah beda, Ma."

Beliau mengangguk setuju. "Hamzah yang sudah 28 tahun saja masih santai, kayak nggak punya minat untuk menikah. Tapi, kalau cowok nggak terlalu khawatir, karena Mama mau mempersiapkan finansial Hamzah dengan sangat matang, jangan sampai masalah ekonomi menjadi sumbu utama dalam rumah tangganya nanti."

Sampai tidak sadar, sekarang usia Hamzah sudah 28 tahun. Tepatnya kemarin dia memeringati hari kelahiran, tapi saya tak memberikan ucapan selamat ataupun hadiah.

Memang kami bukan tipikal orang yang selalu merayakan hari lahir. Cukup mengisinya dengan banyak-banyak bermuhasabah, berusaha untuk selalu meningkatkan value agar menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi.

"Beda banget sama perempuan yah, Ma. Baru masuk usia 20 tahun juga sudah dikatai perawan tua kalau nggak nikah-nikah. Kayak nikah di umur 23 ke atas itu sudah paling mentok dan dianggap expired."

"Risiko hidup di kampung gitu, Tha, apalagi di sekitaran kita banyak yang lulus SMA langsung nikah," timpal beliau.

"Jodoh, kan nggak ada yang tahu. Ada yang datangnya cepat ada juga yang dianggap lambat, padahal mungkin itu adalah waktu yang paling tepat."

"Hanin juga nikah di usia 24, dia kehitung telat menurut anggapan orang-orang. Tapi, ya menurut Mama umur segitu sudah paling pas, itu juga alhamdulilah karena masih ada laki-laki yang mau memperistrinya."

Saya tertawa kecil. "Nitha masih inget sih, pas Haikal tiba-tiba datang ke rumah untuk ngelamar padahal awalnya Hanin nggak suka dan benci banget sama Haikal. Ehh, sekarang mereka malah ngebucin."

"Allah itu Maha Membolak-balikkan hati manusia, perkara mudah mengubah dari benci jadi suka," katanya diselingi dengan tawa.

Kisah perjalanan mereka dalam menjemput jodoh bisa dibilang secepat kilat. Jarak dari lamaran ke pernikahan benar-benar singkat, hanya sekitar dua mingguan. Hal itu dilakukan karena Haikal takut Hanin berubah pikiran jika menunda pernikahan terlalu lama.

Lagi pula, Haikal pun tidak ingin terjebak hubungan tak halal. Meskipun dia berulang kali mendapat penolakan, tapi akhirnya berlabuh juga di pelaminan.

Sejatinya perempuan itu hanya ingin melihat kesungguhan, dan sedikit 'paksaan' untuk menyakinkan dirinya bahwa dialah pilihan terbaik untuk dijadikan sebagai imam.

"Effort Haikal nggak main-main sih, Ma, dia serius banget sampai boyong seluruh keluarga ke rumah Mama, padahal waktu itu Hanin lagi nggak ada di rumah, kabur karena nggak mau dilamar."

Mama geleng-geleng dan semakin menguarkan tawa. "Anak itu memang ada-ada saja kelakuannya. Saking nggak mau sama Haikal, dia itu buka-bukaan soal aib dan semua keburukannya, pokoknya yang di-spill yang jelek-jelek."

"Duhh, duhh, renyah banget kayaknya ngomongin aku. Seru, yah makan daging saudara sendiri," ujar Hanin yang baru saja keluar dari kamar.

"Enggak gitu, Mama sama Zanitha lagi flashback saja sama kisah kamu dan Haikal. Kamu itu definisi malu-malu tapi mau," ujar Mama meluruskan.

"Wajar kalau dulu aku nggak mau sama Mas Suami, mana irit ngomong, judes, terus pakaiannya formal abis kayak pegawai Disdukcapil. Orangnya terlalu serius, dan parahnya baru pertama kali ketemu langsung ngajak qobiltu. Perempuan mana coba yang nggak ngacir kalau ketemu laki modelan begitu," cerocosnya.

Bukan kayak pegawai Disdukcapil lagi, tapi memang Haikal bekerja di bidang itu. Hanin ini ada-ada saja.

"Itu tandanya Haikal tahu bagaimana cara memuliakan perempuan. Bukan dengan i love you tapi qobiltu, bukan mawar tapi mahar," sangkal saya.

"Iya deh iya, si paling anti pacar-pacaran tapi terjebak HTS plus LDR-an," sindirnya tepat sasaran.

Hanin ini kalau ngomong saklek, sarkas, dan langsung nusuk ke ulu hati.

⏭️◀️⏮️

Padalarang, 27 September 2023

Lanjut???

Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top