ETP | 25
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Sejatinya bukan hanya pesan yang diharapkan, tapi lebih mengarah pada sebuah kepastian."
⏮️⏸️⏭️
SETIBANYA di rumah, saya langsung melepas benda berbentuk lingkaran yang sempat bertengger apik di jari manis, menyimpannya di atas meja lantas merebahkan tubuh di sofa.
Hari yang melelahkan sekaligus membahagiakan. Saya senang, karena buku saya diberi kesempatan untuk diangkat ke layar lebar. Namun, juga melelahkan karena sempat terjadi kesalahpahaman akibat cincin yang saya pakai.
Bukannya takut dikira sudah memiliki calon, tapi saya lebih takut dikira sebagai pembohong. Apa jadinya jika semakin banyak orang yang mengira itu adalah cincin lamaran, bisa panjang pasti ceritanya.
Pertanyaan kapan naik ke pelaminan pun pastinya akan semakin gencar dilontarkan. Jujur saja, pertanyaan itu teramat horor untuk menyapa rungu saya.
Mengerikan!
"Apa itu, Tha?"
Saya membuka mata kala mendengar suara Mama, yang ternyata sudah duduk di sofa seberang. "Bingkisan dari Mas Dipta, oleh-oleh khas Palembang."
Mata beliau berbinar seketika. "Pempek pasti ini. Mama goreng dulu kalau gitu."
Saya pun memilih untuk duduk, menatap beliau lantas berkata, "Kalau soal makanan Mama memang nggak pernah pandang bulu. Dari siapa pun pasti diembat."
Beliau tertawa lepas. "Rezeki nggak boleh ditolak, Tha. Apalagi ini pempek asli dari tempat asalnya. Untuk rasa sudah pasti enak dan nggak mengecewakan."
"Padahal belum dimakan, tapi Mama sudah sok tahu soal rasanya. Dasar!"
"Dilihat dari penampakannya saja sudah menggiurkan, Tha. Apalagi kalau sudah dicoba, sudah ah Mama mau masak dulu. Pempek kapal selamnya melambai-lambai itu, minta untuk segera Mama makan."
Saya geleng-geleng melihat langkah beliau yang kian menjauh. Makanan memang menjadi mood booster paling ampuh baginya. Itulah mengapa saya selalu membawa sesuatu jika habis bepergian.
Selagi menunggu Mama, saya memilih untuk melihat gawai, sekadar membuka instagram. Menonton reels yang lewat di beranda. Biasanya, waktu akan terasa cepat jika saya melakukan kegiatan tak berfaedah tersebut.
Sudah tahu buang-buang kuota dan buang-buang waktu, tapi saya masih saja melakukannya. Itulah Zanitha Daniza.
"Cepet banget gorengnya, Ma," kata saya saat Mama sudah kembali seraya membawa dua piring berisi pempek, lantas duduk di sisi saya.
"Kan pakai kecepatan kilat," sahutnya diakhiri kekehan.
Saya meletakkan gawai di atas meja, mengambil alih piring yang Mama serahkan lantas memakannya.
"Cukonya pedes banget, ini dikasih sambel lagi pasti sama Mama," komentar saya.
"Lemah kamu, Tha, padahal itu nggak dikasih sambel. Pakai kecap lagi sana, berabe kalau sampai sakit perut."
Saya bergegas mengikuti titah beliau. Saya ini memang anti pedas-pedas club. Lidah saya tidak kuat.
"Tadi Mama beli es goyobod, sekalian bawa ke sini, Tha," teriak Mama dari ruang tengah.
"Susu kotak habis, Ma? Pedesnya lumayan nempel di lidah ini," tanya saya saat sudah menyerahkan es goyobod pesanannya.
"Kamu, kan yang biasa stok susu sama yogurt di kulkas. Mama mana tahu, Tha."
Saya menghela napas singkat. Sepertinya saya memang lupa.
"Kebiasaan kamu sama Nak Hamzah memang sebelas duabelas. Hobi banget stok susu kotak sama yogurt. Bedanya kalau Nak Hamzah suka pedas, kamu malah antipati," oceh beliau.
Perkataan Mama mengingatkan saya pada sosok Hamzah. Tidak terasa sudah dua bulan kami saling berjauhan, tanpa ada komunikasi yang intens tentu saja.
Mungkin bisa dihitung dengan jari, sudah berapa kali Hamzah mengirimkan pesan. Itu pun hanya berisi salam dan bertanya kabar, tidak ada basa-basi lain yang bisa memperpanjang obrolan.
Saya yang pada dasarnya memang tidak biasa, dan dia pun terkesan kaku untuk memulai pembicaraan. Memang lebih nyaman kala bertemu langsung, bukan hanya sebatas virtual seperti sekarang.
Adaptasinya cukup menyulitkan.
"Malah bengong. Ada yang rindu kayaknya nih, tapi gengsi kalau harus bilang duluan."
Refleks saya pun menggeleng cepat. "Apaan sih, Ma!"
"Kalau kangen bilang, nggak usah sok nggak peduli gitu. Mata kamu nggak bisa bohong, Zanitha."
Saya memilih untuk melanjutkan memakan pempek, tak ingin menimpali ucapan Mama. Beliau ini suka mendadak jadi pakar mikro ekspresi, seolah paling tahu, padahal hanya asal menebak.
"Mau Mama teleponin Nak Hamzah, Tha? Tawaran Mama nggak datang dua kali lho," cetusnya.
Mata saya membulat sempurna. "Bercandanya nggak lucu yah, Ma. Enggak usah, makasih!"
Tanpa dosa beliau malah tertawa terpingkal-pingkal. "Muka kamu merah banget itu, kayak habis digampar orang," ledeknya semakin menjadi.
Saya mencebik sebal. "Mama nyebelin!"
"Jarak memang bisa membuka mata dan hati yah, Tha. Kalau lagi berdekatan, nggak sadar, tapi kalau lagi berjauhan berasa ada yang hilang. Sekarang baru berasa, kan?"
"Berasa apa maksud Mama?"
"Ada kekosongan di hati yang nggak kamu mengerti, atau memang berlagak nggak menyadari."
"Enggak usah sok puitis dan pakai kalimat tersirat deh, Ma."
"Tanpa Mama perjelas pun sebenarnya kamu sudah tahu, Tha. Mau tersurat ataupun tersirat pasti kamu bisa mengartikan maksud dari perkataan Mama."
Saya memutar bola mata malas. "Ya, ya, terserah Mama!"
"Sudah habis berapa kapsul? Sudah berapa banyak pita yang kamu pasang di pohon, hm?" sindirnya.
Sekarang saya menyesal, seharusnya saya tidak menceritakan ihwal vitamin dan pita yang Hamzah berikan. Karena kini, hal tersebut dijadikan sebagai bahan ledekan.
"Enggak usah merembet ke mana-mana, mending Mama fokus saja sama pempek. Kalau sudah dingin kurang enak," ungkap saya.
"Pinter banget ngelesnya!"
Saya tak merespons. Lebih baik melanjutkan kegiatan makan, memperpanjang obrolan dengan Mama pasti tidak akan menemukan kata akhir, apalagi yang dibahas Hamzah.
"Lho ke mana cincin kamu, Tha? Jangan bilang kalau hilang!" omelnya dengan mata melotot.
"Itu di atas meja, biasa saja dong, Ma. Enggak usah pakai melotot dan pakai suara tinggi. Berharga banget kayaknya itu cincin," sahut saya.
"Kenapa dilepas?"
"Nitha nggak biasa pakai perhiasan, lagi pula nggak nyaman juga, Ma. Dikiranya itu cincin lamaran, padahal boro-boro lamaran, pasangan saja nggak punya."
"Itu, kan cincin pemberian Mama. Siapa juga yang bilang cincin lamaran? Ngaco kamu, Tha."
Saya menghela napas singkat. "Bukan Nitha yang ngaco, tapi memang rupa cincin itu kayak cincin lamaran. Cincin itu kayak sepasang, Mama iseng banget beliin cincin model kayak gitu."
"Makanya biasakan pakai perhiasan, itu tangan jangan dibiarkan kosong. Sekalinya ada yang ngisi, malah jadi sumber kesalahpahaman," sahut Mama terkesan meledek.
"Mending disimpan saja cincinnya, sayang, takut hilang. Jari Nitha berasa gatel tahu, Ma. Enggak nyaman."
"Pakai lagi, Tha. Cincin itu sengaja Mama beli untuk melindungi kamu, agar nggak mudah didekati laki-laki."
Mata saya membulat sempurna. Apa maksudnya coba?!
"Mama ngaco!"
Beliau mengambil cincinnya, menarik paksa tangan saya lantas kembali memasukkan benda tersebut di jari manis. "Sekarang sudah nggak ada lagi Nak Hamzah yang bisa jagain kamu, yang biasa ngintilin kamu. Tapi dengan adanya cincin ini, laki-laki akan berpikir ulang untuk mendekati kamu."
"Bukan bermaksud untuk menipu, tapi Mama khawatir ada pria yang berniat untuk mempermainkan kamu. Mama takut kamu jadi korban buaya. Kalau ada cincin yang melingkar di jari, pasti lelaki pun akan enggan untuk mendekati. Kamu paham, kan maksud Mama?"
"Harus banget dipakai, Ma?"
Beliau mengangguk mantap.
Saya pun memilih untuk menurut, tidak etis saja rasanya jika berdebat hanya karena perkara cincin. Seperti tidak ada hal lain yang lebih penting.
⏭️◀️⏮️
Padalarang, 25 September 2023
Adakah yang bernasib sama dengan Zanitha?
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Lanjut nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top