ETP | 21
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Sejatinya jawaban itu sudah terpampang nyata, tapi kadang kitanya saja yang kurang peka."
⏭️⏸️⏮️
MENGEDARKAN pandangan ke segala penjuru, berharap bisa menemukan sosoknya. Saya sudah seperti orang linglung yang celangak-celinguk serta berlarian tak jelas ke sana kemari. Seolah tengah melakoni drama-drama yang biasa beredar di televisi.
Saya semakin dilanda frustrasi kala tak kunjung mendapatinya. Memegang erat paper bag yang sudah saya siapkan untuk dia, tapi ternyata saya sudah telat. Kemungkinan besar pesawatnya sudah terbang membelah awan. Saya benar-benar terlambat.
Memilih untuk duduk sejenak, tapi mata dan pikiran saya berkeliaran dan tertuju pada Hamzah. Berharap ada keajaiban, setidaknya bisa sejenak bertemu untuk memberikan sesuatu yang bisa dijadikan sebagai tanda perpisahan.
"Zanitha?!"
Saya menoleh ke sumber suara dan mendapati sosok yang saya cari sedari tadi tengah menggeret sebuah koper. Senyumnya mengembang, tapi tak bisa dipungkiri ada semburat kesedihan di sana.
"Alhamdulillah A Hamzah belum flight," kata saya sangat amat bersyukur.
"Pesawatnya delay, Tha, molor jadi satu jam lagi."
Saya mengangguk singkat. "Untuk kamu," ungkap saya seraya menyerahkan paper bag.
Dia menerimanya lantas terkekeh saat mengobrak-abrik isinya. "Ini vitamin berdasarkan resep dokter atau meniru vitamin buatan saya, hm?"
Saya meringis kecil. "Vitamin yang sama, seperti yang kamu berikan pada saya. Jumlahnya pun 730 butir, diminum satu kali sehari. Saya harap sebelum kapsulnya habis, kamu sudah kembali pulang."
"Dibaca novelnya, saya sudah menunaikan keinginan kamu. Tumbler-nya juga dipakai, A Hamzah suka lupa minum kalau lagi fokus mengerjakan sesuatu. Saya hanya bisa memberikan itu."
Dia tertawa kecil sembari memperlihatkan tumbler-nya pada saya. "Harus banget pakai warna pink, Tha?"
Saya mencebik sebal. "Hanya ada warna itu yang tersisa, ya sudah saya beli saja. Daripada, tidak ada satu pun benda berfaedah yang bisa saya berikan."
"Terima kasih yah, Tha. Kamu sampai bela-belain ke bandara segala, padahal baru selesai acara," katanya terdengar tulus.
Untunglah jarak tempuh dari tempat acara ke bandara Husein Sastranegara tidak terlalu jauh. Jadi saya bisa dengan cepat menemuinya.
Penerbangan dari Bandung ke Berlin yang harusnya sudah flight dari beberapa menit lalu, terpaksa ditunda dahulu. Kejadian yang mungkin bagi sebagian orang menjengkelkan, tapi bagi saya merupakan sebuah keuntungan.
Saya mengangguk kecil. "Semoga penerbangannya lancar, selamat sampai tujuan. Jangan lupa kabari saya jika sudah sampai."
Dia hormat layaknya pada bendera merah putih. "Siap laksanakan!"
"Mama, Ayah, sama Hanin ke mana?"
"Mereka sudah pulang, kasihan kalau harus menunggu terlalu lama. Lagi pula saya bukan anak kecil yang akan pergi rekreasi sampai harus diantar sekeluarga."
Saya manggut-manggut paham.
"Tadi saya lihat acara grand launching sekaligus bedah buku kamu lewat streaming yang diadakan ND Publisher di akun instagram. Saya bangga melihat kamu sekarang, meskipun hanya sebatas virtual."
Saya hanya tersenyum tipis. Mendadak bingung untuk memperpanjang obrolan, padahal ini menjadi pertemuan terakhir kami. Hati dan pikiran saya sedang kacau, tidak bisa diajak kompromi.
"Tha, jaga diri baik-baik yah."
Saya mengangguk lantas kembali menunduk. Sebisa mungkin menahan tangis, tak ingin melepas dia dengan kesedihan.
Perpisahan itu menyakitkan, terlebih berada di posisi seperti saya sekarang. Ingin melarang, jelas tak memiliki wewenang. Belagak ikhlas dan tegar nyatanya tidaklah gampang.
Ternyata benar, HTS itu berujung memilukan, tidak ada kebahagiaan kecuali memang garis takdir mengizinkan.
Namun, saya harap dengan adanya perpisahan ini setidaknya akan memberi angin segar, bahwasannya kisah kami hanya cukup sampai di sini. Tidak ada kelanjutan.
"Jangan lupa kunjungi Mama kalau ada waktu senggang yah, Tha. Besok Hanin akan pindah, diboyong suaminya. Saya yakin Mama pasti kesepian," pintanya.
Saya pun mengangguk singkat. "Ya."
"Lebih baik sekarang kamu pulang, Tha. Kamu pasti perlu istirahat, acara tadi berlangsung lumayan lama dan menguras tenaga serta pikiran kamu," titahnya lembut.
Saya mengangkat kepala, sekilas menatap ke arahnya lalu mengangguk lesu. "Fii amanillah, A Hamzah."
Dia pun tersenyum samar sebagai respons.
Saya memutar arah dan bergerak memperlebar jarak. Tidak ada sedikit pun keinginan untuk menoleh, walau hanya sejenak.
Saat kaki ini dilangkahkan, maka di saat yang bersamaan kisah saya dan dia pun selesai. Saya rasa inilah jawaban yang selama ini saya cari-cari.
Perpisahan menjadi penutup yang harus saya terima dengan penuh kelapangan.
⏭️⏸️⏮️
Memilih untuk mampir ke sebuah masjid, sekadar duduk di teras dan berdzikir guna menenangkan hati yang tengah resah. Saya rasa jika pulang dalam keadaan seperti ini, pasti akan mendapat banyak pertanyaan dari Mama.
Alangkah lebih baiknya saya bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Itu jauh lebih baik, cukup saya saja yang kepikiran tidak dengan beliau.
"Sedang apa kamu di sini?"
Saya mendongak saat mendapati suara seseorang, dan saya mematung kala melihat sosoknya.
"Seharusnya saya yang tanya seperti itu, Mas Dipta kenapa ada di sini?"
Dia terkekeh pelan lantas berujar, "Rumah saya sekitaran sini. Sudah biasa saya mengunjungi masjid ini, terlebih sebentar lagi akan memasuki waktu ashar. Kamu sendiri, kenapa bisa nyasar ke sini?"
"Mampir mau numpang salat ashar," jawab saya sekenanya.
Dia manggut-manggut lantas pamit untuk masuk. Saya pun mempersilakannya, lalu berjalan menuju tempat wudu yang tersedia. Wajah saya perlu siraman air agar tidak terlalu suram.
Lantunan azan berkumandang merdu. Suaranya begitu indah menenangkan, memang benar hanya dengan mengingat Allah hati menjadi jauh lebih tenang.
Saya mengintip dari celah tirai pembatas, merasa penasaran dengan muadzinnya. Saat mendapati Mas Dipta berdiri di balik mimbar, dengan segera saya kembali menutup tirai tersebut. Merasa malu, hanya karena rasa penasaran saya bersikap tidak sopan.
Ternyata benar, menjaga pandangan tidaklah gampang. Mata saya seharusnya bisa dipergunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, bukan malah digunakan untuk hal-hal semacam tadi.
Mengintip merupakan salah satu perilaku tercela, terlebih saya melakukannya di rumah Allah. Dosanya pasti akan berlipat ganda. Nauduzbilah.
Melantunkan istighfar sebanyak mungkin, berharap dengan cara itu Allah sudi memberi ampunan. Saking fokusnya, saya sampai tidak sadar kumandang iqamah sudah mulai menguar.
Menunaikan salat sebanyak empat rakaat, berusaha untuk khusuk dan tidak memikirkan ihwal dunia. Nyatanya itu tidaklah mudah. Mendapat kekhusukan dalam salat merupakan sebuah nikmat, yang jarang sekali didapat.
Entah ini hanya berlaku untuk saya atau yang lain pun merasakan hal yang serupa?
"Segeralah pulang, waktu semakin petang. Tidak baik perempuan jika pulang mepet malam, bahaya," tegurnya kala saya tengah asik melamun di teras seraya bersandar di dinding.
Saya mengangguk. "Iya, Mas."
"Ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran kamu? Raut wajah kamu sangat suram, Zani."
Saya menggeleng pelan. "Bukan suatu hal yang besar."
"Jika bukan suatu hal yang besar mengapa dipikirkan?"
Saya terdiam, tak bisa menyangkal ataupun tak memiliki keinginan untuk berbohong. Diam jauh lebih baik, dibanding berkoar-koar menyuarakan kata-kata dusta.
"Sebentar lagi akan ada kajian rutin untuk ibu-ibu, kalau kamu masih bengong sendirian di sini pasti akan mengundang perhatian banyak orang. Biar saya antar pulang," terangnya.
"Kalau begitu saya akan ikut kajian dahulu."
Alisnya bertaut. "Zani, saya tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Tapi, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa malah akan semakin melukai kamu."
"Saya memang tidak tahu apa yang tengah kamu alami, tapi saya lebih menyarankan untuk kamu pulang. Ibu kamu pasti cemas saat tahu anak perempuannya belum kunjung pulang, padahal acara sudah sejak tadi selesai."
"Perlu saya antar?"
Saya menggeleng tegas. "Saya bisa pulang sendiri, terima kasih atas sarannya. Wassalamu'alaikum."
Setelah mendengar balasan salamnya, saya benar-benar melangkah pergi dan meninggalkan pelataran masjid.
⏮️◀️⏭️
Padalarang, 21 September 2023
Singkatnya sih gini. Gugur satu tumbuh tunas baru. 😂🙈😌
Tenang, Tha, Hamzah memang ngilang, tapi, kan masih ada Dipta. 🤣🤭
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top