ETP | 2

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Teror mama minta pulsa sudah berlalu, kini malah dilanjut dengan teror mama minta mantu."

⏮️⏸️⏭️

JARI-JARI yang semula bermain di atas keyboard terhenti kala mendengar suara pembeli yang ternyata sudah berada persis di depan saya. Wajahnya sudah masam, mungkin karena sedari tadi saya acuhkan sebab terlalu fokus menulis.

"Maaf, Teh. Belanjanya sudah?" tanya saya seramah mungkin.

"Dari tadi juga sudah selesai. Tinggal bayar doang. Kamu tuh kalau jaga toko jangan bawa laptop. Suka nggak fokus!" omelnya.

Mungkin lebih tepatnya terlalu fokus, sampai tidak sadar ada pembeli yang sudah memasang wajah garang.

Saya mengambil keranjang belanjaan yang ada di meja. Segera menghitungnya dan memasukan ke dalam kantung plastik. "Maaf atas ketidaknyamanannya, Teh. Totalnya Rp. 50.000,00."

Tak ada sahutan, hanya terdengar dengkusan kasar lantas berlalu pergi setelah membayar serta mengambil barang-barangnya.

"Kamu suka lupa dunia nyata, kalau sudah ngetik depan laptop, Tha," omel Mama yang baru saja muncul dari gudang.

Saya sedikit meringis. "Iya, maaf, Ma. Enggak lagi-lagi deh."

Selain menjadi penulis, keseharian saya ialah membantu Mama untuk menjaga toko sembako. Selagi menunggu pembeli, biasanya saya isi dengan menulis tapi kadang suka kebablasan dan asik sendiri seperti tadi.

"Emang kamu lagi ngetik apa sih, Tha? Perasaan baru kemarin kamu bilang kalau naskah kamu baru kelar," ujar Mama masih terlihat fokus menata beberapa barang yang sudah kosong dari display.

Saya pun menghampiri beliau, membantunya. "Lagi nulis kata-kata manis untuk video cinematic prewedding Hanin, Ma. Sudah dikejar waktu, A Hamzah nagih terus."

Mama manggut-manggut. "Nikahan Hanin minggu depan, kan?"

Saya mengangguk.

"Nak Hamzah legowo banget yah, Tha. Bisa ikhlas dilangkahin adiknya," ungkap Mama.

"Namanya juga jodoh, nggak ada yang tahu, Ma. Lagian Hanin itu, kan perempuan. Umur segitu memang sudah pas untuk menikah."

"Umur kamu juga sudah pas buat nikah. Terus kapan?"

"Kapan apanya?"

"Nikah."

"Nitha baru saja selesai wisuda, umur juga masih 22. Masih muda, Ma. Enggak usah buru-buru nikah."

"Kalau di kampung umur segitu sudah punya anak dua, Tha. Kamu jangankan punya anak, pasangan saja nggak ada," sarkas Mama.

"Masih otw, Ma. Aa lauhul mahfudz masih coming soon, belum di-launching," jawab saya asal.

"Launching dikira buku kali. Kamu ini bercanda terus kalau Mama bahas soal mantu."

Tanpa dosa saya malah tertawa.

"Daripada nunggu yang nggak pasti, mending sama yang ada depan mata aja, Tha," cetus beliau setelah menyelesaikan kegiatannya.

"Maksud Mama?"

"Sama Nak Hamzah. Mama sudah cocok, sudah kenal baik juga sama keluarganya. Emang kamu nggak suka sama Nak Hamzah?"

Saya meneguk ludah susah payah. Pertanyaan macam apa itu? Saya jelas tidak bisa menjawabnya.

"Mama lihat kayaknya Nak Hamzah suka sama kamu, kamu juga kayaknya tertarik. Tapi, kenapa status kalian nggak diperjelas saja sih, Tha. Supaya nggak bingung kalau ada yang nanya," imbuh beliau.

Perkataan Mama hanya sebatas kayaknya, sekadar praduga yang kebenarannya masih menjadi tanda tanya. Tapi beliau begitu memojokkan seolah yang diutarakannya merupakan fakta nyata.

"Bahas mantunya dilanjut nanti, ada yang beli," potong saya merasa terselamatkan lantas kembali duduk di balik meja kasir.

Mama mendengkus kasar seraya menggerutu, sedangkan saya bernapas lega dan sangat amat bersyukur.

"Gula pasir nggak ada yang seperempat, Tha? Di sini sisa yang sekiloan saja," tanya Teh Rahmi yang merupakan langganan toko sembako kami.

Saya pun bergegas menghampirinya. "Sebentar, Teh saya cek ke gudang dulu. Kayaknya lupa belum di-display."

Saya terperanjat kala mendapati Mama tengah bersidekap dada di depan pintu gudang. "Mama tuh hobi banget ngagetin, Nitha."

"Mama kasih gula yang kamu cari, tapi jawab dulu pertanyaan Mama yang tadi," katanya seraya menunjukkan benda yang tengah saya cari.

"Nanti dijawab, tapi nggak sekarang. Kasihan Teh Rahmi nungguin," bujuk saya memohon.

"Kamu lebih kasihan sama Rahmi daripada sama mama kamu sendiri?"

Saya menghela napas berat. "Di antara Nitha sama A Hamzah nggak ada hubungan apa-apa"

"Mama maunya kalian ada apa-apa!"

Allahuakbar. Saya hanya mampu mengusap dada sabar. Mama mode minta mantu begitu mengerikan.

"Nitha sama A Hamzah itu HTS-an. Enggak tahu, Nitha juga bingung. Sudah yah, Ma. Jangan bahas itu mulu," jawab saya lalu merampas gula pasir yang berada di tangannya lantas melesat pergi.

Menghiraukan gerutuan beliau yang menggema ke seluruh penjuru toko.

"Lama banget kamu, Tha. Gudangnya pindah ke mana?"

Saya menampilkan cengiran khas. "Sekarang gudang ada penjaganya, Teh. Pake password pula, tadi saya lupa jadi agak nge-blank."

"Ngaco kamu, Tha!"

"Ada lagi, Teh?" tanya saya sembari menghitung jumlah belanjaannya.

"Cukup, kalau ada yang kelupaan tinggal ke sini lagi nanti," jawabnya.

Saya hanya mengangguk dan kembali fokus untuk menyelesaikan pekerjaan.

"Makasih, Tha," ungkapnya setelah membayar dan mengambil alih belanjaan yang saya serahkan.

Suara mesin motor yang sudah sangat saya hapal terparkir apik di depan toko, lantas pemiliknya langsung mendaratkan bokong di kursi yang berada tak jauh dari saya.

"Mau kopi, teh, atau air putih? Capek banget kelihatannya," tawar saya.

Dia membuka sarung tangannya lantas berkata, "Sedikit ngelunjak, mau es jeruk yang jualan samping toko kamu, Tha."

Saya mendengkus pelan, tapi menuruti pintanya. Bergegas menuju ruko samping, dan membeli dua gelas es jeruk serta satu gelas es kelapa muda.

Sekembalinya saya dengan menjinjing kantung plastik. Hamzah dan Mama tengah asik berbincang dan melempar tawa. Terlihat sangat akrab, bak sepasang ibu dan anak.

"Es kelapa muda kelihatan lebih menggoda, Tha. Tukeran lha," ujarnya tak tahu malu.

"Pesannya, kan es jeruk. Konsisten dong, jangan plin-plan!"

"Kasih saja atuh, Tha. Sama tamu itu harus ramah, nggak boleh judes-judes. Enggak baik."

Tuh, kan, Mama lebih membela Hamzah dibandingkan anak kandungnya sendiri.

Saya memutar bola mata malas. Meminum es kelapa muda dengan rusuh hingga sisa setengahnya, lalu menyerahkan pada Hamzah. "Nih, katanya es kelapa jauh lebih menggoda!"

"Allahuakbar! Masa kamu kasih Nak Hamzah minuman bekas sih, Tha. Enggak sopan. Mama beliin yang baru yah, Nak Hamzah," ungkap Mama penuh empati tinggi pada Hamzah yang tidak tahu diri.

"Enggak usah, Ma. Nggak papa," sahutnya lalu menghabiskan es kelapa sisa saya.

Mama memberi pelototan sadis, tapi saya sengaja membuang pandangan.

"Quotes-nya sudah beres belum, Tha? Hanin nagih terus," ucap Hamzah langsung pada intinya.

"Sudah, tinggal kirim kamu saja. Tadi nggak sempet, keburu ada pembeli."

"Tumben lama, lagi ada project nulis?" tanya Hamzah saat saya sudah mulai fokus pada laptop.

"Iya, dikejar deadline untuk kelarin naskah."

Hamzah mengangguk paham. "Maaf, Tha. Hanin malah ngerepotin kamu. Sekarang naskahnya sudah selesai belum? Mau saya bantu editkan?"

"Enggak usah. Sudah beres kemarin. Kamu juga lagi sibuk, banyak job motret, kan."

Lagi-lagi Hamzah mengangguk. "Lagi musim kawin."

"Terus Nak Hamzah kapan?"

"Duhh, pertanyaan Mama horor juga ternyata. Kapan yah? Hilalnya belum kelihatan nih."

"Belum ada niat menikah memangnya?" tanya Mama semakin menjadi.

Hamzah tak menjawab, dia malah melirik ke arah saya yang kini pura-pura sibuk menatap layar laptop. Mengabaikan segala perbincangan sensitif di antara mereka.

⏭️▶️⏮️

Padalarang, 02 September 2023

Langsung kena ulti camer tuh si Hamzah 😂🙈 ... Zanitha stay cool aja, pura-pura nggak denger 😌

Jangan lupa tinggalkan jejak 👣☺️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top