ETP | 18
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Ada banyak kisah bahagia yang tercipta, cukup kenang itu saja."
⏮️⏸️⏭️
MAU sedekat apa pun kita dengan seseorang, pasti akan asing jika waktunya datang. Mau seintens apa pun pertemuan, pasti akan ada jarak yang kelak memisahkan. Bahkan orang tua dan keluarga yang sudah saling mengenal pun tidak bisa dijadikan sebagai patokan, akan langgengnya sebuah hubungan.
Kisah yang sejatinya tidak pernah saya mulai, kini memasuki babak baru, yakni diambang keresahan. Entah akan berujung ghosting, atau justru happy ending. Saya tidak bisa menerka bagaimana ujung ceritanya.
Merangkai kata memang keahlian saya, mencari masalah untuk konflik para tokoh pun menjadi hal yang sangat biasa. Namun, kala diri dirundung kepelikan hidup, rasanya saya ingin menyerah saja.
"Lama kamu nggak ke sini, Tha. Sibuk yah?"
Kalimat tanya itu menjadi pembuka pertemuan saya dan juga Mama Anggi. Memang sudah cukup lama kami tidak bersua.
"Enggak kok, Ma, Nitha hanya sedang mempersiapkan naskah yang beberapa hari lagi akan launching."
"Masyaallah, seneng Mama dengarnya. Selamat yah, Tha."
Saya tersenyum dan mengangguk kecil sebagai respons.
"Hamzah mau lanjut S2 lho, Tha," cetusnya membuat bola mata saya membulat sempurna.
"Serius, Ma?"
Sebuah anggukan dengan senyum mengembang sudah cukup menggambarkan, betapa bahagianya beliau.
"Akhirnya Hamzah bersedia juga untuk lanjut S2."
Saya meringis kecil.
Itu memang keinginan beliau, tapi saya yakin keputusan tersebut tidaklah murni atas kemauan Hamzah sendiri.
"Alhamdulillah."
Pada akhirnya kata itulah yang mampu saya keluarkan.
"Nunggu lama, Tha? Maaf yah."
Saya menoleh ke sumber suara, di sana Hamzah berdiri gagah dengan setelan santainya. Sebuah kamera selalu dia tenteng ke mana pun dirinya pergi.
Benar-benar fotografer sejati.
Saya bangkit dari duduk. "Lumayan."
"Kita pamit dulu, Ma, assalamualaikum," katanya seraya menyalami punggung tangan beliau.
Saya pun melakukan hal yang serupa, dan benar-benar pergi saat kata salam sudah Mama jawab.
"Kamu mau lanjut S2?" tanya saya saat kami baru sampai di pelataran rumah, di mana motor kami berada.
"Ya."
"Itu murni keinginan A Hamzah?"
"Sekalipun bukan, saya nggak bisa terus menolak keinginan orang tua saya. Semakin ditunda, akan semakin lama saya mewujudkan cita-cita mereka. Saya sudah dikejar usia, Tha."
Saya mengangguk kecil lantas menaiki motor dan melajukannya lebih dulu. Tidak ingin memperpanjang obrolan, karena saya tahu topik itu tidaklah menarik untuk dia bahas lebih dalam.
Jalanan yang lengang membuat saya leluasa dalam berkendara. Hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 20 menit saja untuk sampai ke tempat tujuan.
"Ini tempatnya?" tanya saya memastikan.
Dia mengangguk lantas turun dari motor. "Masuk, Tha," ajaknya.
Sedikit ragu saya pun mengikuti langkahnya memasuki bangunan yang bisa dibilang cukup luas ini. Dan saya dibuat menganga sekaligus terpesona dengan apa yang ada di dalamnya.
"Ini galery foto yang saya siapkan dari beberapa bulan lalu. Ada studio foto yang berada di tengah ruangan. Juga ada space kosong di sisi kanan untuk memajang buku-buku kamu. Di sisi kiri, di mana saat ini kita berdiri adalah space khusus untuk memajang hasil foto saya," terang Hamzah.
"Maksud A Hamzah apa?"
"Ini untuk kamu, Tha."
Saya kaget setengah mati dibuatnya. Apa saya tidak salah mendengar?
"Kamu jangan bercanda. Enggak lucu tahu!"
Dia malah terkekeh pelan. "Bukankah ini cita-cita kita dari sejak lama. Bisa memajang hasil karya masing-masing untuk bisa dinikmati orang-orang. Saya sudah mewujudkannya."
"Dalam rangka apa?"
"Kita punya mimpi yang sama, ingin memiliki sebuah tempat di mana kita merasa bahwa inilah diri kita yang sebenarnya. Sebuah bangunan yang akan menjadi tempat ternyaman di mana isinya sangat menggambarkan kita, jati diri kita seutuhnya."
"Saya akan meninggalkan kota ini, dalam waktu yang bisa dibilang lama untuk melanjutkan S2. Saya harap dengan hadirnya bangunan ini kamu masih bisa merasakan bahwa saya selalu ada, dan akan tetap membersamai perjalanan kamu untuk menggapai apa yang kamu inginkan."
"Tha, saya nggak bisa menjanjikan apa pun untuk kamu, bahkan saya yakin kamu tersakiti dengan keadaan ini. Sampai detik sekarang, hubungan kita diambang ketidakjelasan."
Saya hanya mampu berkawan geming, tak bisa sedikit pun mengeluarkan kosakata untuk menimpali ucapannya. Seolah tahu kecamuk hati yang tengah menggerogoti, dia memilih untuk mengalihkan topik.
Dia tersenyum lebar, tangannya menunjuk ke deretan bingkai di mana potret diri saya yang menjadi objek utamanya. "Uji coba pertama saat untuk pertama kalinya saya bisa membeli sebuah kamera."
Saya mengangguk kecil. Jelas saya masih mengingatnya. Bagaimana gigihnya dia dalam mengumpulkan uang, dan rela mengurangi jatah jajannya semasa sekolah dulu.
Masa putih abu yang cukup mengesankan dengan banyaknya perjuangan.
Dia terus mengajak saya berkeliling, memamerkan hasil karyanya yang apik, dan selalu menjelaskan ada kisah apa dibalik bingkai tersebut.
Ada beberapa gambar saya yang terpajang di sana, bahkan saya tidak menyadari bahwa dia sudah banyak mengambil gambar saya secara diam-diam.
"Ini adalah rumah kita, Rumah Sang Pemimpi."
Saya tersenyum mendengarnya.
Dia menyerahkan kamera yang selalu menemaninya selama beberapa tahun terakhir. "Simpan baik-baik kamera ini, akan lebih bagus kalau kamu gunakan. Ini adalah jendela mimpi saya, benda yang sangat berharga untuk saya. Kamu rawat baik-baik yah."
"Cara A Hamzah berpamitan seolah nggak akan kembali lagi. Kuliah S2 hanya dua tahun, kenapa harus seperti ini?"
"Bagi saya dua tahun akan terasa lama, karena hari-hari yang saya jalani nggak saya nikmati. Ini bukanlah perkara mudah untuk saya."
"Kita masih bisa bertemu."
"Enggak, Tha. Saya akan lanjut S2 di Jerman. Kecil kemungkinan untuk saya pulang, meskipun ada libur semester. Saya sudah putuskan untuk pulang saat gelar sudah berhasil saya dapatkan," terangnya.
"Jerman? Kenapa harus ke negeri orang, parahnya tanpa pernah memberitahu saya terlebih dahulu lagi. Harus semendadak ini, kah?!"
"Semuanya sudah dipersiapkan dengan matang oleh Mama dan juga Ayah, saya hanya tinggal pergi dan menuntaskan pendidikan."
"Kapan jadwal keberangkatan A Hamzah?"
"Lusa nanti."
Mata saya membulat sempurna. "Kenapa secepat itu?"
"Lebih cepat lebih baik."
"Tapi A Hamzah sudah berjanji akan hadir di acara grand launching buku saya."
"Maaf, Tha saya nggak bisa."
Saya menatap nyalang ke arahnya. "Itu adalah hari penting untuk saya, bahkan kamu yang menjadi perantara tergelarnya acara tersebut. Jika bukan karena kamu yang mengenalkan saya pada Mas Dipta, mungkin mimpi saya nggak akan pernah jadi nyata. Tapi kenapa sekarang kamu ingkar janji pada saya?"
"Maafkan saya, Zanitha."
Saya membuang wajah, menyembunyikan mata yang sudah mulai memerah.
"Saya dihimpit keadaan, gerak saya nggak bisa leluasa karena banyaknya tuntutan orang tua. Bukan saya nggak mau melihat kamu bisa menggapai impian, tapi bukankah saya selalu menemani kamu berproses?"
"Saya ikut senang melihat kamu sekarang, saya ikut ambil bagian dalam perjalanan kamu, Tha."
Saya menengadahkan kepala, berusaha untuk tidak menumpahkan air mata, lalu melihat sekilas ke arahnya. "Enggak seharusnya perpisahan ini ditutup dengan perdebatan. Maaf."
⏭️◀️⏮️
Padalarang, 18 September 2023
Dukung selalu cerita Epilog Tanpa Prolog dalam Event GMG Branding Challenge 2023 ✨
Mau dilanjut atau cukup?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top