ETP | 1
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Terjebak dalam ketidakjelasan, terombang-ambing kebingungan, dan berkawan dengan keresahan."
⏮️⏸️⏭️
MOBIL yang Hamzah kendarai menepi kala melewati Sasak Rajamandala yang menjadi perbatasan Bandung dan Cianjur. Kami ingin sejenak menyegarkan tenggorokan dengan membeli segelas cincau.
Dari banyaknya penjual yang berjejer di tepi jalan, akhirnya kami memutuskan untuk membeli pada seorang ibu yang jualannya masih terlihat banyak. Kami duduk menghadap jalan, di mana hiruk-pikuk kendaraan berlalu lalang.
Saya dan Hanin duduk bersisian, sedangkan Hamzah dan calon iparnya duduk agak berjarak di sebelah Hanin. Hari memang sudah sore, tapi terik matahari seperti tak mengenal kata lelah.
Tenggorokan yang semula kering kerontang mendadak segar, saat suap demi suap cincau masuk ke dalam mulut. Cincau hijau yang dipadukan dengan es serta gula merah cair berhasil menghilangkan dahaga.
"Anterin Zanitha dulu sebelum pulang yah, Nin," tutur Hamzah yang langsung dijawab dengan acungan jempol.
"Makasih lho, Tha, kamu sudah mau nemenin aku," kata Hanin.
Saya pun mengangguk. "Sama-sama, makasih juga sudah diajak healing gratis."
"Siapa bilang gratis? Kamu harus bayar yah, Tha," serobot Hamzah.
"Ish, yang ngajakin saya juga kamu. Kenapa sekarang saya harus ikut keluar modal."
"Judesnya mulai kumat. Bercanda doang, Tha," sela Hamzah meluruskan.
"A Hamzah sama Zanitha tuh hobi banget adu mulut. Kuping aku pengang ada di tengah-tengah kalian," protes Hanin seraya menutup kupingnya.
Hamzah menjitak kening Hanin. "Lebay!"
"Buatin video cinematic prewedding paling aesthetic, jangan lupa pakai quotes yang romantic," pinta Hanin tiba-tiba.
Hamzah mendengkus. "Jasa Aa itu nggak gratis yah, Nin. Mahal, harus bayar."
"Ish, ish, sama adik sendiri perhitungannya minta ampun. Tenang saja, nanti dibayar pakai kasih sayang dari Zanitha."
Mendengar hal tersebut, sontak membuat saya terbatuk-batuk karena masih menikmati es cincau yang sisa setengah gelas lagi.
Dibayar pakai kasih sayang, katanya?
Yang benar saja. Hanin yang menyewa jasa Hamzah, kenapa saya yang kena getahnya.
"Kamu itu kalau ngomong di-filter, anak orang sampe keselek itu," omel Hamzah setelah memberikan sebotol air mineral pada saya.
"Kamu nggak papa, kan, Tha?"
Saya menggeleng pelan dan berdehem beberapa kali untuk menetralkan tenggorokan. "Aman."
"Gini nih, kalau lakinya nggak jelas. Perhatiannya sudah kayak orang pacaran, kasih sayangnya sudah kayak pasangan halal. Kalau ditanya statusnya apa, planga-plongo, bingung. HTS terus sampai mampus!" oceh Hanin.
Saya hanya meringis dan diam seribu bahasa. Perkataan anak itu memang tidak salah. Apa mau dikata memang benar begitu adanya.
"Enggak boleh gitu, Nin," tegur calon suaminya.
Sedangkan saya dan Hamzah sekilas beradu tatap, lantas saling membuang pandangan. Perkataan Hanin sangat amat menohok.
"Semuanya berapa, Bu?" tanya Hamzah seperti mengalihkan perhatian.
Kami pun akhirnya naik ke mobil, dan kembali melanjutkan perjalanan. Suasana jadi mendadak canggung, dan tidak sehangat tadi.
"Bikinin quotes buat cinematic prewedding aku yah, Tha. Kamu, kan paling jago kalau ngerangkai kata-kata," pinta Hanin sembari mengguncang tangan saya.
"Iya," sahut saya menyetujui.
Perihal membuat kutipan adalah perkara biasa untuk saya yang memang seorang novelis. Menulis ribuan kata perhari saja saya mampu, apalagi hanya sekadar quotes sederhana untuk pelengkap video.
Lagi pula saya dan Hamzah memang kerapkali berkolaborasi untuk membuat konten instagram. Biasanya Hamzah yang bertugas untuk mengedit video, sedangkan saya hanya membubuhkan kutipan singkat sebagai pelengkap.
Sesekali juga membuat puisi audio-visual, yang jelas suaranya diisi oleh Hamzah ataupun saya. Tapi, konten yang kami buat tidak menampakkan wajah ataupun potret diri.
Mengambil beberapa scen yang ada di novel, ataupun hanya sekadar mengambil quotes singkat untuk menarik minat pembaca. Menjadikannya sebagai ajang promosi jasa sekaligus promosi karya.
Saling menguntungkan, bukan?
Membubuhkan kata-kata manis dalam wedding klip ataupun cinematic prewedding klien Hamzah sudah menjadi makanan sehari-hari. Sejauh ini tidak ada kendala yang berarti, saya cukup menikmati.
"Kamu kalau bikin novel, nusuk bener ke ulu hati. Lebih banyak sedihnya, dibanding bahagianya," keluh Hanin.
"Saya kalau nulis lebih fokus ke hal-hal yang related sama kehidupan. Enggak terlalu dibumbui fiksi, supaya pembaca nggak terlalu tinggi dalam berekspektasi. Seindah apa pun dunia fiksi, itu hanya sebatas ilusi. Semu, nggak nyata."
Hanin manggut-manggut. "Iya bener sih, kadang aku juga suka baca novel yang tokohnya tuh sempurna tak tertolong. Tampan, mapan, beriman, bener-bener kriteria idaman yang kurang masuk akal. Mungkin di dunia nyata ada, tapi presentasenya nggak banyak kali yah."
"Tokoh idaman perempuan banget itu, apalagi kalau punya tingkat kepekaan di atas rata-rata. Bacanya bikin senyum-senyum sendiri, teriak-teriak nggak jelas, bahkan guling-guling di kasur saking bapernya," timpal saya yang memang memiliki hobi membaca juga.
Tanpa sadar kami berdua tertawa lepas. Beginilah, jika bertemu dengan orang yang sefrekuensi. Mau bahas apa pun juga pasti nyambung.
"Katanya kalau bergaul sama penulis itu harus hati-hati. Mau bagus atau jelek pasti abadi dalam tulisannya. Kamu gitu juga nggak, Tha?" tanya Hamzah sekilas melirik ke belakang, lantas kembali fokus mengemudi.
"Kayaknya sih iya," sahut saya diakhiri dengan cengiran.
"Nama saya akan abadi dalam tulisan kamu dong," katanya penuh percaya diri.
"Sejauh ini sih nggak ada. Karakter kamu terlalu flat, nyebelin iya. Enggak cocok buat jadi bahan halu," sahut saya sekenanya.
Hanin tertawa dengan begitu puasnya. "A Hamzah emang jauh dari kata idaman, Tha."
Saya mengangguk setuju.
"Idaman kalau nggak nyata buat apa? Realistis dong, Nin, Tha. Jangan halu mulu."
Hanin mendengkus. "Makanya sekali-kali baca novel secara utuh, jangan cuma baca tester doang. Coba rasain vibes-nya, baru komentar!"
"Mending baca jurnal, daripada novel."
"Lebih bagus baca al-quran," sahut calon suami Hanin yang begitu irit bicara akhirnya ikut angkat suara.
Hamzah melirik ke samping sekilas. "Kalau itu wajib, nggak boleh ditinggalkan barang sehari pun."
"Biasanya nih kalau pembahasan sudah menjurus ke agama, sudah berada di penghujung. Agama, kan suka jadi penutup obrolan," ujar Hanin.
Hamzah dan calon iparnya malah terkekeh pelan. Mungkin mereka menyetujui asumsi yang dilontarkan Hanin.
"Sampai, Tha," beritahu Hamzah saat sudah berada persis di depan rumah.
"Aa anter Zanitha dulu sebentar," imbuhnya lantas ikut turun dari mobil.
Dia membuka bagasi mobil, lalu menyerahkan sebuah bingkisan pada saya. "Oleh-oleh buat Mama," terangnya tanpa diminta.
"Padahal nggak usah repot-repot, tapi makasih."
"Lho, lho, malah ngobrol depan rumah. Masuk dulu, mampir Nak Hamzah," ajak Mama yang entah sejak kapan sudah berada di depan saya.
"Maunya sih mampir dulu, Ma, tapi lain waktu saja. Takut kemagriban di jalan," tolaknya begitu lembut.
"Ya, sudah nggak papa. Hati-hati di jalan. Makasih sudah anterin Zanitha utuh sampai rumah," ujar beliau tak kalah ramah.
Seakrab itu memang Mama dan Hamzah. Itulah yang kadang membuat saya bingung sekaligus dilema.
Disebut hanya teman, ranahnya sudah melibatkan keluarga. Disebut pasangan, jelas tidak karena tak pernah diikrarkan juga.
Entahlah!
Kalau kata Hanin HTS, Hubungan Tanpa Status.
⏭️▶️⏮️
Padalarang, 01 September 2023
Jadi Zanitha berat juga yah. Apakah ada yang bernasib sama? Semoga ada yang menunggu kelanjutan cerita ini. ☺️
Dukung cerita ini di event GMG Branding Challenge 2023 yah teman-teman. Insyaallah akan daily update dan aktif promo di instagram. Jangan lupa tinggalkan jejak 👣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top