7. Di Antara Kita
“Aku tidak takut, Ti.” Indira menjawab setelah keterkejutannya menguap. Dia menoleh pada Uti dan memberikan senyuman terbaiknya. “Aku memikirkan hal ini semalam. Kamu tak perlu takut, aku dan dia pernah memiliki masa lalu. Kami juga memiliki Janu. Tak mungkin aku terus menghindar dan mengobarkan bendera perang padanya setiap saat. Karena akan ada banyak kemungkinan kami bertemu. Seperti saat ini.”
Bibir Uti melengkung mendengar penuturan Indira. Dia menggenggam tangannya dan menuntunnya berjalan beriringan. Tapi Indira tak bergerak.
“Kamu belum siap?” suara Uti serupa bisikan di telinga Indira.
Indira menggeleng, “Aku hanya ingin memberinya waktu berdua dengan Janu. Begitu pula sebaliknya.”
“Lebih baik kalian tidak usah bertemu dulu. Menghindar bukan berarti menyerah, kan?”
Meski tak terlalu paham arti ucapan Uti, Indira turut mengangguk. Dia menengok ke kiri dan melangkah ke sana. Mereka duduk di salah satu makam setelah Indira yakin jarak antara dirinya dengan Yasa cukup jauh.
“Ra,”
Kebiasaan Uti adalah memenggal apa yang ingin dia katakan. Sementara Indira hanya bergumam pelan karena sudah hapal dengan kebiasaan sahabatnya.
‘Ini makam siapa?”
Kepala Indira menunduk, mengamati pusara yang dia kunjungi. Indira menggeleng.
“Lah, kupikir kamu kenal?” tanya Uti kebingungan.
“Gak apa-apa. Kita sedekah doa buat ahli kubur. Itung-itung pahala.” Jawab Indira asal tanpa menoleh.
“Tapi dia enggak bakal ngikutin kita, kan?” Uti melirik sekitarnya. Lokasi makam tempat mereka terdampar memang cukup tertutup. Banyak pohon kamboja yang tumbuh lebih rapat dari pada di daerah pusara Janu.
“Enggak lah. Paling-paling ngajak kenalan.”
“Indira, ih!”
Hampir satu jam mereka duduk dengan gelisah. Namun Yasa tak kunjung beranjak dari pusara Janu. Kaki Uti yang mulai kesemutan ditambah cahaya matahari yang terang benderang walau di musim hujan, membuat pandangannya mulai berkunang.
“Ra, udah deh. Kita ke sana aja. Aku mau semaput, nih, kalau kelamaan.”
Uti masih menawar dan membujuk Indira. Melihat tampang Uti yang memelas hati Indira tersentuh juga. Dia yang menyeret Uti dalam hidupnya dan membawanya dalam situasi sulit. Indira tak tega.
“Sepertinya aku juga mulai kesemutan.” Indira berdiri diikuti Uti. Mereka meregangkan kaki dan tubuh sebelum melangkah.
Kali ini Indira menatap mantan suaminya tanpa ragu. Dalam hatinya dia merapal berbagai kalimat afirmasi agar lebih rileks.
Tenang, Ra.
Santai. Dia bukan siapa-siapamu lagi.
-o0o-
Derap langkah membuat Yasa menoleh. Dia yang tengah khusyuk menatap pusara anak pertamanya sedikit terusik. Namun begitu menemukan siapa pemilik langkah, hatinya sedikit berdebar.
Bukan tanpa alasan dia meragukan perasaannya. Terakhir kali mereka bertemu, seperti membaca buku yang disuguhi ending terbuka. Tanpa akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Seakan dia disuguhi pertanyan, apakah yang akan terjadi jika?
Meski kerumitan memenuhi kepalanya, matanya tak melepas sosok yang semakin mendekat. Kedua mata mereka bertemu. Tak ada senyum atau kata yang keluar dari keduanya. Mereka diam dengan kepala yang sibuk dengan pemikirannya masing-masing.
“Ra, aku kayaknya nunggu di depan aja, deh. Kebelet pipis juga.” Tanpa menunggu persetujuan dari Indira, kaki Uti melesat menjauh.
Indira yang tak sempat mencegah Uti, kini harus menghadapi situasi asing ini sendirian. Dia menarik napas dalam dan menembuskan perlahan sebelum kembali melangkah.
Perempuan di depannya berjalan dengan perlahan dan semakin mendekat. Samar-samar aroma Oleum Cajuputi tertangkap hidungnya. Yasa mengernyit, mengenali ini adalah aroma bayi. Tapi bayi siapa yang berada di kuburan siang-siang begini?
Mata elangnya semakin tajam mengikuti gerakan tubuh Indira yang sudah berdiri di depannya dan tengah duduk. Aroma minyak telon semakin kuat, menghentakkan ingatannya.
Ini aroma yang disukai Indira sejak kehilangan janinnya.
Yasa tak dapat menangkap raut terkejutnya begitu menyadari Indira masih memendam luka yang sama. Satu tarikan napasnya berembus. Dia memilih masa bodoh dengan perasaan perempuan yang hari ini mengenakan celana jins hitam dan jaket rajut abu-abu gelap.
Perasaan Indira adalah milik perempuan itu. Bukan urusannya.
Yasa memilih mengalihkan pandangan begitu Indira memutuskan kontak mata dengannya. Mereka sama-sama menatap nisan yang menjadi saksi kebisuan keduanya.
Berbanding terbalik dengan ketenangan Yasa. Dada Indira justru berjumpalitan. Di depannya kini terpampang lelaki yang pernah menghabiskan waktu bersama. Bahkan dia bisa leluasa menatap bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang lelaki itu. Wajah Yasa kali ini nampak lebih jelas di matanya. Lebih tirus dari terakhir mereka bertemu beberapa bulan yang lalu. Namun tak sekurus dirinya.
Indira memaklumi jika Yasa tak akan kerontang, ada orang-orang yang menyayangi dan menemani masa-masa tersulitnya. Berbeda jauh dengan dirinya. Mantan mertuanya tentu tak ingin anak pertama mereka kehilangan arah dan terus menerus kesakitan.
Indira tertawa dalam hati, memangnya Yasa juga kesakitan? Ragu Indira mengiyakan pertanyaannya sendiri.
Mereka sama-sama membisu. Meski memiliki rindu yang sama, mereka melebur rindu dengan cara mereka masing-masing. Yang sama hanya lah untaian doa untuk Janu.
Semoga Janu berbahagia dan memaafkan mereka.
Setelah tiga puluh menita terdiam dengan pikiran masing-masing. Yasa berdehem diikuti mata keduanya yang saling beradu.
“Apa kabar, Ndi?”
Sebuah permulaan yang bagus, pikir Yasa. Tak lama dia mengernyit menyadari pertanyaannya yang terlambat ditanyakan di pertemuan kedua.
“Aku baik.”
Napas Yasa tertahan mendengar suara merdu Indira yang sudah lama tak dia dengar. Begitu pun Indira yang menyipitkan mata mendengar Yasa menyapanya dengan lembut. Mereka sama-sama dibuai rasa tak percaya tapi denyutan di kaki menyadarkan keduanya jika ini bukanlah halusinasi.
Indira tidak tahu harus menjawab atau bertanya apa lagi. Ingin sekali dia menanyakan kabar, tapi dia tahu Yasa baik-baik saja. Terbukti belum ada setahun mereka bercerai, lelaki itu sudah menemukan pengganti dirinya. Mengingat hal itu, tiba-tiba perasaannya menjadi mendung. Ada gulungan hitam yang mengusik dadanya. Indira bahkan tidak bisa menyebut apa itu, tapi yang dia tahu, hatinya tidak baik-baik saja.
Sekilas pertanyaan Uti kembali berdengung di udara. Benar kah dia cemburu? Atau merindukan Yasa menatapnya penuh cinta?
“Bagaimana kabar Ayah dan Ibu?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Indira. Sejauh menjadi menantu di keluarga Pratama, kedua orang tua Yasa sangat baik padanya. Ibu mertuanya, Dewi, bahkan menangisi keputusannya berpisah. Dia selalu berpesan agar tidak melupakan mereka. Apa pun yang terjadi di antara Yasa dan Indira, Dewi dan Yoga, ayah mertuanya, tetap menganggap dia sebagai anak.
Hanya saja Indira tidak bisa. Meski bahagia akhirnya memiliki orang tua lengkap setelah bertahun-tahun sendiri. Indira tidak yakin hatinya akan segera pulih jika bayang-bayang Yasa masih menghantuinya. Tak akan sama bercengkerama dengan mertuanya saat masih menjadi menantu dan setelah berpisah.
“Mereka sehat. Ibu ingin sekali bertemu denganmu.”
Untuk pertama kalinya mereka duduk tanpa amarah. Dan itu di hadapan Janu.
-o0o-
Hai, double update ya...
Spesial buat kamu yang masih setia bersama Mas Yasa. Ekhem.
Peluk jauuh
Vita.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top