3. Pertemuan Tak Terduga
Indira tak membiarkan lilin itu padam. Bibirnya terus bergerak melafalkan doa dengan wajah Janu yang menari-nari di matanya. Semakin lama semakin jelas.
Tubuh mungil yang melemah, dengan kelopak yang tertutup rapat. Tangan kecil itu sangat lembut seperti kapas. Berbagai alat kesehatan tersambung di hidung, mulut, dada, tangan dan kaki. Indira tak sanggup membayangkan bagaimana rasa sakit yang harus ditahan bayi yang baru dia lahirkan beberapa jam yang lalu.
Demi Tuhan, dia tidak menduga akan menghadapi situasi ini. Bayangan menggendong sesudah melahirkan, hanyalah tinggal harapan. Bayinya harus mendapat perawatan khusus karena terlahir prematur dengan berat badan rendah. Hanya satu kilo setengah di usia kehamilan dua puluh delapan minggu.
Meski tak berharap banyak, di pucuk doanya Indira berharap bayinya dapat bertahan di NICU. Nyatanya Tuhan lebih sayang Janu. Bayi mungil itu hanya bernapas kurang dari dua puluh empat jam di dunia.
“Ra.”
Indira tersadar dari lamunannya. Dia menoleh dan memberikan senyuman agar Uti tidak khawatir.
“Aku baik-baik saja, Ti.”
Uti pun membalas senyum Indira. “Iya, aku tahu kamu pasti kuat. Ini lilinnya udah mau habis. Enggak ingin tiup lilin dan make a wish?”
Seperti tersadar Indira segera meraih tas selempangnya dan mengambil sesuatu. Sebuah mobil hot wheels hitam dia letakkan di sebelah kue. Indira menatanya berdampingan dengan mawar putih yang baru dipetik dari halaman.
Dengan mata terpejam Indira kembali berdoa. Kedua tangannya saling menggenggam di depan dada.
Maafkan Mama. Semoga kamu bahagia, Nak.
Indira meniup lilin yang hampir habis dengan lembut. Diusapnya pipinya yang basah. Dia berjanji ini yang terakhir kali dia menangis di depan Janu. Tangan kanannya menyapu permukaan nisan bertinta emas.
Januari Pratama
Bin...
“Janu pasti sedih kalau melihat mamanya bersedih.”
Indira mengangguk, tangannya kini beralih membersihkan daun-daun kering.
“Aku akan belajar bahagia, Ti. Aku hanya membayangkan, seandainya Janu tidak pergi mungkin sekarang dia sedang belajar berjalan.”
“Dengan empat atau enam giginya, dia akan berjalan seperti robot dan memanggilmu. Ma ma ma ma.” Kedua tangan Uti bergerak ke samping menirukan gerakan robot.
“Berjalan seperti robot?” Senyum Indira kembali terbit kala bayangan anak kecil yang berjalan tertatih memenuhi matanya. Andai itu benar terjadi, dia pasti menjadi orang yang paling bahagia.
“Mungkin dia juga akan menyemburkan masakanmu kalau dia tidak suka. Wajahnya penuh dengan nasi dan kamu akan menggerutu karena sibuk membersihkannya.” Uti sengaja menemani Indira berhayal. Karena dengan ini wajah sahabatnya dapat berbinar.
“Janu pasti suka masakanku. Dia akan jadi anak yang pintar.”
“Oh, tidak bisa. Janu harus sedikit nakal agar kamu tidak berhenti mengomelinya. Suara ribut kalian akan meramaikan rumah.”
“Janu tidak akan membuat mamanya mengomel sepanjang waktu, Uti. Dia anak yang pengertian.” Indira mengembuskan napas dalam, dadanya kembali bergemuruh manakala bayangan itu semakin nyata di matanya.
“Sudah petang, mau balik sekarang? Kalau kamu masih kangen, besok bisa ke sini lagi.”
Keduanya menatap langit yang memerah. Indira mengangguk dan kembali menatap makam kecil di hadapannya yang sekarang terlihat lebih bersih dan ramai.
“Mama pergi dulu, ya, Sayang. Besok Mama ke sini lagi.”
Setelah mengusap sekali lagi nisan Janu, Indira menyusul Uti yang berdiri lebih dulu. Mereka belum beranjak, masih setia menatap peristirahatan terakhir Janu.
“Indira...”
Suara berat seseorang membuat Indira menoleh. Kedua matanya membesar saat mengetahui siapa yang baru saja menyebut namanya.
“Mas... Yasa....”
Keduanya saling pandang dalam diam. Tak terkecuali Uti yang serasa gagal menjaga sahabatnya. Tangannya mengepal di samping tubuh. Sia-sia semalam dia menggagalkan pertemuan mereka jika akhirnya hari ini harus bertemu juga. Takdir sepertinya sedang bercanda.
“Ayo, Ra, kita pulang.” Perlahan Uti menarik tangan Indira, menyeretnya menjauhi Yasa. Namun baru tiga langkah, kakinya terhenti saat tak jauh di depannya datang seseorang berjalan mendekat.
Mereka masih bersama rupanya.
Gemuruh di dada kembali datang. Bisa-bisanya lelaki itu membawanya ke rumah anaknya. Tubuh Indira berbalik dengan tiba-tiba.
“Aku tidak tahu ini penting atau tidak. Tapi aku harap, di hari ulang tahun anakku. Kamu tidak membawa orang lain ke sini.”
Kening Yasa berkerut, dia menoleh dan menemukan seorang wanita yang sudah berdiri tak jauh di belakang tubuhnya. Yasa kembali menatap perempuan di hadapannya.
“Dia bukan orang lain, Ndi. Dia calon istriku.”
Dunia seperti meledak bagi Indira. Kedua matanya menyipit menatap lelaki yang pernah menjadi bagian hidupnya.
“Jadi aku rasa, alasanmu tidak masuk akal. Justru kamu yang datang dengan orang lain. Meta berhak datang ke sini, karena dia juga akan menjadi ibu bagi Janu.”
Gelengan kuat Indira membuat Uti meremas jemari Indira. Dia ingin membawa sahabatnya pergi tapi kaki Indira seperti tertanam.
“Janu tidak butuh ibu lain. Yang Janu butuhkan adalah kehidupan, yang sudah dirampas oleh ayahnya sendiri.” Dengan gigi bergemeletak, Indira menatap tajam Yasa.
Wajah Yasa memerah, matanya melebar menatap mantan istrinya yang masih tidak berubah.
“Aku tidak merampas hidup Janu, justru pikiranmu lah yang merampas napasnya. Kalau saja kamu tidak sibuk dengan prasangkamu, mungkin sekarang Janu masih hidup.”
“Kamu...”
Indira tak lagi sanggup berkata. Air mata yang sudah hilang datang kembali. Ingin dia membungkam mulut besar mantan suaminya dengan tamparan kuat, tapi dia enggan menyentuh lelaki itu.
“Jika itu hanya sebatas prasangka, lalu apa yang kamu katakan tadi? Calon istri? Bukankah itu berarti prasangkaku benar?”
Kali ini Indira menatap perempuan cantik yang berdiri tak jauh dari tempat mereka. Dengan kaca mata hitam dan lily putih, perempuan itu terliht anggun. Tapi itu tak berlaku bagi Indira.
Di mata Indira, perempuan itu tetap terlihat murahan. Karena sudah menghancurkan keluarga dan impiannya.
“Ingat, kamu yang memulai semua ini, Indira. Jangan mulai lagi.” Yasa tak bergeming. Dia melambai pada Meta agar mendekat.
Meski dihujani tatapan tajam Indira, perempuan itu tetap berjalan mendekat. Tiba di samping Yasa, lelaki itu menggenggam tangannya dan membimbingnya duduk di dekat pusara. Meta hanya diam mengikuti arahan Yasa. Untuk saat ini, suaranya hanya akan menambah kobaran api yang sempat membara.
“Selamat ulang tahun jagoan Papa. Papa... datang bersama Bunda Meta. Janu ingat kan, siapa dia?”
Gelengan kuat Indira dan air mata yang menumpuk tak mampu mengusik cerita mantan suaminya. Jiwanya meronta ingin segera pergi dari sini. Tapi raganya masih tak sanggup melangkah.
“Papa dan Bunda Meta akan menikah satu bulan lagi. Papa harap Janu ikut bahagia.”
Kedua mata Indira semakin membesar. Dia tidak yakin dengan telinganya, tapi melirik cincin di jari manis kiri Meta membuat kepalanya tersadar. Yasa tidak sedang bercanda. Tapi demi Tuhan, mereka belum genap satu tahun berpisah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top