10. Gelora yang Dipaksa Terhenti
“Asem kamu, Ra. Aku udah ngebut sampai basah begini. Eh, kamu malah pulang duluan.”
Uti mengomel setelah menemukan Indira berdiri menunggunya di depan gerbang. Perempuan dengan jas hujan lengkap itu menggerutu sepanjang membuka pintu gerbang dan memasuki rumah.
“Tahu begini, tadi aku gak balik lagi ke sana.”
Kali ini Indira tak lagi bisa diam dengan tenang. Kakinya sudah pegal berdiri hampir satu jam dan dia disambut dengan ocehan tak penting sahabatnya. Jangan lupakan isi kepalanya yang nyaris terbakar beberapa waktu belakangan ini, membuatnya tak lagi dapat menahan kekesalan.
“Aku gak bawa ponsel, gak bawa dompet juga gak bawa kunci. Mana bisa aku ngasih tahu kamu, Astutiiii! Pikir pakai logika. Masih untung ada yang mau mengantarku.”
Satu tepukan mendarat di kening Uti, dia menyadari ucapan Indira benar. Barang-barang perempuan itu dia simpan di jok motor karena Indira tak ingin membawanya masuk ke makam. Dia hanya ingin fokus menemui Janu. Bukan berfoto apalagi membuat story di sosial media.
“Lagian, kamu ke mana aja tadi? Pamit kebelet pipis, tahu-tahu ngilang. Jangan bilang kamu ketemu jodoh?” Indira berjalan menuju wastafel dan mencuci tangan. Lalu dia menuju kulkas mengambil sebotol air putih dan menuangnya dalam gelas.
“Jodah-jodoh. Mikir besok mau makan apa aja, susah, malah mikir jodoh.”
Setelah air di gelas tinggal setengah, Indira kembali menatap Uti meminta jawaban.
“Terus tadi kamu ngapain aja? Kamu... enggak sengaja ninggalin aku sendirian sama dia, kan?”
Kedua bola mata Uti menatap langit-langit dapur. Dia enggan menjawab dan memilih berjalan ke belakang untuk menjemur jas hujan.
“Astuti, jawab aku!”
Uti mengambil udara sebanyak mungkin lalu mengembuskannya cepat. Langkahnya melambat saat memasuki rumah.
“Jadi begini, Indiraku Sayang. Aku sebenarnya memang ingin ke toilet. Tapi pas tahu di sana enggak ada toilet terdekat, jadi aku pulang. Eh, pas kelar pup, hujannya dateng. Aku gak punya jas hujan, kan? Udah nelpon kamu, tapi gak diangkat. Jadi aku nunggu hujan sedikit reda, baru menjemputmu. Nah, ditengah jalan hujan lagi. Aku berteduh lumayan lama, sampai kuputuskan membeli jas hujan. Dan kamu tahu ceritanya seperti apa.”
Penjelasan panjang lebar Uti sedikit membuat Indira tenang, tapi tetap saja seperti ada yang aneh dari sahabatnya.
“Kenapa enggak nyari pom bensin? Perasaan tadi pamitnya mau pipis, kok jadi pup?”
“Ra, pipis dan pup itu temenan. Jadi kalau pada akhirnya mau bareng, ya wajar aja. Lagian, ya, aku gak nemu pom yang dekat dari makam. Kalau pun aku harus nyari, yang ada aku malah nyasar gimana? Mau kamu, aku tinggalin?”
Indira menggeleng cepat.
“Cuma kamu keluargaku satu-satunya, Ti.”
Giliran Uti yang bersedekap dada. “Sekarang giliranku. Kamu pulang diantar siapa?”
“Hah?”
“Enggak usah pura-pura kaget begitu. Kamu, bareng Yasa ke sini?”
“Eee,” Indira menatp lantai marmer di bawah kakinya. “Kami... maksudku aku—“
“Oke. Pertanyaanku sudah terjawab.”
-o0o-
Aroma minyak telon samar tercium oleh Yasa. Lelaki itu mengendus isi mobilnya. Seingatnya, tak ada anak kecil yang pernah masuk. Dia menahan napas ketika teringat siapa pelakunya. Bukannya marah, dia justru menghidu lebih dalam dan meresapi sisa aroma Indira.
Indira dan aroma bayi. Sangat bertolak belakang dengan sikap perempuan itu. Dia bahkan tidak ingat, kapan perempuan yang menyukai aroma lavender itu mendadak berubah haluan. Yasa tak berhenti membaui mobilnya. Bahkan parfum mobil tak lagi tercium aromanya.
Aroma bayi.
Lagi-lagi kepala Yasa seperti terbentur sesuatu. Mungkinkah ini karena Janu?
Hati Yasa mencelus. Sebegitu dalam kah rasa kehilangan yang perempuan itu rasakan? Yasa menngeleng pelan, dia juga kehilangan. Tapi tak sampai mati rasa dan terobsesi dengan segala hal yang berhubungan dengan anaknya.
Ini takdir.
Dia percaya itu. Begitu pula dengan perpisahannya. Semua sudah diatur oleh Tuhan. Tak ada yang bisa mengelak atau menolak. Garis hidupnya seperti ini, kalau dia ingin merusaknya, yang ada dia tak akan bisa menatap hidup lebih baik.
Sesuatu yang asing menyentil hatinya. Apakah dia harus membantu mantan istrinya melepas bayang-bayang Janu?
Yasa menggeleng cepat.
Tidak mungkin.
Yang ada, Indira akan menendangnya.
Kerumitan di kepalanya tak dapat terurai bahkan ketika dia kembali ke kedai makanan tempatnya mencari uang. Mi Ngos-Ngosan nampak penuh dengan deretan antrian pengunjung. Yasa memarkirkan mobilnya di parkiran khusus karyawan. Dia tak langsung turun, kepalanya butuh dipijat.
Setelah meregangkan badan, Yasa keluar dari kendaraannya dan memasuki kedai. Senyum ramah dia pasang menyambut para pengunjung. Langkahnya pelan, tapi matanya awas mengelilingi kedai. Banyak muda-mudi yang duduk menunggu teman atau pasangannya mengantri. Para pramusaji hilir mudik membawa baki dan kereta dorong berisi sampah.
“Siang, Pak.” Sapa salah satu pramusaji sambil mengangguk hormat. Yasa tak membalas, hanya memberikan senyuman seperti biasanya.
Dering ponselnya membuat Yasa segera menuju ruangannya di lantai atas. Dia tak perlu repot-repot menjawab panggilan karena dia tahu di mana seseorang yang menghubunginya berada.
“Selalu, deh. Enggak pernah mau jawab telponku. Heemmm?”
Perempuan dengan rok di atas lutut dan kemeja berkancing rendah berjalan mendekatinya dan menubruk tubuh Yasa dengan pelukan. Bibir merahnya mendarat sempurna di pipi Yasa. Tangan kirinya membeli rahang lelaki yang memenuhi kepalanya sejak tadi.
“Ta, ini di tempat kerja.” Yasa menjauhkan tubuh Meta tapi perempuan itu justru menyambar bibirnya.
“Memangnya kenapa? Bukannya dulu juga begini?” Sesekali Meta menatap mata lelakinya. Dia tahu ada yang membuat pikiran Yasa terganggu. Tapi dia tak peduli. Dia menginginkan Yasa saat ini juga.
Jemari berkutek merah itu membelai lembut dada Yasa. Meta tahu, saat gundah Yasa selalu ingin ditenangkan. Dia sudah hapal bagaimana sikap lelaki yang kini menatapnya dengan mata berkabut. Meta tak ingin membuang kesempatan, segera diraihnya tengkuk Yasa dan mencecap gelora yang mulai terbakar.
Keduanya saling bertukar napas. Tak lagi teringat kegelisahan yang melanda. Menuntaskan getaran yang memenuhi tubuh keduanya. Sedikit lagi Meta menuju ledakan tapi tubuh Yasa tiba-tiba menjauh.
Meta menatap tak percaya pada calon suaminya. Mereka memang tak pernah sampai melakukan hubungan fisik, tapi sentuhan-sentuhan kecil tak pernah mereka lewatkan. Bukannya Yasa tak ingin, Meta tahu dia selalu bergairah bila dirinya sudah memancing. Meta masih ingat pertama kali mereka saling bertukar bibir, dirinya lah yang memulai.
Tahu semua ini tak akan berakhir seperti yang dia harapkan, Meta merapikan kancing kemejanya.
“Kamu kenapa, Sayang? Ada yang mengganggu pikiranmu? Apa rapat tadi enggak berjalan lancar?”
“Rapatnya ditunda besok, ada salah satu pegawai distributor yang mengalami kecelakaan pagi tadi.”
“Apakah gawat?” Meta tak mengerti, tidak biasanya Yasa terlalu berlebihan memikirkan rekan kerjanya.
“Aku menemui Janu.”
Udara di sekitar Meta mendadak berhenti. Dia tahu apa yang menyebabkan lelakinya seperti ini. Pasti perempuan tidak tahu diri itu lagi.
Dadanya bergemuruh, sepertinya sudah waktunya dia harus memberi pelajaran.
-o0o-
Hai-hai, kenalan dulu yuk sama Meta. Nama panjangnya metamorfosis 😆 becanda, Mbak Met. ✌
Mau double up?
Komen yang banyak, ya....
29 Juni 2022
Peluk erat
Vita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top