6| COURSGEOUS

By the way. Ini up terkahir di Minggu ini ya.
Sama seperti cuan, rindu juga butuh ditabung biar makin berasa. Ahahaa
Kita ketemu Bang-Shad lagi Senin depan (Insyaallah)
Kachan tinggal update aja kok, naskah Ras-Ta dikit lagi completed. Cukup support vote dan koment, biar Kachan semangat up sampai tamat.
.
.

Pura-pura putus ternyata lebih susah
daripada backstreet
-ephemeral-


"Kenapa kamu muncul di sini?" Pertanyaan melompat dari bibir Rashad. Raut cemas tertangkap memancar di wajah tampannya dengan rambut yang sedikit berantakan akibat diacak oleh tangannya sendiri.

"Why? Seperti biasanya, aku ke sini karena mau ngajakin kamu lunch, Sayang," sergah Marsha. Matanya menatap Rashad, tak suka dengan tudingan pacarnya barusan.

"Seluruh kantor udah tahu kalau kita putus, Sha. Akan aneh kalau tiba-tiba kamu ke sini nemuin saya." Rashad berkata defensif.

"What?"

Mata Marsha membola sempurna mendengar semua penuturan Rashad.
Mereka putus? Okelah, Marsha paham. Tapi bukannya itu hanya pura-pura? Kenapa seisi kantor bisa tahu? Sepasang manik yang terpasang softlens abu-abu itu hampir mencelat saking kagetnya.

Debat keduanya harus terjeda saat mendengar suara benda jatuh tak jauh dari mereka. Hah! Bukan cuma benda jatuh- tapi bersamaan dengan itu ada satu sosok gadis tengah tertunduk- memungut ponselnya yang tergeletak menggesek lantai porselen lobi ini. Mata Rashad menajam pada obyek pandang dengan radius beberapa meter darinya dan Marsha. Umpatan melompat di hati dibarengi ekspresi tak suka saat ada orang lain berusaha kepo dengan urusan pribadinya. Shit! Perdomnya dalam hati.

"Kita bicara di luar Marsha, jangan di sini." Tangan Rashad menarik pergelangan Marsha tanpa peduli gadis itu sedikit memberontak karena merasa seperti seorang terdakwa yang ke-gap sedang menemui kekasihnya sendiri.

"Shad, lepas ih! Aku bisa jalan sendiri." Marsha tak terima dengan perlakuan Rashad yang menurutnya sedikit kasar.

Sampai di parkiran ekslusif - khusus petinggi kantor, Rashad segera membuka mobil SUV hitamnya. Lelaki itu memasuki bangku kemudi Hyundai Palisade kesayangannya setelah mengisyaratkan agar Marsha segera masuk.

Marsha membanting pintu mobil saat berhasil duduk di bangku sebelah kemudi. Wajahnya ditekuk sempurna. Lecek dan tidak ada semburat senyum sedikitpun. Matanya menatap lurus.

Satu embusan napas terlepas dari mulut Rashad. Lelaki itu menyalakan mesin, tapi belum berinisiatif melajukan kendaraannya.

Rashad duduk menyerong, menghadap Marsha dengan tatapan menyirat penuh sesal.

"Maaf ya," rapalnya sembari mengusap rambut cokelat Marsha yang digerai sepunggung. "Saya panik, takut yang lain lihat dan ngadu ke Opa." Pengimbuhan yang masih belum melegakan Marsha. Buktinya gadis itu belum menampakkan gurat senyum sedikitpun.

"Aku capek kalau kita harus kucing-kucingan kayak gini, Shad," keluh Marsha.

Rashad menggeleng. Rahangnya tertarik samar - membentuk senyum tipis. Kekasihnya ini lucu ternyata. Padahal ide pura-pura putus juga awalnya dari Marsha. Sekarang malah perempuan itu yang paling tidak terima.

"Ini ide kamu, Sha. Lagian baru tiga hari kita enggak ketemu, kamu sudah bilang enggak kuat." Rashad menggigit pipi dalam, gemas sendiri. Sebenarnya dia juga sama merasakan hal seperti Marsha. Namun, bisa apa, kalau kenyataannya dia belum mengantongi restu Jusuf Hadinata. "Kita lunch, kamu mau makan di mana?" Rashad mencoba mengalihkan topik. Sepertinya mengisi perut lebih dulu adalah pilihan tepat sebelum melanjutkan obrolan.

Marsha mengangkat dua bahunya bersamaan. Masih membisu dan enggan menjawab kalimat Rashad. Mukanya masih membiaskan rasa bete saat mobil mulai berjalan meninggalkan parkiran eksklusif Viza Tower.

"Kita ke Pakuwon, kamu mau makan apa, Sha?" Rashad bertanya lagi.

"Pepper Lunch, aku mau makan pasta." Marsha menyahut dengan nada jutek.

Mobil Rashad bergerak ke arah Pakuwon City yang jaraknya hanya berkisar 10 menit dari Viza Tower. Lelaki yang siang ini memakai setelan jas abu-abu itu fokus pada roda kemudi untuk sejenak.

"Aku masih marah ya, Shad! Kamu keterlaluan banget." Suara Marsha memecah hening.

Rashad menoleh sang kekasihnya sekilas. Salah satu tangannya terangkat mengusap lembut rambut Marsha. "Iya, maaf ya. Saya cuma takut, Sha. Kamu harus tau, di kantor banyak sekali mata-mata Pak Jusuf yang siap melaporkan apapun tentang saya, dan ... kita."

Marsha bergeming. Airmukanya melunak mendengar statement Rashad. Gimanapun Marsha akan berusaha menekan ego sejenak kalau sudah berhadapan dengan Jusuf Hadinata. Laki-laki tua yang sangat dihormati Rashad itu adalah pintu gerbang jika Marsha ingin tetap berada di sisi Rashad Mahawira Jusuf.

Pepper Lunch. Restauran yang menempati salah satu atrium Pakuwon Mall. Rashad dan Marsha duduk berhadapan bersekat meja.
Satu steik Hamburg untuk Rashad serta satu pasta Oglio Olio dipesan Marsha. Makanan baru saja terhidang di meja, tapi keduanya justru sama-sama bergeming, sampai Rashad yang lebih dulu inisiatif menyentuh garpunya.

"Kita belum selesai bicara, Shad!" Interupsi Marsha.

Garpu di tangan Rashad kembali dia letakkan. "Makan saja dulu, Sha, setelah itu baru kita bicara." Rashad lantas mulai memotong steiknya dan menyuap ke mulut. Sementara Marsha di seberangnya hanya mengaduk-aduk isi piringnya tanpa berniat memasukkan ke mulut.

"Pasta di piring kamu itu kalau bisa ngomong dia bakal bilang pusing cuma diputar-putar enggak jelas gitu."Satu sindiran dilepas Rashad menyaksikan polah kekasihnya.

"Aku enggak laper, Shad." Garpu di tangan Marsha meluncur bebas menyentuh piringnya sampai menimbulkan denting yang sedikit riuh.

"Tadi katanya mau makan pasta?"

"Rasa laperku udah menguap gara-gara kamu."

"CK!" Decakan Rashad mencuat. Dia paling tidak suka dengan sikap Marsha yang menyepelekan makanan seperti ini. "Come on, Sayang, kita bisa bicara setelah perut kenyang, okay?" Suara Rashad melunak, senyumnya terpatri pada Marsha. Perempuan itu lantas mengangguk samar, serta mengambil kembali garpunya.

Dua puluh menit dilanda hening karena fokus pada makanan masing-masing. Rashad akhirnya membuka suara lebih dulu.

"Saya terlanjur bilang sama anak-anak di kantor kalau kita putus." Kalimatnya memicu reaksi Marsha. Benar saja, Marsha yang belum menandaskan isi piringnya lantas menghentikan suapan.

"Itu enggak ada dalam kesepakatan kita, Shad. Kamu kok gitu sih!" Marsha merengek tak terima.

Raut Rashad menyirat sesal.
"Gimana Opa bisa percaya kita break kalau saya enggak bikin pengakuan, Sha? Ayolah, kita masih bisa ketemuan di luar, di apart. Kecuali kantor. Okay?"

Marsha terdiam. Dia tak punya pilihan lain, karena keadaan ini terjadi akibat ide yang dia cetuskan sendiri. "Okay, aku bisa ngertiin. Aku enggak akan nemuin kamu di kantor lagi. Tapi habis ini kamu temenin aku ke counter jewelry. Aku butuh aksesoris baru buat pemotretan besok lusa." Ekspresi Marsha usai berujar menunjukkan kalau gadis itu tak mau ada penolakan.

Rashad mengangguk menuruti kemauan Marsha. Malas berdebat lagi. Meski otaknya sedikit menangkap ketidaksukaan. Mana yang katanya mau belajar hidup sederhana dan enggak menghamburkan uang? Sekarang Rashad malah akan digeret ke counter jewelry. Dan, Rashad tahu, selera Marsha bukan kaleng-kaleng. Kekasihnya kalau memilih perhiasan pasti sekelas Tiffany & Co. Padahal bulan lalu Rashad baru memberinya hadiah sebuah gelang berlian dengan merek tersebut yang harganya tidak murah. Bukan masalah harga. Sekali lagi, Rashad tegaskan, bukan masalah harganya, karena dia yakin sanggup membeli berlian seharga apartemen sekalipun, tapi yang jadi pikiran Rashad, kalau seperti ini terus, tiket untuk mendapat restu Opa pasti semakin jauh diraih. Dan, Rashad tidak mau kehilangan Marsha.

___

Bita mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi - guna mengurai rasa lelah dan penat yang membebat tubuh. Jam pulang kantor harusnya pukul 17:00 tadi sore. Namun, Bita masih tertahan di kubikelnya demi menyelesaikan revisi yang dibebankan Rashad padanya. Si Diktator satu itu. Bita mendumel sendiri. Masih dongkol di hati.

Yola sudah keluar sejak jam lima kurang. Bang Emil dan Candra pun sama. Tinggal tersisa Bita dan Mas Tito di kubikel seberang.

"Ta, gue bantuin ya." Mas Tito menghampiri Bita. Lelaki tiga puluh enam tahun itu menatap tak enak pada juniornya.

Bita menggeleng. "Enggak usah Mas, Lo pulang aja, lagian ini udah dihibain ke gue. Udah bukan tanggungjawab Lo lagi." Bita tahu, kalau selama ini Mas Tito berusaha menyelesaikan kerjaannya lebih awal agar bisa pulang tepat waktu. Tipe lelaki family-man yang enggak mau melewatkan kebersamaan dengan anak istri. Apalagi istrinya Mas Tito, Mbak Erika baru melahirkan anak ketiga mereka.

"Serius Ta?"

Dua jempol Bita terangkat ke arah Mas Tito. "Udah balik sana, pasti udah ditungguin sama anak-anak Mas Tito."

Anggukan Mas Tito pada Bita, "Gue balik duluan ya, Ta. Kalau ada apa-apa calling gue aja." Pesannya diaminkan Bita, lelaki itu lantas beranjak meninggalkan kubikel tim kreatif. Bita menghela napas pelan. Tinggal dirinya seorang di ruang ini. Dengan hibahan deadline sialan ini tentunya.

Bita menatap langit Surabaya dari jendela kaca. Semburat orange menghiasi atas petala. Itu tandanya sore akan segera lengser berganti petang, dan pekat malam sebentar lagi siap menyambut. Fokusnya lantas kembali pada layar komputernya, tangannya sibuk mengetikkan sesuatu. Namun sebuah suara mendistrak fokusnya.

"Masih di sini kamu?"

Bita menengadah, menatap sosok tinggi berpunggung lebar yang berjejak sembari mengantongi tangan tepat di depan kubikelnya. Gadis itu membatin sendiri, sejak kapan Rashad ada di sana?

"Harusnya sih saya udah di rumah, Pak! Udah rebahan di kasur, tapi sayangnya cuma jadi angan, gara-gara saya dikasih hibahan tugas dadakan." Sebuah sarkas Bita lontarkan. Sengaja agar Rashad tersentil.

Rashad menyembunyikan senyum. Merasa lucu. Sebelumnya belum pernah ada anak buahnya yang berani dan lantang mendebat atau menjawab omongannya seperti Tsabita ini.

"Bapak ngapain di sini? Kalau mau pulang silakan, enggak usah pamit sama saya, Pak, kita bukan teman. Saya oke kok. Hati-hati di jalan Pak, selamat sampai tujuan!" Lanjut Bita lagi dengan satirnya.

"Saya lembur sampai nanti habis Isya. Lagipula kamu sewot sekali sama saya. Enggak terima saya kasih tugas dadakan?" Tembak Rashad tepat sasaran. 

Kamu nanyea? Ingin sekali Bita melontar kalimat itu - andai tidak ingat SOP sebagai pegawai teladan harus sopan pada atasan.

"Bapak juga jangan suuzan, kan, saya enggak bilang gitu." Bita mulai melepas embusan napas. Berusaha tidak emosi. Dia beranjak dari kursinya. "Permisi Pak, saya mau bikin kopi." Langkahnya terayun ingin meninggalkan kubikel, melewati Rashad yang masih bertahan di sana.

"Hei, tunggu!" Interupsi Rashad.

"Apa Pak?" sahut Bita refleks menoleh.

"Bikinkan saya sekalian. Nanti taruh meja saya."

Mata Bita refleks berotasi. "Pak, saya bukan OB. Kenapa enggak minta tolong mereka aja sih?"protes Bita.

"Daripada nyuruh mereka, mending kamu saja sekalian, kamu mau ke pantry, kan?" Kukuh Rashad.

"Bapak enggak takut kopinya saya racuni?" Sindir Bita seraya matanya melirik sinis Rashad. Sebenarnya masih sebal luar biasa karena Rashad selalu menganggap semua orang layaknya kuman yang harus disterilkan. Sekarang malah minta dibuatkan kopi? Lawak geming si Bapak Direktur satu itu.

"Kamu mau bikin kopi sianida episode kedua, Ta? Ya enggak masalah sih, di sini semua CCTV aktif, paling belum sempat kabur kamu sudah diciduk sama polisi." Rashad berkata dengan santainya.

Bita memutar bola mata, bibirnya mendumel sembari meneruskan langkah tanpa peduli reaksi si Bapak Direktur Kreatif. Dia melenggang meninggalkan Rashad. 

Sepeninggal Bita, rahang Rashad refleks terangkat samar.
"She's cute, and coursgeous..." Rashad berkata pelan sembari tersenyum kecil. Merasa polah Bita berbeda dengan karyawannya yang lain. Gadis itu, menurutnya, sedikit lucu, dan... sangat berani.

🌺🌺🌺🌺🌺

Hayoooooh Bang-Shad, ngapain senyum-senyum dikulum itu? 😂

Kalau mau lihat senyum samarnya Pak Achad ada.di mulmed atas ya. 😂

Gimana bab ini?

Udah mulai gemas sama Ras-Ta, belum?

Selamat menabung rindu dua hari ke depan Ras-Ta enggak up ya. 😂

Luv & Calangeyo
Chan ❤️

06-01-23
1785

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top