Ambivalensi

It's dangerous how wrecked I am.

Save me, because I can't get a grip on myself.

Please, give me your hand, save me, save me.

I need your love before I fall.

.

.

Ambivalence © Alulalyriss

Teen Fiction.

Cr. Song and Video: Save Me - BTS.

.

.

Tera Wilora membenci Korea. Katakan apa pun yang bersangkutan dengan negeri ginseng itu di hadapannya dan ia tak akan segan melempar delikan mematikan padamu.

Kebenciannya bukan tanpa sebab, tentu saja. Segala yang berhubungan dengan negeri itu tak pernah baik bagi kelangsungan hidup Tera. Hiperbolis, tapi memang begitulah baginya.

Malangnya, ia harus dianugerahi teman perempuan pemuja Korea yang tak henti memuji-muji apa pun tentang negara beribukota Seoul tersebut—bukan berarti ia tidak senang berteman dengannya.

Parahnya lagi, kebenciannya diperburuk ketika ia naik ke tingkat dua sekolah menengah atas dan dengan nahasnya harus satu kelas bersama—

"JUNG SIALAN RYEONWOO! MENYINGKIR DARI LOKERKU!"

—pemuda berandal keparat berdarah Korea.

Menahan umpatan yang sudah berada di ujung lidah, Tera melangkah cepat menghampiri pemuda berambut cokelat gelap yang sedang menunjukkan cengiran tanpa dosa.

Ini masih pagi, astaga. Kantuknya bahkan belum hilang akibat insomnia yang belakangan mengacaukan jam tidurnya, dan mengapa di hari Senin menyebalkan seperti ini kesabarannya harus diuji oleh eksistensi bedebah Jung tersebut?

"Pagi, Tera-ssi!"

Panas. Telinga Tera rasanya terbakar mendengar panggilan aneh yang dilontarkan si pemuda. Di kepalanya seketika terbayang bumbu masakan berbau tajam yang dibuat dari udang, membuat panas di telinganya dengan cepat merambat pada dada.

Tolong ingatkan Tera untuk tidak berteriak sebab ia masih nyaman dengan image pendiam yang disandangnya—ia lupa baru saja berseru keras, sungguh, biarkan saja ia tetap lupa.

Sepasang iris hitam berotasi malas, lantas menumpukan atensi pada pintu loker yang tampak ... ah, bagaimana ia harus menyebutnya? Mengerikan? Atau menjijikkan?

Wajah Tera memucat. Pink (atau merah jambu, atau merah muda, atau sejenisnya, atau terserah sajalah bagaimana kau menyebutnya) adalah hal kedua yang ia kutuk habis-habisan setelah Korea. Dan coba lihat apa yang baru saja diperbuat si sulung keluarga Jung pada lokernya.

Lapisan besi persegi berwarna biru itu dengan ajaibnya bercat merah muda, lengkap beserta aksen bunga sakura, berbagai tempelan dan gantungan berwarna serupa yang semakin menusuk mata, dan oh, jangan lupa, hanya lokernya yang tampak demikian.

Hanya loker Tera Wilora yang berwarna merah muda mencolok di antara deretan besi biru tua.

"Cantik, ya? Beruntung sekali aku ingat menghias ini untukmu, Tera-ssi. Kau jadi tidak perlu repot-repot melihat nomor untuk memastikan lokermu yang mana."

Menahan napas, mata Tera terpejam sesaat. Seharusnya, pemuda itulah yang patut merasa beruntung sebab Tera masih mempertahankan kesabaran setebal mungkin. Ia mendadak mendapat dorongan yang sangat kuat untuk mencekik leher si surai cokelat.

"Apa yang kaulakukan pada lokerku, Jung?" Tera melihat bagaimana sepasang iris cokelat itu melirik loker di hadapannya dan kembali menatap mata Tera dengan raut polos yang memuakkan.

"Menghiasnya, sudah kubilang. Apa tidak melihatku satu hari membuatmu jadi cepat lupa dan tuli, Tera-ssi?"

"Dan siapa yang memberimu ijin untuk itu, Jung Sialan Ryeonwoo?!"

Lidah Tera mendadak gatal setelah memaksa menyebut nama itu. Ia ingat masih jadi gadis baik-baik yang bertutur kata sopan, itu tentu saja sebelum satu kelas dengan si berengsek Ryeonwoo yang entah punya dendam apa padanya.

Mendengus kasar, tensi darahnya bisa naik drastis jika sudah berhadapan dengan si pemuda bermarga Jung tersebut.

Sudut bibir terangkat membentuk seringai, decak pelan lolos disertai nada kaget penuh kepura-puraan. "Wah, wah. Suka mengumpat bukan sifat yang bagus pada diri seorang gadis muda, Tera-ssi."

"Jangan mengalihkan pembicaraan dan berhenti memanggilku dengan embel-embel menggelikan itu!" Tepat setelah Tera mengutarakan satu kalimat penuh geraman, bel berdering panjang menandakan waktu upacara bendera akan segera dimulai.

Ryeonwoo, atau Tera lebih senang menyebutnya (hanya jika ia terpaksa harus menyebutnya, sebab ia bahkan tidak sudi mengotori lidahnya dengan nama tersebut jika tidak begitu penting) Bedebah Jung, Jung Keparat, Iblis Berengsek Ryeonwoo, dan serentetan panggilan berunsur umpatan lain, tersenyum lebar hingga menampakkan deretan gigi putih yang rapi.

"Sayang sekali, Tera-ssi. Aku harus segera mencari tempat untuk bersembunyi. Berdiri di bawah matahari tidak bagus untuk kulitku. Jadi, simpan ucapan terima kasihmu untuk nanti. Dah."

Diiringi lambaian tangan ceria dan tawa gembira yang mengganggu, Ryeonwoo berlari pergi ke sisi barat koridor, pasti hendak ke atap. Satu tangannya menggenggam kuas dan tangan yang lain memegang sekaleng cat. Bekas memulas pintu loker Tera dengan warna laknat.

"YAH! JUNG-aish! Bocah menyebalkan."

Kaki menghentak lantai gemas. Andai saja tidak begitu banyak saksi mata di koridor, Tera akan dengan senang hati melempar pot tanaman pada kepala bersurai cokelat yang tengah menjauh itu.

.

.

Tera kerap kali bertanya, dosa besar apa yang sekiranya dia lakukan di masa lalu sampai jam kosong dalam pelajaran fisika harus dia habiskan dengan berbagai cekokan tentang ... apa tadi yang ia dengar selama beberapa puluh menit terakhir?

"Tera, serius, kau harus lihat album baru BTS, namanya WINGS. Apalagi title track yang berjudul 'Blood, Sweat & Tears'. Lagu yang lainnya juga bagus, sih, aku suka 'Intro: Boy Meets Evil', dan '21st Century Girl'. Konsep dari music video-nya benar-benar keren. Di album ini mereka juga bikin lagu solo sendiri-sendiri dan dibuat short movie-nya, ah, aku sampai pusing membuat teori dari setiap short movie itu. Oh iya, lagu solonya V favoritku, suara baritonnya benar-benar menggoda. Aku sampai heran. Mengapa wajahnya, perilakunya, dan suaranya bisa sangat berkebalikan?"

Ah, iya. BTS, apa pun itu singkatannya, dan entah album atau lagu baru mereka yang mana. Tera tidak peduli. Ia hanya menatap datar, memasang wajah malas dengan mata setengah terpejam. Ia mengantuk, sungguh. Sayangnya, Nara, teman sebangkunya, terus saja mengocehkan sesuatu yang tidak ia suka. Ralat; sesuatu yang ia benci.

Alih-alih sama bingung dengan apa pun itu yang diherankan Nara, ia malah tidak mengerti mengapa gadis tersebut begitu fanatik pada tujuh pemuda yang menyanyi dengan lirik yang bahkan Tera yakin tidak Nara pahami.

Jangan tanya dari mana Tera tahu boy group itu beranggotakan tujuh orang pemuda. Sudah jelas Nara-lah yang terlampau sering mengobrolkan--atau memonologkan-segala hal tentang boy group tersebut di hadapannya. Tera tidak membenci BTS, ia hanya tidak suka akan fakta bahwa mereka berasal dari Korea. Itu saja.

"... Tirainya terangkat, dia sedang berlutut membelakangi kamera. Bajunya terbuka sampai pinggang, jadi punggungnya terlihat. Ada bekas luka dari sepasang sayap yang sudah dicabut di sana dan-" Jeda cukup lama. Nara menatap sahabatnya yang sudah meletakkan kepala di atas meja. "Tera, kau tidak mendengarkanku, ya?"

"Mmhm?" Tera bergumam panjang.

Hela napas, Nara akhirnya menggeleng pasrah. "Tidur jam berapa semalam?"

"Tiga," gumam Tera.

"Bangun?"

"Empat lima belas."

"Astaga, Tera. Insomniamu semakin parah!"

"Ish." Tera berdecak, mengusap telinga kirinya yang pekak ketika Nara berteriak. "Aku sudah tahu itu tanpa kau harus menjeritkannya, Nara. Nah, sekarang, jika kau masih mau membicarakan kumpulan pemuda Korea yang bahkan tidak mengenalmu itu, aku akan pergi ke UKS saja. Kepalaku sudah jadi batu secara konotatif."

"Kau memang kepala batu dari dulu."

Tera mengabaikan ucapan pedas sahabatnya, ia dengan cepat keluar dari kelas setelah berbicara pada Ketua Murid. Menitipkan pesan ke mana ia pergi seandainya tidak kembali pada pelajaran selanjutnya.

Koridor tampak lengang mengingat jam pelajaran masih berlangsung. Tera bersyukur ia bisa dengan bebas berjalan sembari memijit keningnya tanpa harus menjadi pusat perhatian. Bukan berarti ia selalu menjadi pusat perhatian. Hanya saja, ia tidak nyaman ketika orang-orang memerhatikan setiap gerakannya dengan berbagai sorot mata yang berbeda.

Dan karena ketiadaan orang di koridor, ia juga tidak perlu repot-repot menyiapkan jawaban seandainya ada yang bertanya kenapa ia berkeliaran di jam belajar seperti ini.

Mendengus kesal, sudut mata Tera melirik lokernya yang terlihat mencolok dari jarak jauh. Kepalanya bertambah berat, disertai denyutan ngilu tidak menyenangkan ketika wajah orang yang seenaknya mengganti warna loker Tera tanpa mau bertanggung jawab mengembalikan ke warna semula terproyeksi dalam benak.

"Bedebah Jung sialan," maki Tera. Bibirnya mencebik, sudah tiga hari ia menghindarkan matanya dari loker berwarna laknat tersebut.

Oh, sekarang ia terdengar seperti sedang merajuk pada lokernya sendiri.

"Berandal, iblis berengsek Ryeonwoo, pemuda Korea keparat. Awas saja kalau dia terlihat lagi di kelas, aku benar-benar akan mencekiknya sampai tewas."

Omong-omong, setelah berpamitan untuk bersembunyi demi menghindari upacara bendera tempo hari, bedebah Jung itu sama sekali tidak terlihat lagi batang hidungnya.

Entah Tera yang tidak melihat, matanya yang menolak melihat, dirinya yang enggan menyadari, atau memang Ryeonwoo yang benar-benar tidak masuk ke kelas sama sekali. Tera tak peduli. Jadi, sekarang dia merutuki diri mengapa malah memikirkan absennya Ryeonwoo dari lingkup penglihatannya.

"Pasti karena aku ingin balas dendam." Tera kembali bergumam, meyakinkan dalam hati bahwa sebab itulah ia memikirkan ketiadaan Ryeonwoo di kelas.

"Oh, sial." Tangannya baru saja membuka kenop pintu UKS. Namun, apa yang terjadi di dalam membuatnya mengurungkan niat untuk masuk.

Bibir kembali bergerak mengeluarkan umpatan, catatan dosanya minggu ini pasti penuh sebab belakangan ia jadi suka sekali bersumpah serapah.

Dan, ya Tuhan, mengapa dua siswa yang ia lihat barusan begitu bodoh sampai nekat berciuman di UKS? Tahu rasa kalau yang menangkap basah mereka itu Kepala Sekolah, Tera akan dengan senang hati tertawa paling keras.

Enggan kembali ke kelas dengan risiko dijadikan tempat ber-fangirling sahabatnya, Tera memutar langkah ke koridor barat, berniat untuk tidur di atap saja.

Satu per satu tangga ditapaki, keningnya mengernyit samar kala melihat pintu menuju atap sedikit terbuka. Dengan perlahan, ia dorong pintu itu hingga terbuka sepenuhnya. Kakinya kembali melangkah, mata ia pejamkan ketika semilir angin menampar lembut wajahnya. Hangat cahaya matahari yang sedang bersahabat mengusir pelan denyutan di kepala Tera.

Menarik napas dalam-dalam, Tera membuka mata dan segera disambut bentangan langit biru yang bersih. Cantik. Langit biru tanpa awan dengan cahaya matahari yang tidak terlalu terik selalu menjadi favoritnya. Ditambah embusan lembut bayu yang bertiup malu.

Andai saja ada aroma petrikor, hamparan padang rumput luas, dan kicauan merdu burung di pepohonan. Maka lengkaplah sudah ketenangan yang selalu Tera impikan.

Mendadak, telinga Tera menangkap suara senandung pelan. Ia sedikit terkesiap, takut sumbernya berasal dari makhluk halus. Namun, mengingat hari masih sangat siang dan pintu atap yang sedikit terbuka, besar kemungkinan ada orang lain selain dirinya di sana.

Tera melangkah hati-hati, mengendap agar tak menimbulkan suara. Ia dapat melihat bayangan tubuh seseorang yang sedang duduk di balik tembok di sisi kanannya. Ketika ia semakin mendekat, suara senandungnya terdengar semakin jelas.

Wae iri kkamkkamhan geonji

Niga eoptneun i goseun

Wiheomhajanha manggajin nae moseup

Guhaejwo nal nado nal jabeul su eopseo su eopseo

Tera memutar bola mata sembari mendengus pelan, pelan sekali sampai ia ragu dirinya baru saja mendengus.

Mengapa belakangan ini ia selalu dihadapkan pada sesuatu yang tidak ia suka?

Ia tahu ini adalah lagu Korea, dan ia juga dapat menebak siapa yang menyanyikan lagu berbahasa Korea tanpa kecacatan pada pengucapan liriknya.

Sedikit banyak, ia masih meragu, sebab ... demi Tuhan, tidak mungkin 'kan bedebah sialan menyebalkan itu pemilik dari suara bariton merdu yang kini tengah bersenandung pilu?

Tera sama sekali tidak ingin memercayainya tanpa memastikan dengan kedua mata. Dan bermodalkan keraguan itulah ia beranikan diri untuk mengintip ke balik tembok.

Nae simjangsoril deureobwa

Jemeotdaero neol bureujanha

I kkaman eodum sogeseo

Neoneun ireoke bitnanikka

Geu soneul naemireojwo save me save me

I need your love before I fall ... fall ...

Oh. Tera mengerjap. Jadi, Jung Ryeonwoo meninggalkan kelas selama tiga hari belakangan hanya untuk menyanyi sendirian di atap sekolah? Dengan lagu yang pasti tidak jauh-jauh dari tema cinta.

Kembali mendengus, Tera sedikit memiringkan kepala untuk melihat lebih jelas.

Ryeonwoo menengadahkan kepalanya ke langit, wajahnya datar tanpa ekspresi, earphone menyumbat satu telinganya, dan embusan angin menerbangkan helai-helai rambutnya yang lebih panjang serta berwarna lebih terang dari siswa lain.

Tera tidak mengerti mengapa pihak sekolah membiarkan pemuda itu memanjangkan rambut. Pih, pasti ada faktor sogokan di dalamnya.

Coba lihat juga dua tindikan yang menghiasi telinga kiri si sulung dari keluarga Jung, menambah kesan berandal yang melekat pada dirinya. Namun, entah bagaimana malah semakin menegaskan pesona yang-tunggu, ya ampun, apa Tera baru saja berpikir bahwa Ryeonwoo tampak memesona ketika sedang terdiam seperti itu? Ia pasti sudah gila.

Tera Wilora pastilah sudah gila.

Dan betul saja, Tera Wilora benar-benar merasa gila ketika kepala bersurai acak-acakan itu menoleh kepadanya. Mempertemukan sepasang iris cokelat karamel dengan netra hitam.

Yang cokelat tampak tidak terkejut sama sekali, berbanding terbalik dengan si manik hitam yang membulatkan kedua bola mata, terlalu kaget untuk memberikan reaksi.

Hingga ketika sepasang mata berkelopak runcing itu memakunya lekat dengan sudut bibir tertarik membentuk seringai, dan mulut terbuka hanya untuk kembali meneruskan lagu-

Geu soneul naemireojwo save me save me

I need your love before I fall ... fall ...

-Tera segera memutar tubuhnya, bergerak cepat menjauh dari pemuda itu, menuruni dua anak tangga sekaligus setiap satu langkah dengan terburu, melintasi koridor yang masih lengang, dan kembali duduk di kursinya dengan wajah merah padam.

Lupa sama sekali pada tujuannya pergi ke atap.

.

.

Sebut saja Tera Wilora bodoh. Atau mungkin, kelewat bodoh. Gadis hipokrit sekalian, ia tidak peduli. Ia masih tidak percaya baru bertanya lagu Korea apa yang memiliki lirik "save me save me I need your love before I fall" pada Nara.

Ya ampun, bukankah ia membenci apa pun yang berhubungan dengan Korea -kecuali sahabatnya yang malah tergila-gila pada salah satu boy group dari negara itu? Lantas mengapa baru saja ia menanyakan hal tersebut pada Nara yang dengan berlebihannya menunjukkan reaksi kelewat syok?

Demi Kerang Ajaib dan perkumpulan aneh yang memujanya. Tera merasa baru kembali dari kematian ketika gadis yang senang menguncir rambut itu terbengong lama, sebelah tangan bergerak pada dahi Tera untuk mengecek suhu badan, berakhir dengan guncangan di tubuh beserta kalimat-kalimat yang diteriakan histeris seperti "kau serius?" dan "hey, kau Tera Wilora, 'kan?" atau "apa insomnia benar-benar mengacaukan otakmu?" sampai "yah! Kau pasti alien yang menculik Tera, kan? Kembalikan sahabatku, alien-nim, kembalikan!" diiringi suara tersedu yang menggelikan.

Tera hanya memasang wajah datar sembari menatap jijik pada sahabatnya. Sungguh, ia tidak mengira Nara akan merespons sedemikian heboh. Seingatnya, gadis itu tengah bersedih karena putus cinta.

Dan omong-omong, lihatlah apa yang ia lakukan sekarang, astaga. Tera sedang menonton video musik Save Me dari BTS dengan bermodalkan komputer di laboratorium sekolah. Parahnya lagi, dia cukup menikmatinya. Garis bawahi kata laknat barusan, tolong. Tera Wilora menonton video musik Korea dan dia menikmatinya. Insomnia memang benar-benar sudah mengacaukan fungsi kerja otaknya.

Tera beranjak pergi ketika bel berdering nyaring. Langkahnya kembali terpacu cepat menuju kelas. Dan lari maraton dadakan tersebut harus berhenti paksa ketika matanya menangkap Ryeonwoo yang berdiri di ambang pintu, kedua tangan bersedekap di depan dada, dan tubuh bagian kanan disandarkan pada kusen. Ofensif, di mata Tera.

"Lama tidak bertemu, Tera-ssi." Seringai kembali terulas di bibir tipis sang pemilik iris cokelat. "Aku menagih ucapan terima kasih."

"Minggir," desis Tera. Malas berdebat sebab kepalanya kembali berdenyut menyakitkan. Ah, pasti efek samping berhadapan dengan sesuatu tentang Korea mulai terasa.

"Hey, tidak sopan sekali." Bibir mencebik penuh kepalsuan. "Setidaknya ucapkan terima kasih atas hasil kerjaku yang mengagumkan, Tera-ssi."

Mencibir pelan dengan sepasang netra yang menatap kesal, Tera lantas berkata, "Aku tidak pernah memintamu melakukannya, Jung Sialan Ryeonwoo. Dan jujur saja, aku lebih suka warna sebelumnya."

"Astaga, kau lagi-lagi mengumpat, Tera-ssi. Itu tidak bagus, sungguh."

"Aku hanya mengumpat di hadapanmu, Bedebah Jung."

Kekehan pelan lolos dari bibir Ryeonwoo, membuat Tera melotot sebal karena merasa ditertawakan.

"Haruskah aku merasa tersanjung?" Dehaman pelan sebagai penetral tawa. "Omong-omong, itu hadiah ulang tahunmu dariku, Tera-ssi. Kudengar senin kemarin kau bertambah tua. Jadi, aku dengan seluruh kebaikan yang ada dalam diriku menyiapkan hadiah dan mengecat pintu lokermu agar hadiah itu tampak lebih jelas."

Satu garis senyum terkembang lebar, sebelah tangan menepuk pelan puncak kepala gadis yang masih mematung. Detik kemudian, kakinya cepat berpacu meninggalkan si gadis membatu sendiri.

Tera mendengus tidak percaya di detik kesepuluh setelah lenyapnya Ryeonwoo dari ambang pintu. Badannya setengah berputar ke belakang untuk melihat kepergian pemuda tersebut, mengarah ke koridor barat, pasti membolos ke atap seperti biasa. Ingatkan Tera untuk tidak pergi ke atap hari ini.

Dan tolong ingatkan juga, bahwa dia kini sedang berdiri menghalangi akses jalan menuju kelas, menatap punggung sempit Ryeonwoo yang semakin menjauh dengan wajah memanas.

Entah karena emosi ... atau sedikit afeksi yang tak disadari.

.

.

Tera Wilora membenci hari di mana ia harus berkegiatan seperti biasa sementara seluruh tubuhnya menolak untuk bergerak. Ia benci pada perasaan menyesakkan di dadanya, ia benci pada lelehan cairan bening yang dengan kurangajarnya menetes meski sudah ia tahan sekuat tenaga, ia benci harus terlihat lemah dan menyedihkan, ia ... terkadang ia membenci seluruh eksistensinya sendiri.

Tawa sumbang pecah, diikuti helaan napas tersengal yang kian menyesakkan. Ia pejamkan matanya rapat-rapat, merasakan bagaimana angin membelai lembut surai hitamnya, serta kicauan burung yang seakan tengah mengejeknya.

Tera menyukai keheningan, tapi tidak jika harus ditemani remasan menyakitkan di pusat kehidupannya.

"Semua orang bertanya-tanya ke mana perginya Tera si introvert ulung sejak pagi," kadar kebencian Tera meningkat pesat ketika didengarnya suara bariton bernada mencemooh, langkah kaki ringan yang mendekat, beserta helaan napas lelah yang terdengar dipaksakan, "ternyata dia sedang menyendiri di atap sekolah bersama seluruh sikap introvert-nya yang menyedihkan."

Kau mengesalkan, Jung. Batin Tera mencebik gusar.

Suara langkah terdengar semakin mendekat, berhenti tepat di hadapannya. Tera dapat melihat sepasang kaki yang terbalut sneaker putih ketika ia sedikit mendongakan wajah dari lipatan tangan. Lantas pemilik kaki itu ikut berjongkok untuk menyamakan tinggi dengannya.

Sudah puluhan menit Tera berjongkok dengan posisi kaki ditekuk dan kedua tangan diletakkan di atas lutut. Persis seperti bocah kecil yang tersesat. Anehnya, ia tidak merasa pegal sama sekali. Seluruh tubuhnya kebas, perasanya pastilah berpindah pada hati yang menjadi berkali lipat lebih peka.

"Sedang merutuki nasib dan berharap bisa lenyap, Nona Introvert?"

Mati saja sana, Jung sialan.

"Sudah dua hari kau membuat Sekretaris Kelas kebingungan mengisi absensi." Dengusan panjang dari si surai cokelat, Tera dapat merasakan embusan napas hangat itu menerpa poninya. "Kalau ingin pergi ke sekolah, maka sekolahlah dengan benar. Jangan terus membolos dan membuat orang kerepotan."

Bola mata berotasi jemu. Tera lagi-lagi memaki dalam hati. Lihat siapa yang baru saja menceramahinya tentang sekolah dengan benar. Oh, perhatian sekali Jung Ryeonwoo, si berandal tukang bolos yang jam pelajarannya lebih sering ia habiskan dengan tidur di atap dan mengganggu orang lain, mau repot-repot mengajari Tera bersikap baik di sekolah.

"Kalau ingin terus menangis dan menyesali hidupmu, tetaplah tinggal di rumah, kunci pintu kamar, tutup semua jendela dan-eh, apa-apaan ini? Kau sama sekali belum mencaciku."

Tentu saja aku menyumpahimu, batin Tera, dalam hati.

"YAH!"

Sentilan keras di dahi membuat Tera mengangkat wajah dengan ekspresi horor. Netra gelapnya sontak bersirobok dengan sepasang iris bagai lelehan cokelat yang telah lebih dulu memandangnya.

Berjongkok dan saling berhadapan dalam jarak dekat bersama orang yang dia benci, juga dengan perbincangan sepihak dan suasana yang aneh, Tera jadi merasa konyol sendiri.

"Aish, kau tampak seram dengan wajah murung itu, Tera-ssi."

Sepasang bola mata hitam membulat penuh amarah. Pada detik seperti inilah Tera biasanya berharap ketajaman mata berarti denotatif, setidaknya ia akan sedikit terhibur menyaksikan bedebah Jung itu tersayat dan tercabik-cabik di hadapannya.

"Aku tahu kepalamu sedang meyusun rencana jahat," jari telunjuk Ryeonwoo menekan pelan dahi Tera berulang kali, "tapi simpan saja untuk nanti, bersama ucapan terima kasih yang belum kudengar sampai dua minggu. Sekarang ikut aku, dan aku tidak menerima penolakan, Tera-ssi. Ikuti aku berjalan menggunakan kakimu sendiri, atau aku akan menyeretmu pergi dengan caraku."

Senyum yang diulas si pemuda membawa hawa tidak enak. Tengkuk Tera meremang tidak wajar kala lengkungan di bibir itu bertambah kian lebar.

Mengingat betapa nekatnya seorang Jung Ryeonwoo, juga berbagai perlakuan tidak masuk akal pemuda itu selama ini, Tera yakin cara yang dimaksud tidak akan bagus dalam sudut pandangnya.

Jadi, ketika Ryeonwoo berdiri dan berbalik pergi, Tera dengan enggan memaksa kakinya untuk bergerak mengikuti.

Terlalu malas untuk berdebat, tidak punya cukup tenaga untuk melawan, dan tidak dalam mood yang bagus untuk mengajukan pertanyaan.

Biarkan saja kali ini ia mengikuti permainan Ryeonwoo, siapa tahu pemuda itu akan menawarkan untuk melenyapkan Tera dengan senang hati.

.

.

"Serius, Jung Keparat Ryeonwoo," napas dihela berulang kali dengan satu tangan mengelus dada, "kau dan kecepatan bermotormu itu sama gilanya!"

Respons berupa tawa mengundang pukulan keras dari Tera, Ryeonwoo mengaduh sakit sembari mengusap-usap lengannya yang jadi sasaran tindak kriminal si gadis berambut sebahu dengan dramatis.

"Tapi seru, 'kan? Seperti terbang." Cengiran terpoles ringan, membuat sepasang mata yang memang lumayan sipit itu semakin menyempit.

"Ingatkan aku untuk membunuhmu setibanya kita di sekolah," kata Tera.

"Aku tidak sabar melihat kau mencoba." Kedua alis Ryeonwoo terangkat penuh tantangan.

Tidak ada tanggapan dari si gadis yang masih berusaha menormalkan detak jantung. Seharusnya ia tahu rencana apa pun, selama itu berkaitan dengan Ryeonwoo, apalagi berasal dari kepala bersurai cokelatnya, tidak pernah bagus bagi kesehatan baik fisik maupun mental Tera. Nah, dia mulai hiperbolis lagi.

Tapi, serius, seingin-inginnya Tera menjemput kematian, ia tidak sudi mati dalam kecelakaan lalu lintas. Apalagi jika harus bersama bedebah Jung yang tengah tertawa kesenangan di hadapannya.

Pih, pasti senang sekali menyiksa Tera dengan membawanya kebut-kebutan di jalanan. Dan kalau ia tidak salah ingat, mereka juga sempat dikejar polisi. Ya Tuhan, Tera tidak pernah merasa sebegini nakal. Entah ia harus merasa beruntung atau bagaimana, Ryeonwoo berhasil mengecoh polisi tersebut sehingga mereka terhindar dari risiko ditilang. Masalah akan berbuntut panjang mengingat mereka masih memakai baju sekolah, dan perkiraan jam dalam tubuhnya memberitahu bahwa ini baru sekitar pukul sepuluh.

(Sekadar informasi, kematian yang keren bagi Tera adalah jika dia jadi heroine dalam sebuah kasus, bertemu penjahat yang sekaligus psikopat berdarah dingin, berkelahi sebentar, dan berakhir dengan mati ditembak bersama si psikopat yang juga ia tembak. Klise, eh?).

"Berhenti berpikir dengan cara apa kau akan membunuhku, Tera-ssi," sepasang tangan membalikkan bahu yang masih bergerak naik turun itu menghadap belakang, "dan nikmati saja pemandangannya."

Tengkuk Tera kembali meremang, sapuan napas Ryeonwoo yang baru saja berbisik di telinganya membuat ia belingsatan. Tera bergerak tidak nyaman selama kedua telapak hangat tersebut masih mencengkeram bahunya. Tidak dapat berpikir jernih sampai sepasang mata sehitam jelaga itu kesulitan memproyeksikan apa yang ditangkapnya dengan baik.

"Kita kabur dari sekolah, sialan!" Tera menggigit bibir cemas.

Derai tawa kembali diurai Ryeonwoo. Dari telapak yang kini beralih menggenggam pergelangannya, Tera dapat merasakan getaran di tubuh si pemuda. "Kau bahkan tidak masuk kelas sama sekali."

Tera nyaris mengeluarkan suara pekikan ketika tangannya ditarik mendadak, membuatnya terpaksa harus berlari, mengikuti langkah panjang Ryeonwoo di antara tanah berumput. Manik hitamnya mengerjap. Sekali, dua kali, tiga kali. Sampai ia tengadahkan wajahnya ke depan, desah takjub tak kuasa ia tahan kemudian.

Mereka kini tengah berlari mendaki bukit yang tidak begitu tinggi. Semak liar di sekitar dan naungan kanvas biru di atas kepala.

Cengkeraman tangan Ryeonwoo di pergelangan Tera terlepas setibanya mereka di puncak. Ia menyapukan pandangannya ke sekitar, dan binar kekaguman dengan jelas terpancar dari sepasang irisnya. "Kadar keberengsekanmu berkurang 0,001% karena telah mengajakku kemari."

"Sama-sama, Nona Introvert."

Tera mengabaikan balasan sarkastis si pemuda, termasuk gerutuannya tentang betapa kecil dan tidak berguna dan sama saja tidak berkurang sama sekali. Ia mendudukkan diri di samping Ryeonwoo yang telah lebih dulu berbaring, menatap langit dengan begitu tenang.

Lama larut dalam pikiran masing-masing, Ryeonwoo memecah sunyi dengan sebuah pertanyaan. "Hey, Tera-ssi. Mengapa kau tidak menyukaiku?"

Tera bungkam. Senyum tipis yang sejak tadi menghiasi wajahnya seketika pudar. Dapat ia dengar pergerakan samar dari pemuda di sampingnya, mungkin merubah posisi menjadi duduk, Tera tidak begitu ingin mencari tahu.

Helaan napas mewakili kebingungan Tera akan pertanyaan Ryeonwoo. Detik kemudian, ia menjawab dengan pernyataan lugas. "Aku tidak pernah benar-benar menyukai sesuatu, jika kau tidak tahu."

"Kau menambah kadarnya untukku," protes Ryeonwoo. "Apa karena aku orang Korea? Kudengar kau membenci Korea."

"Mengapa bertanya jika sudah tahu jawabannya." Tera mencibir pelan, nyaris seperti gumaman.

Namun, Ryeonwoo masih dapat menangkap kalimatnya dengan jelas. "Itu bukan alasan yang cukup kuat untuk membenci seseorang." Ketika tak didengarnya tanggapan dalam beberapa menit, ia pun melanjutkan, "Baiklah, mari ganti pertanyaannya," hening sebagai jeda, "Mengapa kau membenci Korea?"

Lagi, sunyi kembali merajai. Tera dapat merasakan hantaman menyakitkan pada rongga dadanya, seakan sesuatu baru saja memukulnya dengan telak. "Mengapa kaupikir kau pantas untuk tahu?" Dan jawaban berupa pertanyaam sinis yang ia lontarkan mengundang kekehan pelan dari si pemuda.

"Katakanlah, aku mewakili Korea untuk mendengar alasan kebencianmu."

Alasan, ya. Tera menarik napas pelan, sekadar mengusir beban berat yang mendadak menggelayuti hatinya. Meskipun ia tahu, hal itu tidak berpengaruh banyak.

Tera sungguh tidak mengerti mengapa ia tergoda untuk bercerita pada makhluk berandal di sampingnya. Namun, ketika rangkaian klausa mulai diurai, ia tahu ia tidak bisa berhenti.

"Korea ... memiliki peran besar atas kehancuran keluargaku," segaris senyum terpoles masam, "Ayahku menetap di sana dan tak pernah kembali, meskipun ia selalu menelepon dan berkata suatu hari nanti akan pulang, ia tak pernah melakukannya. Satu tahun sejak Ayah tinggal di sana, Kakakku pergi untuk menemuinya, tapi ia malah meninggal dalam pembunuhan. Dan lima hari yang lalu...."

"Ibumu tewas dalam kecelakaan pesawat," lanjut Ryeonwoo, "untuk menyusul Ayahmu ke Korea, kutebak?"

Mengangguk samar sebagai konfirmasi kebenaran, Tera lantas menundukkan kepalanya, menatap kosong pada converse merah yang ia pakai. "Drama sekali, eh?" Kekehan sumbang keluar dari bibirnya. "Kau pasti berpikir hidupku seperti sinetron menyedihkan."

"Itu alasan yang cukup kuat untuk membenci sesuatu," kata Ryeonwoo, tidak menanggapi ucapan Tera sebelumnya. "Tapi, Tera-ssi, pernahkah kau berpikir bahwa mungkin semua itu hanya alasan yang kaubuat untuk meringankan perasaanmu?"

Menoleh, netra hitamnya tak bertemu sepasang iris cokelat yang tengah memandang pada kejauhan. "Maksudmu?"

"Maksudku," Ryeonwoo kembali memulai, masih enggan balik menatap gadis di sampingnya, "kulihat kau bukan orang yang dapat membenci sesuatu sedalam itu. Kau hanya mencari sesuatu yang dapat kausalahkan atas keadaanmu. Kau sedang bersedih, dan kau menyugesti dirimu sendiri untuk membenci sesuatu yang kebetulan saling berkesinambungan dalam alasan di balik kesedihanmu.

"Bukankah kau merasa marah pada Korea agar rasa sedihmu akibat kehilangan orang yang kaucintai sedikit berkurang? Agar perasaanmu menjadi lebih baik sebab kau menemukan sesuatu untuk kausalahkan?"

Lancang sekali. Tera rasanya ingin menghujat pemuda di sampingnya. Akan tetapi, mendengar apa yang Ryeonwoo ucapkan kemudian membuat Tera mau tak mau memikirkan kembali alasan kebenciannya.

"Tera-ssi, menyalahkan sesuatu atas ketidakadilan yang menimpamu ... tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik."

Benarkah demikian? Benarkah Tera hanya mencari penghiburan dari luka? Dengan menumbuhkan dendam agar pedih itu tergantikan?

Tera mendadak ingin mengubur Ryeonwoo di bukit ini. Mengesalkan sekali, bedebah Jung itu, membuat perasaannya bertambah kacau saja.

.

.

Mata Tera menyipit pedih, decakan pelan lolos dari bibirnya, bersama serentetan umpatan yang tertuju pada satu nama; Jung Ryeonwoo.

Terkutuklah hari Senin, beserta pelajaran olahraga di jam terakhir dan hujan deras malam sebelumnya. Mungkin ia juga harus menambahkan guru olahraganya pada daftar orang-orang-yang-tak-memanfaatkan-logika-dan-lapangan-indoor.

Tera sungguh tidak paham mengapa pria yang umurnya sudah menginjak kepala empat itu bersikeras mengajar di lapangan outdoor. Masih bagus kalau yang akan mereka pelajari adalah basket, tapi gurunya tersebut malah mengadakan pertandingan sepak bola dadakan antara murid laki-laki dan perempuan. Otomatis harus menggunakan lapangan rumput yang tergenang air dan licin di beberapa bagian akibat dari hujan deras semalaman.

Sialnya, Ryeonwoo--yang entah sengaja atau tidak--mendorong Tera, menyebabkan ia jatuh pada genangan air berlumpur.

Tera tidak punya masalah dengan kaus olahraga yang berubah cokelat. Toh, dia bisa menggantinya dengan seragam biasa. Ia juga tidak bermasalah dengan sneaker putih yang berbalut lumpur, selalu ada sepatu cadangan di sekolah. Masalahnya terletak pada tempat di mana sepatu itu tersimpan.

Yep, loker.

Atau Tera sekarang menyebutnya kotak-besi-merah-muda-menjijikkan.

Astaga, padahal ia sudah menghindari untuk berinteraksi dengan loker tersebut selama sebulan lebih.

Cih, bedebah Jung itu pintar sekali sampai menyuruh penjaga dan petugas kebersihan sekolah agar tidak mengganti warna lokernya seperti semula.

Mata yang sudah disipitkan dikerjapkan berulang-ulang. Sepasang netra itu perih harus menatap polesan warna mencolok di hadapannya. Dengan cepat, Tera memasukkan kunci ke lubang pintu loker, memutarnya hingga terdengar suara ceklekan pelan, dan membuka lempengan besi tersebut dalam satu sentakan keras.

Sepasang converse hitam segera diambilnya dari sana, lantas dipakai dengan terburu. Tera ingin cepat-cepat pulang dan menunggu hari menyebalkan ini berakhir sembari bergelung di atas kasur.

Sneaker putih-atau sekarang setengah cokelat-hendak ia masukan ke dalam loker, biarlah besok ia membawanya pulang untuk dicuci sebab hari ini tidak ada kantung kertas yang dapat digunakan untuk membungkusnya.

Baru setengah jalan sneaker tersebut masuk ke dalam loker, pergerakan Tera lebih dulu terhenti karena matanya melihat sesuatu yang asing di sana. Sneaker dijejalkan dengan asal, lantas benda asing yang berupa kotak biru sebesar kepalan tangan itu dikeluarkan.

Tera tidak pernah merasa menyimpan benda itu sebelumnya, ia bahkan tidak pernah merasa memilikinya sama sekali.

Setelah menutup pintu loker dalam satu bantingan keras dan kembali menguncinya, Tera lekas membuka kotak tersebut. Kening Tera mengerut dalam kala ia mendapati sebuah kartu dengan tulisan hangul di sampulnya. Tera mengambil kartu itu tanpa membukanya, dan ia melihat ada sesuatu yang lain di bawah kartu. Kernyitan di dahi bertambah dengan kerutan pada alis.

Sebuah kalung, huh? Ah, atau mungkin bandul. Liontin pada kalung tidak akan sebesar dan seaneh itu.

Tera membolak-balik bandul perak tersebut, menelitinya. Lantas, ia sadar bandul segi lima yang menggantung di rantai itu dapat dibuka.

Ketika ia membukanya, rangkaian melodi lembut khas kotak musik segera terdengar. Mengalun dengan merdu. Namun, entah bagaimana berhasil menyayat hati. Tera memejamkan mata sesaat, menikmati musik yang terdengar kian jelas di koridor sepi. Rasanya déjà vu. Ia pernah mendengar nada serupa di suatu tempat.

Tera beralih pada kartu di tangannya ketika rangkaian melodi dari kotak musik mini itu berhenti. Membukanya (mengabaikan tulisan hangul di sampulnya karena, demi Tuhan, ia tidak mengerti), lantas membacanya-

Yah, Tera-ssi.

Kudengar kau bertambah tua. Selamat untuk itu! Semoga pertambahan umur membuatmu bisa lebih mengerti bagaimana caranya tersenyum.

Ps. Aku bertanya lewat lagu itu, kuharap kau mengerti pesanku.

Pss. Aku menunggu jawabanmu bersama ucapan terima kasih.

Psss. Jangan terlalu senang, aku tahu hadiahku keren sekali.

-mata Tera membulat kaget. Mendengus tidak percaya dengan kepala yang menggeleng-geleng dramatis. Hanya satu orang yang menambahkan sufiks pada namanya, dan orang itu sungguh tidak tahu bagaimana cara menulis ucapan selamat ulang tahun dengan benar.

"Itu hadiah ulang tahunmu dariku, Tera-ssi. Kudengar senin kemarin kau bertambah tua. Jadi, aku dengan seluruh kebaikan yang ada dalam diriku menyiapkan hadiah dan mengecat pintu lokermu agar hadiah itu tampak lebih jelas."

Tanpa sadar, sebuah kekehan pelan lolos dari bibir Tera. Ia bahkan enggan memikirkan bagaimana Ryeonwoo menyimpan hadiah di dalam lokernya. Bedebah Jung itu terlalu tidak terduga.

Tera kembali membuka kotak musik yang sempat tertutup secara otomatis. Mendengarkan dengan saksama, lantas tersadar. Nadanya ... berasal dari lagu yang dinyanyikan Ryeonwoo saat di atap.

Tanpa pikir panjang, ia segera memacu langkahnya dengan cepat, melintasi koridor yang sudah agak sepi, membuka pintu menuju atap. Namun, ia tak menemukan keberadaan Ryeonwoo di sana.

Ketika matanya tersapu pada area sekolah, ia melihat pemuda tersebut tengah bermain basket sendirian di lapangan outdoor.

Tera kembali berlari menuruni tangga untuk menghampiri Ryeonwoo yang tengah men-dribble bola dengan wajah dipenuhi peluh.

.

.

[Am. bi. va. len. si. n perasaan tidak sadar yang saling bertentangan terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama.]

.

.

Napas tersengal, langkah kaki yang semula cepat kian melambat. Sepasang netra hitam itu menatap pemuda yang baru memasukkan bola jingga ke dalam ring lamat-lamat. Melihat rasa senang yang diekspresikan dengan lengkungan manis di bibir tipis, ia ikut tersenyum.

Tera masih memerhatikan. Ryeonwoo berlari kecil untuk memungut bola, men-dribble benda itu dengan santai dan kembali melemparnya ke dalam ring.

Duk.

Bola memantul pada papan sebelum lolos melewati lingkaran besi, menggelinding jauh ke kanan, kemudian berhenti tepat di hadapan Tera.

Tera suka cokelat. Ia tidak akan menyangkal lagi bahwa ia selalu suka melihat sepasang iris bagai lelehan cokelat itu menatapnya, penuh binar dan begitu dalam. Ah, betapa kebencian terhadap negeri asal si pemuda telah membutakannya dari apa yang ia rasakan sejak jauh hari.

"Oh, Tera-ssi. Belum pulang?"

"Retoris," sahut Tera. Ia menunduk untuk memungut bola, mendekati Ryeonwoo dan mengembalikan benda itu kepadanya.

Si manik cokelat mencibir. "Hanya bertanya, duh."

Bola basket berpindah tangan. Netra gelap itu menatap mata pemuda di hadapannya dengan lekat, mencari sesuatu yang selalu ia temukan di dalamnya. Sesuatu yang selalu ia tolak keberadaannya.

Afeksi.

Sejak kapan Jung Ryeonwoo dapat mengembalikan emosi yang sempat berada pada satu garis lurus dalam hidupnya? Tera tidak paham, atau mungkin ia yang tidak mau memahami. Ia tidak pernah merasa sangat kesal, sangat marah, sangat ingin tetap hidup untuk membalas perlakuan si pemuda, dan sangat ... merasa diistimewakan, kecuali saat eksistensi Jung Ryeonwoo begitu kental di sekitarnya.

"Terima kasih, Jung Ryeonwoo."

Mungkin benar, kebenciannya hanyalah sugesti. Mungkin benar, dendamnya sebatas usaha untuk meringankan hati.

Tera melihat bagaimana iris itu melebar, bibir tipis membuka dan menutup tanpa keluarnya suara yang berarti. Dan raut wajah kebingungan berikut ekspresi tidak percaya yang mengikuti. "Astaga," desahnya kemudian, "terlambat lima minggu tiga hari, Tera-ssi. Kau membuat hadiahnya tidak sampai tepat waktu!"

Tawa pelan sebagai tanggapan, Tera memperlihatkan kotak musik ke hadapan pemuda yang masih menggerutu tersebut. "Aku suka hadiahnya."

Senyum yang diukir si pemuda menular pada Tera. Berbalik, gadis itu melangkah pergi. Demi Tuhan, ia gugup sekali. Reaksi yang ditunjukan Ryeonwoo juga tidak membantu menormalkan debar jantungnya.

Baru beberapa langkah membuat jarak, Tera teringat satu hal lagi yang perlu ia sampaikan.

Ketika berbalik, dapat dilihatnya Ryeonwoo masih berdiri di sana dengan dua tangan menggenggam bola. Lantas sebelah alis pemuda itu naik di dahi, mengajukan pertanyaan secara non-verbal, atau menunggu satu klausa yang belum terucapkan.

"Ryeonwoo," untuk pertama kalinya di hadapan si pemuda bersurai colelat, Tera mengulas senyum lebar, "you will never fall, I'll save you."

.

.

Tamat

.

.

-ssi = sufiks yang digunakan kepada orang yang lebih tinggi derajatnya atau kepada orang yang dihormati.

a/n: jadi, ini remake dari cerpen yang pernah kubuat untuk tugas dua tahun lalu. Dan meski sudah diubah keseluruhan plot dengan jumlah kata mencapai 5k+, aku masih ngerasa cerpen ini terlalu monoton. Klise juga, eh? Bukti bahwa aku memang tidak berbakat di teenfic atau romance. Ahahah.

Tapi, aku seneng nulis ini. Semoga kalian bacanya juga seneng. :3

Oh, ya. Maaf untuk banyaknya penggunaan kata kasar dan umpatan. Jangan ditiru, tolong. Aku hanya berusaha menyesuaikan dengan karakter tokohnya. ._. //alibi.

Aku juga tidak bermaksud menyinggung siapa pun atau apa pun di sini. Sebab sebenarnya aku salah satu ARMY juga (nama fandom BTS). <<ini bukan promosi meskipun aku ngerasa lagi ngiklanin lagu dan album baru mereka di sini. Kkk.

*lula dan sisi fangirl-nya yang makin menjadi*

Terima kasih sudah membaca. ^^

1811'16

Best Regards,

Alulalyriss.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top