Extra 2. Mine
Mikaila membuang benda pipih berplastik itu ke sudut ruangan. Dengan raut muka keruh, ia membanting diri ke sebuah sofa single sembari bersedekap.
" Nikah?!!" Serunya tidak percaya. " Mereka nikah?! Bukannya mereka putus pas akhir tahun?"
Seorang perempuan lain yang berdiri di tepi meja berdecak, " Iya emang, sampai lo girang banget waktu itu. Tapi katanya mereka ketemu lagi. Si Nala itu balik lagi ke Indonesia."
Mikaila mendengus. Ia mengambil sebuah cermin mungil dari meja di sampingnya, menilai dirinya sendiri sebelum pemotretan dilakukan. " Ngapain? Setelah selama ini dia ngemis sama Dewa lagi? Berharap sama Dewa yang sekarang udah jadi 'orang'? Cih! Dari dulu anak itu nggak punya malu!"
Sonya memutar bola matanya, " Terserah lo mau ngomong apapun tentang cewek begundal itu, yang jelas Dewa udah jatuh lagi sama dia. Lo nggak punya kans kali ini, Kai."
Mikaila menarik satu sudut mulutnya. Perempuan itu meletakkan cermin ke meja, menegakkan diri dan menyilangkan kaki hingga rok sepahanya semakin naik. " Apa lo bilang?" Ucapnya meremehkan.
" Lagian ngapain juga lo masih ngejar Dewa? Lo kan udah punya Vero! Mau dikemanain dia?"
" Ini bukan masalah ngejar mengejar! Ini masalah harga diri gue! Lihat aja, nggak akan ada yang bisa berpaling dari gue di pesta mereka nanti. Semua orang akan bilang, gue yang lebih pantas jadi pengantin daripada cewek miskin itu!" Ucap Mikaila penuh percaya diri seraya mengibaskan rambutnya ke belakang.
" Lagipula kalau gue dapet Dewa, Vero gue buang lah! Cowok miskin yang bisanya cuma ngajak gue jalan-jalan keliling Eropa tiap gue ulang tahun gitu nggak banyak gunanya!"
**
" Dan aku masih berpikir pilihanmu sangat dibawah standar, Alex."
Alex meluruskan kakinya di bawah meja sembari menangkupkan tangannya di pangkuan. Saat ini, dia sedang berada di tengah-tengah kerumunan yang bisa jadi kawan, bisa jadi lawan. Seperti itulah dunia bisnis. Pria itu mengecek jam tangannya. Masih ada satu jam lagi sebelum ia menjemput anak perempuannya yang masih sibuk berias diri. Alex menatap ke depan, ke arah ballroom yang kini penuh dengan tamu undangan baik dari pihaknya maupun pihak Dewa. Sebagai salah satu pemain bisnis yang paling disegani, Alex tentunya harus menyapa mereka.
" Anakmu itu menolak Samuel, menolak Leonard, menolak Damien, menolak anakku dan dia memilih pemuda yang bahkan asing di telinga kita. Akan jadi apa Halid nantinya?" Celetuk yang lain di meja itu. Seorang pria yang juga pemain bisnis. Sepertinya dia masih sakit hati ketika anak perempuan Halid menolak perjodohan dengan putranya. Putra mahkotanya.
" Kau belum pernah bertemu dengannya, Don." Ucap Alex santai. " Setelah ini, kusarankan bertemulah dengannya dan katakan pendapatmu tentangnya padaku. Anak itu mempunyai sesuatu yang tidak dipunyai pemuda lain."
Donald mengangkat alis meremehkan, " Yang jelas adalah, dia tidak mempunyai sesuatu yang dipunyai pemuda di kasta kita, Alex. Walau bagaimanapun, Kanala adalah seorang Halid. Menantumu membawa kehormatan, nama besarmu dan masa depan Halid! Bagaimana bisa kau menyerahkannya pada pemuda rendahan yang tidak kompeten?"
" Don, tenang!" Ucap seorang pria beralis pirang, bahkan keseluruhan rambut di kepala orang itu pun pirang. Dia berdehem dengan suaranya yang dalam, " Aku hanya berharap menantumu tidak membawa dampak buruk pada Halid."
Alex terkekeh pelan, " Tidak akan. Aku justru berharap yang sebaliknya. Dengan dia di samping Fabian, aku optimis dirinya membawa hal yang baik bagi Halid."
Donald lagi-lagi mendengus, " Sehebat apa dia hingga kau memujinya? Kau orang yang jarang memuji, Alexander Halid. Aku bahkan tidak pernah mendengarmu memuji Ravic ketika anakku nyata-nyata membawa dampak besar bagi perusahaan kami! Apa obyektivitasmu sudah kabur?"
" Don!"
Namun lagi-lagi, Alex hanya menanggapinya dengan tenang, " Aku memuji ketika seseorang melakukan sesuatu diluar ekspektasiku, Don." Ia akhirnya menoleh untuk menatap lekat pada Donald, " Dia satu-satunya pemuda yang tidak gentar berhadapan denganku, tidak seperti anakmu."
Rahang Donald mengerat. Siapa yang tidak gentar ketika berhadapan dengan Alexander Halid? Alex pasti bercanda!
Namun Alex belum melepaskan pandangannya, " Dia satu-satunya pemuda yang berani menolak permintaanku dan melakukan hal yang menurutnya benar, tidak seperti anakmu yang mematuhiku karena ada maksud tersembunyi."
Wajah Donald mengeras. Sedangkan pria yang satu lagi menghela nafas panjang. Tidak ada yang bisa mencegah Alex jika sudah begini.
" Dia satu-satunya pemuda yang berani menyakiti anakku demi ibu dan keluarganya. Bahkan setelah tahu jika Nala adalah anakku, anak Alexander Halid."
Alex masih tetap tenang meskipun kini mata itu semakin menajam hingga Donald menelan ludah.
"Dia satu-satunya pemuda yang datang padaku dengan membawa prestasi yang dibangun menggunakan setiap tetes keringatnya sendiri. Tidak seperti anakmu yang menerima segala kemewahan bahkan sebelum dia lahir."
" Tetap saja itu tidak sebanding!" Hardik Donald keras kepala.
" Kusarankan, setelah ini rajin-rajinlah membaca majalah bisnis Asia. Jangan Eropa saja. Asia juga merupakan salah satu belahan dunia yang berpotensi untukmu melebarkan sayap, Don. Beritahu Ravic yang selalu saja sibuk dengan para gadisnya." Ucap Alex mengambil minumannya.
" Delapan tahun lalu menantuku bukan apa-apa. Sekarang dia salah satu kandidat terkuat untuk mengisi lima besar pemuda sukses di Asia. Bayangkan apa yang bisa dia capai delapan tahun ke depan? Dia adalah bibit unggul yang tidak bisa setiap saat kautemukan. Bibit unggul yang baru saja bertunas dan siap menaungi hal yang lebih besar lagi. Calon penguasa yang membawa semua prinsip moral yang sangat aku kagumi. Merupakan suatu kehormatan bagiku memanggilnya menantu."
" Dia bukanlah lulusan Oxford seperti Aditama atapun anakku!" Desis Donald dengan wajah merah padam.
" Dan aku yakin, anakmu sampai saat ini masih belum menunjukkan progres apa-apa kecuali berkutat dengan kasus internal perusahaan." Celetuk Alex. " Sedangkan menantuku sudah megembangkan restoran, mengakuisisi minimarket dan bermain properti. Dibanding Ravic, Dewangga sudah jauh berlari ke depan. Lagipula jika semua lulusan Oxford itu sukses, saingan kita akan bertambah seratus kali lipat."
Alex menoleh pada Donald yang sepertinya tidak mampu lagi berkata apa-apa. Pria itu terkekeh geli, " Aku selalu berpendapat bahwa cara berpikir menunjukkan keunggulan seseorang. Dan karenanya, aku sungguh mengaguminya. Dia cerdas, anak itu."
" Tetap saja, kau memilihnya demi keuntungan perusahaan, bukan?" Celetuk si rambut pirang.
" Kita pemain bisnis. Aku hanya memilih kandidat terbaik." Ucap Alex mengangkat bahu.
" Tidak ada yang mampu memaksamu membatalkan pernikahan ini, bukan?" Ucap Donald bergetar. Alex menggeleng.
" Tentu saja tidak, temanku. Akan kupastikan sendiri anakku berada di tangan yang tepat!" Ucap Alex dengan tawa menggelegar. Ia menerawang ke depan dan tersenyum, " Untuk itulah aku berjuang hingga sekarang."
**
" Duh La, mukanya jangan kaku gitu! Kasian itu mbak-mbaknya!" Celetuk Lila yang mengawasi Nala.
Nala meringis meminta maaf pada seorang perempuan berambut keemasan di depannya. Penata make up pribadi Julianne dan cukup mengenal Nala. Hanya saja, selama ini Nala jarang sekali memakai jasa make up. Perempuan itu hanya tersenyum geli.
" Finally, you're getting married, eh, Kana!" Celetuknya berusaha membuat Nala rileks. Mendengarnya, jantung Nala justru semakin tidak karuan.
" Don't worry." Ucapnya mengambil alat perias yang lain dari tas bertingkatnya sebelum menghadapi Nala lagi. " You have a good face. Just a little more, you'll be the most perfect bride I've ever seen. Talking about that, where's the groom? I want to see him. Is he lucky enough to own you?"
" Actually, I am the lucky one here." Ucap Nala membuatnya terkekeh.
" Whoaa, my first time to hear that." Ucapnya menangkat sedikit dagu Nala dan menilainya, " Yep, it's done! Pardon me, I have to wash my hand. Keep on your foot, Mademoiselle Halid!"
Selepas kepergian perempuan itu, Lila menubruknya keras-keras. Sepertinya dia ingin sekali melakukan itu dari tadi.
" Duduh, La...nanti gaunnya ketarik ini!" Seru Nala sibuk menata gaunnya yang menyapu tanah.
" Lagian gaun lo gini-gini banget, La! Keserimpet dikit jatuh lo!" Dengus Lila meskipun tangannya membantu merapikan gaun putih bersih Nala.
" Ini permintaannya Julianne. Gue udah janji sama dia, kalau gue nikah nanti dia yang ngurusi semuanya." Ucap Nala menghela nafas pelan. " Gue nggak nyangka kolaborasi antara Julianne, ayah, ibu dan Fabian itu mengerikan."
Lila tertawa geli, " Undangan lo isinya orang semua, La. Dewa juga, undangannya bukan orang main-main."
Lila mengerucutkan bibir meskipun dalam hati ia setuju, " Temen-temen SMA juga. Dewa yang minta."
Lila mengangguk, " Iya. Kata Reno, karena hidup Dewa dimulai dari SMA, makanya dia ngundang seangkatan lo sama seangkatannya dia. Yah, buat Dewa mah segini kecil!"
" Bisa nggak jangan nyebut nama Dewa dulu?" Celetuk Nala tiba-tiba. " Deg-degan gue!"
Senyuman Lila melebar, " Ecieeee yang deg-degan mau malam pertama!! Dewa Dewa Dewa Dewa De...hmphh!"
Nala menangkup mulut Lila dan melotot, " Gue nggak main-main! Bisa keserimpet ntar gue! Issss, tenangin gue kek!"
" Ha hahisha ho hihehola!!" Tepis Lila tidak terima.
" Ngomong apa sih gue nggak ngerti!" Gerutu Nala. Duh, dia perlu menenangkan diri agar terlihat anggun nantinya! Dia tidak suka salah tingkah, ingat? Dia bisa melakukan sesuatu yang memalukan jika dirinya salah tingkah!
" Hehas!! He..."
" Kanala, sudah siap?"
Lila dan Nala menoleh ke pintu, dimana Alexander dan Fabian menatap keduanya dengan begitu tenang meskipun saat ini Nala terlihat seperti psikopat gila yang menyekap korbannya ke dinding dengan gaun dicincing hingga ke lutut. Pengawal di kanan kiri Alex pun juga menatapnya datar seolah pemandangan itu adalah hal biasa.
Yah, mereka sering melihat nona mereka lebih liar dari ini.
Nala melepaskan Lila dan cepa-cepat merapikan diri. Dibantu Lila dan penata make up yang baru saja kembali, mereka membenahi gaun Nala yang menyapu lantai. Membuatnya tampak anggun sekali.
Perlahan, Nala melangkah. Ia menyambangi Alexander dan meraih jemari ayahnya yang tersenyum, " Mirip sekali dengan mamamu. Perempuan paling cantik yang pernah papa lihat."
Nala menatap papanya dalam diam, menyadari ada gurat kesedihan yang berbalur kebahagiaan di sana. Tanpa kata, Nala memeluk Alexander.
" Papa." Ucapnya tercekat.
" Jangan menangis, nanti make up nya luntur dan Julianne pasti akan memarahi ayah." Ucap Alex terkekeh. Namun demikian, sesuatu dalam suara Alex justru membuat tenggorokan Nala memanas.
" Papa, I love you." Ucap Nala menenggelamkan diri di pelukan papanya. " I love you."
" I love you too, Ma Cherie." Jawab Alex lembut seraya membantu Nala menegakkan diri. " Remember this, I am the only man who love you the most. Nobody beat it!"
Mendengarnya, Nala tertawa lemah.
" Be my good girl. You're Mademoiselle Kanala Halid." Ucap Alexander mengulurkan tangan untuk diraih Nala.
" Rileks, Kana. Jangan tegang begitu." Ucap Fabian di belakang mereka.
" Terlihat sekali, ya?"
" Sangat! Nanti musuh-musuh kita akan senang sekali merendahkanmu!" Ujar Fabian kalem membuat Nala memutar bola mata. Memangnya dia masih kepikiran musuh-musuh mereka ketika Nala kewalahan mengalahkan dirinya sendiri?
Jantung yang selama ini berdegup kencang, sekarang menggedor-gedor keras rusuk Nala ketika ambang pintu Ballroom kian dekat. Mendadak, dia ingin sekali berlari pergi. Nala mencengkram jemari Alex erat-erat, memaksa kakinya untuk terus melangkah.
Ketika mereka tiba di ambang pintu, beratus mata kini menoleh dan memandangi mereka.
Namun di antara ratusan mata itu, Nala hanya menangkap sepasang mata. Sepasang mata legam milik seorang pemuda gagah berjas hitam yang menatapnya dari seberang ruangan.
Kini, dia yakin jantungnya pasti berhenti.
**
" Shit, man! Lo bisa juga se-nervous ini!" Celetuk Reno menertawai Dewa yang tidak henti-hentinya menghembuskan nafas.
" Le, kata-kata lo." Decak Dewa. Reno tambah terkekeh.
" Nggak ada yang bisa ngalahin gugupnya orang mau nikah, beneran! Gue aja dulu nyaris nggak bisa ngomong." Ucap Reno membenahi kerah jas Dewa.
" Lo nggak lupa sama apa yang harus lo ucapin kan, De?" Tanya Leon di sisi lain. Dewa menggeleng.
" Dibawa santai aja. Malu banget kalau sampai lupa. Ingat nama ayahnya Nala, ingat namanya Nala." Kata Leon kalem.
" Iya, gue inget."
" Yeuh, Dewa jadi penurut gini!" Ucap Reno menahan tawanya.
" Itu penghulunya udah datang." Leon mengedikkan dagu ke arah pintu, dimana seorang pria paruh baya menggunakan setelan jas datang bersama dua orang lainnya. Tampak sedang bercakap dengan Rani sambil sesekali tertawa.
Dewa menghirup nafas pelan.
" It's okay, De. Yang penting lo nggak ketuker nama Nala sama cewek lain." Tepuk Leon di pundaknya. Laki-laki itu juga sebenarnya menahan tawa, tapi dia lebih bisa menyembunyikannya daripada Reno. Demi apapun, Dewa yang terlihat segini gugup mungkin baru sekali dalam sejarah.
" Ketuker sama siapa, Le? Nggak ada nama lain di sini selain Nala." Ucap Dewa pelan mendapat tempelengan dari Reno dan Leon bersamaan.
" Yassalam, Nala punya sihir apa sampai Dewa gila begini Ya Tuhan? Udah ah, gue mau mundur dulu. Kasihan Katie gue tinggal lama-lama." Ucap Leon beranjak. Meninggalkan Dewa dan Reno yang diminta Dewa sebagai saksi di sampingnya karena Dewa tahu Leon pasti sangat sibuk sekali memperhatikan Katie yang tengah hamil muda.
Reno menepuk-nepuk pelan punggung Dewa, menenangkan temannya di kala dia sendiri menyambut kedatangan penghulu itu. Reno yakin Dewa tidak akan mampu mengucapkan kalimat dengan baik di tengah-tengah kegugupannya ini.
" Pengantin perempuan?" Ucap sang penghulu bersiap. Ia menaikkan kacamatanya ketika dirinya membuka sebuah buku mungil dari dalam sakunya. " Kanala Radhinnabil Halid?"
" Betul." Ucap Reno, " Seharusnya dia sudah sam...ah, itu mereka!"
Ketika ruangan menjadi hening, Dewa tahu jika calon pengantinnya sudah sampai. Tanpa bisa dicegah, dirinya berputar bersama ratusan orang lainnya, menatap ke arah pintu.
Di sana, seorang gadis paling cantik yang pernah Dewa lihat sedang berdiri anggun berbalut gaun putih bersih. Gadis itu tepat menatapnya, membuat seluruh organ tubuh yang sedari tadi jumpalitan kini justru terdiam.
Aneh sekali. Tadi organnya serasa melompat ingin keluar. Seluruh darahnya berdesir hingga membuat jantungnya berdentum mengerikan. Kini ketika dia melihat sepasang iris coklat itu, ketenangan justru melingkupinya.
Nala menunduk dan memutuskan pandangan mereka ketika Nala dan ayahnya mendekat. Namun setelah Dewa melihat semburat merah di pipi Nala, laki-laki itu tersenyum.
" Cantik." Bisik Dewa pelan ketika Nala duduk di sampingnya. Nala terdiam. Gadis itu mengeratkan remasannya pada gaun, membuat Dewa tersenyum lagi ketika menyadarinya.
**
"Katie Jasmine?"
Dahi Mikaila mengerut kala mendapati wajah yang tidak asing baginya. Di dunia permodelan, siapa yang tidak kenal Katie Jasmine, salah satu fotografer internasional yang terkenal?
Cukup masuk akal, sih. Mengingat pernikahan Katie dan Leon Aditama yang cukup menggemparkan beberapa waktu lalu. Katie pasti berada disini karena Leon adalah sahabat Dewa.
Salah satu sudut bibir Mikaila terangkat. Dengan dress ketat yang hampir menunjukkan seluruh tubuhnya, ia melangkah dengan percaya diri di antara kerumunan orang orang berpengaruh ini.
Keangkuhan gadis itu tambah melambung ketika menyadari setiap tatap mata menuju padanya. Dia masih tidak mengerti, apa Dewa sekaya itu hingga bisa mengadakan pesta pernikahan di hotel Halid?
"Katie Jasmine?" Sapa Mikaila dengan suara semanis madu. Katie yang saat itu sedang menyantap panganan ringan menoleh.
"Ya?" Tanyanya ramah meskipun sambil mengerutkan kening. Mikaila mengulurkan tangan penuh percaya diri.
"Mikaila Josephine. Model papan atas Asia. Aku pengagum beratmu." Kata Mikaila tersenyum.
"Ahh!! Thank you." Ucap Katie antusias. Melihat keantusiasan Katie, tentu saja Mikaila semakin percaya diri.
"Kai?"
Mereka berdua menoleh dan mendapati Leon menatapnya penuh tanda tanya. Senyum Mikaila tambah mengembang.
"Leon, gimana kabar?" Tanya Mikaila ramah, " Selamat atas pernikahanmu. Sejujurnya, aku hendak kesana tapi..."
Kata-kata Mikaila terputus ketika keheningan melanda. Mikaila mengikuti pandangan semua orang yang tertuju di ambang pintu.
Dan dia harus mengerjap beberapa kali. Tidak mungkin Nala bisa secantik itu!! Juga, berani-beraninya dia memakai gaun murahan yang meniru desainer Perancis terkenal!!
Tapi tidak bisa ia pungkiri, Nala yang sekarang jauh lebih anggun. Ah, make up bisa membuat siapa saja terlihat cantik dan berkelas, kan?
Mikaila memperhatikan dengan mata menyipit ketika Nala tidak mampu melihat kemanapun selain ke arah Dewa, yang membuat Mikaila geram setengah mati.
Dasar penjilat! Dari dulu tidak pernah berubah!!
"Katie!!"
Mikaila mengerjap ketika tiba-tiba saja Nala sudah melintas di depannya. Dan dia memanggil siapa tadi? Katie? Mikaila menoleh pada Katie yang melambaikan tangan penuh haru.
"You're so beautiful, Kanala." Ucap Katie seakan ingin menghambur dan memeluk Nala. Sedang Nala sendiri tertawa pelan sebelum menatap ke depan lagi. Sama sekali tidak menyadari keberadaannya.
Tunggu. Ada yang salah disini.
" Umm, maaf, apa anda mengenal Kanala? Maksudku, dia model anda?" Meskipun tidak percaya, tapi Mikaila jelas tidak akan melewatkan kesempatan untuk menjadi model seorang Katie Jasmine.
Leon dan Katie mengerutkan kening. Kemudian sebuah pemahaman berkelebat di mata Leon. Membuatnya tergelak kecil.
"Kai, Kai." Ucapnya terkekeh. " Lo nggak sadar berdiri dimana? Juga, tas lo itu, produk siapa coba?"
Mikaila mengangkat tas tangannya dengan bingung, "La Belle Femme? Kenapa memangnya? Dia produk kenamaan Perancis!"
"Umm, ada apa?" Tanya Katie ketika melihat kekehan Leon dan kebingungan Mikaila.
" Dia tidak tahu dimana dirinya berada, my dear. Dia tidak tahu siapa pemilik hotel tempatnya berdiri. Dia tidak tahu siapa founder La Belle Femme." Ucap Leon geli. " Gue kasih tahu. Lo berdiri di hotel Halid, nyangklong tas yang diproduksi oleh salah satu pewaris Halid, dan sedang menghadiri pernikahan puteri Halid."
"HAH??" Mikaila membelalakkan mata. Dia...salah alamat? Tapi tadi itu Nala...
" Ohh...apa kamu salah acara?" Tanya Katie memandangnya penuh simpati. " Ini pernikahan Dewangga Abirama dengan Kanala Radhinnabil Halid."
"Ak...APA??"
Leon tidak bisa lagi membendung tawanya.
"Dengerin gue baik-baik. Kanala Radhinnabil Halid. Ha.Lid."
Hah? Si miskin itu pewaris Halid?? Tidak mungkin! Tidak...
Saat itu, acara dimulai. Dan ketika penghulu menyebutkan nama calon pengantin, saat itu juga dagu Mikaila terjatuh bebas.
**
Dia menikah dengan Dewa.
Ralat. Dia. Sudah. Menikah. Dengan. Dewa.
Kini, statusnya adalah istri. Istri Dewangga Abirama.
Masih berdamai dengan kenyataan itu, Nala duduk di tepi ranjang dengan mididress casual berwarna putih polos, yang digunakan Nala untuk acara resepsi segera setelah acara inti selesai. Rambut yang semula digelung kini terurai di satu sisi bahunya. Jemarinya saling bertaut dan ia memejamkan mata. Berusaha mematri seluruh kejadian hari ini ke dalam memorinya. Menjadikannya memori paling indah yang ada di dalam hidupnya.
Matanya terbuka begitu ia mendengar gelak tawa yang sangat ia kenal mendekat.
Mendadak, jantungnya kembali jumpalitan.
Sekarang, langkah kaki itu menggetarkannya. Semakin dekat hingga pintu perlahan terbuka.
" Sudah disini?" Tanya Dewa dengan jas tersampir di bahu, meninggalkan kemeja putih yang kini keluar dari celana.
" Kenapa gugup?" Tanya Dewa terkekeh. " Kita pernah ngelakuin setengah dari nanti."
Nala memutar bola mata, " Apa coba De?"
Dewa tertawa geli. Laki-laki itu duduk di kursi dan menyeret dirinya hingga berada tepat di depan Nala. Dewa menautkan kedua tangannya dan sedikit membungkuk untuk memandangi Nala yang tertunduk.
"Thanks for being mine, Kanala." Ucap Dewa mencium puncak kepala Nala.
"Thanks for being mine, too." Ucap Nala mengangkat wajahnya dengan seulas senyum. Sungguh, gadis itu kini menikmati setiap debaran yang ada di dadanya. Jika tadi dia begitu mengelak dari pandangan Dewa, kini dia menatap tanpa bosan mata legam itu, membiarkan dirinya terlarut di sana.
Dewa menghembuskan nafas pelan dan meraih tangan Nala.
" Sini!" Ucapnya seraya menarik Nala di pangkuannya. Ada kegugupan asing yang menjalari keduanya. Tapi tetap saja, memandangi satu sama lain saat ini sepertinya adalah hal yang lebih penting.
Dewa mengusap pipi Nala perlahan, " Aku ingat, dulu kamu menolak mati-matian jadi pacarku."
" Soalnya kamu aneh, De." Ucap Nala, " Aku yang urakan gitu diaku pacar."
Dewa tertawa. Tangannya yang lain mengusap punggung Nala, menahan gadisnya untuk tetap di pangkuannya.
" Dari dulu, cuma kamu perempuan yang menarikku untuk tetap mengawasi kamu, Nala." Kata Dewa, " Membuang jauh-jauh akal sehatku untuk jadi anak baik-baik dan lebih memilih bolos sama kamu."
Nala terkekeh, menikmati kehangatan sentuhan Dewa di pipinya. " Mungkin kalau aku nggak nakal, kita nggak akan seperti sekarang."
Dewa mengangkat alis, " Siapa bilang? Akhir kita tetap sama, mungkin cara bertemunya saja yang beda. Kamu milikku, cuma milikku. Seaneh apapun jalan kita untuk bertemu, pada akhirnya kamu akan tetap milikku."
Nala bisa menangkap ketegasan di dalam mata legam itu. Anehnya, Nala tidak ingin membantah. Karena demi apapun, dia tidak menginginkan takdir yang lain selain sekarang.
Nala mengira kebersamaan mereka tidak bisa lebih dekat lagi. Tapi ketika telinganya mendengar sendiri mereka sudah trrikat dalam tali pernikahan, sesuatu mulai tampak berbeda baginya.
Dewa pernah berkata padanya bahwa dia menginginkan Nala berada di posisi yang sempurna sebelum berbagi beban dengannya.
Kini, Nala bisa merasakannya. Ada sebuah kekuatan tersembunyi dalam ikatan sah ini. Ada sesuatu yang lebih dalam dibandingkan hanya sebagai kekasih. Dulu mungkin Nala tidak menyadarinya. Namun sekarang dia merasa, bahwa sesering apapun dirinya bersentuhan dengan Dewa, selalu ada sesuatu yang membuat mereka menahan diri. Ada seutas benang yang menggantung di kesadaran bahwa sedekat apapun mereka, masih ada sekat di sana. Sekat yang kini hilang dan membuat Nala tahu bahwa kepercayaan dan keyakinan Nala pada Dewa bisa semakin besar.
Nala menarik nafasnya, menikmati wajah di depannya yang kini bisa ia lihat kapanpun dia mau.
Dewa mencium dahi Nala lama dengan penuh kasih sayang, membuat gadis itu menghembuskan nafas pelan. Lalu ciuman Dewa turun ke kedua mata Nala, membuat jantungnya kini terpompa mengerikan.
Ketika kecupan itu berpindah di hidungnya, Nala mulai meremas lengan Dewa.
Ketika akhirnya Dewa mencium bibirnya, tidak ada yang Nala lakukan selain mengikuti apapun yang Dewa lakukan padanya.
***
Sejauh yang Nao ingat, ini pertama kalinya Nao bikin scene wedding 🙌🙌
Kenapa? Karena scene wedding itu manis banget, terlalu manis sampai-sampai Nao nggak bisa napas. Nao harus sering-sering denger lagu wedding, dan Nao bisa nangis sendiri 😭😭
Itu sulit, beneran. Dan seringnya, Nao nge-skip scene wedding di cerita apapun itu 😳
Sekarang, Nao bikin scene itu, astaga! Jujur, ini nggak ada di draft. Nao barusan bikin tadi pagi, hahaha...Ada sesuatu yang bikin Nao menghindar. So swit nya itu lho Ya Allah, nggak bisa tahan Nao 😩
Tapi, akhirnya Nao menganggap itu sebagai tantangan. Bisakah saya membuat scene wedding yang selama ini Nao hindari? 😏
Dan hasilnya, seperti diatas 😆😆
Apakah masih ada yang pesen ekstra part sehabis ini?? 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top