7. The Lesson
Nala membenahi flatshoes dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lainnya sibuk menahan ponsel di telinganya. Ia berusaha keras agar tidak tertawa.
" Tidak, Pak. Saya sudah mendapat izin dari kepala sekolah." Kata Nala bergegas keluar apartemen.
" Tapi bu Nala, itu akan menyebabkan ketidaknyamanan dalam proses belajar mengajar!" Protes Pak Burhan, salah satu guru di sekolah tempat Nala mengajar. Ia baru saja protes pada Nala tentang gambar-gambar itu.
" Ini juga bagian dari belajar mengajar, Pak Burhan." Kata Nala bernada menjelaskan. " Mungkin, bisa jadi pembelajaran bagi bapak juga. Saya amati, guru-guru yang protes kepada saya adalah guru yang juga merokok."
" T...tapi bu Nala, proses belajar mengajar jadi terganggu! Tidak kondusif!"
Nala menahan diri untuk tidak tertawa. Nyata sekali guru yang satu ini sangat terganggu dengan alasan yang berbeda.
" Maaf, Pak Burhan. Tapi saya sudah diberi kebebasan oleh kepala sekolah sebagai wali kelas PE. Jika anda masih protes, silahkan menghadap kepala sekolah. Selamat pagi."
" Se...eh? Selamat pagi, kalau begitu. Kita diskusikan ini di sekolah!"
Nala memutar bola matanya saat menutup sambungan. Ia terkekeh. Ia tahu sekali bagi mereka yang merokok, teror yang ia tebarkan pasti terasa sangat mengerikan. Ia berterima kasih atas ilmu psikologi manusia yang diajarkan padanya. Paling tidak ia tahu cara memahami orang-orang berpikir.
" Selesai?" Terdengar suara dingin tepat di belakang Nala. Nala berbalik dan mendapati Raya berdiri di hadapannya dengan tangan bersedekap. Perempuan itu sudah rapi dengan terusan ketat berwarna ungu dengan lengan berjumbai. Sebuah tas tangan menggantung di lengannya, membuat Nala menaikkan alis.
Raya menyeringai saat sadar apa yang diamati Nala. Ia mengangkat tas itu sekilas.
" La Belle Femme, limited edision." Katanya angkuh. " Tapi jangan mengalihkan pembicaraan."
Nala mengalihkan tatapan pada Raya yang menatapnya tajam.
" Jangan ganggu Dewa."
Nala menghembuskan nafas lelah.
" Setelah delapan tahun, kamu masih ngomong hal yang sama. Nggak capek apa?"
Raya menggeram. " Jangan ganggu rumah tangga orang lain! Dewa calon ayah dari anakku. Kamu paham itu."
Nala tahu. Ia sangat tahu itu. Tapi kata-kata Raya seperti pisau berkarat yang dihujamkan di dadanya. Pandangan Nala mengeras.
" Aku nggak pernah ada niat seperti itu." Bisiknya dingin.
" Hmph! Kamu datang ke Indonesia! Apartemen kamu di samping apartemen kami! Kamu sengaja ngambil hatinya Dafa! Gitu kamu masih bilang nggak ada niat?" Decih Raya.
Nala lupa jika Raya adalah orang yang suka sekali berpikiran buruk.
" Aku nggak paham kenapa kamu ketakutan. Jelas-jelas kita udah punya kehidupan sendiri." Kata Nala tenang. Mungkin saja hormon ibu hamil ikut berperan pada sikap Raya yang menyebalkan, meskipun Nala ragu akan hal itu.
Tatapan Raya menggelap. Ia mendekati Nala yang mengambil satu langkah ke belakang. Oke, apa sekarang dia sedang menantang hormon labil ibu hamil? Dia harus ingat jika ibu hamil ternyata semengerikan ini. Raya meraih tangan Nala dengan kasar dan meremasnya.
" Kamu nggak akan pernah merebut Dewa dariku." Desisnya.
" Kana!"
Mereka berdua menoleh saat Fabian muncul. Matanya menajam menatap Raya yang meremas keras pergelangan tangan Nala. Raya segera melepaskannya meskipun masih memandang Nala dengan benci. Raya mendengus keras sebelum berbalik dan membanting pintu apartemen.
" You okay?" Tanya Fabian mengamati lekat-lekat tangan Nala.
" Aku baik, Ian. Jangan khawatir." Kata Nala menarik kembali tangannya. Namun Fabian tidak melepaskannya begitu saja.
"Kelihatannya ia tidak terlalu menyukaimu." Tanyanya membuat Nala mendongak. Ia merapikan dasi biru dongker Fabian. Memberikan waktu dirinya sendiri untuk berbangga pada adiknya yang kini tumbuh menjadi laki-laki yang sangat mengagumkan.
" Ah, adikku memang ganteng sekali!" Seru Nala memeluk Fabian erat-erat.
" Jangan mengalihkan pembicaraan, Kana." Ujar Fabian dengan nada memperingatkan. Walaupun ia sangat ingin tahu apa arti kata 'ganteng', ada hal lain yang perlu ia ketahui. Ia tidak akan memaafkan siapapun yang berani menyakiti kakaknya, meskipun dia perempuan dan sedang mengandung.
Nala berdecak dan melepaskan diri.
" Anggap saja dunia remaja. Penuh emosi, drama dan sangat labil." Kata Nala singkat.
Fabian mendengus, " Jangan menyindirku. Aku yang bertanya padamu."
Nala mengerucutkan bibir. " Aku tidak menyindirmu. Ngomong-ngomong tentang itu, kamu masih saja kepikiran Sophie. Jelas-jelas dia perempuan yang tidak baik, Ian. Just let it go! Itu merusakmu dari dalam, tahu!"
Fabian melirik sekilas pada kakaknya, " Bicaramu seakan kamu pernah mengalaminya. Samuel memanjakanmu begitu."
Nala tersenyum tipis namun tidak menanggapi.
Fabian terdiam sejenak, kemudian bergumam, " Sophie. Kadang dia mengganggu tidurku."
"Rasa sakit akan lebih kuat ketika kita menyangkalnya. Terima dan nikmati rasa sakit itu. It isn't easy, but it is the only way to let go." Kata Nala memeluk ringan lengan Fabian. " You deserve better than her."
**
" Untuk kesekian kalinya, Bu Nala. Saya mohon anda mendisiplinkan anak asuh anda! Saya sudah terlanjur berharap yang terbaik pada anda mengingat anda mampu bertahan sejauh ini!" Kata sang kepala sekolah dengan sedikit emosi.
" Saya tidak melihat adanya masalah dengan mereka." Jawab Nala sopan. Pagi ini, tiba-tiba saja kepala sekolah menyuruhnya untuk menghadap sebelum mengisi kelas. Nala mengira itu masalah tentang rokok, tapi ternyata aduan sang kepala sekolah berbeda.
" Sekali lagi, Gardan mengacaukan sistem nilai. Ini bukan pertama kalinya dan ini bukan perkara sepele!" Hujam kepala sekolah menghadap catatan di mejanya. " Raka dan Ali, mereka menghajar siswa dari kelas lain tanpa alasan. Gaby dan Kezia membolos les sore. Bagaimana anda bisa membiarkan ketidakdisiplinan ini terjadi di bawah hidung anda?"
Nala menatap sang kepala sekolah sejenak, kemudian tersenyum.
" Keberhasilan Gardan menerobos sistem sekolah hanya menjadi bukti bahwa sistem ini terlalu lemah. Anda seharusnya bersyukur bahwa itu hanyalah Gardan, dan dia bermain-main. Anda baru boleh marah jika dia adalah pihak sekolah lain dengan niat yang jauh lebih jahat dari anak didik anda sendiri. Tidakkah anda sadar? Gardan mempunyai potensi luar biasa di bidang ini. Jika ini menyulitkan anda, anda hanya perlu memasang sistem keamanan yang lebih canggih daripada sebelumnya."
Tentu saja, kepala sekolah ternganga. Namun Nala belum berniat menyelesaikan sanggahannya.
" Beno, anak yang dihajar Ali dan Raka. Dia adalah siswa yang bertingkah kurang ajar pada Kezia. Saya tidak akan menceramahi mereka karena sikap mereka. Saya justru salut terhadap rasa kesetiakawanan mereka. Jika anda memang harus memarahi seseorang, silahkan marahi Beno. Anda memandang berat pada Raka dan Ali karena dari awal, anda sudah mencap mereka sebagai biang keonaran."
Nala berdiri dan merapikan roknya.
" Hal yang menimpa Kezia, sudah cocok untuk masuk ke dalam berita acara sekolah. Itu sebabnya kemarin Kezia tidak ikut les sore dan Gaby memilih untuk menenangkan Kezia. Dari semuanya, bagian mana yang pantas anda cela?"
Mulut kepala sekolah membuka tutup seperti ikan keluar dari airnya sebelum berhasil mengeluarkan suara.
" Bagaimana anda tahu ini semua?" Desisnya tidak percaya.
" Karena saya pembimbing, bukan pengajar. Anda tahu apa yang salah terhadap sistem pendidikan di Indonesia? Karena setiap guru merasa bahwa mereka paling benar. Mereka hanya menganggap remeh masalah anak didik mereka tanpa berusaha memahami, menilai bahwa apa yang tidak sesuai dengan prinsip mereka adalah hal menyimpang dan salah." Nala tersenyum sopan, "Jika anda berkenan, saya mohon diri. Kelas sudah dimulai sejak tiga puluh menit yang lalu. Selamat pagi."
Nala berbalik untuk meninggalkan kepala sekolah yang kehilangan kata-kata. Nala menanggalkan wajah datarnya dan memijit pelan pelipisnya. Membela mereka di depan kepala sekolah bukan berarti mereka benar. Gadis itu membalas sapaan dari anak-anak kelas lain dimana dia mengampu pelajaran bahasa Inggris. Kemudian ia meninggalkan bangunan utama untuk mengambil jalan menuju paviliun E.
Nala membuka pintu, kemudian terpaku. Sedetik kemudian, seringai tercipta di wajah gadis itu. Kelima siswanya selalu berhasil menghibur hati Nala.
Saat ini, yang menyapanya hanyalah meja kursi tak bertuan dan kesunyian temaram di bawah naungan lampu yang dibiarkan berpijar.
" Heh, jadi begitu ya?" Ucapnya geli.
Saat itu, sebuah bayangan membuatnya menoleh. Tanpa banyak berpikir, Nala menaruh semua buku yang sedari didekapnya ke atas meja, kemudian berlari keluar kelas.
Nala mengedarkan pandangan, kemudian menyeringai saat melihat dengan jelas siluet anak laki-laki melompati pagar beton sekolah itu. Akhirnya tiba waktunya Nala bersyukur dia selalu memakai flatshoes. Dengan cekatan, gadis itu berlari tanpa memperdulikan bahwa ia tengah memakai rok yang hanya selutut. Dengan mudah ia menemukan sebuah batu besar yang digunakan sebagai pijakan. Tanpa kesulitan, Nala meraih puncak pagar untuk menarik tubuhnya sendiri.
" Hap!" Serunya riang saat ia berhasil mendarat dengan sempurna.
" Hmm...Ternyata sekolah kita ada di tengah area persawahan." Ucap Nala berkacak pinggang sembari mengamati sekitar. Setelahnya, ia menatap kelima muridnya yang terperangah.
" Selamat pagi, semuanya!" Sapa Nala riang.
" DEMON!!" Seru Deby menatapnya nyalang. Bagaimana mungkin guru bertubuh mungil itu bisa mempunyai perilaku macam berandal?
" Lari! Lari!!" Seru Ali nanar. Kesemuanya langsung mengambil langkah, kecuali Raka yang menatap Nala dengan beringas.
" CUKUP!" Teriaknya frustasi. Apa yang tidak bisa dilakukan makhluk itu? Raka sampai pusing dibuatnya!
" Ayo bikin kesepakatan." Kata Raka dengan suara gemetar. " Jangan paksa kita belajar lagi! Itu nggak ada gunanya! Kita nggak suka sekolah!!"
Nala menatapnya sejenak, kemudian tersenyum lembut. " Kesepakatan diterima. Tapi sebelum itu, saya ingin kalian ikut saya ke suatu tempat."
Raut muka Raka berubah menjadi terkejut. Ia sama sekali tidak mengantisipasi gurunya akan menerima semudah itu.
" Lo nggak takut kita jadi bodo?" Kernyit Raka saking terkejutnya. Nala mengangkat alis.
"Sekolah bukan tempat untuk melihat seberapa pintar kita, tapi seberapa jauh kita menggunakan otak kita untuk memecahkan masalah. Tidak pintar di sekolah bukan berarti kamu bodoh." Nala meraih sebuah batu dari tanah. " Bodoh adalah ketika kamu tidak bisa menilai situasi sehingga akhirnya kamu terpuruk."
Nala melemparkan batu itu secara tiba-tiba. Batu itu meluncur cepat di antara Ali dan Raka, membuat mereka otomatis meliukkan diri untuk menghindarinya.
" Bagus sekali." Puji Nala tenang. Kemudian ia beralih pada Raka, " Kamu tahu apa yang membuat kamu kalah dari saya? Itu adalah kamu yang dikuasai emosi. Apakah itu berarti kamu bodoh? Tidak. Kamu cuma belum banyak belajar."
Kemudian ia beralih pada Ali, " Kamu tahu apa yang membuat kamu tidak bisa mengalahkan saya?" Tanya Nala. Ali menggeram. Namun Nala mengabaikannya. " Karena saya bisa membaca strategi kamu. Untuk menghadapi orang seperti saya, jangan pernah menunggu saya melakukan kesalahan. Paksa saya! Sudutkan! Ciptakan kelemahan saya untuk kesempatan kamu! Itu strategi sebenarnya. Apakah itu berarti kamu bodoh? Tidak. Kamu cuma terlambat mempelajari saya sebagai musuh kamu."
Nala berhenti sejenak sebelum melanjutkan, " Apakah saya lebih pintar? Tidak, saya hanya lebih berpengalaman."
" T...tapi tetep aja! Kalau nggak lulus dengan nilai baik, kita susah dapet kerjaan!" Seru Gaby yang merasa kata-kata gurunya terlalu tinggi.
Senyuman terbit di bibir Nala, " Kalau gitu ciptakan kerjaan."
" Hahh?"
" 'Dapat kerjaan', adalah kata-kata calon karyawan. Di dunia ini, tidak semua orang jadi karyawan, kan? Nggak perlu muluk-muluk, Kezia yang punya restoran udah jadi bos, dan saya pastikan nilai UN yang bagus nggak termasuk salah satu resep makanan yang enak." Kata Nala. " Hanya kalian yang tahu kekuatan kalian. Jangan memaksakan diri menjadi orang lain."
Tentu saja, kelima anak tadi terperangah.
Nala terkikik melihat ke lima anak didiknya. "Jadi gimana tadi kesepakatannya? Jadi ikut nggak?"
" Kemana?" tanya Kezia sadar.
" Jangan mau! Bisa jadi dia sindikat penculikan anak, Ka!" Seru Gardan ketakutan. Pasalnya, ceramah gurunya tadi benar-benar cara cuci otak yang ampuh.
Nala terkekeh. " Terima, atau kesepakatan batal."
" Terima." Jawab Raka tanpa ragu.
" Raka!" Seru yang lain ketakutan. Namun Nala harus mengagumi wajah penuh tekad laki-laki yang tidak pernah mengancingkan seragamnya itu sehingga hanya menampakkan kaus putih polosnya. Dengan senyum masih tersungging di bibirnya, Nala menelfon seseorang dengan singkat tanpa melepas pandangannya dari Raka.
" Oke. Mari kita pergi ke jalan raya." Kata Nala sembari menutup ponselnya.
Sebuah Pajero Sport menunggu mereka di ujung jalan setapak. Seorang laki-laki muda yang berdiri tegap di samping mobil itu membungkuk saat melihat Nala.
" Ayo masuk!" Kata Nala saat melihat anak-anak itu teperangah menatap mereka.
" Kita mau kemana?" Tanya Raka dengan kecurigaan yang tidak bisa ia tutupi. Mau tidak mau ia merinding juga. Guru muda ini terlalu menyimpan banyak kejutan.
Nala tersenyum lembut menatap satu persatu anak didiknya. " Kita akan belajar. Saya janji, tidak akan ada kelas hari ini."
Ia ganti menatap pemuda tegap tadi. " Farel, ke kampung."
Farel tersenyum manis. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya hingga membuat Kezia menahan nafas.
" Dengan senang hati, Nona. Silahkan masuk, semuanya."
**
Mereka turun di depan sebuah bangunan bertingkat dengan area taman yang luas. Di salah satu ujung taman yang luasnya hampir tiga kali lapangan sepakbola itu terdapat berbagai macam mainan seperti yang biasa ada di Taman Kanak-kanak. Namun yang paling menyita perhatian kelima anak itu adalah bangunan utama yang berdiri megah dengan beratus daun jendela. Mereka seakan sedang menatap istana agung Inggris yang dipugar dengan warna lebih ceria.
" Nala! Kamu datang!"
Seorang laki-laki berkacamata berlarian menyebrangi taman yang luas itu. Tanpa basa-basi, ia langsung memeluk Nala hingga gadis itu terdorong ke belakang.
" Cieeee bu Nala." Seru Kezia dengan Gantar yang bersuit nyaring.
" Ternyata cuma mau ngajak kita ketemu pacarnya." Gerutu Ali.
" Selera bu guru om-om, ya?" Gaby mengernyit.
Nala terkekeh, tapi segera melepaskan diri. Laki-laki itu menatap Nala dengan berbinar dari balik kacamatanya.
" Semoga mbak Tari nggak lihat. Bisa dibunuh kamu mas." Tukas Nala membenahi blezernya. Laki-laki itu tertawa sembari mengacak rambut Nala dengan gemas.
" Tari cuti. Dia hamil." Katanya dengan wajah bercahaya. Nala tertawa.
" Astaga Mas Qatar! Selamat ya!" Seru Nala memeluk singkat laki-laki itu.
" Errr...boleh naik jungkat-kungkit selagi kalian temu kangen?"
Dengusan Gaby membuat kedua orang itu menoleh.
" Hmm...study tour, ya?" Celetuk Qatar seketika memahami alasan kedatangan anak-anak itu. " Saya Qatar, penanggungjawab panti asuhan ini."
Raka melongo, " Haaahh...panti asuhan? Ngapain kita pergi ke panti?"
" Study tour itu ke Filipina! Cuma setengah jam dari sekolah dibilang study tour!" Sindir Kezia.
Mendengar itu, Qatar tertawa. Ia bertukar pandang dengan Nala yang juga geli sendiri.
" Nggak penting banget. Gue pergi aja." Sergah Ali langsung berbalik badan.
" Pergi dan tidak ada kesepakatan." Kata Nala riang. Hasilnya, Raka langsung menarik kerah Ali.
" Jadi tugas kita apa di sini?" Tanya Raka mengabaikan berontakan Ali. Gadis itu tersenyum lebar.
" Tidak ada. Kita cuma akan senang-senang di sini." Jawab Nala santai.
Raka menggeram emosi. Gurunya ini selalu berhasil membuatnya naik darah.
" Cih! Panti asuhan apaan! Bisa jadi ini kedok kalian atas kasus penculikan anak!" Desis Raka berjalan melewati mereka untuk masuk ke pintu utama lebih dulu. Keempat anak yang lain mengikutinya dengan sikap angkuh yang sama. Qatar tertawa pelan. Pria itu mengacak rambut Nala dengan sayang dan menatap wajah gadis itu dari samping.
Ada sesuatu yang ia sembunyikan sejak dulu, dan ia merasa hari ini Nala harus tahu.
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top