40. Izinkan Aku

" So let me tell you how much I love you"

Nala tahu sekali kemana Dewa akan membawanya ketika ia mengenali jalanan yang mereka lintasi. Namun gadis itu diam saja. Hingga akhirnya Dewa berhenti di depan rumah berwarna putih itu, Nala masih terdiam.

Rumah itu masih sama seperti terakhir kali Nala melihatnya. Megah dan lengang. Bi Inah dan keluarganya merawatnya dengan baik. Ada kerinduan yang menyelimuti ketika Nala menatap rumahnya, juga rasa sakit mendominasi yang menjadi alasan Nala tidak pernah kesini lagi. Rumah ini adalah saksi bisu dirinya kehilangan Radit, mama, papa dan Dewa. Rumah ini menyaksikan sendiri bagaimana mereka pergi satu per satu meninggalkannya.

Kali ini dia justru kemari bersama Dewa. Bukan saja menarik memori buruknya, tapi menyusupkan ketakutan lain di hatinya. Seolah Dewa yang memasuki pekarangan rumahnya adalah pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi.

Dewa pun juga sama diamnya. Setelah mendudukkan Nala di kursi roda, Dewa mendorongnya perlahan memasuki gerbang, membuat Nala lagi-lagi merasa memasuki dimensi waktu yang berbeda.

" Di sini tempat aku menyakiti kamu." Kata Dewa ketika masuk ke dalam teras. " Aku mau kamu mengulang semua perkataan yang kamu ingat di hari itu."

" Kamu gila, De. Mana bisa?" Nala membalas dengan getir. Mana mau dia mengulang lagi kejadian itu?

Namun Dewa memutar kursi roda Nala hingga keduanya berhadapan tepat di depan pintu.

" Aku berusaha mengubah masa lalu di memori kamu." Bisik Dewa pelan. Mendengarnya, Nala tertawa pedih.

" Kamu sakti, ya?" Ucapnya. Namun Dewa hanya tersenyum tipis menanggapi tawa Nala yang sarat akan kesedihan. Laki-laki itu membungkuk di depan Nala dan merangkum wajah Nala dengan kedua tangan.

" Di sini aja." Kata Dewa menatap Nala lekat.

Deg.

Dewa tidak main-main. Detik itu juga, dirinya merinding hebat kala detail-detail ingatan di hari itu membanjirinya tanpa ampun. Ia seakan melihat bayangan Dewa delapan tahun lalu yang berdiri dan menatapnya dengan pandangan tidak peduli.

Dewa yang dulu sangat mengerikan.

" Jadi kamu udah tahu tentang perjanjian itu?" Dewa melanjutkan dengan nada biasa. Tapi di telinga Nala, suaranya terdengar dingin seperti waktu itu. Sensasinya begitu nyata hingga Nala bergidik.

Gemetar, Nala mengangguk.

" Baguslah. Jadi aku nggak perlu ngejelasin apa-apa lagi sama kamu."

Nala menelan ludah. Laki-laki ini mengajaknya bermain dengan memori buruk Nala.

Nala menguatkan dirinya untuk membalas tatapan Dewa. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya ingin dilakukan laki-laki itu.

" Itu bener?" Nala mengatakan persis seperti apa yang ia katakan dulu.

" Kamu udah baca perjanjiannya." Jawab Dewa lancar.

Nala terdiam sejenak. Apa percakapan mereka menghantui hari-hari Dewa seperti Nala sampai-sampai Dewa mengingat setiap katanya?

Nala menggeleng. " Aku tanya, itu bener kalau semua sikap kak Dewa sama aku hanya pura-pura?"

" Kamu tahu sendiri jawabannya."

" Jawabannya cuma bener atau nggak." Nala berkata.

Dewa menatapnya lama, membuat Nala mencengkram ujung roknya erat-erat. Sebentar lagi...dia ingat...sebentar lagi dan hatinya akan patah untuk kesekian kali. Sebentar lagi...

" Nggak. Aku nggak pernah pura-pura sama kamu."

Jantung Nala berhenti berdetak. Ia terpaku dengan mulut terbuka tanpa tahu mau berkata apa. Namun Dewa mengedik, memberi tanda pada Nala untuk meneruskan.

" Semua yang kak Dewa bilang, semuanya bohong?"

Dewa menatap Nala lekat. " Semua yang aku bilang ke kamu, itu bukan kebohongan."

Nala mulai gemetar.

" Semua yang kak Dewa lakukan, itu bohong?"

" Semua yang aku lakukan, itu bukan kebohongan." Jawab Dewa.

Nala menggelengkan kepala ketika merasa dirinya tidak kuat lagi.

" Sebenarnya apa mau kamu? Aku nggak mau lagi, De. Berhenti di sini..." Nala memohon. Namun Dewa justru membungkuk dan memegang erat lengan kursi roda di kanan dan kiri Nala, memaksa gadis itu menerima tatapan putus asanya.

" Bagaimana kamu bisa percaya waktu aku bilang ciuman-ciuman kita nggak ada artinya?" Tanya Dewa menderita. " Bagaimana bisa kamu begitu saja percaya semua kata-kataku tentang aku yang nggak pernah suka kamu? Bagaimana bisa kamu nggak menahanku lebih lama waktu aku memutuskan hubungan kita?"

" Apa kamu masih perlu bertanya?" Sahut Nala ketika air mata kembali menggenang. " Sepanjang hidupku, aku sudah terbiasa kehilangan orang-orang yang aku sayang, De. Mama, Radit, Papa. I am used to it."

Nala menghirup nafas sesak ketika menyadari luka melintas di manik mata Dewa yang menatapnya.

" Dan ketika kamu juga memutuskan untuk pergi, anehnya aku tidak terlalu terkejut. Kepergian kamu hanya seperti...mengikuti pola, dengan jenis rasa sakit yang berbeda. Perkataan Raya lebih mudah dipercaya. Dengan kamu yang nggak menyangkal perjanjian itu, memangnya apa lagi yang bisa aku harapkan, Dewa? Apa?"

Dewa terdiam lama dengan Nala yang menatapnya dengan bibir bergetar menahan tangis. Kemudian, perlahan sekali ia meraih tangan Nala dengan jemari yang juga gemetar.

"Dari awal kita bertemu, aku nggak pernah bisa lepas dari kamu, Kanala. Apa kamu belum percaya? Apapun bukti yang kamu pinta, aku pasti bisa kasih ke kamu." Dewa mulai mati rasa ketika Nala mengabaikan kata-katanya dan mulai menangis. Gadis itu menunduk dalam-dalam, seolah merasakan sakit yang amat sangat.

" Nala..." Panggil Dewa lembut meskipun suaranya bergetar. " Bagian mana yang kamu belum bisa percaya? Hm? Bilang, La."

" Kanala, sayang, bilang di bagian mana kamu ragu. Bagian yang belum kamu percaya..."

" Aku percaya!" Seru Nala tiba-tiba membuat Dewa terkejut. Gadis itu menegakkan badannya dan menatap Dewa nyalang. " Aku percaya sama kamu! Tapi lalu apa yang kamu harapkan setelah meluruskan kebohongan kamu?"

Dewa terpaku.

" Delapan tahun, De!" Hujam Nala menatap Dewa di balik air matanya yang basah, " Delapan tahun aku hidup dengan keyakinan bahwa kamu bohong sama aku! Bahwa aku nggak pernah berarti apa-apa buat kamu! Aku berusaha berdamai dengan kenyataan itu!"

Nala menahan kata-katanya sejenak ketika ia kehilangan nafas dan tersendat, "Sekarang...masalahnya bukan lagi tentang kebohongan kamu! Tapi..."

" Kamu yang nggak perasaan lagi padaku." Potong Dewa menyambar kata-kata yang hendak diucapkan Nala.

Nala seketika membatu, kemudian ia menguasai dirinya dan mengangguk.

" Iya. Itu masalahnya. I believe in you. I do, I really do and I understand the reason you left me." Katanya berusaha tegar dan menghapus air mata dari wajahnya. "Tapi untuk aku yang balik lagi sama kamu, itu terlambat, De. Aku udah nggak ada perasaan apa-apa lagi sama kamu."

Nala berusaha mempertahankan tatapannya pada bola mata Dewa yang kian memerah.

" Apa kamu mau berbohong lagi di tempat ini?" Celetuk Dewa tiba-tiba. " Mau coba gimana rasanya jadi aku?"

Tentu saja, kata-kata Dewa membuat mulut Nala terkunci.

" Biar aku beritahu. Rasanya nggak enak. Bikin kamu sakit sendiri." Dewa berbisik.

" Aku bukan..."

" Aku nggak pernah kehilangan kamu." Potong Dewa tegas. " Dan jangan pernah coba-coba pergi dariku, Nala. Karena apa yang kamu khawatirkan itu sama sekali nggak beralasan."

Nala semakin mengerutkan kening mendengar racauan Dewa. Namun Dewa hanya menahan tatapan mereka beberapa saat sebelum menjatuhkan bom tepat di hadapannya.

" Tentang kondisi kamu. Tentang ovarium kamu yang diangkat, tentang infeksi kamu. Aku tahu semuanya." Kata laki-laki itu sukses membuat Nala menjatuhkan rahangnya.

" Kamu...Darimana kamu tahu?" Bisik Nala kehilangan akalnya. Ada sebuah rasa dingin yang merayap di lajur tulang belakangnya ketika ia menyadari Dewa mengetahui keadaannya. Tanpa sadar, gadis itu menegang. " Sejak kapan?"

" Cukup kamu tahu kalau aku tahu." Jawab Dewa singkat. " Jadi nggak ada lagi alasan kamu menolak hubungan kita."

Kalimat itu menyadarkan Nala. Ia membuang muka. " Hubungan apa? Penyakitku nggak ada hubungannya sama semua ini. Delapan tahun itu lama, De. Selama itu aku hidup dengan percaya sama kebohonganmu dan selama itu, aku mencoba menghilangkan apapun tentang kita. Aku memang sudah nggak ada rasa sama kamu. Semuanya hilang sejak hari itu. Sampai sekarang aja, aku masih benci kamu! Jadi jangan pernah mengira aku cinta kamu! Aku cuma kasih kamu kesempatan menjelaskan karena kamu terlihat menyedihkan!"

Nala mengatakannya dengan seluruh sisi jahat yang dia punya, berharap kalimat itu cukup menyakiti Dewa. Tapi nyatanya, Dewa tetap tidak bergeming. Tanpa melepas tatapannya pada Nala, Dewa meraih pergelangan tangan kiri Nala.

" Ma...mau apa?" Desis Nala kala Dewa justru mendekatkan wajahnya pada Nala hingga Nala bisa melihat kejernihan mata legam Dewa. Dewa tidak menggubrisnya. Laki-laki itu membawa tangan Nala ke dadanya, menempelkan telapaknya tepat di tempat jantungnya berada.

Nafas Nala semakin tidak beraturan ketika ia merasakan detak jantung Dewa yang berdebar. Seperti miliknya.

" Kamu bisa merasakan?" Bisik Dewa membuat Nala semakin tidak karuan. " Dulu, dia cuma berdetak. Tapi setelah kamu masuk di hidupku, dia hidup."

Dewa menatap manik coklat itu bergantian. " Dan aku juga masih memegang detak jantungmu. Lihat? Dia ceria sekali saat ini."

Dewa menambah tekanan pada dua jemarinya yang kini disadari Nala berada di nadi pergelangan tangannya. Rupanya sedari tadi Dewa tidak melewatkan apapun.

" Mana mungkin aku percaya semua kata-kata kamu kalau kamu selalu memandangku seperti ini?" tanya Dewa lagi membuat pupil mata Nala semakin melebar. Nafasnya memendek akibat sesak di dadanya yang bertambah. Pandangan Dewa kemudian turun ke bibir Nala, " Mana bisa aku percaya ketika kamu selalu kehilangan nafas setiap kita berdekatan?"

Sungguh, Dewa selalu saja mampu merebut akal Nala.

" Marry me, Kanala."

**

Sehari, dua hari, setahun, seabad...

Rasanya satu detik berlalu begitu lama bagi Nala. Apa yang baru saja didengarnya membuat seluruh darahnya berhenti.

Nala sekuat tenaga menjauhkan Dewa.

" Kamu sadar nggak sih, De?" Kecam Nala. " Kamu ngajak nikah orang cacat!"

Mata Dewa berubah nyalang. " Siapa yang cacat?"

Nala menghembuskan nafas kasar, " Jangan mengabaikan kenyataan! Kamu cuma akan menyesal nanti."

Manik mata legam Dewa menggelap. " Bilang kalau kamu cinta aku, La."

" Cukup! Sadar, De! Dengan kamu yang tahu penyakitku, nggak ada alasan kita..."

" Bilang kalau kamu cinta aku." Geram Dewa memotong kalimat Nala. Nala mengetatkan gerahamnya.

" Berhenti! Aku nggak bisa! Masih ada perempuan lain yang lebih cocok..."

" Bilang kalau kamu cinta aku."

Nala menelan ludah. Ia mengabaikannya. " Lebih cocok buat kamu. Lebih sempurna buat kamu. Lebih bisa membahagiakan..."

" Bilang kalau kamu cinta aku, Nala!"

" IYA, AKU CINTA KAMU! PUAS? SEKARANG DIAM DAN JANGAN POTONG KATA-KATAKU!" Teriak Nala frustasi. Gadis itu menatap tajam Dewa, berusaha mengabaikan rasa perih di tenggorokannya.

" I told you, didn't I? How many times I've been hurt by you, I can't do anything but to keep falling for you. How hard I try to forget, you keep coming and coming and coming!" Gadis itu menarik nafas cepat tanpa melepas pandangannya pada Dewa, "Tidak bisakah kamu paham? Aku cinta kamu. Bahkan saat aku masih yakin kamu laki-laki paling jahat yang pernah aku kenal, aku masih cinta kamu seperti dulu! Justru itu, aku nggak mau nikah sama kamu! Aku bukan perempuan yang bisa kasih kamu kebahagiaan, De. Aku cacat! Aku nggak bisa kasih kamu keturunan! Aku nggak akan bisa jadi istri yang sempurna buat kamu!"

Nala tahu dindingnya telah hancur. Dia telah kalah. Dia tidak mampu bertahan hingga akhir.

Bila berbohong tidak mampu membuat Dewa mengerti, maka Nala berharap kejujurannya kali ini bisa membuat Dewa memahaminya. Gadis itu terisak hebat. Dadanya naik turun seirama dengan nafas pendek-pendek yang diraihnya susah payah.

Maka ketika Dewa justru terkekeh geli, Nala ingin sekali menendang laki-laki itu jauh-jauh. Kekehan Dewa sukses membuat suasana hatinya makin memburuk.

" Aku juga cinta kamu, Kanala. Dari dulu." Katanya menatap Nala dengan lembut. Nala menghembuskan nafas putus asa. Dia ingin Dewa meladeninya dengan serius! Bukan malah tertawa yang membuat kata-kata Nala jadi serasa tidak berarti!

" Kapan sih kamu mau menganggap kata-kataku serius, De?" Ujar Nala sakit hati. Ia meninju pelan pundak Dewa dengan frustasi, yang tidak berefek apapun pada laki-laki itu. " Kamu pikir kondisiku ini bisa dianggap ringan? Aku ini cacat, De! Perempuan cacat!"

Dewa menangkap kepalan tangan Nala, menahannya di pangkuan Nala. Kali ini, ia duduk di kursi kayu yang terbuat dari irisan akar pohon raksasa yang berpelitur di teras itu. Dewa menggaet kursi roda Nala, membuat mereka berhadapan.

" Kamu nggak cacat. Kamu perempuan paling sempurna yang pernah aku kenal. Aku nggak pernah menganggap kondisimu ringan. Tapi itu bukan alasan kamu menjauh. Perlu aku bilang, itu sama sekali nggak masalah buatku, Nala. Aku cuma mau kamu. Urusan anak, itu urusan Tuhan. Banyak perempuan yang lebih sehat dari kamu dan tetap saja Tuhan belum kasih mereka keturunan. Ketakutan kamu nggak berdasar."

Nala berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Dewa, namun Dewa menahannya. " Buat kasusku, itu akan jadi pasti. Aku nggak bisa kasih kamu keturunan. Jangan munafik, De. Suami manapun pasti ingin keturunan. Sebelum terlambat, sebelum kamu kecewa, lebih baik berhenti saja sampai di sini." Ucap Nala pahit.

Dewa mengangkat alis. " Pasti darimana? Apa kamu pernah membuktikan? Pernah trial and error masalah kamu itu?"

Nala mengerutkan kening. " Membuktikan? Mak...kamu kira aku perempuan macam apa?!!"

" Nah kan?" Sahut Dewa geli menatap Nala yang menarik nafas pendek-pendek sembari melotot padanya. Dewa menyudahi tawanya dan menghadapi Nala.

" Jadi jangan bilang kalau itu pasti. Kondisimu nggak separah itu. Kehilangan satu ovarium memang memperkecil kemungkinan hamil. Tapi kita masih bisa mempertahankan yang satu lagi." Kata Dewa lembut.

Kita. Kata itu menyelusup ke hati Nala, mengirimkan gelayar haru dalam dirinya.

Nala menggeleng, memahami perkataan Dewa dengan pedih.

" Kamu bicara seperti itu karena nggak siap dengan kemungkinan terburuknya, De." Nala kembali terisak.

" Aku bicara dari segi medis." Tukas Dewa tegas. " Infeksi kamu masih ada kemungkinan sembuh."

" Tapi progresnya memburuk! Tanya sama dokter Tiara!" Hujam Nala sakit.

" Separah apapun infeksi kamu, selalu ada kemungkinan untuk sembuh. Aku tahu semuanya dari Tiara. Aku tahu tingkat keparahan infeksi kamu. Aku tahu prognosisnya. Lalu dimana masalahnya? Kita bisa atasi itu sama-sama! Kalaupun suatu hari ovarium kamu terpaksa diangkat, aku hanya memandangnya sebagai tindakan untuk menyelamatkan kamu. Lebih dari apapun, yang terpenting adalah kamu yang bernafas di sisiku. Apalagi yang bisa aku minta?"

Nala menggigit bibir bawahnya kuat-kuat ketika pelupuk matanya kembali menggenang.

Sesuatu berperang di batinnya. Gadis itu hanya menatap Dewa dengan matanya yang mengabur, menyadari kesungguhan laki-laki itu.

Dewa menghapus air mata dari ujung hidung Nala.

" Aku ini orang yang egois, La. Aku cuma mau kamu. Aku nggak bisa kalau nggak ada kamu. Kita jalani apa yang ada di depan bersama. Itu yang aku mau. Aku mau seperti itu selamanya sama kamu."

Nala terisak, " Apa kamu nggak kepikiran posisiku? Aku pasti merasa sangat bersalah sama kamu."

" Bersalah karena apa, Kanala? Kondisi kamu tidak mengurangi arti penting kamu di hidupku. Dengan atau tanpa kondisi kamu, yang terpenting adalah kamu yang cinta aku. Aku bisa mati kalau kamu benar-benar pergi dariku walau kamu sehat sekalipun."

Nala semakin menangis. Dewa menghela nafas dan menatap Nala dengan sayang. " Aku cinta kamu. Aku butuh kamu. Aku sayang kamu. Apapun itu, kita hadapi bersama. Jangan menanggung semuanya sendiri. Ada aku di sini. Biarkan aku jadi orang yang selalu ada buat kamu." Katanya mengusap ringan pipi Nala.

Nala tidak pernah bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Gadis itu menangis dengan segala daya yang ia punya. Seperti sebuah sumbatan ditarik lepas dari dirinya, menyedot habis sesuatu yang selama ini bercokol di dadanya. Seolah takdir yang selama ini memusuhinya kini berubah haluan dan mengacungkan jempol padanya.

Dewa meraih jemari Nala, meremasnya lembut di pangkuan gadis itu.

Dewa menatap wajah Nala. Hidungnya memerah, matanya memerah, sembab dan mulai bengkak. Wajahnya rembes karena air mata. Tapi Nala adalah perempuan paling indah yang pernah Dewa temukan.

" Maaf karena sudah menyakiti kamu sedemikian dalam. Maaf karena mengawali hubungan kita dengan cara yang salah. Tapi semua perasaanku ke kamu, itu nyata." Kata Dewa setelah memberi waktu gadis itu menenangkan diri. "Aku izinkan kamu tahu kekhawatiran-kekhawatiranku, kamu izinkan aku menanggung beban-bebanmu. Nggak ada lagi alasan kamu menyembunyikan sesuatu dariku, atau aku yang bertindak brengsek karena nggak mampu memprioritaskan kamu."

Dewa memberi jeda kalimatnya, mengunci tatapan Nala lekat hingga gadis itu tidak mampu menoleh ke manapun selain ke arahnya.

" Izinkan aku menikahi kamu."

Nala mendesah putus asa. Gadis itu benci jika Dewa sudah berkata demikian, karena setiap sel tubuhnya hanya akan semakin berteriak menyuruhnya melompat ke pelukan Dewa sekarang juga. Kata-kata Dewa hanya akan menambah rasa egoisnya untuk mengiyakan ajakan Dewa dan mengesampingkan kenyataan bahwa dia bukanlah perempuan yang sempurna untuk Dewa.

" Kamu cuma akan kecewa. Kamu...cuma akan kecewa, De." Nala menarik jemarinya dari genggaman Dewa. "Aku cuma akan jadi sumber kekecewaan kamu. Aku nggak akan bisa membahagiakan kamu seperti yang seharusnya."

Nala tersedak udara di antara isakannya. Ia berusaha menatap Dewa dengan pandangannya yang mengabur karena air mata. " Aku...nggak mau bikin kamu nggak bahagia karena aku." Isaknya hebat, " Aku nggak mau, aku nggak bisa."

Jemari Nala balas meremas genggaman Dewa ketika sebuah beban berat melesak ke dadanya. Rasanya sakit sekali hingga Nala mengiba udara. Dia tidak mau, Ya Tuhan, dia tidak mau menjadi alasan laki-laki ini tidak bahagia.

Dewa menatap Nala sejenak, mengamati bagaimana gadis itu tersiksa sendiri dengan segala pemikirannya. Setelahnya, ia mengulurkan tangannya yang bebas dan mengusap ringan pipi Nala. Ada seulas senyum samar di bibirnya.

" Begini dan kamu masih mau bilang kamu nggak cinta aku?" Bisiknya tersenyum menyila rambut Nala ke belakang telinga. " Aku cuma mau kamu. Bagaimana bisa aku kecewa ketika aku sudah mendapatkan kamu? Bagaimana bisa aku nggak bahagia ketika aku bisa peluk kamu setiap waktu? Bagaimana bisa aku nggak bersyukur ketika sekarang saja, kamu sebegininya memikirkan aku?" Katanya pelan. " Kebahagiaanku cuma kamu. Aku cuma butuh kamu. Izinkan aku punya hak memiliki kamu selamanya. Izinkan aku menikahi kamu, Nala."

Karena egois adalah sifat alami manusia, dan kini Nala merasakan keegoisannya melambung karena kata-kata Dewa. Seluruh tubuhnya bergetar ketika laki-laki itu berhasil meyakinkannya.

Dengan tangis yang kembali pecah, Nala mengangguk.

*EN...ehh*


*TBC*

Footnote :

Prognosis -> Kemungkinan kondisi yang akan datang dari suatu penyakit.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top