39. Truth (III)
"Bagaimana bisa sebuah kebenaran terasa begitu menyakitkan?"
Nala tidak pernah membayangkan hidupnya akan sempurna lagi setelah Radit meninggal.
Tidak.
Dia bahkan tidak berani berandai karena di hidupnya, tidak akan ada orang yang bisa menggantikan Radit untuknya. Bahkan Qatar, bahkan anak-anak kampung sekalipun.
Ibarat tali, Radit adalah tali tambang paling kuat yang pernah Nala temui. Sedangkan Qatar dan yang lainnya hanyalah tali rafia yang perlu dikumpulkan menjadi satu agar cukup kuat untuk Nala bergantung.
Pemahaman itu terlalu mengakar di jiwanya, maka ia merasa risih dengan keberadaan Dewa yang sangat susah ia singkirkan. Semakin Nala menjauhkannya, semakin rapat Dewa mendekatinya. Tanpa Nala sadari, laki-laki itu sudah masuk terlalu dalam di radius hidupnya, lalu mengambil alih tepat di tempat Radit dulunya berada.
Bahkan, lebih dari itu.
Karena Nala sekarang tahu apa yang membuat Dewa menang dari Radit.
Namanya adalah sebuah harapan. Harapan yang tidak pernah Nala sangka ada selama bersama Radit. Harapan yang baru Nala sadari ketika Dewa membangunkan hal-hal asing di dalam dirinya. Harapan yang, tanpa gadis itu tahu, menjadi satu-satunya sumber bahan bakar dirinya hidup dan bernafas.
Lalu ketika Nala merasa hidupnya tidak bisa lebih bahagia lagi, Raya datang membawa jarum mengkilat, menusuk harapannya tanpa ampun dan meletuskannya dengan bunyi yang menggetarkan seluruh dunia Nala. Hingga gadis itu hancur, pecah tak bersisa.
Saat ini, Nala memegang jarum itu di tangannya. Bahkan setelah delapan tahun berlalu, sensasi ketika Nala pertama kali membaca rangkaian kata-kata dalam surat perjanjian itu masih berhasil merampas nafasnya.
Meskipun demikian, Nala sadar lembar di tangannya tidak sepenuhnya identik dengan lembar yang diberikan Raya. Nala menatap kaki kertas dimana terdapat cap basah kepala sekolah, juga tanda tangan asli sang kepala sekolah dan tanda tangan Dewa yang kini terlihat kusam dimakan waktu. Berbeda dengan lembar fotokopi yang diberikan oleh Raya.
Perbedaan yang kedua, kedua tanda tangan asli itu telah dicoret panjang menggunakan tinta merah pekat yang juga telah terlihat kusam. Di samping coretan melintang di tanda tangan sang kepala sekolah, tertera rangkaian angka yang juga ditulis tangan dan menggunakan tinta yang sama. Nala segera menyadari bahwa angka itu menunjukkan tanggal, bulan dan tahun.
"Ini..."
" Tanggal dimana pengumuman kamu yang lolos ke Provinsi keluar." Dewa menyuarakan pikiran Nala. "Sejujurnya, aku nggak peduli apa yang akan beliau lakukan terkait pembatalan perjanjian itu. Saat itu, aku terlalu lega karena udah menyingkirkan perjanjian itu dari hidup kita berdua. Tapi entah bagaimana caranya, Raya bisa dapat fotokopian surat itu."
Nala cepat-cepat menghapus air mata yang meleleh di pipinya. Dia membalik kertas yang seakan penuh dengan daya listrik bagi tangannya.
Tapi ternyata, apa yang ia temukan di sebaliknya justru membuat jantungnya berhenti.
Dewa yang mengikuti arah pandang Nala memahami perasaan gadis itu. Dia pun juga baru tahu ketika Dilla menunjukkan berkas itu padanya.
" Aku nggak pernah tahu kepala sekolah bikin surat resmi tentang pembatalan perjanjian." Kata Dewa membaca sekilas kepala surat itu. " Tapi Pak Amir orang yang sistematis. Dia selalu menganggap penting hitam di atas putih."
Nala menutup mulutnya rapat-rapat ketika dirinya terbelah jadi dua. Gadis itu juga menutup hidungnya ketika panas membakar rongga hidungnya. Tapi bahkan ketika Nala memejamkan mata, air mata tetap saja merembes di wajahnya. Dalam kegelapan itu, sekali lagi apa yang ia percayai sampai saat ini perlahan mulai hancur.
" Maaf." Bisik Dewa dengan suara bergetar. Sebuah sentuhan mendarat di pipinya, mengusapnya perlahan.
Nala membungkuk dalam-dalam, berusaha mengenyahkan sengatan panas di perut dan dadanya.
Ada yang bilang takdir adalah titik pertemuan dari segala konsekuensi tindakan yang dilakukan orang banyak. Nala pun merasakannya. Harapan-harapan Nala, Dewa yang membatalkan perjanjiannya, Raya yang mengetahui semuanya dan kondisi ibu Dewa. Semuanya seakan bekerjasama menciptakan salah satu takdir paling menyakitkan di garis hidup Nala.
Entah berapa lama Nala membiarkan dirinya terpuruk. Karena kali ini, dia tahu dia hampir kalah di arena pertarungan yang ia buka sendiri.
Nala membiarkan rasa sakit itu menguasai tubuh dan pikirannya, berusaha mereguk udara lewat mulut ketika paru-parunya meronta. Nala mengerjapkan mata, megap-megap seakan baru saja berlari maraton. Gadis itu meneguk ludah yang terasa pahit, kemudian perlahan menegakkan diri dan memberanikan diri menoleh ke arah Dewa. Tapi, ia justru mendapati Dewa yang menunduk dalam-dalam.
Nala mengamati gestur Dewa. Jika apa yang dikatakan Dewa adalah benar, maka laki-laki itu juga sama-sama tersakiti sepertinya. Tiba-tiba saja, Nala ingin tertawa. Bukan kepala sekolah, bukan Dewa, bahkan bukan Raya, apalagi Dilla, yang membuat mereka berdua berada dalam kondisi seperti ini.
Tapi takdir.
Takdir yang tidak pernah bisa disalahkan oleh siapapun.
Dan laki-laki di depannya sudah merasakan lebih dulu dibanding Nala. Ia menghadapinya sendiri.
" Ke..." Nala berdehem ketika suaranya terdengar mengerikan. " Kemana lagi habis ini?"
Dewa mendongak dan menatap Nala. Mata laki-laki itu memerah. Tapi bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman yang selalu menenangkan Nala. Dewa menyentuh sudut-sudut mata Nala, menghapus sisa air mata di sana. Setelahnya, ia mengerling jam tangannya.
" Kita makan siang dulu."
**
Nala mengerutkan dahi hingga kulitnya keriting.
" Ngapain?" Tanya Nala tidak habis pikir menatap hotel Halid yang menjulang tepat di depannya. Dewa yang berkonsentrasi memarkir mobilnya menjawab.
" Meneruskan cerita."
Mendengarnya, Nala bungkam. Batinnya bertanya-tanya cerita apa yang terjadi di sini, di hotel milik keluarganya?
Dewa tidak bicara bahkan ketika mereka memasuki lift. Nala tidak perlu pusing dengan sambutan pegawai yang notabene adalah pegawainya. Dia yakin tidak ada orang yang akan mengenalinya. Toh selama ini yang sering pamer muka adalah Fabian. Apalagi Nala datang dengan keadaan yang sangat tidak terduga.
Dewa membawa Nala ke lantai paling atas hotel itu. Saksi bisu Nala yang membuka semua rahasia ayah dan ibunya. Bahkan, Dewa pun membawa mereka tepat di depan ruangan ayahnya.
Saat itu, seorang perempuan yang terbalut blazer dan rok span selutut berwarna biru membungkuk pada Nala.
" Linda?" Nala mengerutkan kening begitu mengenali sekretaris Fabian. Linda, gadis yang mempunyai pembawaan sopan dan rapi itu menegakkan diri dan tersenyum ramah.
" Nona Kanala, saya diberitahu Tuan Fabian perihal kedatangan anda." Kata gadis itu ramah. "Silahkan masuk."
Nala semakin mengerutkan keningnya tidak mengerti. Tapi sepertinya Dewa lebih paham dibanding dirinya. Dewa berterima kasih pada Linda dan mendorong Nala memasuki ruangan kerja Alex yang kini jadi ruang kerja Fabian di hotel ini. Nala sempat menangkap Linda yang mencuri pandang ke arah Dewa sesaat setelah laki-laki itu mengucapkan terima kasih.
Apakah pantas jika ia mengajukan permintaan pada Fabian untuk memecat Linda hanya gara-gara rona merah di pipinya saat melihat Dewa?
Nala menggelengkan kepala. Dia tidak jahat! Seharusnya, yang disalahkan adalah laki-laki bernama Dewa yang seenaknya saja tebar pesona di sana sini! Tapi sepertinya Dewa tidak menyadari reaksi Linda karena sibuk membukakan pintu untuk Nala.
Duh! Sejak kapan dia jadi gadis manja begini?
Pikiran tentang Linda dan Dewa sesaat mengacaukan fokus Nala. Ia mengerjap ketika matanya menangkap pemandangan yang familier sekaligus asing baginya. Familier karena dia mengenali beberapa barang milik ayahnya, asing karena Fabian memberikan sentuhan pribadi di ruang kerja ini. Dari sekian banyak cabang di Indonesia, hotel ini termasuk hotel yang jarang dikunjungi Nala.
" Kamu...kenapa bisa di sini? Apa hubungannya?" Tanya Nala lamat-lamat.
Dewa yang saat itu mengecek ponselnya menjawab, " Aku pernah bilang kalau aku pernah bertemu ayahmu secara pribadi. Setelah membatalkan surat perjanjian dengan kepala sekolah, sopir pribadi ayahmu menjemputku di sekolah."
" HAH?"
Itu...apa maksudnya coba?
Melihat ekspresi Nala, Dewa justru terkekeh. Laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian berhenti pada sesuatu yang berada di atas meja kerja.
" Leon sudah mengira kalau kemungkinan besar ayahmu minta bertemu berdua." Dewa mengambil sebuah kotak kecil dari sana, menimangnya. " Disini, di ruangan ini, beliau menyuruhku menjauhi kamu."
" Kamu mau apa?" Tanya Nala curiga pada gerak-gerik Dewa. Karena sekarang laki-laki itu menyalakan laptop yang berada di meja kerja, juga menyiapkan proyektor dan layar LCD-nya.
" Ngajak kamu nonton." Jawab Dewa dengan senyum tipis tersungging di bibirnya sementara dirinya sibuk menyiapkan entah apa.
Nala hanya bisa mengawasi Dewa dari ujung ruangan, menebak-nebak apa yang hendak dilakukan laki-laki itu hingga akhirnya Dewa menegakkan diri dan menyambangi Nala sembari membawa sebuah remote kecil di tangannya.
Tanpa peringatan, Dewa membopong Nala dari kursi roda.
" De! Kamu mau apa?" Tukas Nala mencengkram erat lengan laki-laki itu agar tidak kehilangan keseimbangan.
" Kita mau nonton film. Aku mau kamu duduk di sofa. Pasti capek seharian terus di kursi roda." Jawab Dewa mendudukkan Nala di sofa dengan lembut mengingat luka gadis itu, kemudian Dewa sendiri duduk di sampingnya. Nala yang tidak siap dengan kedekatan mereka hendak bergeser, namun tangan Dewa menyelusup lebih cepat ke pinggangnya, menahan gadis itu tetap di tempatnya.
" Mulai." Kata Dewa sebelum Nala bisa berkata apapun. Nala mendengus kesal saat Dewa memencet remote di tangannya, menampilkan screen biru di layar LCD raksasa yang biasa digunakannya untuk presentasi.
" Film apa sih, De? Apa hubungannya sama ini semua?" Tanya Nala tidak habis pikir.
Dewa menoleh pada gadis yang berada di sampingnya, menikmati garis wajahnya sejenak sebelum menjawab.
" Semuanya."
Jawaban Dewa sukses membuat Nala menoleh ke arahnya, sesuatu yang justru membuat Nala kehabisan nafas karena menemukan wajah Dewa begitu dekat dengannya.
Untuk sesaat, dua orang itu hanya saling menatap. Tertawan oleh pandangan satu sama lain.
Suara bergemeresak membuat keduanya tersadar. Nala menolehkan kepala ke depan, mengatur jantung yang sudah menabrak rusuknya dengan ceria. Nala tersadar bahwa suara gemeresak tadi berasal dari film yang mulai berputar.
Kemudian, Nala menyadari sesuatu.
" Apa ini?" Tanya gadis itu dengan gigi bergemeretak.
" Rekaman saat aku dan ayahmu bertemu." Jawab Dewa menegaskan kecurigaan Nala. " Ayahmu sendiri yang kasih ini."
Tepat di depan Nala, diambil dari salah satu sudut atas ruangan ini, dua orang yang sangat ia kenali sedang berhadap-hadapan. Suara rekaman itu tidak terdengar jelas, namun di keheningan ruangan ini, Nala bisa mendengarnya sejelas jika Dewa sendiri yang berbisik di sampingnya.
Seharusnya, ruangan pribadi tidak diperbolehkan dipasangi CCTV karena itu melanggar privasi. Tapi Nala tahu ayahnya. Dia tahu sekali seorang Alexander Halid gemar mendokumentasikan momen yang dianggapnya penting. Maka ketika Nala sadar ayahnya ternyata mempunyai rekaman ini, artinya Alex menganggap pertemuannya dengan Dewa adalah sesuatu yang penting.
Dan mengapa Alex menganggapnya penting? Hanya Alex sendiri yang tahu.
" Silahkan duduk." Suara Alex berkumandang.
" Jauhi Kanala."
" Dan mengapa saya harus melakukannya?"
" Karena kamu tidak pantas untuk anak saya."
" Saya tidak mengira anda masih menjadikan perbedaan latar belakang sebagai alasannya. Kalau itu yang anda khawatirkan, anda tidak perlu khawatir. Saya akan bekerja keras untuk memenuhi syarat anda. Jadi anda tidak perlu menyuruh saya menjauhi Nala lagi."
Nala menekap mulutnya erat-erat. Melihatnya, Dewa menarikan tangannya dari pinggang gadis itu ke sisi kepalanya, menekannya pelan agar Nala bersandar di bahunya.
" Anda orang yang bijaksana, pak Alex. Dan saya menghormati permintaan anda. Tapi saya akan membuktikan pada anda bahwa saya bisa memenuhi keinginan anda tanpa harus membuat Nala menunggu. Dan satu lagi. Tolong berkata jujur pada Nala. Dia terluka karena selama ini anda membohonginya."
Nala mendengar dengan jelas kata-kata Dewa sebelum kekasihnya itu berbalik dan menghilang dari layar, menyisakan Alex yang termangu.
"Aku tidak pernah berniat melepaskan kamu." Ucap Dewa getir.
" Tapi nyatanya kamu menyuruhku pergi." Bisik Nala parau memandangi gerak-gerik Alex yang kini terlihat seorang diri. " Itu kenyataan yang nggak pernah bisa kamu ubah."
" Aku tahu." Balas Dewa pelan. Ia menyandarkan sisi kepalanya di puncak kepala gadis itu. " Maaf."
Nala mendesah lelah. Ia tidak peduli lagi dengan kedekatan mereka. Nala membutuhkannya. Karena kini Nala tidak bisa lagi berpaling dari kebenaran yang dipaparkan Dewa.
**
Nala terdiam ketika Dewa mendudukkannya di kursi roda.
Malah, sejak keluar dari hotel, dirinya tidak mengeluarkan sepatah katapun. Pikiran gadis itu terlalu sibuk menelaah hal-hal baru yang ia dapat hari ini.
Hembusan angin kencang sedikit menyadarkan Nala akan tempat dimana kini mereka berada. Sialnya, aroma asin pantai membuat memori itu menjadi semakin jelas. Gadis itu mengerjap ketika Dewa membawanya semakin dekat ke bibir pantai.
Dia masih ingat tempat ini. Matanya menatap datar garis pertemuan antara laut dan langit nun jauh di depannya.
" Kita pindah ke desa, kamu tahu itu." Kata Dewa memulai sembari mendorong Nala ke sebuah titik di pinggir tebing. Tempat yang sama dengan delapan tahun lalu, di pantai yang sama.
" Peradangan ibu sudah meluas dan aku nggak punya pilihan selain membawa semuanya ke desa, yang artinya semakin jauh dari kamu. Frekuensi bertemu kita jadi berkurang dan telfon malam hari cuma bikin aku makin kangen sama kamu." Dewa berhenti. Laki-laki itu duduk di sebuah batu karang yang landai di sebelah Nala, sama-sama melihat ke depan.
" Mungkin itu konsekuensi hubungan jarak jauh. Rasanya semakin menyiksa karena aku nggak tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan." Katanya Dewa. " Setiap aku meluangkan waktu ketemu kamu, semakin aku sadar bahwa aku nggak adil sama kamu. Aku meninggalkan kamu terlalu lama."
Pegangan Nala di lengan kursi roda mengerat, namun gadis itu tidak berkata apapun.
" Keputusanku pindah ke desa, aku tahu itu keputusan yang tepat. Tapi itu melukai kita berdua. Apalagi dengan kamu yang semakin menunjukkan sikap bahwa kamu tetap berusaha dekat denganku. Tentang cari universitas itu, aku jadi paham perkataan ayah kamu tentang kamu yang menjadikanku prioritasmu. Aku senang, tapi itu salah."
" Salahnya dimana?" Bisik Nala tanpa mengalihkan pandangannya. " Itu justru masuk akal sekali."
Mendengarnya, Dewa justru tertawa pelan. " Lihat? Kamu bahkan paham rasanya terobsesi sampai nggak bisa memikirkan hal lain."
Betul. Pikir Nala tak rela. Saat itu dia belum tahu rahasia ayahnya. Bisa jadi, dia tidak akan pernah tahu dan akan tetap benci ayahnya, Julianne dan Fabian. Nala merinding sendiri membayangkan dirinya diliputi kebencian untuk orang-orang yang justru kini menjadi penting di hidupnya.
Tapi tetap saja, dia menolak adanya sisi baik dari keputusan Dewa.
" Waktu kita pergi ke pantai ini, aku merasa kita bisa terus sama-sama." Kata Dewa. " Aku merasa kita bisa bertahan. Kamu ada di seluruh rencana masa depanku. Tinggal menunggu waktu saja sebelum aku punya kekuatan untuk menjadikan kamu milikku."
Nala tidak bergeming. Kini, dia tahu apa yang berusaha laki-laki itu perbuat. Dewa berusaha mengajak Nala kembali ke masa lalu melalui sudut pandangnya. Nala seperti melihat sebuah film, membuatnya mengerti posisi rumit laki-laki itu. Dulu, dia hanyalah orang yang melihat sosok Dewa dari luar. Meskipun dia memahami kehidupan Dewa, tapi dia tidak pernah benar-benar memahami permasalahan pelik dan segala dilema yang Dewa alami.
" Sore itu kita pulang, lalu kita dapat kejutan masing-masing." Dewa meneruskan. " Raya kasih surat perjanjian itu ke Dilla dan kamu. Kamu berusaha menghubungiku, tapi aku nggak bisa pergi dari ibu yang saat itu sedang kritis. Pikiranku kemana-mana. Aku membayangkan kamu yang cemas, kecewa, atau mungkin membenciku. Hal yang aku takutkan terjadi dan aku tetap nggak bisa kasih penjelasan apa-apa sama kamu."
" Aku ke rumah kamu." Timpal Nala datar. Hatinya sudah terlalu sakit untuk bisa dia tangisi lagi.
" Malam itu, juga malam-malam yang lain. Aku cari kamu di sekolah, tapi kamu nggak pernah muncul. Aku putus asa, aku ketakutan. Kalau nggak ada Lila, mungkin aku udah pergi entah kemana. Dia yang memberitahuku kalau aku harus bertahan. Setidaknya, aku punya hutang OSN. Di antara pikiran burukku tentang kamu, aku masih berharap bisa bikin kamu bangga kalau aku menang. Tapi kamu nggak datang-datang, De. Lama-lama aku mulai berfikir kalau apa yang dikatakan Raya tentang aku itu benar. Tentang kamu yang nggak pernah serius sama aku. Karena buktinya ada di tanganku. Apalagi yang bisa aku sangkal?"
Dewa mengeratkan tautan tangannya. Dia tahu keadaan Nala ketika itu dari Lila. Tidak lama setelah Nala pergi ke Perancis, Lila meminta penjelasan darinya dengan paksa. Saat itu juga untuk pertama kalinya dia melihat seorang Lila lepas kendali hingga bahkan Reno pun kewalahan. Dewa mengingat dengan enggan, bahwa itu awal mulanya Reno dan Lila menjadi dekat.
" Kamu menderita dan aku nggak bisa berbuat apa-apa." Ujar Dewa getir. " Aku merasa gagal melindungi kamu. Ayahmu benar. Aku nggak punya kekuatan untuk menjaga kalian berdua sekaligus. Itu titik dimana aku mengambil keputusan untuk melepas kamu."
Nala menghirup nafas dari hidung dan melepaskannya lewat mulut pelan-pelan. Jantungnya teremas menyakitkan.
" Aku yang egois ini harus melepas kamu. Aku yang butuh kamu di hidupku harus melepas kamu. Itu perlu agar aku bisa fokus sepenuhnya pada kondisi ibu dan keluargaku karena obsesiku sama kamu itu berbahaya."
Nala menggigit bibir bawahnya, menahan desakan panas di matanya. Heran, dia masih punya stok air mata setelah semua yang terjadi.
Nala mengerjap ketika Dewa tiba-tiba bangkit dan berjalan ke belakang Nala, bersiap mendorongnya. Gadis itu bersikeras menatap ke depan.
" Meskipun aku bilang aku sudah melepaskan kamu, aku tetap nggak bisa lihat kemanapun selain kamu yang ada di atas panggung itu." Katanya. " Nggak dengar apa yang kamu bilang, karena aku terlalu sibuk menahan diri untuk turun dan memeluk kamu."
Lagi-lagi, air mata Nala tumpah.
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top