37. Truth (I)

" Adalah pilihanmu untuk tidak percaya, adalah tanggungjawabku untuk membuktikannya."

Nala meremat ujung rok selututnya. Sesekali, gadis itu akan berdecak tidak puas.

" Udah sampai?" Tanya Nala ke seratus kalinya.

" Belum. Sebentar lagi. Dan jangan tanya-tanya lagi! Pusing gue!" Tukas Lila yang duduk di belakang.

" Kita mau kemana sih, La? Pakai ditutup mata segala gini! Gue bisa lapor polisi lho..." Celetuk Nala tenang.

Lila terkekeh. " Fabian aja udah setuju. Mau lapor polisi? Hmph!"

Nala menghembuskan nafas panjang. Kegelapan melandanya sejak Lila memaksa Nala menggunakan penutup mata sejak beberapa waktu lalu ketika mereka berangkat dari rumah sakit. Gadis itu sama sekali tidak mengatakan apapun. Tahu-tahu saja, dia membantu Nala berganti pakaian dengan pakaian yang disediakan Fabian, mengawasi Fabian menggotongnya ke dalam mobil dan mendapat izin Fabian mengantar entah kemanapun itu.

" Sampai!" Seru Lila membuat Nala menghembuskan nafas lega. Nala merasa seseorang menurunkannya dan mendudukkannya di kursi roda. Setelahnya, penutup mata dilepas.

Nala mengerjapkan mata sejenak demi memfokuskan pandangan di depannya. Dan ketika dirinya sadar dimana dia berada, Nala terperangah.

" Kangen?" Tanya Lila nyengir lebar seraya mendorong Nala mendekati gerbang bertuliskan 'SMA ANGKASA'.

Mata Nala tidak henti-hentinya berlari di bangunan bertingkat yang pernah ia tapaki. Dulu, ia merasa bangunan itu sudah sangat elite. Tapi bangunan yang Nala kenal hanya akan menjadi onggokan tak berarti jika dibandingkan yang sekarang.

" Sekarang Angkasa juga ada program pertukaran pelajar." Kata Lila mendengus. " Selalu seperti itu kalau gue tinggal. Selalu ada perubahan. Entah bikin kelas baru lah, bikin lapangan baru lah, bikin bangunan baru lah! Kenapa nggak dari dulu-dulu pas gue masih sekolah di situ coba?"

Sejujurnya, racauan Lila hanya seperti dengung samar di telinga Nala saat ini.

Nala membasahi kerongkongannya yang kering. Bangunan ini adalah salah satu memori paling jelas dalam hidupnya. Ada sesuatu yang membuatnya takut ketika melihatnya. Dia tidak menampik, karena sudah jelas bahwa memori tentang tempat ini bukanlah memori yang menyenangkan.

Lila mendorong kursi roda hingga mereka berdua melewati gerbang. Saat itu, Nala merasa mereka memasuki dimensi yang berbeda, seolah gerbang tadi adalah pintu magis antara masa lalu dan masa sekarang. Udaranya, suasananya, bahkan perpaduan aroma bunga di taman dan cat-cat tembok itu begitu familier. Ada sesuatu yang hanya dipunyai tempat ini, yang membuat Nala tidak mampu menahan memorinya melesat ke masa lalu.

Lila berhenti di tepi lapangan. Lapangan yang sama seperti delapan tahun lalu. Lapangan utama yang menyapa siapapun yang melangkah masuk ke SMA Angkasa.

Lapangan dimana pertama kalinya pula, Nala bertemu Dewa.

Nala menggeleng pelan, mengusir memori yang menari di depan matanya hingga membuat fokusnya terdistorsi.

Bicara tentang Dewa, dimana laki-laki itu? Nala menyangka Dewa sendiri yang akan muncul di rumah sakit. Tapi sampai di sini pun, Dewa tidak ad...

Racauan Nala terhenti kala seseorang muncul tepat di depannya, keluar dari lorong dan berhenti di depan teras sebuah kelas. Tepat seperti delapan tahun lalu.

Lila menepuk kedua bahunya. " Kalau dia masih nyakitin kamu, aku nggak keberatan kamu jadi kriminal. Aku tinggal dulu." Katanya sedikit tidak rela sebelum berbalik keluar gerbang.

Nala terdiam. Tanpa sadar, jemari tangannya yang sehat meremat roknya kuat-kuat, sedangkan kedua matanya masih terpaku pada sosok di depannya.

Aneh sekali. Padahal baru satu minggu yang lalu Nala melihatnya. Tapi setelah melihat Dewa, Nala sadar jika rindunya pada laki-laki itu tidak akan pernah binasa.

Dewa berdiri di sana, memakai kemeja flanel berwarna biru gelap yang tidak dikancingkan sehingga menampakkan kaus putih yang menempel di tubuhnya. Kedua lengan kemejanya digulung hingga mencapai siku lengkap dengan jam tangan melingkar di salah satu tangannya. Semua terasa pas dengan rahang tegas dan mata teduh yang kini tengah menatapnya.

Ketika kata 'gagah' melintas di otaknya, gadis itu buru-buru menunduk.

" Makasih sudah bersedia datang." Kata Dewa sembari mendekati Nala. Buku-buku jari Nala sudah tenggelam sedemikian dalam di antara lipatan rok yang ia remas kuat-kuat ketika aroma menyegarkan laki-laki itu mengancam indra penciumannya.

Dewa sampai di belakang Nala, mendorong kursi rodanya dengan santai seakan tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.

" Kamu cantik." Katanya setelah beberapa menit berkubang dalam kecanggungan.

" Ian maksa aku pakai ini." Kata Nala setenang mungkin.

" Karena dia tahu kita akan kencan." Jawab Dewa sama tenangnya.

Nala tidak menyahut. Gadis itu terlalu sibuk menebak rencana laki-laki ini. Apakah ini maksudnya? Dewa mengajaknya ke tempat dimana kenangan mereka tercipta? Nala harus mengakui Dewa mengambil langkah yang tepat mengingat tempat ini berhasil menarik kembali memorinya. Tapi untuk berharap Nala menyerah pada keputusannya? Nala hanya harus bertahan hingga semua ini berakhir, kan?

Dewa membawa Nala ke salah satu sudut lapangan yang dinaungi pohon rindang. Di sana, terdapat sebuah bangku semen yang menyatu dengan lantai lapangan. Dewa duduk di sana, menarik pelan kursi roda Nala hingga keduanya berhadapan.

Nala memalingkan wajahnya ketika dirinya tidak lagi mampu membalas tatapan dari manik legam itu.

" Gimana kabarmu?" Tanya Dewa menyila anak rambut Nala ke belakang telinga. Mengawasi tanpa bosan raut wajah gadis itu.

" Hmm, baik." Ucap Nala meliriknya sekilas. Dewa tersenyum samar tanpa melepas pandangannya. Lama-lama, gadis itu merasa jengah juga. Dia tidak pernah suka dirinya yang salah tingkah. Dengan satu gerakan cepat, gadis itu menangkupkan tangannya yang sehat untuk menutupi mata Dewa, menghindarkannya dari tatapan mematikan laki-laki itu.

" Lihatnya biasa aja, bisa?" Celetuk Nala sebal. Dewa terkekeh geli. Laki-laki itu meraih tangan Nala dan menurunkannya sebelum menahannya di pangkuan Dewa.

" De!" Nala berseru ketika Dewa masih saja menatapnya dalam. Melihatnya, kegelian Dewa bertambah. Laki-laki itu tertawa pelan, sebelum terdiam dan menatap Nala dengan tatapan tidak terbaca.

" Aku kangen." Ucap Dewa tiba-tiba.

" Dewangga, berhenti bicara aneh-aneh." Bisik Nala mengingatkan.

" Kamu nggak ngerti betapa takutnya aku lima bulan lalu, Nala." Ucap Dewa dengan suara bergetar. Laki-laki itu meremas jemari Nala di pangkuannya.

Ada rasa menyesakkan di dada Nala ketika menyadari kegetiran di mata Dewa. Nala mengabaikannya. Gadis itu berdehem guna melonggarkan kerongkongannya.

" Apa ini yang kamu bilang soal pembuktian itu?" Ucap Nala berusaha menguasai diri.

" Hmm." Jawab Dewa masih asik menikmati wajah gadis itu. Nala mendesah keras.

" Dewa!"

Nala kesal karena dengan tatapan Dewa saja, dirinya seolah meledak menjadi serpihan. Dia tidak boleh terbawa permainan laki-laki ini!

Tapi ketika Dewa tersenyum dan memandanginya dengan lembut, gadis itu rasanya ingin menangis. Tanpa melepas tangannya dari sisi wajah Nala, Dewa mencondongkan tubuhnya hingga bibirnya tepat berada di telinga Nala.

" Aku cinta kamu, dari dulu." Bisiknya lembut sebelum mengecup singkat pipi Nala dan berdiri, membiarkan jiwa Nala kalang kabut di dalam raganya yang berusaha tenang.

Dewa memutar perlahan kursi roda Nala, membiarkan gadis itu menghadap luas lapangan di depan mereka.

" Kamu ingat? Di sini pertama kali aku lihat kamu. Dari sini aku bisa lihat tingkah arogan kamu yang nggak bawa apa-apa waktu itu. Pikirku, cewek itu pasti punya nyali."

Nala menarik tipis salah satu sudut bibirnya seraya menatap ke arah lapangan kosong itu. Ia seolah bisa melihat dirinya delapan tahun lalu dengan tenang menyebrangi lapangan, dan berakhir dengan Raya yang marah-marah.

" Tapi waktu dengar jawaban kamu, aku jadi sadar kalau kita sependapat." Sambung Dewa. " Dan aku harus menyingkirkan kamu dari kemarahan Raya."

" Dengan ngerjain soal kelas satu SMA, bagus banget, ya?" Celetuk Nala membuat Dewa tertawa pelan. Laki-laki itu mendorong kursi roda Nala meninggalkan lapangan, memasuki kompleks sekolah yang lebih rumit karena adanya bangunan-bangunan baru ini. Kompleks sekolah yang megah terasa lengang mengingat hari ini adalah hari minggu.

" Aku nggak pernah suka punishment yang nggak berguna. Kamu tahu itu." Jawab Dewa tenang. Nala memutar bola matanya.

" Kelasku udah nggak ada." Celetuk Nala tanpa sadar saat mereka melewati sebuah aula terbuka dimana dulu ruang kelasnya berada.

" Hmm...banyak perubahan. Kelasku waktu kelas tiga juga udah nggak ada." Komentar Dewa.

Dewa membawa Nala menyusuri lorong hingga ke suatu ruangan yang Nala kenal.

" Ruang kepala sekolah masih di sini?" Nala mengerutkan kening.

" Hmm..." Kata Dewa mengeluarkan kunci dari kantung celananya dan memasukan salah satunya di lubang kunci pintu itu.

Nala terperangah.

" Sejak kapan kamu punya itu?" Pekik Nala mendadak was-was. Ia memandangi sekitar, kalau-kalau satpam sekolah menyadari gerak-gerik mencurigakan Dewa.

" Sejak tadi pagi di rumah pak satpam. Ayo masuk." Kata Dewa ketika pintu terbuka lebar. Nala mengerjapkan mata dengan mulut masih terbuka. Ia menatap laki-laki itu tidak percaya. Dewa hanya tertawa geli, namun tidak berkata apa-apa.

Nala pernah memasuki ruang kepala sekolah beberapa kali. Terakhir, ia memasukinya bersama Alex ketika mencabut Nala sebagai siswa SMA Angkasa. Waktu itu, Nala tidak pernah sekalipun memandangi wajah sang kepala sekolah.

" Memori kamu di sini, mungkin tentang teguran dari kepala sekolah karena kamu sering bolos, juga masalah olimpiade matematika." Kata Dewa. " Ngomong-ngomong, selamat ya. Juara dua. Bahkan sampai sekarang piala dari kamu masih di sini. Lihat!"

Nala menatap piala yang pernah berada di tangannya dulu sekali. Piala itu berada di paling atas etalase kaca, tampak berkilat bersama puluhan piala penting lainnya. Sesuatu berdenyut di dadanya.

" Anehnya, waktu itu aku sama sekali nggak bahagia." Bisik Nala menatap lurus ke arah piala. " Mungkin kalau kamu meneruskan kebohongan kamu, bisa aja aku jadi wakil IMO ke Ceko."

Sebuah sapuan lembut Nala rasakan ketika Dewa menunduk untuk mencium ringan puncak kepalanya. " Maaf." Katanya pelan. Nala menata hatinya.

" Jadi, ada apa di sini?" Tanya Nala memecah suasana canggung di antara mereka.

" Di sini, pertama kalinya kepala sekolah mengajukan perjanjian itu. Perjanjian setan, kalau Leon bilang. Kamu tahu pasti isinya apa aja." Kata Dewa berat. Nala bergerak tidak nyaman di atas kursi roda, berusaha menekan jauh-jauh rasa sakit hatinya.

" Waktu itu, tawaran kepala sekolah sangat berarti buatku. Menyekolahkan Dilla selama tiga tahun terlepas dari anak itu mendapat beasiswa atau tidak, itu sangat berarti untuk keluargaku. Lagipula, cuma meyakinkan kamu buat ikut olimpiade matematika. Nggak ada yang rugi di sini. Begitu yang aku pikir." Dewa menunduk memandang rambut Nala. Ia tahu Nala mendengarkan. " Dan aku terima."

Nala membasahi bibirnya. Dengan suasana seperti ini, dia bisa dengan mudah memahami posisi Dewa.

Dewa mendorong Nala keluar ruangan dan mengunci pintu. Setelahnya, Dewa mengajaknya menyusuri lorong semakin dalam.

" Tapi aku segera sadar ada satu masalah dan satu masalah itu membuatku nyaris putus asa."

Nala mendongak sembari mengerutkan kening. Dewa tersenyum. " Gimana caranya aku bisa masuk di kehidupan kamu? Kamu yang seolah punya kehidupan sendiri. Nggak pernah peduli dengan pelajaran, urakan, tukang bolos, tukang kabur dan tukang tidur."

Nala mendengus. " Lengkap banget!"

" Lila yang bilang." Kata Dewa mengangkat bahu. " Aku sampai meminta saran pada Leon, karena ikut terlibat di kehidupan kamu terlalu mustahil. Aku yang bukan siapa-siapanya kamu, nggak punya celah buat mempengaruhi kamu. Kita dua orang asing. Jalan kita belum pernah bertemu. Lalu kamu tahu apa saran Leon? Aku disuruh macarin kamu."

" Oooohhh, jadi ini semua ide Leon?!" Geram Nala meremas roknya erat-erat. Dewa terkekeh.

" Aku menolak ide itu. Karena aku nggak pernah menganggap pacaran soal main-main."

Nala mendengus. Namun Dewa meneruskan seolah tidak terganggu.

" Itu sebabnya aku nggak pernah pacaran. Aku merasa pacaran bakal merepotkan. Aku punya keluarga yang perlu dipikirkan. Rasanya nggak perlu tambah repot dengan pacaran segala."

Mendengarnya, Nala bungkam.

Dewa berhenti, dan Nala menyadari dimana ini.

" Kantin. Dipugar jadi tambah luas." Kata Dewa membuka pintu dan mendorong Nala ke dalam. Ruangannya menjadi lebih luas. Lebih banyak meja, kursi dan stand makanan di sini.

" Di sini, aku bilang kamu pacarku." Ucap Dewa singkat. Nala masih terdiam. Dia masih ingat hal itu. Hari dimana Dewa mengaku-ngaku sebagai pacarnya dengan keadaan Nala yang basah kuyup setelah Mikaila menyiramnya dengan segelas penuh es teh.

" Wah, aku kira kamu menolak idenya Leon." Tukas Nala dingin.

Dewa tersenyum tipis. Saat itupun, ia juga tidak tahu apa yang tejadi pada dirinya.

" Kamu yang basah kuyup karena disiram Mikaila dan masih tetap bersikukuh. Kekeraskepalaan kamu yang sebesar gunung sama sekali nggak cocok sama badan kamu yang kecil. Itu, agak lucu. Tapi aku suka kamu yang seperti itu. Kamu menjadi sosok yang lebih terang dibanding siapapun di mataku." Kata Dewa membuat Nala mengepalkan jemarinya erat. " Tapi itu cuma alasanku saja, aku yang belum pernah merasakan rasanya menjalin hubungan dengan orang lain. Semakin aku mengawasi kamu, semakin aku tertarik sama kamu. Aku nggak sabar pingin lihat kamu, selalu cari kamu dimana aja, khawatir setengah mati kalau kamu pergi ke kampung sama Reno. Dan aku jadi sadar kalau alasanku belum pernah pacaran itu bukan karena aku merasa pacaran merepotkan."

Nala menelan ludah.

" Tapi karena aku belum pernah merasa begini dengan gadis manapun." Kata Dewa memutar kursi roda Nala dan menggiringnya keluar.

Dewa kembali mendorong kursi roda Nala dalam diam. Ketika Dewa berbelok di koridor yang dikenalinya, Nala mengerutkan dahi.

" Ini..." Seru Nala melihat hamparan yang ada di depannya. Kemudian ia terkekeh. " Dari semuanya, kenapa ini nggak dipugar sih? Bikin sakit mata aja!"

Padang ilalang di belakang sekolah dengan bangunan yang terbengkalai. Tentu saja Nala ingat sekali. Dia sering menjadikan dinding itu sebagai tempatnya melarikan diri.

Dewa ikut tertawa kecil. Namun tidak menanggapi.

" Biar aku tebak. Di sini, kamu mau bilang soal lompat pagar itu, kan?" Tukas Nala tidak bisa menyembunyikan rasa gelinya. Ia tidak bisa memungkiri bahwa momen ketika Dewa mengejarnya hingga ikut melompat pagar adalah salah satu momen terlucu tentang mereka.

" Yep. Larimu cepat juga." Kekeh Dewa. " Waktu itu, aku memutuskan melangkah ke area tabu demi mengejar kamu. Demi terlibat di kehidupan kamu."

" Dan kamu nyalahin aku, De! Memangnya aku yang ngajak kamu lompat pagar?" Sungut Nala mengingat Dewa yang menyalahkannya waktu itu.

Dewa tertawa sembari mengusap puncak kepala Nala. " Karena aku memutuskan untuk menjadi anak baik-baik, dan aku harus jadi berandal lagi gara-gara ngejar kamu. Ck!"

" Isssss...bukan salahku!" Gerutu Nala.

" Iya iya, itu memang bukan salah kamu." Kata Dewa geli sebelum mencium puncak kepala Nala lagi. Sejenak, keduanya hening diantara hamparan ilalang yang kini sedang tumbuh tinggi itu.

" Aku nggak pernah keberatan sama kamu yang sering bolos. Aku justru kepikiran kamu yang selalu kabur sama Reno." Dewa mengetatkan rahang. " Menebak-nebak apa kamu aman sama dia, itu benar-benar membuatku aku tersiksa. Aku selalu ingin melindungi kamu, memastikan kamu baik-baik saja dengan mata kepalaku. Tanpa sadar, aku jadi egois. Sejak itu, aku tahu kalau aku suka kamu."

Nala menutup bibir rapat-rapat.

" Karena itu, waktu aku lihat Reno dan kamu di sini..." Dewa menenangkan dirinya sebentar. " Pikiranku kacau. Aku nggak terima kamu disentuh laki-laki lain. Kamu punyaku, cuma punyaku. Dan aku pastikan itu."

Dewa membicarakan tentang ciuman pertama mereka, Nala tahu itu. Tanpa kata, Dewa telah mengklaim Nala sebagai miliknya. Tanpa kata pula, Nala menunjukkan pada Dewa bahwa dia milik laki-laki itu. Itu adalah salah satu perasaan paling membahagiakan yang pernah Nala rasakan. Dulu, sebelum semuanya berubah.

" Ternyata ada rasa semenyenangkan itu. Rasanya, aku nggak perlu apapun lagi selama kamu di sini. Aku tahu aku udah jatuh terlalu dalam." Kata Dewa memegang handle erat-erat. Laki-laki itu tahu gadisnya belum sepenuhnya percaya, tapi Dewa bertahan. Ia perlu mengatakan semuanya.

Nala mengerjap untuk menahan matanya yang memanas. Efek dari kenangan itu terlalu kuat. Dewa berbalik, kini membawa Nala menuju perpustakaan yang telah menjadi tiga lantai.

" Astaga! Bagusnya!" Seru Nala terperangah ketika Dewa menuntup pintu di belakang mereka. Ini lebih mirip toko buku dibanding perpustakaan!

" Mereka nggak tanggung-tanggung soal ilmu." Kekeh Dewa setuju dengan pendapat Nala. Dewa mendorong Nala menuju sudut yang sangat dikenalnya. Nala mengerutkan kening.

" Memangnya masih ada?" Tanya Nala.

Dewa menggeleng. " Semuanya berubah. Tapi kita bisa simulasi."

Nala semakin tidak paham dengan kata-kata Dewa. Namun Dewa menghentikan kursi roda Nala di sudut ruangan, tempat mereka dulu sering menghabiskan waktu berdua. Hanya saja kali ini, tidak ada kursi, meja ataupun rak buku yang menyembunyikan mereka.

Dewa mengangkat sebuah meja dan meletakkannya di sana, tepat seperti delapan tahun lalu. Nala mengangkat alis ketika Dewa berlari ke tengah ruangan untuk mengambil satu kursi dan diletakkan di sisi meja tepat di hadapan Nala.

Nala menatap pantulan dirinya di kaca jendela sekilas sebelum kembali pada Dewa.

" Persis, kan?" Dewa tersenyum.

Persis sekali, sampai-sampai Nala merasa melihat dirinya dan Dewa delapan tahun lalu. Nala mengalihkan pandangannya pada Dewa tanpa bicara apapun. Di sini, mereka sering belajar bersama. Terkadang, Dewa mencuri sebuah ciuman dari Nala yang sedang lengah.

Dewa menatap Nala beberapa saat dengan tangan bertaut di atas meja. Mata legam laki-laki itu menawan iris coklat Nala, memaksa gadis itu melihat hanya padanya.

" Aku pernah kasih peringatan sama kamu. Kamu ingat?"

Nala mengangguk. " Kamu memang sudah berencana pergi." Katanya dingin.

Dewa menggeleng. " Yang ada, aku begitu takut suatu saat kamu yang pergi karena tahu tentang perjanjian itu. Perjanjian itu membuatku terlihat brengsek. Aku benar-benar serius sama kamu. Nggak ada dalam pikiranku mempermainkan kamu. Aku butuh kamu. Aku cinta kamu. Aku sayang kamu. Dan aku takut kamu pergi ketika tahu aku nggak sebaik yang kamu kira."

Nala mengalihkan pandangan dari Dewa ketika Nala hanya melihat kejujuran di sana. Dewa tersenyum tipis ketika melihat Nala berpaling.

" Di sini juga aku dengar kamu akhirnya mau jadi wakil OSN matematika. Waktu itu, aku merasa jadi cowok paling brengsek sedunia."

Nala mengerjap, bersikukuh menatap bayangan mereka berdua di kaca. Dewa ikut menoleh dan menatap Nala melalui kaca.

" Kamu adalah hatiku. Setelah ini, aku nggak bisa kalau tanpa kamu." Kata Dewa mengulang setiap kata yang juga melekat erat di pikiran Nala, " Sampai kapanpun, kamu milikku. Aku nggak akan lepasin kamu."

Nala menelan ludah, menahan diri agar tidak berpaling ketika nyatanya laki-laki itu masih ingat setiap kata yang diucapkannya dulu sekali.

" Dulu aku mendapatkan kamu dengan cara eksklusif. Sekarang, aku harus berjuang." Kata Dewa menatap sayang pada Nala yang masih menolak membalas pandangannya.

Dewa kembali menatap ke seberang kaca, menerawang.

" Kamu pasti ingat apa yang terjadi setelahnya." Kata Dewa. " Kamu yang merebut peringkat satu hingga menggemparkan Angkasa, kamu yang terpilih menjadi wakil Angkasa, lalu kencan kita bersama Dafa. Aku merasa hidup kita sempurna waktu itu. Kamu memberiku kebahagiaan yang belum pernah aku bayangkan."

Nala yang mengikuti alur cerita Dewa mendadak tahu kemana arah pembicaraan laki-laki itu. Tanpa sadar, Nala mencengkram erat roknya ketika Dewa kembali menatapnya dengan pandangan terluka.

" Dan setelah itu, ibuku jatuh sakit."

*TBC*

Anonim : astaga Nao!! Ini chapter apa lagi gue nggak paham!! Nggak konek!

Nao : Selow sayangku, karena Nao memang suka muter-muter di pohon beringin. Once again, Entwined adalah seri kedua setelah Fatamorgana. You can say that Fatamorgana is cause, and Entwined is impact. Both of them are connected.

Anonim : Terus kenapa kalau satu kesatuan dulu dipisahin?

Nao : Karena Nao suka memisahkan kalian, huahahaha...nggak deng. Karena menurut Nao, mainstory keduanya berbeda. Semacam Lord of The Ring. Mainstorynya beda walaupun alurnya masih satu kesatuan. Tiap buku punya masalah tersendiri. Nggak banget kan kalau tiga buku tebelnya naudzubillah dijadikan satu buku. Yang ada otak Nao berasap terus Nao nggak tidur sebulan. Lebih jelasnya, silahkan baca note Nao di chapter terakhir Fatamorgana ^^

Anonim : Oh gitu, makasih deh Nao.

Nao : Sama-sama, terima kasih sudah berbelanja di#sensor# ^^



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top