33. Kehilangan

"The most painful goodbye is the one that is never said and never explained." Anonymous

" Kamu kira aku serius sama kamu? Kamu pikir aku benar-benar suka sama kamu? Kamu harusnya langsung sadar ketika banyak orang bilang kita nggak sepadan."

" Sedetik saja. Walau hanya sedetik, kamu nggak pernah cinta sama aku?"

" Berhenti tanya seperti itu. Kamu udah tahu jawabannya. Maaf, aku minta maaf karena menyeret kamu sampai titik yang nggak terduga seperti ini. Tapi cukup, Kanala. Berhenti di sini. Berhenti mempermalukan diri sendiri. Kita selesai."

" De!"

Dewa mengerjapkan mata ketika merasa tubuhnya berguncang. Hal pertama yang dilihatnya adalah telapak tangan putih pucat yang berada dalam genggamannya.

" Waktunya tugas. Ayo, De." Kata Adnan lirih dengan tangan di bahunya.

Dewa menggeleng. Ia menciumi tangan yang penuh luka itu.

" Dewa, kamu udah izin dua minggu." Kata Adnan sabar. Dewa menggeleng lagi.

" Kamu pikir Kana senang melihatmu seperti ini?" Suara tajam Fabian memenuhi ruangan. " Berangkat, lakukan tugasmu! Siang ini biar aku yang menjaga Kana. Nanti malam kamu boleh menjaganya lagi."

Lagi-lagi, Dewa menggeleng sembari mengamati wajah cantik yang kini penuh goresan dengan perban menutupi kepalanya, juga alat bantu pernafasan di bibirnya.

"Demi kakakku, jadilah laki-laki yang kuat. Kamu tahu dia mendengar kita." Kata Fabian akhirnya berjalan di samping Dewa.

Dewa terdiam. Sekali lagi, ia menyapu tubuh yang terbaring diam di depannya. Dia mau, Ya Tuhan, dia mau melakukan apapun agar bisa bertukar tempat dengan Nala.

Tidak ada tulang yang tidak cidera, beberapa justru retak atau bahkan patah. Tidak ada organ dalam yang tidak terluka, beberapa terjepit atau justru terkoyak. Setelah operasi hampir sepuluh jam, tubuh mungil itu masih tetap tidak bergeming.

Perlu empat jam mengeluarkan Nala dari dalam mobil yang ringsek tak terbentuk. Saat Dewa menyaksikan sendiri bagaimana kondisi Nala setelah diangkat ke atas jurang, Dewa merasa malaikat maut mencekik lehernya. Sampai sekarang, suara berderak setiap Nala menarik nafas selalu berhasil membuat kedua lututnya lemas.

Dewa memejamkan mata. Berusaha menghilangkan memori itu dari kepalanya. Setelahnya, ia menatap Nala dengan lebih tenang.

Dewa mencondongkan tubuh untuk mencium lembut kening Nala, turun ke mata, hidung dan bibirnya yang sedikit terbuka. Kemudian ia mendekatkan bibir di telinga Nala.

"Saat aku pulang nanti, aku pingin lihat senyum kamu." bisiknya sebelum mencium pipi Nala. Dewa mengamati bulu mata lentik itu beberapa saat sebelum berbisik lagi. "Aku kerja dulu. Aku pesan soto ayam buat makan malam ya, sayang."

Adnan mengalihkan matanya dari pemandangan yang selalu ditemuinya dua minggu belakangan. Ia tidak bisa berlama-lama melihatnya. Citranya sebagai dokter keren bisa hancur dalam sekejap. Namun di lain sisi, ia merasa temannya ini sedang bergelantungan di tali yang hampir putus. Dia yakin Dewa pun tahu, dengan kerusakan sedemikian parah, ditambah keadaan koma yang tidak juga menunjukkan progres membaik, kemungkinan gadis itu untuk bertahan sangatlah kecil.

Bahkan sekarang, Adnan tetap menganggapnya sebuah keajaiban bahwa gadis itu masih bernafas.

Tapi Adnan menghormatinya. Karena Adnan tahu betapa dalam kasih Dewa untuk gadis yang fotonya selalu Dewa simpan sejak kuliah.

Dewa mengusap ringan pipi Nala dengan ibu jari. Nalanya hanya tidur. Ya. Cuma tidur saja.

Dewa merasa kaki membawa tubuhnya bergerak. Namun nyawanya masih duduk di samping Nala.

Sampai di ambang pintu, laki-laki itu berhenti kala melihat Raya.

Seluruh wajah Dewa menegang.

" Pergi." Bisik Dewa dingin.

Raya berdiri di sana, terlihat amat ketakutan menerima tatapan Dewa. Namun ia berusaha mempertahankan kakinya yang gemetar. Di belakangnya, Mario memegangi tangannya meskipun matanya mengawasi lekat gerakan Dewa dengan penuh antisipasi.

" D...De..." Cicit Raya ketakutan. " Aku cuma mau lihat keadaannya Nala..."

" Kedatanganmu hanya membawa sial bagi Kana." Hujam Fabian. Laki-laki itu berdiri di samping Dewa, terlihat menahan tangannya kuat-kuat agar tetap berada di sisi tubuhnya. " Marko, bawa perempuan ini pergi jauh! Jangan sampai aku melihatnya di dekat sini!"

Manik mata Raya yang menciut menatap Fabian dengan sama takutnya.

" Tapi aku..."

Fabian mengambil satu langkah mendekatinya, membuat Marko segera menempatkan diri di antara Raya dan Fabian. Namun Fabian mengabaikannya. Ia hanya menatap Raya dengan penuh kebencian.

" Sekali lagi aku mendengar suaramu, aku akan mencekikmu seperti yang kamu lakukan pada Kana." Desis Fabian berbahaya.

Karena kini, semua orang tahu apa yang terjadi di mobil berkat tim investigasi khusus dari pemerintahan Perancis yang dipanggil oleh Fabian. Dari mereka, dia tahu asal luka merah melingkar di leher Nala dan kerusakan di tenggorokannya.

Dari olah TKP, tim elit investigasi cukup mempunyai gambaran apa yang sebenarnya terjadi.

Berdasarkan dominasi sidik jari di kursi kemudi, tuas, rem dan roda kemudi, bisa disimpulkan dengan mudah Raya lah yang mengemudikan mobil dengan Nala duduk di sampingnya. Tapi anehnya, sidik jari Nala lah yang ditemukan di selot kunci pintu di samping kursi kemudi yang jelas sekali dibuka tanpa paksaan. Sedangkan pintu di samping Nala sama sekali tidak tersentuh oleh Nala, orang yang seharusnya menyentuhnya dengan intensitas tinggi dalam rangka menyelamatkan diri. Seolah fokus Nala hanya pada pintu di samping Raya, yang sangat aneh jika ditelaah menggunakan logika.

Ditambah, jejak obat tidur yang terlarut di salah satu botol kosong sama dengan yang terdapat di dalam darah Nala, bukti-bukti minuman keras di dalam mobil dan di dalam tubuh Raya.

Hanya perlu sedikit paksaan bagi Raya mengakui semuanya di bawah pengawasan alat detektor kebohongan untuk menegaskan asumsi-asumsi tim investigasi tentang apa yang terjadi.

Karena itu, hanya Tuhan yang tahu apa yang akan Fabian lakukan pada wanita ini.

" Iya, itu salahku." Isak Raya menjadi, " Aku pingin minta maaf, De...tolong..."

Adnan meraih tangan Dewa yang terayun tepat waktu, sementara tangan yang satunya susah payah menahan tubuh bongsor Fabian agar tidak menerjang Raya.

" Pergi sana! Sementara ini dia jangan dibolehin deket-deket sini!" Serunya pada Mario yang memasang badan melindungi. Mario menatap Fabian dan Dewa, dimana keduanya menatap Raya dengan tatapan yang berbahaya. Laki-laki itu menghembuskan nafas, kemudian menikung tubuh Raya.

" Let's go!" Ucapnya merangkul wanitanya.

" Nggak, Yo...aku hutang nyawa sama Nala. Aku pingin ketemu dia..."

" Not now, darl. You are a dead meat this time."

Setelah yakin mereka berdua cukup jauh, Adnan melepaskan keduanya.

" Makan apa sih lo pada? Langsung kaku otot gue!" Dengus Adnan memijat lengannya yang ia gunakan untuk menahan keduanya.

Fabian mengusap kasar wajahnya dengan frustasi sebelum berbalik ke dalam ruangan. Adnan menatap Dewa yang masih setia dengan keheningannya. Matanya masih terpancang pada punggung Raya dan Mario.

Adnan menepuk pundak Dewa dengan penuh simpati. " Be strong, my friend. Tuhan selalu punya rencana terbaik."

Dewa tidak menjawab. Ia berjalan lebih dulu meninggalkan Adnan yang menghembuskan nafas panjang sembari menatap punggungnya.

Rencana terbaik? Dia hanya ingin Nalanya sadar. Hanya itu. Apakah itu terlalu berlebihan?

**

" Bu, lihat! Skor TOEFL-ku tinggi, lho!" seru Gardan melambaikan selembar kertas.

" Hmm, ternyata kalau belajar, kita bisa juga ya." Celetuk Kezia manggut-manggut sembari mengamati hasilnya sendiri.

Gaby terkekeh, " Masa diantara kita, yang nggak lolos cuma Raka aja? Padahal lagaknya udah sok-sokan mau pergi ke Inggris gitu!"

" Sekali lagi lo ngomong gitu, gue cium By!"

" UWOOOHH!" Ali menangkupkan telapak tangannya di pipi. " Kode keras By! Kode keras!!"

"Kode keras geblek lo Li!" Raka menggeplak kepala Ali dengan tampang datar-datar saja, sedangkan wajah Gaby memadam.

Gardan tergelak keras sekali melihat tingkah teman-temannya, kemudian ia menoleh ke dalam ruang kaca itu.

" Lihat bu, nilai kita bagus-bagus. Aluna aja kalah sama Kezia." Ucap Gardan pada Nala yang masih terbaring di tengah ruangan.

Mendengar itu, anak-anak yang lain terdiam dan menoleh ke arah Nala. Mereka tidak diperbolehkan masuk ke ruang perawatan. Mereka hanya bisa mengunjungi Nala di sini, dengan sekat kaca di mana mereka bisa memandangi Nala yang tertidur dengan segala bentuk peralatan berkedip di sekitarnya.

" Iya bu." Kezia menekan kaca kuat-kuat. " Makanya bu Nala sadar. Kita mau pamer nilai sama ibu."

Gaby menggigit bibirnya, kemudian ikut menempelkan tangannya di kaca, " Bu Nala punya janji ngajak kita jalan-jalan ke Perancis. Janji itu hutang, jadi ibu nggak punya pilihan selain bangun terus ngajak kita jalan-jalan."

Semua anak merasakan hal yang sama ketika Nala tidak juga menampakkan gerakan. Gardan membuang muka sembari menutupi mulutnya. Kezia dan Gaby menunduk hanya untuk menyembunyikan tangis, sedangkan Raka sudah melangkah ke luar.

Hanya Ali yang tetap memandangi Nala. Laki-laki itu menekankan telapak kanannya di kaca, seolah dirinya ingin menembus kaca dan berdiri di samping gurunya. Ia mengamati Nala dari atas sampai bawah, kemudian ia menempelkan keningnya di kaca ketika sebuah rasa membuncah di dalam dadanya. Ali mengamati wajah gurunya lama sekali.

" Bu." Bisik Ali. " Bu guru masih harus tanding catur sama aku, masih harus datang pas aku wisuda, masih harus dengerin permintaan ketigaku."

Ali berhenti sejenak ketika kerongkongannya mendadak panas, " Jadi jangan berani-berani bu Nala pergi tanpa menepati janji."

**

" Sedetik saja. Walau hanya sedetik, kamu nggak pernah cinta sama aku?"

" Berhenti tanya seperti itu. Kamu udah tahu jawabannya. Maaf, aku minta maaf karena menyeret kamu sampai titik yang nggak terduga seperti ini. Tapi cukup, Kanala. Berhenti di sini. Berhenti mempermalukan diri sendiri. Kita selesai."

Dewa terjaga. Matanya langsung bersirobok dengan jam dinding yang menunjukkan pukul dua malam.

Bunyi lirih berbagai peralatan medis langsung menguasai telinga. Dewa menghembuskan nafas untuk menenangkan diri.

Selalu.

Dewa selalu terbangun karena mimpi yang sama. Hanya suara. Suaranya dan suara Nala, bertahun-tahun lalu bercampur, menelusupi alam bawah sadarnya, mengingatkannya kembali bahwa dia pernah menyakiti gadisnya tanpa ampun.

Hanya ada dia di ruangan ini. Dewa menegakkan diri dan mengamati Nala yang masih tertidur di depannya. Laki-laki itu mengangkat tangan Nala, menempelkannya di pipi.

Dingin.

Tapi menghangatkan seluruh jiwanya.

" Kamu ingat waktu kamu datang bulan dan aku nemenin kamu?" Ucap Dewa sembari merapikan rambut Nala. " Leon bilang aku gila karena lebih memilih bolos dan menemani kamu."

Dewa menatap sejenak pada Nala yang masih memejamkan mata.

" Tapi aku memang lebih suka menghabiskan waktu sama kamu." Lanjut Dewa lembut. " Lihat kamu tidur, lihat kamu tertawa, lihat kamu cemberut, apalagi kalau keras kepala."

Dewa tersiksa ketika Nala tidak juga menunjukkan gerakan. Gadis itu seperti boneka. Dewa mengusapkan tangan Nala di pipinya.

" Nala." Panggil Dewa pelan sembari menatap kedua mata Nala yang tertutup. Ia menelusupkan jemarinya di antara jemari kurus milik Nala, menggenggamnya erat-erat dan menempelkannya ke kening. " Bangun."

**

" Lala nggak capek tidur terus?"

Dafa duduk di samping Nala, membelai lengan Nala. Biasanya, ada Fabian yang akan berjaga di sudut ruangan. Tapi tadi dokter memanggilnya sebentar sementara Reno menggantikannya menjaga Nala. Laki-laki itu duduk di sudut ruangan, bersedekap sembari mengawasi Dafa dan Nala.

" Kata abang, Lala cuma tidur. Tapi kenapa lama banget? Dafa juga nggak dibolehin bobok sama Lala, padahal Dafa kepingin dipeluk Lala."

Dafa memandangi Nala sejenak, tidak begitu mengerti mengapa gadis itu harus dipasangi berbagai macam alat yang mengeluarkan suara lucu.

" Dilla juga kesini lho. Kata Dilla, Dilla kangen Lala. Kalau kangen kenapa harus pergi ke Jerman coba? Iya kan?"

Dafa mencondongkan tubuhnya, menyentuh perban di kepala Nala dengan jemarinya.

" Kemarin teman Dafa juga ada yang diperban gara-gara jatuh." Ucapnya mengusap ringan, " Tapi dia nggak bobok lama kayak Lala. Dia juga nggak pakai sedotan gede kayak yang Lala emut itu"

Dafa membaringkan kepalanya di samping lengan Nala. Bola matanya mengikuti jemarinya yang menyusuri lengan Nala. Dafa tidak mengerti. Lala-nya hanya tidur, tapi ada rasa ketakutan yang menyergapnya kala melihat Nala tidak kunjung bangun. Ini aneh sekali.

Dafa menarik tangannya dari lengan Nala dan menyatukan keduanya di bawah pipi. Sudah beberapa kali dia tidur siang di sini, dan selama itu pula Lala-nya tidak pernah menjawab jika ia panggil.

Memang bisa orang tidur sebegitu lamanya, ya?

Pikiran sibuk Dafa disela oleh suara tercekat yang tiba-tiba di dengarnya.

Dafa menegakkan diri dan menatap Nala lekat-lekat. Suara itu seperti suara orang tercekik, berasal dari mulut Nala yang terbuka. Suara itu datang lagi, semakin sering hingga mata Dafa membulat. Belum sempat Dafa mengeluarkan suara, seluruh tubuh Nala tiba-tiba menegang dan menyentak-nyentak.

" BANG RENO!" Seru Dafa penuh ketakutan. Anak itu melompat dari kursinya dan berlari ke arah Reno yang langsung berdiri.

**

Dewa baru saja keluar dari ruangan dokter senior spesialis tulang. Kakek-kakek cerewet yang kelewat menyayangi Dewa hingga tidak mau melewatkan seharipun tanpa memeriksa tangan Dewa. Masih beberapa minggu sebelum dia bisa menggunakan kedua tangannya lagi.

Tapi dia sama sekali tidak mengeluh.

Dewa menunduk, mengamati kedua kakinya yang melangkah menuju ruangan Nala. Menuju ke tempat jantung hatinya berada.

Langkahnya terhenti ketika dilihatnya banyak orang berada di depan ruangan Nala.

Reno, Dafa, Lila, Dilla dan...Fabian?

Tidak. Fabian tidak pernah keluar dari ruangan Nala saat dirinya sedang berjaga. Dewa melangkah lagi, kali ini lebih cepat.

Jantungnya mulai bertalu. Ia mulai kewalahan melawan ketakutan yang menggerogotinya selama beberapa hari belakangan.

Langkah Dewa membuat semua orang menoleh, kemudian tiba-tiba saja dingin mulai merayap ketika semuanya memberikan sorot yang sama.

" Nala..." Dewa bicara, seakan dari jarak yang jauh sekali. " Siapa yang jaga?"

Dewa berusaha sekuat tenaga hanya menatap Fabian. Ia menolak menyadari Dilla yang menangis atau Dafa yang memeluk Lila erat-erat. Tangan Dewa terkepal.

" Fab...kenapa kamu di luar?" Tanya Dewa bergetar. Fabian hanya membalas tatapannya dengan mata memerah. Jenis ekspresi yang hanya satu kali ditemukan Dewa, yaitu ketika mereka mendapat kabar bahwa Nala kecelakaan.

Tidak. Tidak. Dia tidak mau memahami apa yang ada dalam sorot mata itu.

Dewa melangkah ke arah pintu saat tidak ada seorang pun yang bicara, hendak mendobraknya ketika Dilla menahannya dan memeluk Dewa erat-erat.

" Jangan bang..." Isak Dilla semakin membuat Dewa sesak.

" Minggir dek. Harus ada yang jaga Nala." Dewa menyingkirkan Dilla terlalu mudah, namun tangan lain menahannya. Tangan yang lebih kuat itu menariknya dengan kasar.

" MINGGIR!" Bentak Dewa pada Fabian. Namun Fabian meraih kerah jas dokternya, memaksa Dewa menatapnya hingga hidung mereka nyaris bersentuhan.

" They said we lost her." Desis Fabian menatap Dewa tajam dengan matanya yang sarat akan emosi. Kentara sekali mata merah itu tengah menahan genangan yang mengisi pelupuk matanya. "Apa maksudnya?!"

*TBC*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top