31. Pembohong
" After all, lie is the truth in a masquerade "
Setiap kecupan laki-laki itu,
Setiap lekuk bibir Dewa,
Setiap sentuhan jemari Dewa di tubuhnya,
Nala mengenalinya. Ia menghafalnya.
Ini Dewa. Dewanya yang mencuri ciuman di kala hujan lebat siang itu.
Seperti membangkitkan kenangan yang berkarat, ingatan tentang kebersamaan mereka datang lebih jelas daripada yang pernah Nala alami. Seakan tidak pernah ada rentang waktu lama untuk mereka berpisah, tidak pernah ada masa dingin ketika Nala kehilangan Dewa.
Nala seperti terbangun dari tidur panjang ketika kehangatan mulai menguasai laju darahnya. Menghantarkan api yang membakar setiap jengkal tubuhnya, membuatnya membara.
Nala merengkuh belakang kepala Dewa dengan kedua tangannya, merasai dengan tergesa ketika jemari di tangannya menuntut hal yang sama seperti bibirnya. Seolah merindui rasa ketika setiap senti saraf di tangannya menyusup di rambut legam itu, Nala meremas rambut Dewa. Dan ketika ia melakukannya, ia merasa benar.
Sepertinya, tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka dari lidah api yang melalap. Nala tidak mampu berpikir apapun selain ingin merasai lebih dan lebih lagi.
Begitu juga Dewa.
Seperti seorang musafir di tengah gurun yang menemukan oase, Dewa menuntaskan rasa haus yang menyiksanya. Lebih dan lebih, Dewa merapatkan pelukannya, memusnahkan jarak sekecil apapun yang membuat mereka terpisah.
Entah sejak kapan kursi belajar Dafa sudah berada di tengah ruangan, sedangkan kedua insan yang beberapa saat lalu menghangatkannya kini justru bergumul di atas kasur.
Tangan Dewa berada di bawah lekuk pinggang Nala, membuatnya tetap dekat dengan tubuhnya kala gadis itu terbaring di bawah kungkungannya. Dewa dilahap sesuatu yang asing hingga membuat pikirannya berkabut. Seketika itu juga, mencium bibir Nala bukanlah satu-satunya hal yang ingin ia rasakan.
Dewa menggeram rendah, menyusurkan bibirnya di garis rahang Nala sampai ke lehernya.
Nala sekarat ketika Dewa menciumi leher di bawah telinganya. Rasa asing menyengat, membuatnya merinding dari atas sampai ujung kaki hingga gadis itu melengkungkan tubuhnya demi melepas rasa asing ini.
Dewa semakin gila. Ia mengulum leher gadis itu, menciumnya, mengigitinya hingga desahan lirih yang keluar dari bibir Nala berhasil menghilangkan nalarnya yang terakhir. Sentuhan gadis itu menggodanya tanpa ampun, menggelitik sesuatu paling dalam tubuhnya, membuatnya terbakar.
" De..." Panggil Nala susah payah di tengah gelayar memabukkan yang dirasakannya.
Dewa menyusurkan bibirnya lebih rendah di lekukan leher tempat bertemunya pundak Nala, menciumi pundak putih nan cantik itu. Membuat gadisnya mengerang sembari meremas rambut Dewa lebih kuat.
" De...Dewa..." Panggil Nala melihat Dewa yang semakin terlarut. Nala menggigit bibir bawahnya kuat-kuat ketika kecupan Dewa semakin gila. Laki-laki itu memerangkap Nala dengan pelukan erat dari satu tangannya.
" Deeee..." Nala berusaha menyingkirkan kabut dari depan matanya. Gadis itu menangkupkan kedua tangan di pipi Dewa, menahan apapun yang hendak dilakukan laki-laki itu.
" De, berhenti..." Rintih Nala meskipun seluruh tubuhnya kini mendamba, menuntut akan sesuatu yang aneh, asing dan menyiksanya.
Tapi sepertinya sia-sia. Dewa sudah terlanjur jauh. Laki-laki itu tidak bisa mendengar apapun. Suatu sensasi mulai merangkak ke perut Nala, mengaduk-aduknya hingga pandangan Nala berkunang. Nala menahan apapun yang hendak keluar dari bibirnya dan memejamkan mata erat-erat demi mencegah dirinya terhanyut.
Nala meraba, kemudian membungkam bibir sibuk Dewa dengan telapak tangan.
Dewa menggeram. Laki-laki itu mendongak dan Nala melihat orang lain di sana dengan mata yang gelap berkabut.
Nala menggeleng lemah dan menjatuhkan kepalanya di kasur, merasa sangat lelah.
Seluruh indera penciuman Dewa samar-samar mengirup aroma yang dikenalnya. Berangsur, fokus Dewa kembali dan ia menyadari aroma harum itu berasal dari jemari Nala yang menangkup bibirnya. Dewa menatap posisi mereka, bertanya-tanya sejak kapan mereka seperti ini. Ketika nalarnya kembali, dirinya diserang ketakutan.
Laki-laki itu menurunkan satu kakinya dari atas kasur dan cepat-cepat berjalan menjauh. Bibirnya mengatup rapat sementara ia menenangkan jantungnya yang masih berdebar sangat kencang.
Nala bangkit dan Dewa harus berpaling demi menghalau Nala yang duduk dengan rambut berantakan. Tuhan, apa yang telah dilakukannya?
Apa yang akan dilakukannya?
Memikirkannya saja, Dewa merinding sendiri.
Dewa memberi waktu jantungnya kembali sehat sebelum berputar untuk memandangi gadis yang membuatnya gila.
Nala masih duduk di tepi kasur dengan rambut yang sudah terkuncir rapi. Gadis itu menunduk sembari meremas kedua tangan di pangkuannya. Tapi Dewa bisa melihat wajahnya yang merona kemerahan.
Astaga! Dalam posisi apapun, gadisnya selalu berbahaya untuk Dewa.
Dewa mengambil satu langkah mendekat untuk menilai respon tubuhnya sendiri. Tentu saja, denyut jantungnya meningkat. Tapi Dewa menikmatinya. Dewa kembali menarik kursi yang entah sejak kapan berada di tengah ruangan dan duduk di depan Nala. Kali ini memberi jarak.
" Maaf." Kata Dewa menghirup nafas dalam-dalam. Kalau Fabian mencambukinya setelah ini, Dewa tidak akan menolaknya.
Nala mengangkat wajahnya, Kemudian gadis itu mengangguk.
Sesaat tidak ada yang bicara. Dewa masih mengamati Nala, yang kini kembali menunduk dengan rona yang tidak segera hilang dari wajahnya.
" Nala, bicara sesuatu." Pinta Dewa menahan tangannya kuat-kuat untuk tidak menjangkau jemari Nala. Dia masih harus memastikan iblis di dalam dirinya kembali tertidur. " Maaf, aku minta maaf."
Nala melirik Dewa sekilas, kemudian menghela nafas dalam-dalam.
" Gila!" Tukasnya tajam sebelum bangkit dan berjalan menuju pintu dengan cepat. Dewa mengangkat alis dan menahan Nala dengan cepat.
" Boleh cium lagi?" Tanya Dewa memandangi Nala. Seakan terkena cat merah, wajah Nala langsung memadam. Dewa tahu dari ekspresinya gadis itu pasti akan menggerutu. Maka sebelum gerutuan itu keluar dari bibir mungil Nala, Dewa terlebih dulu menarik dagu Nala dan mencium dahinya.
Wajah Nala yang tadinya menekuk kini justru terkesiap. Dewa mencium dahinya dengan lembut dan merengkuh pipi gadis itu dengan tangannya yang sehat, mengusapnya ringan.
" Aku sayang kamu." Kata Dewa merapikan anak rambut Nala.
Nala mendengus. Ia mencubit pelan bahu Dewa. " Padahal satu tanganmu baru sakit. Kalau dua-duanya sehat gimana coba?"
" Kalau dua-duanya sehat, jangan harap kita berhen...duh iya iya nggak!" Seru Dewa saat Nala mencubitnya lagi sembari melotot padanya. Dewa tertawa melihat wajah kesal Nala yang masih merah padam.
Ini pertama kalinya ia merasa begitu bahagia setelah sekian lama.
" Yang tadi masih ada lanjutannya, tapi setelah kamu sah jadi istriku. Sini!" Pintanya menarik Nala mendekat dan memeluknya.
" Itu kalimat tolong dikondisikan, bisa?" Gerutu Nala berusaha menjauh. Dirinya masih belum bisa biasa setelah apa yang terjadi. Namun Dewa menahan punggung Nala. Laki-laki itu menumpukan dagunya di puncak kepala Nala.
" Aku sayang kamu, Kanala. Dari dulu." Ucap Dewa memejamkan mata, membiarkan degup jantung mereka saling bersahutan, "Setelah semua ini selesai, aku mau kita menikah."
Menikah?
Seperti menginjak paku di antara karpet bulu, sengatan panas menyerang dadanya.
Nala yang menikmati kehangatan Dewa langsung membuka mata. Perlahan, gadis itu mengurai pelukannya.
" Kenapa kamu baru bilang sekarang?" Tanya Nala mengambil satu langkah menjauh. " Apa kamu udah merencanakan kebohongan sampai sejauh ini?"
Dewa yang semula mengerutkan kening jadi terpaku.
" Nala, ini bukan kebohongan. Aku cari waktu yang tepat buat jelasin semuanya sama kamu." Kata Dewa berusaha mendekati Nala lagi. Namun Nala mundur. Tangannya berada pada gagang pintu.
" Berhenti." Perintah Nala tegas. " Sudah aku bilang aku nggak ada rasa sama kamu lagi, De. Kita selesai."
" Nggak ada rasa?" Pandangan Dewa mengeras. Tangannya terkepal. " Setelah bukti yang kamu berikan tadi?"
" Percaya diri sekali!" Hujam Nala. "Kalau yang membuatmu yakin tentang itu adalah ciuman tadi, lupakan. Hal seperti itu biasa buatku, jadi kamu nggak perlu merasa istimewa."
Dewa menggeram. " Kamu bukan perempuan seperti itu."
Nala mengangkat alis dan membuka pintu. " Tahu apa kamu tentang aku? Jangan pernah berusaha lagi. Itu sia-sia."
Nala yang sudah melangkahi ambang pintu berhenti, kemudian berbalik untuk menatap Dewa dengan tenang.
" Besok, aku akan tetap datang. Aku pingin lihat seluruh usaha kamu buat bohong sama aku. Bukti palsu apa yang udah kamu siapkan buatku, aku penasaran." Ucapnya menatap Dewa dengan berani. " Tapi jangan harap aku mempercayainya dengan mudah, Dewangga. Karena selamanya, kamu adalah pembohong."
Nala meninggalkan pintu terayun di belakangnya. Gadis itu menjambret jaket dan tasnya untuk kemudian keluar dari apartemen Dewa. Dia tidak peduli dengan makan malam, dia tidak bisa di sana lebih lama.
Karena dia tahu dia bukan pembohong yang baik.
Ketika kegelapan malam menelannya, ia membiarkan air matanya meleleh. Nala berjalan kaki menjauhi apartemen Dewa sembari mengusap kedua bahunya.
Bagaimana bisa ia terhanyut sebegitu dalam? Selalu, berdekatan dengan Dewa selalu membuat akalnya terkikis. Seluruh tubuhnya serasa macet. Ia tidak bisa berfikir.
Bodohnya Nala.
Sekarang hasrat untuk memiliki Dewa membara dalam dirinya, menyadari kemungkinan kebenaran dari alasan laki-laki itu meninggalkannya hanya membuat Nala mulai menginginkan Dewa.
Karena Nala mulai percaya Dewa menjelaskan yang sebenarnya. Karena memang dari awal, Nala kesulitan mempercayai kata-kata Dewa di hari sial itu. Seperti berada di tengah-tengah dua kubu yang berseteru, keyakinan Nala dibingungkan oleh sisi yang menyuruhnya mempercayai dan tidak mempercayai Dewa.
Sialnya, hati yang ikut bermain bukan perkara mudah.
Nala menggigil. Gadis itu menengadah ke arah langit mendung tanpa bintang.
" Kau punya rencana untuk membuatku bahagia juga, kan?" Celetuk Nala. " Kalau begitu, tolong hapuskan rasa ini untuknya, Tuhan. Ini membuatku menderita." Nala menunduk ketika isakan tertahan lolos dari mulutnya.
" Berhenti, Nala." Isaknya pada diri sendiri ketika jiwanya memerintahkan Nala agar berbalik dan kembali pada Dewa. Gadis itu mencondongkan tubuhnya, memukul-mukul dadanya ketika sesuatu terasa bercokol di sana.
Nala memaksakan kakinya tetap melangkah, melawan keinginan untuk tersungkur di jalanan dan menyerahkan takdir pada waktu yang tidak pernah berhenti berjalan. Gadis itu hanya menyusuri trotoar tanpa memperhatikan arah. Dia hanya ingin pergi, berjalan kaki entah ke mana. Pulang ke Perancis jalan kaki, mungkin? Sepertinya itu bukan ide buruk.
" Nala?"
Nala mengangkat wajah.
" Kamu ngapain di sini?" tanya Nala saat melihat Raya berhenti di depannya dengan jaket bulu membungkus tubuh rapat-rapat. Satu tangannya menenteng kantong putih kecil dengan label, tangan lain membawa kotak susu kemasan.
" Jalan-jalan aja. Di apartemen suntuk. Kamu udah pulang? Dewa baru ngapain?"
Nala menggeleng. Tidak mau mendengar nama itu lebih lama lagi.
Raya mengamati wajah Nala dengan ekspresi penasaran. Kemudian, gadis itu bertanya, " Besok kamu mau ngantar aku?"
Nala mengerutkan kening. " Kemana?"
Raya menghembuskan nafas seraya menunduk. Wanita itu terlihat gamang akan sesuatu. Kemudian ia duduk di bangku kursi terdekat. Ia memberi tanda pada Nala untuk mengikutinya. Nala mengerutkan kening, meskipun demikian ia duduk di samping Raya.
" Aku tahu sikapku sama kamu nggak pernah baik." Ucap Raya memulai tanpa berani menatap mata Nala. Sementara Nala mengangkat alis.
" Aku...mau minta maaf sama kamu, La. Aku merasa buruk sekali jadi orang." Ucap Raya menoleh padanya. " Setelah ini, nggak ada alasan hubungan kita nggak baik-baik aja. Aku nggak mau bersikap buruk sama kamu lagi, apalagi waktu aku sedang mengandung." Ucapnya merengkuh perutnya yang membesar. " Makanya, besok rencananya aku mau pilih desain undangan buat pernikahan. Aku mau ditemani kamu. Cuma berdua aja, sekalian tanda kalau kita mulai berhubungan baik."
Raya menatap Nala dengan penuh pengharapan. Ada rasa was-was dalam pandangan Raya, yang membuat Nala akhirnya tersenyum kecil.
" Aku nggak pernah menganggap kita musuhan. Itu cuma hormon labil anak remaja sama ibu hamil." Kekeh Nala yang disusul Raya.
" Jadi gimana? Besok kamu mau?" Tanya Raya selesai dengan kekehannya.
Nala mengangguk, " Sure. Sepulang mengajar aku temani kamu."
Raya mengerucutkan bibir tidak setuju, " Tapi, aku udah janji mau ke sana jam delapan pagi. Gimana dong? Kamu nggak bisa ya, La?"
Nala mengerjap. Tidak! Ia membaui sesuatu yang tidak enak di sini.
" Nggg...aku bisa kok. Besok anak-anak cuma tes TOEFL aja!"
Wajah keruh Raya berubah menjadi gembira. " Benar?"
Nala mengangguk lagi.
" Makasih, Kanala. Kita ketemu besok, ya?" Katanya membelai pundak Nala lembut. Nala mengangguk lagi dan perempuan itu berlalu dengan senyum masih menghiasi wajahnya.
" Fyuh!" Nala menghembuskan nafas. Entah apa yang akan dilakukan Raya jika wanita itu kecewa hanya gara-gara Nala tidak bisa menemaninya, kan?
Nala melanjutkan langkahnya dengan pikiran tentang Raya. Sejak dulu, Raya menyukai Dewa. Nala tersenyum sedih. Raya pasti bisa membuat Dewa bahagia. Nala memejamkan mata erat-erat kala air mata mulai menggenang lagi.
Sekarang yang perlu dilakukannya adalah bertahan dengan kepura-puraan hingga kepulangannya ke Perancis. Karena setelahnya, laki-laki itu menjadi sesuatu yang tidak boleh diinginkannya.
Semuanya hanya akan menjadi masa lalu.
**
" ...Wa! Dokter Dewa!"
Dewa tersadar ketika suara Riana menembus gendang telinganya. Riana menatapnya dengan mata menyipit.
" Maaf. Ada apa?"
Perawat itu menyerahkan beberapa map berisi rekam medis pasien. " Dokter Jeha meminta anda membantu dokter Harris melakukan monitoring evaluasi pada pasien-pasien pasca operasi di bangsal Bougenville sementara beliau pergi ke luar kota selama satu minggu. Hanya membantu saja, karena beliau memahami kondisi fisik anda. Tapi dokter, apa anda merasa kurang sehat?"
Dewa menggeleng singkat sembari membuka lembaran di mejanya.
" Aku baik-baik saja, makasih." Kata Dewa pada Riana. Perawat itu mengangguk meskipun masih mengawasi Dewa dengan sanksi. Lalu ia memutuskan untuk mohon diri.
Setelah Riana menghilang dari ruangannya, Dewa menunduk dalam-dalam sembari meremas rambutnya.
"Sudah aku bilang aku nggak ada rasa sama kamu lagi, De. Kita selesai."
"Sudah aku bilang aku nggak ada rasa sama kamu lagi, De. Kita selesai."
"Sudah aku bilang aku nggak ada rasa sama kamu lagi, De. Kita selesai."
Dewa menghirup nafas panjang untuk menenangkan diri. Suara Nala seperti kaset yang diputar berulang kali, membuat harinya kacau.
Pada detik ketika Dewa memutuskan hubungan mereka, saat itu juga Dewa bertekad mengambil kesempatan kedua. Dia tidak bisa kehilangan Nala. Dia tidak akan mampu. Gadis itu selalu terbayang di mimpinya, di setiap lamunannya, di setiap pandangannya.
Lalu sebelum Dewa memulai persiapannya ke Perancis untuk kesekian kali, Nala benar-benar datang di hadapannya. Bersama dengan kemarahan dan kekecewaannya pada Dewa. Tapi bukan itu yang membuat Dewa semakin memperjuangkan hubungan mereka.
Dari awal pertemuan mereka kembali, Dewa tahu bahwa dia tidak pernah kehilangan Nala.
Dari dulu, gadis itu seperti gelas kaca sehingga Dewa bisa membaca hatinya dengan mudah. Nala bukan gadis yang pandai berbohong. Dia terlalu mudah dibaca.
Dewa memejamkan mata, mengingat ekspresi Nala sesaat sebelum meninggalkannya di kamar Dafa. Satu-satunya alasan dirinya tidak mengejar Nala adalah kesadaran bahwa Nala akan semakin menjauh jika dia berani melakukannya.
Apa? Apa yang membuat gadis itu berbohong padanya?
" De?"
Dewa mengangkat kepala dan mendapati Tiara melongok dari pintu, tampak menatapnya dengan khawatir.
" Masuk aja." Dewa menenangkan dirinya. Laki-laki itu melepaskan kacamatanya dan menatap Tiara yang kini duduk di hadapannya. " Kenapa?"
Tiara menyerahkan satu buah map di depan Dewa.
" Kiriman suamiku dari Belanda. Kemarin katanya kamu cari tempat tinggal buat keluarga kecil?" Tanya Tiara.
Dewa mengangguk kecil. " Makasih ya."
Tiara mengamati Dewa, " Kenapa? Ada masalah sama calon istri?"
Dewa mendongak. " Maksudnya?"
Tiara nyengir jahil. " Halah De, kamu main rahasia-rahasiaan sama aku ini ceritanya? Kamu yang mesra-mesraan sama Kanala di sepanjang lorong rumah sakit? Ck! Asal kamu tahu, aku nggak pernah percaya sama Raya ya, walaupun dia pasienku dan ngomong ribuan kali kalau kamu bakal nikah sama dia."
Dewa mengerutkan kening saat menyadari sesuatu. " Kenapa kamu tahu namanya Kanala?"
Tiara mengangkat alis, terlihat gugup namun segera ia tutupi. " Kan jadi bahan gosip di sini. Nggak ada satu orang pun yang nggak tahu tentang kamu sama dia, De!"
Namun Dewa menyipit hingga membuat Tiara tiba-tiba ingin sekali kabur. Salahnya membuat otak tajam Dewa curiga.
" Gosip cuma bilang namanya Nala. Kamu kenal dia darimana?" Tanya Dewa.
" Ng...ya di sini! Dimana lagi?" Tepis Tiara tertawa canggung. Ibu satu anak ini memang terkadang sangat menyebalkan.
" Kalau kamu lupa, aku calon suaminya, Ra." Kata Dewa serius. " Kalau ada yang kamu tahu tentang dia, aku orang pertama yang berhak tahu."
Tiara membasahi bibirnya. " Informasi pasien itu rahasia, De. Dan kamu masih calon suaminya, jadi..."
" Pasien?" Potong Dewa dingin hingga Tiara bungkam. Mendadak, dia seperti melihat kilat di mata Dewa. Laki-laki itu berdiri dan mendekatinya.
" Ra, dia pasien kamu?"
Tiara mengerjap, " Ha? Itu...eh..."
" Tiara!" Panggil Dewa berbahaya. " Aku minta semua informasi tentang Nala. Aku perlu tahu semua tentang Nala!"
Dan Tiara harus menjadi tidak berdaya di depan juniornya yang berkharismatik ini, apalagi saat dia jelas-jelas sedang jatuh cinta.
**
Dewa datang ke tempat yang diberitahukan Fabian padanya. Ia nyaris berlari di lorong hotel. Seluruh otaknya ingin meledak ketika mendapati infomasi tentang Nala hari ini.
Namun, saat ini ada hal yang lebih mendesak.
Dewa menutup pintu dan bergegas melewati jajaran pengawal Fabian yang bersiaga di kanan dan kirinya. Fabian sedang duduk berpangku tangan di kursi putar, menghadap seseorang yang sedang menunduk. Orang itu penuh dengan tato. Badannya kekar dan rambutnya coklat terang. Ketika Dewa mendekat, laki-laki itu mendongak dan Dewa bisa melihat kebencian di sana.
"Mario!" Panggil Dewa berusaha menahan amarahnya.
" Easy...easy..." Dendang Fabian pada keduanya.
" Ada apa mencariku? Bagaimana kabarmu sekarang setelah memiliki Raya?" Sindirnya benci dengan aksen yang terdengar aneh.
Dewa mengepalkan tangannya erat-erat.
" Kamu tahu Raya mengandung anakmu. Kenapa kamu meninggalkannya?" Tanya Dewa bergetar.
Laki-laki itu tersenyum sinis, kemudian berkata setengah tertawa, " Aku tidak meninggalkannya! Dia yang mencampakkanku! Dia yang menyuruhku pergi karena dia akan menikah denganmu! Aku kira, kau hanya menanggapnya teman! Tapi harusnya aku curiga ketika Raya berkata kau selalu meminta bertemu di tengah kencan kami."
Mario menatap Dewa dengan bengis, " Lalu apa katamu tadi? Anakku? Jangan membodohiku! Raya berkata padaku itu anakmu, brengsek! Kau mencurinya dariku!"
Tentu saja, rahang Dewa mengatup rapat. Ada sesuatu yang salah di sini. Dia tidak pernah meminta Raya mempertemukan mereka. Yang ada, wanita itulah yang selalu mengajak Dewa untuk bertemu dengan Mario.
Mario menatapnya dengan selaksa murka di wajah. Kedua tangannya terkepal hingga otot-otot kehijauan menyembul di balik kulitnya. Sepertinya jika tidak ada Fabian, Mario berencana membunuh Dewa dengan sekali pukulan. Kekecewaan besar tersirat di sorot matanya. Laki-laki itu tidak berbohong. Dia frustasi.
" Raya adalah alasanku meninggalkan Velimir!" Desis Mario, " Dan ketika dia berkata kau memaksanya, ketika dia berkata dia mengandung anakmu, ketika dia berkata kau akan bertanggungjawab, ketika dia memintaku menjauh demi bayinya, apa yang bisa aku lakukan selain PERGI?! KAU MEREBUTNYA DARIKU DENGAN CARA MENJIJIKKAN!!"
Raungannya memacu seluruh pengawal menarik senjata dari balik bajunya. Fabian mengangkat tangan, mengawasi Mario yang masih menatap Dewa seperti banteng dan matadornya.
Saat itu, ponsel Fabian dan Dewa berbunyi bersamaan. Tanpa melepas pandangan dari Mario, Dewa mengangkatnya.
" Nanti aja, Ren! Gue masih..."
Dewa menghentikan kata-katanya. Seperti dalam gerakan lambat, ia merasa seolah lantai menelannya bulat-bulat. Ia menoleh pada Fabian. Anak itu juga menatapnya dengan raut ketakutan yang tidak pernah dibayangkan Dewa terpasang pada seorang Fabian.
Dan dia tahu, kabar yang sama juga telah didengarnya.
*TBC*
Err...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top