30. Menyingkap
" It's hard to fight theese feelings when it feels so hard to breathe." Just a kiss-Lady Antebellum
" Dewa!"
Raya langsung memeluk Dewa begitu laki-laki itu membukakan pintu.
" Ray!" Seru Dewa menjauhkan Raya dari tubuhnya. Normalnya, perempuan itu akan merasa tersinggung. Namun kali ini matanya terpancang pada lengan Dewa yang masih digendong.
" Sakit De? Parah?" Serunya cemas. " Ayah ibu nggak ngebolehin aku ngejaga kamu. Maaf ya. Kamu di rumah sama siapa? Aku dengar Dilla pulang."
Dewa mengabaikannya dan berjalan ke sofa di depan televisi.
" De!!" Rengek Raya di sebelahnya, memeluk erat lengan Dewa yang sehat. Dewa berusaha mengontrol emosinya.
" Lepas, Ray. Badanku masih sakit." Kata Dewa melepaskan diri dari belitan Raya. " Kamu kenapa ke sini? Nggak ada yang ngurus kamu. Aku masih belum bisa ngapa-ngapain."
" Kan ada bi Sumi." Tukas Raya mengedik bi Sumi yang segera ke kamar Raya untuk menata kembali pakaian Raya. " Dilla di sini, ya? Wah! Nggak sabar pingin ketemu adik ipar. Dia pasti seneng dengar kabar kita mau nikah!"
Dewa memejamkan mata seraya memijit dahinya. Yang ada, Dilla akan menghancurkan separo barang di apartemennya.
Saat itu, Raya berteriak hingga Dewa terkejut.
" Kenapa?" Tanya Dewa waspada melihat Raya yang terbelalak dengan kedua kaki ia angkat ke atas sofa.
Gadis itu menunjuk ke bawah meja.
" KECOA!!" Teriak Raya. " KECOAAAA!! BUANG JAUH! DEEEEE, BUANG KECOANYA! AKU GELI!! AKU JIJIK!"
" HAP!"
Belum sempat Dewa berbuat sesuatu. Dafa sudah menabok sang tersangka dengan sapu tanpa ampun hingga sapunya patah jadi dua. Dafa mengangkat sapu dengan hati-hati untuk memeriksa, kemudian ia mendengus.
" Itu bukan kecoa." Ucapnya meraih tisu di atas meja. " Ini ngengat mati, lihat! Sayapnya habis dimakan semut! Pantesan banyak semut di sini." Komentar Dafa seraya mengangkat bangkai si ngengat hitam seukuran jempol tangan yang sekilas memang mirip kecoa dan menunjukkannya pada Raya. Namun Raya yang sudah berdiri di sofa demi menghindarkan diri sejauh mungkin justru mengkeret.
" FAAA, BUANG!" Rengek Raya menatap nyalang bangkai ngengat itu. Ia mengusap-usap pundaknya sembari bergidik.
" Iya iya! Kak Raya berisik! Cuma ngengat aja! Aku buang di luar. Di dalam nanti malah dirubung semut lagi." Ucap Dafa bangkit dan berjalan keluar sambil menenteng sapu yang patah.
Dewa menghembuskan nafas lagi ketika keadaan menjadi tenang.
" Turun, Ray. Bahaya!" Perintah Dewa tegas.
" Nggak mau!" Tolak Raya jahil. Raya justru melompat-lompat di sofa.
Jarang sekali rasanya Dewa marah hingga separah ini. Jika saja Raya sedang tidak hamil, ia yakin dirinya akan tega menyeret Raya keluar dari apartemennya, tidak peduli Raya menjerit-jerit keras.
Dewa bangkit dan menghadap Raya. Wanita itu justru menyeringai lebar. Ia mengira berhasil megajak Dewa bermain.
" Bajumu dibenahin!" Perintah Dewa dingin. Raya menunduk sekilas, kemudian menggeleng.
" Gerah." Rengek Raya masih memantul-mantul.
" Raya! Turun! Kasihan anak kamu!" Tegas Dewa dengan suara meninggi. Raya megerucutkan bibir.
" Anak kita." Katanya tidak terima. Ia berhenti bergerak dan mengulurkan kedua tangannya pada Dewa. " Tolong!"
" Aku nggak bisa, Raya." Dewa berusaha melebarkan kesabarannya yang mulai habis.
" Kamu sini, coba!" Pinta Raya melambai. Dewa menghembuskan nafas cepat, kemudian mendekat. Saat itu, Raya melingkarkan kedua tangannya di leher Dewa dan menjatuhkan dirinya ke sofa.
" RAYA!" Seru Dewa terkejut. Ia tidak siap dengan hentakan itu. Raya menggaet leher Dewa, memaksa laki-laki itu mengikuti arah jatuhnya. Refleks, Dewa menahan berat tubuh Raya agar pinggang wanita itu tidak berbenturan dengan sofa.
" Apa-apaan kamu? Itu tadi bisa bahaya buat kandunganmu!" Dewa memarahi Raya sembari berusaha melepaskan diri. Namun Raya menahannya kuat-kuat. Ia menatap Dewa dengan berbinar dan menarik leher Dewa mendekat.
" Sudah aku bilang, kamu cinta sama aku, De. Buktinya, kamu khawatir sama aku." Ucap Raya bahagia.
PLAK!
**
Dilla mengacak rambutnya untuk kesekian kali. Gadis itu baru saja mendengar cerita kakaknya, dan kini dia frustasi.
" Sekarang Dilla jadi ragu abang serius sama kak Nala! Dilla baru saja ngasih tahu semuanya tentang abang sama kak Nala! Semuanya, bang!" Seru Dilla di kamar Dewa yang penuh dengan foto Nala. " Apa ini alasannya kenapa abang nggak cepet-cepet terus terang sama kak Nala? Iya? Karena sekarang abang udah punya Raya? Malu aku bang! Malu!"
Dewa menghirup nafas dalam-dalam. Setelah mendapat tamparan dari Dilla, Dewa jadi tahu bahwa dulu Nala tidak sepenuhnya mengerahkan tenaga.
" Abang serius sama Nala." Ucapnya yang dibalas cibiran oleh Dilla. " Abang berusaha, tapi bukan dengan menunjukkan semua itu."
Dilla mendengus tidak suka, " Lalu apa bang? Dilla nunjukin bukti sama kak Nala tentang kegilaan abang selama ini! Apa itu salah?"
Dewa mengacak rambutnya dengan cepat, " Calon kakak iparmu itu harus paham alasan abang. Bukan ditunjukkan bukti saja."
" Ya udah sih makanya cepetan dijelasin sebelum semuanya jadi aneh. Ini apalagi Raya di sini? Bikin sumpek aja." Dilla mengacak rambutnya lagi sembari mondar mandir di kamar Dewa. "Sekarang kak Nala pasti makin benci sama abang! Dilihat dari posisi manapun, yang tadi itu salah banget, bang! Astaga!"
" Jangan keras-keras. Nanti Raya dengar."
" Biarin aja!" Tepis Dilla galak. " Abang kenapa pakai baik hati segala, sih? Sekarang abang sendiri yang susah kan? Aaaaaaahhh abang gueeee!" Rintih Dilla memukuli guling Dewa.
" Nala gimana?" Tanya Dewa tiba-tiba.
" Dia masih nggak bisa percaya sama abang." Kata Dilla bersedekap dan duduk di tepi tempat tidur. " Buruan dijelasin bang. Abang nunggu apa lagi? Nunggu kak Nala pulang ke Perancis, iya?"
" Nunggu semuanya sempurna." Dewa memeriksa ponselnya. " Dek, besok abang minta kamu kosongkan jadwal kerjamu."
" Hah? Kenapa? Besok aku masih harus ngerjain satu desain ini!"
" Abang minta tiga jam aja dari waktu kamu. Tolong pergi ke bandara sama Tristan." Kata Dewa menutup aplikasinya.
Dilla mengerjap. " Ke bandara? Ngapain?"
Dewa hanya menggeleng singkat, " Ini penting. Abang cuma percaya sama kamu."
Kali ini, Dilla mengernyit, " Kenapa harus ada Tristan?"
Dewa menatap adiknya sejenak sebelum menjawab, " Karena Fabian yang memintanya."
**
Nala mengalihkan pandangan begitu mendapati Dewa sendiri yang membuka pintu apartemen sore itu. Tanpa kata, Dewa berbalik meninggalkan Nala yang masuk sendiri dan menutup kembali pintunya.
Nala menyapukan pandangan pada apartemen yang terasa kosong. Jangan bilang, hanya ada dia dan Dewa yang ada di sini.
" Dilla pergi. Dafa futsal. Raya tidur." Jelas Dewa yang duduk di meja makan menekuri beberapa bendel di tangannya.
" Oh..." Hanya itu yang bisa dikatakan Nala. Nala melepas jaketnya dan menaruhnya di sofa. Kemudian ia mengecek jam tangannya. Masih ada beberapa jam sebelum Fabian datang menjemput.
Nala menyiapkan sayurannya dalam diam, berusaha untuk tidak mengingat lagi kejadian kemarin. Juga, tadi pagi ketika Raya merecoki Nala tentang persiapan pernikahannya, gaun yang ingin dipakainya, riasannya, membuat Nala ingin menyumpalnya dengan rambut jagung.
Nala menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kecanggungan menguar, membuat batinnya tersiksa saja.
" Eh...Dewa!"
Nala terkejut ketika tiba-tiba saja Dewa menggamit tangannya.
" Kamu...lepas!" Seru Nala ketika melihat arah yang Dewa tuju. Namun cengkraman laki-laki itu menguat. Nala mengerutkan kening ketika Dewa justru membawa Nala ke kamar Dafa.
Dewa menutup pintunya dan bersandar di sana, menatap datar pada Nala yang masih tidak percaya apa yang terjadi.
" Udah bosen marah sama aku?" Desah Nala lelah. Ia menjatuhkan diri di tepi kasur Dafa.
Dewa menatapnya sejenak, kemudian pandangannya melembut.
" Aku nggak pernah marah sama kamu. Aku marah sama diriku sendiri karena membiarkan kamu merasa sakit."
" Telat banget." Komentar Nala mendengus.
" Begitukah?" Celetuk Dewa, "Apapun yang kamu pikirkan tentang kejadian kemarin, itu nggak benar."
Nala mengangkat alis. " Mau bahas itu? Memangnya aku peduli?" Nala beranjak sembari menatap tajam pada Dewa, " Minggir! Aku nggak perlu dengar apa-apa dari kamu."
Namun Dewa tidak bergeming. Ia justru meraih tangan Nala untuk menghentikannya membuka pintu.
" Aku nolong dia waktu dia nyaris jatuh. Itu bahaya buat bayinya. Dan tanpa sadar, posisi kami jadi seperti itu." Kata Dewa tenang.
" Dengan kamu di atas Raya, tangan Raya di leher kamu dan pakaian Raya yang terbuka? Iya kok. Itu pasti cuma kebetulan!" Dengus Nala mulai gusar. " Minggir! Aku mau keluar!"
" Kenapa kamu jadi cemburu gini?"
"Aku nggak cemburu!"
Dengan tangan masih menahan Nala, Dewa menatap gadis yang mendelik padanya.
" Itu nggak seperti yang kamu kira." Kata Dewa beberapa saat kemudian.
Dewa menarik Nala hingga gadis itu duduk di kasur Dafa. Kemudian, di depan mata Nala, Dewa melepas cincin yang melingkar di jari tangan kirinya dan meletakkan di meja. Dewa menarik kursi belajar Dafa ke depan Nala dan duduk di sana.
" Maaf." Kata Dewa menatap mata Nala. Nala mengangkat alis.
" Untuk apa?"
" Untuk memberi rasa sakit sama kamu." Kata Dewa getir. " Waktu kamu bilang kamu udah nggak cinta lagi sama aku, aku merasa duniaku berhenti. Jadi, seperti ini apa yang kamu rasakan delapan tahun lalu?"
Tiba-tiba saja, kerongkongan Nala terasa kering.
" Memangnya kamu merasakan apa? Apa kamu kepingin lompat dari jembatan? Apa kamu bertanya-tanya kenapa bukan kamu yang ditabrak mobil? Apa kamu menyesal bukan kamu yang mati hari ini? Kalau kamu belum merasakannya, jangan pernah bilang kamu tahu rasanya jadi aku." Ujar Nala dingin. " Kamu nggak akan pernah tahu rasanya, De."
Dewa menatap Nala beberapa saat, " Iya, aku memang nggak akan pernah tahu. Tapi rasanya, aku akan segera tahu."
Nala mengerutkan kening.
" Karena kamu memutuskan pergi dariku." Kata Dewa tersenyum sedih. Ia meraih tangan Nala, memainkannya di pangkuan gadis itu.
Nala menatap Dewa yang memainkan jemarinya, mengamati rambut legam yang sedikit berantakan itu.
" Apa kamu beneran nggak pernah main-main sama aku?"
Detik berikutnya, Nala menutup mulutnya rapat-rapat. Bodoh! Nala bodoh!!
" Lupakan!" Tukas Nala segera. " Toh itu nggak ada gunanya.."
" Aku bisa buktikan. Tapi nggak sekarang." Kata Dewa masih memainkan tangan Nala. Tanpa sadar, Nala mendengus.
" Apa rencanamu kali ini, De?"
" Bilang semuanya sama kamu." Jawab Dewa tenang.
" Hah?"
Dewa mengabaikannya. Ia hanya menatap Nala, membuat Nala menelan ludah hingga ia berpaling karena takut Dewa bisa melihat isi hatinya dengan jelas.
" Aku cinta kamu. Dari dulu dan nggak pernah berubah sampai sekarang."
Nala menoleh cepat ke arah Dewa dan menyipit. " Berhenti bilang kayak gitu! Berapa kali aku harus bilang sama ka...De!"
Karena Dewa yang mendadak menarik tangannya hingga Nala mencondongkan tubuh ke depan.
Apapun yang ingin dikatakan Nala, semuanya hilang ketika Nala mendapati Dewa menatapnya dalam jarak yang sangat dekat.
Wangi menyegarkan khas Dewa mulai menyerangnya, membuat jantungnya berdegup semakin kencang.
" Kalau aku bilang, Raya ngasih surat perjanjian yang salah sama kamu, apa kamu percaya?" Bisiknya membuat Nala terpaku.
" Memangnya itu salah? Ada cap kepala sekolah disitu!" Balas Nala tidak mampu melihat kemanapun selain ke mata legam Dewa.
Dewa menggeleng pelan. " Jauh sebelum Raya ngasih itu sama kamu, aku udah membatalkan perjanjiannya. Kepala sekolah setuju, karena beliau tahu aku udah jatuh cinta sama kamu."
" Entah sejak kapan, mungkin sejak kamu ngikuti aku waktu ban motorku bocor, aku udah jatuh cinta sama kamu. Rasa itu makin nggak tertahankan setiap harinya."
Nala mengabaikannya. Ia berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Dewa dengan menyedihkan.
" Kamu benar. Apa yang kita lalui, itu bukan kebohongan. Jangankan sedetik, aku cinta kamu sampai sekarang, setiap detiknya. Cuma kamu yang aku pikirkan, Kanala."
Nala berhenti meronta ketika ia menatap Dewa tiba-tiba.
" Sedetik saja. Walau hanya sedetik, kamu nggak pernah cinta sama aku?"
Dewa masih ingat setiap kata pada hari itu, seperti halnya Nala. Kecupan di pipinya menyadarkan Nala.
" Sekarang tanyakan itu setiap hari, dan aku akan menjawab aku cinta kamu setiap detik yang aku lalui." Ucapnya sebelum mencium ringan puncak hidung Nala. Nala menarik diri dengan sia-sia karena Dewa menahannya.
"Dilla ngasih tahu kamu tentang rumah itu." Ucap Dewa tidak pernah beralih dari manik mata Nala. " Itu rumah kita. Aku merancangnya sambil membayangkan kamu. Memikirkan apa yang akan kamu suka, dan meminta Dilla membangunnya."
Nala teringat kunjungannya kemarin. Tentang rumah itu, tentang perjuangan Dewa mempertahankan warung, tentang foto di desa. Nala mengerjap ketika rasa panas mulai menjalari bola matanya.
" Lalu kenapa kamu ngomong kayak gitu sama aku, De?" Bisik Nala menatap mata Dewa, mencari setitik kebohongan di sana. Dia putus asa dengan segala arus bolak balik di hatinya hanya karena Dewa. " Aku bingung. Perkataan dan tindakan kamu itu berlawanan."
Dewa memejamkan mata sejenak dan menghirup nafas dalam-dalam.
" Ayahmu pernah menyuruhku menjauh dari kamu." Kata Dewa membuka mata. Nala terkesiap. Kemudian, wajah gadis itu berubah garang.
" Jadi karena itu?" Serunya, " Karena perkataan ayah? Semua ini karena ayah?" Tanyanya tidak percaya. Tapi Dewa menggeleng, yang membuat Nala kembali bingung.
" Ayahmu menyuruhku menjauh dari kamu karena beliau bilang aku nggak punya kapasitas menjaga kamu sekaligus menjaga keluargaku." Kata Dewa pelan mengamati gadis itu. Tentu saja, Nala terperangah.
" Tapi aku menolak permintaannya." Kata Dewa tersenyum kecil. Ia mengusapkan punggung tangan Nala di pipinya sebelum meneruskan, " Karena aku yakin aku bisa jaga kamu. Aku bisa menjadi orang yang pantas buat kamu."
Nala meraih sisi wajah Dewa dengan tangannya yang bebas ketika ia menangkap getar di mata legam Dewa.
" Apa? Lalu apa?" Tanya Nala mengusap pipinya dengan ibu jari.
" Kondisi ibuku memburuk dan kamu tahu itu."
Nala mengangguk singkat tanpa melepas pandangan dari Dewa.
" Teruskan." Pinta Nala ketika Dewa memejamkan mata seolah melawan sesuatu dari dalam dirinya.
" Dokter bilang ibu harus pindah ke desa dan kami pindah, kamu juga tahu." Kata Dewa dengan suara yang mulai parau. Nala memaksa Dewa menatapnya, dan Nala mendapati mata laki-laki itu memerah.
" Tapi apa kamu tahu ibu mulai batuk nggak terkendali? Mulai sesak nafas semakin parah? Mulai pingsan semakin sering?" tanya Dewa tertahan. Nala mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tidak. Dia tidak tahu itu.
" Kamu ingat waktu kita nggak ketemu satu bulan? Itu karena aku nggak bisa ninggalin ibuku, La. Karena kondisi beliau yang begitu labil, aku nggak pernah berani jauh-jauh dari beliau."
Nala mengangguk tanda memahami.
" Tapi aku nggak bisa nggak lihat kamu lebih lama lagi. Semakin aku mengobati rinduku sama kamu, semakin aku terlena. Semakin aku lupa sama ibu. Semakin aku nggak bisa jauh dari kamu. Dan waktu kita pulang dari pantai, aku dapat kabar ibu masuk rumah sakit."
Nala menggigit bibirnya keras-keras. Mata Dewa berkaca, menandakan betapa memori itu sangat menyakitinya. Nala mengusapnya menggunakan ibu jari. Ia menangkup wajah Dewa dengan kedua tangan, berharap memberi kekuatan pada laki-laki itu meskipun dia juga butuh kekuatan untuk mendengar ini.
" Ibu kritis. Aku nggak bisa ninggalin ibuku, aku tahu itu. Dan aku juga tahu berapa banyak kamu berusaha menghubungiku. Tebakanku, kamu saat itu tahu tentang perjanjiannya. Tapi apa yang aku lakukan, La? Aku biarin kamu menderita. Di saat-saat ketika aku paling butuh kamu, aku bahkan nggak berani dengar suara kamu. Dari situ aku akhirnya sadar kata-kata ayahmu benar, bahwa aku belum punya kapasitas untuk menjaga kamu dan keluargaku sekaligus. Aku nggak akan bisa bagi waktu antara kamu dan keluargaku. Aku cuma akan membuat salah satu dari kalian menderita."
" Tapi De, kamu bisa bilang sama aku. Aku bisa paham kondisi kamu!" Rintih Nala menyesali.
Dewa tersenyum kecil, " Aku tahu kamu pasti bisa. Kamu gadis yang baik. Tapi di sini aku yang jadi ragu sendiri. Apa iya aku bisa menapaki masa depan seperti yang aku rencanakan? Semua rencanaku berubah. Kondisi keluargaku jadi prioritas. Kami harus berjuang untuk bertahan."
Mata Nala berubah keras, " Apa kamu pikir aku akan keberatan sama kondisi kamu? Iya?" Hujamnya. Lebih dari apapun, Nala tidak pernah menyukai gagasan seperti itu. Namun Dewa hanya tersenyum kecil.
" Aku nggak pernah berniat memberikan masa depan yang sulit untuk ibu sama adik-adikku, juga untuk kamu." Kata Dewa. " Itu cuma butuh waktu lebih lama, tapi melepaskan kamu? Itu nggak pernah ada dalam rencanaku."
Kini Nala benar-benar tidak bisa lagi memahami Dewa. " Lalu apa, De?"
Dewa menangkup tangan Nala di pipinya. " Aku cinta kamu, aku sayang kamu. Kamu hidupku. Aku akan melakukan apapun demi mendapatkan kamu. Aku bisa sangat egois kalau itu menyangkut kamu. Karena itu aku takut. Aku takut aku nggak fokus sama ibuku. Maka aku memilih melepaskan kamu."
Dewa menatap Nala yang sudah menangis tanpa suara. " Orang yang paling nggak ingin aku lepaskan. Dan satu-satunya cara adalah memanfaatkan perjanjian itu. Bilang sama kamu semua kata-kata brengsek itu karena aku tahu, kamu pasti akan tetap bertahan di sampingku, seburuk apapun keadaannya."
Nala menggigit bibir dalamnya kuat-kuat hingga bisa mencecap darah di sana, tapi tetap saja, air matanya mulai keluar tanpa terbendung. Gadis itu hanya terdiam memandangi Dewa.
Dewa melepaskan tangan Nala hanya untuk menghapus air mata gadis itu.
" Kamu tahu? Aku senang setengah mati kamu nggak langsung terima waktu aku bilang semua itu hanya pura-pura. Ketidakpercayaan kamu membuatku bahagia dan menderita di saat yang sama. Rasanya menderita sekali aku nggak bisa berbalik dan menjelaskan semuanya sama kamu."
Nala mengangguk-angguk cepat.
" Tapi aku memilih pergi dan semua ini terjadi." Suara Dewa bergetar. " Aku tahu itu keputusan yang tepat. Aku tahu itu keputusan yang benar, Kanala. Itu tanda baktiku pada orangtua. Tapi mengapa semua terasa salah begitu aku melepaskan kamu?"
Nala mulai terisak tanpa bisa menahannya. Apa yang dikatakan Dewa adalah sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan.
Sebuah kecupan lembut di bibirnya membuat Nala membuka mata. Dewa menghapus air mata Nala.
" Kamu nggak bohong De? Itu semua bener?"
Dewa mengangguk. Ia menatap Nala dengan frustasi.
"Aku tahu apa yang aku lakukan pasti merusak kepercayaan kamu. Tapi aku pastikan, aku bisa buktikan besok."
Nala mengerutkan kening. " Besok?"
Dewa mengangguk. Ia menunduk untuk mengecup bibir Nala lagi.
" Besok pukul sembilan pagi, aku tunggu kamu di sini."
Nala menjauhkan wajahnya dan menatap Dewa penuh tanda tanya. " Mau ngapain?"
Dewa mencium hidungnya singkat sebelum menjawab, " Membuktikan sama kamu kalau hari sial itu adalah satu-satunya kebohongan yang pernah aku bilang sama kamu."
" Tapi De, besok aku ngajar."
Dewa menarik kepalanya lagi. " Kamu nggak ada jadwal jam sembilan."
" Eh? Tapi aku masih ada tugas!"
Dewa menatap Nala dengan kesal. Tapi Nala mengabaikannya.
" Terus kalau gitu kemarin apa?"
" Itu gara-gara kecoa."
Nala membelalak, " Hah!! Ke..."
Kata-kata Nala terhenti ketika Dewa menarik Nala ke pangkuannya. " Diam dulu. Aku kangen sama kamu sampai mau mati rasanya."
" De! Aku..." Nala hendak memprotes ketika telapak tangan Dewa menekan punggung Nala, membuat Dewa dengan leluasa mencium gadisnya.
Setelahnya, Nala membelalakkan mata ketika Dewa menciumnya dengan tidak sabar.
Sengatan tiba-tiba di seluruh tubuhnya membuat gadis itu menggeliat tidak nyaman. Ketidaknyamanan yang perlu diwaspadai karena berpotensi membawa pergi nalarnya. Nala perlu menjauh sebelum dirinya dikuasai sesuatu yang tidak mampu ia kendalikan karena dia tahu, ciuman Dewa tidak pernah berefek baik untuknya.
Tapi tangan Dewa kini justru berlari ke tengkuknya, menahannya tetap di sana sementara Dewa menelengkan kepala. Laki-laki itu menciumnya dengan tegas dan menuntut, tidak memberikan kesempatan bagi Nala hanya untuk menghirup nafas. Namun bahkan dalam ketergesaan laki-laki itu, Nala tetap bisa merasakan bagaimana bibir itu dengan lembut menyesapi bibirnya.
Erangan lolos dari bibir Nala ketika Dewa membukanya dengan paksa. Rasa lemah mulai menggerayangi kakinya, membuat cengkraman jemari Nala di lengan laki-laki itu mengerat.
Salahkan kupu-kupu yang membawa pergi nalar Nala. Yang Nala tahu, kepala dan tubuhnya kini terasa ringan hingga membuat Nala melayang semakin tinggi.
Ketika syaraf simpatik ajaib miliknya membalas ciuman Dewa, dia tahu semuanya sudah terlambat.
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top