28. Manusia Hitam Putih
"Kamu selalu ada di setiap rencana masa depanku"
" Kenapa?"
" Nggak kenapa-napa." Jawab Nala tanpa mendongak pada Dilla yang menumpukan sikunya di konter dapur sementara Nala menangkupkan gelas-gelasnya di rak.
" Bohong."
Nala menghembuskan nafas, kemudian berputar untuk menghadapi gadis berkacamata itu.
"Buat apa coba?" Tanya Nala melewati Dilla dan melepas celemeknya. " Kalau Fabian datang, tolong kasih tahu aku ganti baju dulu."
Dilla tidak merespon. Nala merasakan pandangan tajam Dilla di punggungnya sampai Nala menggelengkan kepala. Dalam berbagai hal, anak itu mirip sekali dengan Dewa. Adilla Anastasya mewarisi wajah tegas dan hidung mancung khas keluarga Dewa. Belum lagi mata legam nan tajam yang seolah mampu membaca isi hati seseorang. Rambut hitamnya yang sepanjang pundak ia ikat ke belakang dengan beberapa anak rambut terlepas di keningnya.
Cantik. Adik Dewa tumbuh menjadi gadis yang cantik dan menarik. Tapi gadis itu jauh lebih irit bicara. Meskipun ia menangis terisak ketika pertama kali bertemu dengan Nala di rumah sakit.
Nala keluar dari kamar Dafa hanya untuk mendapati Dilla melewatinya dengan cepat. Tidak butuh waktu lama mencari penyebabnya. Dari awal bertemu, sepertinya Dilla tidak menyukai Fabian. Astaga! Apa Nala harus syukuran tujuh hari tujuh malam?
" Aku kan hanya meminta tolong padamu menunjukkan desain-desain perusahaanmu. Siapa tahu aku tertarik." Kata Fabian mengikuti langkah cepat Dilla.
" Kamu bisa memeriksanya di website resmi kami, Fab." Kata Dilla duduk manis di kursi dengan laptop berada di meja makan. Ia tampak sudah fokus sepenuhnya pada pekerjaan dengan ponsel dan headset yang selalu menemani. Fabian duduk di hadapannya, menatap Dilla yang masih tenang menghadap layar laptop tanpa menggubris keberadaan makhluk tampan nan mempesona itu.
" Aku berencana membangun resort di daerah Manhattan. Apa ada yang bisa kamu rekomendasikan?" Fabian menumpukan dagu di tangannya yang bertaut seraya menatap gadis di depannya.
" Kamu harus menghubungi kantor kami lebih dulu. Aku cuma arsitek, bukan pemilik perusahaan." Jawab Dilla datar dengan mata masih terpancang di layar leptopnya.
" Katalog?" Fabian menginterupsi konsentrasi Dilla untuk kesekian kalinya.
" Aku bukan toko baju." Tukas Dilla terusik.
" Kalau begitu apa yang kamu punya saja."
" Aku cuma bawa laptop, bukan database perusahaan."
" Completed project? Archive?"
Dilla berdiri tiba-tiba. Ia menatap Fabian begitu tajam seolah ingin mencincangnya menjadi ratusan. Tanpa menjawab, gadis itu mengangkat laptopnya dan berjalan ke karpet di depan televisi, melanjutkan pekerjaan disana dalam posisi bersila.
Nala mengambil alih tempat duduk Dilla sehingga kini berhadapan dengan Fabian.
" Selamat berjuang." Kata Nala singkat. Fabian mengangkat alis, kemudian mengedik ke arah punggung Dilla.
" Dia?" Tanyanya dengan tatapan –yang-benar-saja!- khas Fabian. " Aku hanya bertanya karena dia arsitek. Dan kita benar-benar membutuhkan desain yang bagus untuk ressort baru di Manhattan."
Nala mengangguk-angguk asal. " Jangan sedih kalau keduluan. Asal kamu tahu, dia gadis langka." Kata Nala ringan, meskipun menjadi ipar dengan keluarga Dewa tidak pernah bisa dia bayangkan.
Fabian mendengus. " Bagaimana kabarmu?" Sindirnya.
" Aku baik. Sudah, ayo pulang!" Nala bangkit dari kursinya seraya menenteng tas tangan miliknya.
" Tidak menunggu Dewa?" Tanya Fabian. Nala menggeleng.
" Dia pulang malam."
" Kak Nala?"
Nala menoleh pada Dilla yang memanggilnya.
" Besok ada waktu?" Tanya Dilla mengacu pada hari Minggu yang jatuh pada esok hari.
" Kenapa memangnya?"
" Besok kita jalan-jalan, ya?" Tanya Dilla berbinar.
" Tentu."
" Tessa, kamu harus izin padaku dulu kalau mau menculik Kana." Ucap Fabian dengan suaranya yang dalam. Dilla menatapnya datar, kemudian menghadap laptopnya dan berkata.
" Pulang sana! Cerewet sekali dari tadi! Dan siapa Tessa? Mantan pacarmu? Jangan ganti-ganti nama seenaknya!"
Astaga! Hanya dia perempuan yang berani mengatai sang raja Halid cerewet! Hanya dia perempuan yang berani berbicara selancang itu pada Fabian, selain Nala tentunya. Rasanya Nala ingin tertawa keras-keras di depan wajah datar Fabian.
**
" Mau ambil apa?"
Kaki Nala hampir saja meleset dari kursi rendah yang sedang ia pijak kala mendengar suara sedingin es di belakangnya. Nala mengambil nafas guna menenangkan jantungnya yang menggila.
" Ocha." Gumam Nala berjinjit lagi demi meraih toples ocha yang diletakkan jauh di rak paling belakang. Dia benci apartemen ini karena Nala harus memakai pijakan untuk meraih barang-barang di lemari di atas kompor. Gadis itu merentangkan tubuhnya sebisa mungkin.
" Mana sih? Jauh bang-"
Nala tidak menyelesaikan kalimatnya. Saat itu juga, Dewa berjalan ke belakang Nala dan meraih toples Ocha tanpa kesulitan.
" Ini." Katanya memasukkan toples mungil itu dalam jemari Nala. Nala butuh beberapa saat untuk siap menolehkan kepala, hanya untuk mendapati laki-laki itu berjalan menjauh tanpa kata.
Nala menelan ludah.
Sejak kejadian itu, Dewa menjauhinya. Nala bisa merasakannya. Meskipun mereka selalu bertemu hampir setiap hari, Dewa tidak pernah mengajak Nala bicara. Laki-laki itu tidak pernah meskipun hanya bertukar pandang dengan Nala. Dewa lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Jika mereka sedang berada dalam satu ruangan yang sama, Dewa memilih mengabaikan Nala seakan gadis itu tidak ada.
" Lala, ayo sarapan bareng!" Seru Dafa yang baru bangun tidur. Anak itu berteriak dari meja makan dengan tidak sabar.
Nala tersadar. " Kamu duluan aja, Fa. Aku mau bikin teh dulu!"
Sebenarnya, dia hanya ingin menghindari berada satu meja makan dengan Dewa. Pasti rasanya akan canggung sekali. Namun tentu saja, Dafa tidak pernah mendengar penolakan Nala.
Dengan berkacak pinggang, Dafa menyambangi Nala ke dapur dengan langkah menghentak. Tanpa bicara, ia menyeret tangan Nala.
" Udah aku bilang kita itu harus sarapan bareng! Itu yang namanya keluarga!" Tegas Dafa ketika sampai di meja makan. Dafa menunjuk kursi di depan Dewa, kursi yang memang biasa Nala tempati ketika mereka sarapan bersama. Nala mengerling Dewa sekilas. Laki-laki itu tidak memperdulikannya dan sibuk dengan ponselnya. Meskipun Nala harusnya bersyukur Dewa masih mau melahap makanannya.
" Abang, nggak ada gadget waktu makan! Taruh, nggak?" Perintah Dafa galak. " Dilla! Tutup laptopnya!"
Dilla mendengus dan menjulurkan lidah pada Dafa. Namun menutup juga laptopnya.
Dewa hanya mengerling Dafa sekilas sebelum mematuhi anak itu. Setelahnya, hanya dentang alat makan yang terdengar di meja makan.
" Bang, nanti aku mau jalan-jalan sama kak Nala." Kata Dilla beberapa saat kemudian.
" Kemana?" Tanyanya, dan Nala tidak mengerti mengapa Dewa harus menggunakan nada dingin pada Dilla.
" Kemana-mana. Jadi boleh pinjem mobilnya, kan? Abang kan bareng dokter Adnan. Janji deh bakal hati-hati sama mobil barunya." Ucap Dilla mengacu pada mobil baru Dewa, membuat perut Nala menghentak karena mengingatkannya pada alasan mengapa Dewa harus membeli mobil baru.
Dewa tidak menjawab beberapa lama hingga selesai makan. Setelahnya, ia menatap Nala dengan dingin.
" Suruh Tristan menemani." Katanya dingin.
Nala membalas pandangannya dengan gugup. Mengapa dirinya jadi takut begini?
" Eh...Tristan harus bersama Fabian. Ada Farel..."
" Apa aku perlu cuti?" Potong Dewa dengan nada sedingin kutub utara. Matanya mengunci Nala tanpa senyum. Melihat ketiga orang yang tersisa membeku, Dewa mengangkat piringnya dan berjalan ke dapur.
" Eh, aku aja!" Nala berdiri kala Dewa melewatinya, namun laki-laki itu sama sekali tidak berhenti seolah tidak pernah ada Nala yang menginterupsinya. Tatapan Nala mengikuti punggung lebar itu, berusaha membiasakan diri dengan denyut panas yang kini menerjang dadanya tanpa ampun.
Nala masih berdiri ketika Dewa keluar dari dapur. Sama sekali mengabaikan keberadaan Nala dan lewat di depan Nala seakan dia hanyalah pilar kusam yang tidak berarti.
" Abang berangkat." Kalimat itu menyadarkan Nala, membuatnya menoleh pada laki-laki yang baru saja keluar dari kamarnya dengan penampilan rapi. Sebelum ia menghilang di lorong depan, laki-laki itu berhenti dan berbicara tanpa menoleh.
" Farel belum sehat. Jangan sampai aku mendengar kalian hanya berdua." Ucapnya sebelum membanting pintu depan.
" Abang kenapa?" Tanya Dafa mengerutkan kening. Dewa yang bersikap dingin bisa dihitung dengan jari semenjak Dafa bisa mengingatnya.
Dilla menghembuskan nafas, namun tidak menjawab. Dia malah bertanya.
" Fa, nanti aku mau pergi sama kak Nala. Kamu ikut nggak?"
Dafa menggeleng sembari menggerigiti paha ayam goreng miliknya, " Aku ada latihan futsal. Pulangnya sore sama abang."
" Oke, sip!" Ucap Dilla, kemudian menoleh pada Nala yang masih saja berdiri menatap lorong depan, " Makan, kak Nala. Habis ini kita siap-siap." Kata Dilla dengan senyum kecil.
**
" Kita mau kemana?" Tanya Nala setelah satu jam mereka berdua berkendara dengan Tristan di kursi kemudi.
" Aku mau nunjukkin sesuatu sama kak Nala." Kata Dilla. Gadis itu hanya mengenakan blus tanpa lengan dengan sebuah jam tangan putih yang melingkar di tangan kirinya.
Nala menyunggingkan senyum. Setelah beberapa hari bersama, baru kali ini mereka bisa benar-benar menghabiskan waktu berdua. Yah, Tristan tidak dihitung.
" Selamat udah jadi arsitek, ya." Kata Nala tulus.
Dilla membeku sejenak, kemudian ikut tersenyum. " Makasih. Kak Nala juga, sebenarnya apa sih kerjaannya kak Nala?"
Nala mengerucutkan bibirnya. Nah! Sebenarnya dia berprofesi sebagai apa?
" Guru?" Celetuk Nala tidak yakin. Dilla mendengus.
" Aku serius, Dilla. Cita-citaku jadi guru. Itu sebabnya aku mengambil psikologi anak!" Celetuk Nala.
" Bukannya kak Nala juga pewaris Halid? Kata kak Leon kak Nala juga ambil bisnis. Jadi yang benar yang mana?"
Nala menggeleng. " Pewaris Halid hanya satu, dan itu Fabian. Dan, ya. Aku ambil bisnis juga. Tapi panggilan jiwaku ada di guru." Kata Nala terkekeh.
Dilla mengerjap, " Memangnya bisa?"
"Nggak ada yang melarang kamu kuliah di dua jurusan sekaligus."
Dilla mencebik. Nala tertawa singkat.
" Jadi sebenarnya, kita mau kemana? Kamu nyulik aku ini ceritanya?"
Dilla memutar bola mata, " Kalau aku nyulik kak Nala, nggak bakalan ada Tristan di sini."
Nala terkekeh kala mendapati Tristan melirik mereka sekilas dari spion depan.
Dilla hanya nyengir. Kemudian, cengirannya pudar digantikan wajah datar. " Itu satu-satunya rancanganku yang ada di Indonesia. Rancangan yang aku buat sendiri tanpa bekerja sama dengan badan lainnya. Aku pingin Kak Nala kasih komentar."
" Wah! Beneran ini?" Nala berbinar. " Hmm, boleh deh. Aku pingin lihat sehebat apa sang arsitek Adilla Anastasya yang digosipkan masuk nominasi Pritkzer."
**
Dengan arahan Dilla hampir sepanjang perjalanan, mereka sampai di depan bangunan megah bertingkat dua berwarna putih gading di kawasan dataran tinggi yang asri. Seorang satpam membukakan gerbang berukir, mempersilahkan mereka masuk. Nala mengerutkan kening. Rumah siapakah gerangan? Jangan-jangan kekasih Dilla? Mendadak, ia merasa kasihan pada Fabian.
Semua pikiran Nala tersapu ketika mereka melewati gerbang dan disambut dengan halaman yang luas dengan jalan setapak terdiri dari bebatuan sungai beraksen kehitaman di tengahnya. Di kanan kiri mereka, tumbuhan perdu, pohon pinus dan paku tumbuh rapi dan terawat di sela hamparan rumput Manila segar, membuat Nala ingin sekali merasakannya langsung di bawah telapak kakinya.
Mereka turun tepat di depan beranda.
" Gimana kesan sejauh ini?" Tanya Dilla ketika mereka turun. Nala mengangguk-angguk.
" Bagus sekali. Halaman yang luas selalu jadi nilai tambah buatku!" Kata Nala antusias. Dilla hanya tersenyum kecil. Ia meraih tangan Nala dan membawa mereka melangkah ke beranda.
Di sana, tepat di samping beranda, terdapat kolam ikan dengan air terjun buatan yang mengalir kecil di sepanjang dinding batu, mengirimkan gemericik pelan di kubangan jernih yang berisi enam ikan koi Jepang sebesar lengan orang dewasa.
" Tristan?" Nala menoleh pada Tristan yang setia di samping mobil. Laki-laki itu membungkuk sopan sebelum menegakkan diri, mengisyaratkan bahwa dia lebih memilih menunggu di sini saja.
" Ayo masuk." Ajak Dilla tanpa repot mengetuk pintu. Mereka masuk, dan hal pertama yang Nala jumpai adalah sofa ruang tamu berwarna putih bersih berbingkai kayu berpelitur.
Sebuah partisi berbentuk rak yang dipenuhi buku-buku berdiri elegan di depan tangga, memisahkan ruang tamu dengan space menuju ruang makan. Lagi-lagi, sebuah partisi lebar berbentuk anyaman bambu memisahkan ruang makan dengan dapur.
" Di bawah, ada dua kamar. Kamar tamu sama kamar pribadi." Jelas Dilla menunjuk sebuah pintu kayu berwarna coklat yang menghadap ruang makan. Kemudian ia menoleh pada Nala dengan mata berbinar, "Kak Nala suka?"
Nala mengangguk tanpa berpikir. " Ini cantik sekali." Pujinya tulus. Senyum lebar Dilla mengembang.
Dilla membiarkan Nala memutari lantai satu dengan sabar sebelum menunjukkan halaman belakang yang berisi kolam renang luas lengkap dengan mini cottage dan kursi kayu lipat.
Senyum Nala merekah. Seandainya Nala memiliki rumah nanti, desain seperti ini adalah impiannya. Keluarganya akan bisa bersantai di sini. Ayahnya, Fabian, suami, anak-anaknya...
Nala mengangkat salah satu sudut bibirnya ketika dadanya justru berdenyut sakit. Apakah dia nanti bisa melihat pemandangan itu?
" Kak Nala nggak papa?" Tanya Dilla cemas melihat ekspresi Nala. Nala menggeleng.
" Ini rumah siapa? Kamu memang berbakat, La." Kata Nala sepenuh hati.
Dilla tidak menjawabnya. Ia menggaet tangan Nala menuju tangga ke lantai dua. Tanpa sadar, Nala menyusuri ornamen dinding yang berada di sepanjang tangga menuju ke lantai dua. Sebuah pigura foto hitam putih yang masih kosong disusun serupa papan catur.
Sesampainya di lantai dua, Nala mengerjap. Hampir sebagian besar dindingnya diganti dengan kaca tembus pandang. Memungkinkan penghuninya memandang ke luar, ke arah kota yang terlihat mini dari sini. Di satu sisinya, terdapat rooftop luas beralaskan kayu dengan satu buah bangku besar dari bambu yang menghadap ke area terbuka. Disini, mereka bisa bersantai sembari menikmati segelas jus, mungkin.
Nala memejamkan mata ketika tanpa sadar dia memasukkan dirinya dan Dewa dalam bayangannya.
Itu tidak akan terjadi. Itu tidak boleh terjadi.
" Cantik." Kata Nala menikmati semilir angin yang menerbangkan rambutnya. Aroma petrichor membelai indra penciuman Nala, membuatnya menyadari bahwa udara sejuk di sekitarnya tidak pergi meskipun matahari sudah meninggi. Nala menyukainya. Mengingatkannya akan Mansion Halid dimana ayahnya berada.
" Klienku minta space seluas mungkin. Aku sampai harus membongkar rancangan lantai atas tiga kali demi mendapatkan rooftop yang membuatnya puas." Kekeh Dilla mengajak Nala menyusuri bagian dalam lantai dua yang belum terisi apapun.
Sampai di sebuah kamar, Dilla berhenti.
" Ini kamar si klien. Aku pingin kak Nala sendiri yang menilainya." Kata Dilla memutar kenop pintu. Nala mengerutkan kening.
" Tapi, apa ini sopan?"
" Seratus persen." Kata Dilla sungguh-sungguh mempersilahkan Nala.
Nala masih memandangi Dilla, " Kalau ini rumah pacarmu, bukannya itu akan terlihat lancang?" Tukas Nala tidak enak hati.
Dilla memutar bola mata, " Pacar darimana? Ck! Ini punya orang yang sifatnya mirip tema rumah ini. Klienku yang satu itu banyak maunya. Cerewet!"
Nala mengangkat alis, " Memang ada orang yang punya tema hitam putih?"
Dilla tidak menjawab Nala. Gadis itu justru terkekeh pelan, "Silahkan masuk, kak Nala. Aku tunggu pendapatnya."
Nala mengerjap, kemudian mematuhinya. Tidak bisa ia pungkiri jika ia sangat terpukau dengan rumah ini. Dia bahkan iri. Apa dia bisa mendapatkan rumah secantik ini, ya?
Lagi, seperti dejavu.
Racauan dalam hati Nala berhenti ketika dirinya mematung saat menyadari sesuatu.
Dinding kamar itu dipenuhi pigura berbagai ukuran, dengan Nala sebagai satu-satunya obyek dalam pigura itu.
" Ini rumah abang." Kata Dilla lirih berjalan di samping Nala. " Dari depan sampai belakang, semuanya sesuai permintaan bang Dewa."
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top