27. Tidak Percaya
"Kamu melepaskan aku dan aku berusaha melupakan kamu. Itu hal wajar."
Nala tahu jika hari ini Dewa akan pulang dari rumah sakit. Itulah sebabnya dia sibuk sejak pagi menyiapkan semuanya untuk kedatangan Dewa.
Kesehatannya sudah kembali penuh. Sudah dua minggu sejak Nala menjalankan permintaan Dewa untuk memasakkan Dafa. Selama itu pula dia bertanya-tanya apakah Dewa sedang menjebaknya.
Karena sekarang dia tahu jika Dilla ada di sini, di Indonesia. Dan sebuah hal yang mencurigakan meminta bantuan Nala untuk mengurus Dafa sementara Dilla ada di sini.
Bukannya Nala tidak mau, sih. Hanya saja, semua ini terlalu aneh.
Atau mungkin tidak juga melihat betapa sibuknya adik perempuan Dewa yang bernama Adilla Anastasya ini.
Untuk kesekian kalinya, Dilla melintas di depan Nala dan Dafa yang sedang menonton televisi. Gadis yang memakai kaus longgar tanpa lengan itu menyimpan ponselnya di saku celana selututnya. Sebuah headphone menyambungkan ponsel dengan telinganya, memungkinkan menjawab seluruh panggilan sementara kedua tangannya sibuk di atas keyboard laptop merah tipis.
Dilla berbicara cepat dalam bahasa Jerman. Mengatakan sesuatu tentang pekerjaannya dan desain-desain yang sudah siap. Sesekali, dia akan berhenti di suatu tempat untuk meletakkan laptopnya dan menggambar desain rumah dengan cepat di layar menggunakan aplikasi. Kemudian dia akan bangkit lagi, berputar di rumah lagi sembari bicara, sesekali berteriak.
Sepertinya sibuk sekali.
Nala berpandangan dengan Dafa, kemudian mengangkat bahu. Nala memutuskan bahwa Dilla memang sudah dewasa.
Tentang Dafa, dia kini benar-benar tidak melepaskan Nala. Anak itu akan kalut jika Nala hilang dari pandangan sebentar saja. Dia hanya akan mengizinkan Nala pergi jika memang sudah waktunya Nala pulang, itupun dengan tatapan luar biasa tidak terima yang terkadang mengharuskan Fabian membayarnya dengan sekantung penuh es krim.
Bel pintu berbunyi. Dafa melesat mendahului Nala dan membukakan pintu dengan tidak sabar. Menampakkan trio solid dengan Leon membawa dua tas bahu besar dan Reno yang membantu Dewa berdiri. Luka Dewa sudah jauh berkurang. Setidaknya, luka di wajahnya kini tinggal samar-samar. Satu-satunya yang tertinggal hanyalah lengan kanan yang masih di gendongnya. Dewa mengacak pelan rambut Dafa yang memeluknya erat-erat, kemudian mata mereka bertemu.
Dewa tersenyum.
Nala harus mengalihkan pandangan untuk menyembunyikan panas yang merambat di wajahnya.
" Aku lapar!" Erang Reno menghempaskan diri di sofa.
" Makan sana." Kata Nala sembari membawa tiga minuman untuk mereka. Mendengarnya, Leon dan Reno segera melesat ke dapur seperti pengemis kelaparan.
" Ah! JANGAN DIHABISIN! AKU JUGA BELUM MAKAN!" Dafa ikut berlari ke dapur.
Dewa tertawa pelan. Laki-laki itu duduk di sofa, mengamati Nala yang meletakkan gelas di meja. " Kamu masak apa?"
" Soto ayam. Mau?" Tanya Nala sebagai bentuk kesopanan.
Dewa mengangguk. " Aku mau."
Leon yang balik dari dapur dengan menenteng semangkuk penuh soto mengepul dan sekaleng besar krupuk di pelukannya berhenti saat berpapasan dengan Nala.
" Lo sakit? Wajahnya merah gitu?" Tanyanya mengerutkan kening. Nala menggeleng, cepat-cepat beranjak ke dapur.
Nala mengambilkan semangkok soto ayam. Mengapa pula dia memasakkan soto ayam? Apa karena alam bawah sadarnya tahu jika Dewa menyukai soto ayam sehingga pikiran pertama Nala saat memikirkan menu hari ini adalah soto ayam?
"Ck!" Decaknya kesal pada diri sendiri. Dia memilih soto ayam karena makanan berkuah yang satu itu tidak membutuhkan waktu lama, segar dan pantas dihidangkan untuk orang banyak. Nala memutuskan segera kembali ke depan sebelum pikirannya kemana-mana.
" Eh? Dewa mana?" Tanya Nala pada tiga orang dengan pipi menggembung itu. Reno menunjuk sebuah pintu coklat di ujung lorong. Nala membelalak.
" Eh...duh...Ren, tolong antar ini buat Dewa, dong. Tadi dia minta diambilin makan." Kata Nala pada Reno.
" Mmmm!!" Reno menggeleng. " We haher!" Katanya karena mulutnya kepanasan.
" Udah, sana lo aja, La. Kalau Dewa gigit ganti digigit aja." Leon yang akhirnya mengerti sumber wajah merah padam Nala tidak bisa menahan diri untuk menggodanya.
" Leee..." Rengek Nala.
" Apasih? Udah tinggal kasih doang. Sana sana! Husss!! Gue laper, mau nonton bola!" Leon mengibaskan tangannya kepada Nala dengan mata terpancang pada siaran pertandingan sepak bola di televisi.
Nala menyipit jahat. " Dimana-mana orang laper itu makan! Lo nonton bola, Le!"
Ia berjalan perlahan ke kamar Dewa. Dari semua ruangan di rumah ini, dia paling menghindari dua kamar. Yaitu kamar Raya dan Dewa. Dia tahu itu dari Dafa. Bukan apa-apa. Dia hanya takut apa yang akan dia temukan di ruang pribadi kedua orang itu.
" Masuk!" Suara teredam Dewa terdengar. Nala membuka pintu, mengintip sejenak melalui celahnya. Tampak Dewa yang berkacamata sedang menghadap komputer di atas meja kerjanya. Dia menatap Nala sekilas.
" Masuk aja." Katanya singkat.
Nala mematuhinya. Ia membuka pintu lebih lebar. Seketika itu pula, aroma Dewa tercium sangat kuat olehnya.
" Baru aja sampai rumah masa iya udah kerja." Komentar Nala mengalihkan perhatiannya pada tangan kiri Dewa yang menggerakkan mouse tanpa canggung.
" Hmm..." Respon Dewa masih menekuri laptop. Tanpa sadar, hal itu justru membuat Nala lebih rileks. Dia sedikit bisa merasakan kakinya lagi.
" Ini." Kata Nala meletakkan bawaannya hati-hati di meja. " Kamu baru datang. Kenapa nggak istirah..."
Tanpa sengaja, Nala melirik sesuatu di samping komputer Dewa. Dan hal itu membuat kata-katanya sirna. Bibir Nala mengatup keras, kemudian ia menatap satu per satu pigura yang menempel di dinding itu.
Pigura yang berbaris rapi hampir di setiap sisi dinding.
Dan itu semua tentang dirinya.
Nafas Nala selalu menjadi sesak saat laki-laki itu bertingkah seperti ini. Nala melempar pandangan tajam pada Dewa yang masih berkutat dengan laptopnya. Nampak sama sekali tidak menyadari perubahan ekspresi Nala.
Nala menghembuskan nafas kasar dan berbalik.
Tanpa beranjak dari duduknya, Dewa menangkap tangan Nala tepat waktu. Laki-laki itu menatapnya tanpa ekspresi meskipun manik hitam miliknya mengebor hingga ke inti diri Nala.
" Masih ragu kalau aku cinta sama kamu?" Tanya Dewa menghujam hati Nala.
" Lepas!" Desis Nala.
" Aku baru datang. Aku nggak mungkin bisa pasang ini sendiri, secepat ini." Kata Dewa bangkit dan mendekati Nala.
" De!" Nala memperingatkan. Suaranya bergetar. " Kamu berjanji nggak bakal ngelakuin hal gila lagi!"
" Sekarang situasinya berbeda." Kata laki-laki itu melewati Nala dan menutup pintunya. Setelahnya, Dewa berbalik dan bersandar pada pintu. Mengurung Nala di kamar yang penuh sesak dengan aroma laki-laki itu.
" Fabian bilang pertunanganmu batal. Apalagi alasanmu kali ini?"
Nala bersusah payah membuka mulutnya. " Berbeda apanya De? Alasan apa? Demi apapun, ingat calon istri kamu!"
" Aku nggak tunangan." Tepis Dewa menatap Nala lekat-lekat. " Itu tindakan penyelamatan agar Raya nggak bunuh diri di depanku!"
" Apa maksud kamu bilang kayak gitu?" Seru Nala menjauh dari Dewa. " Kalian bertunangan! Astaga! Apa pernah sekali aja kamu menganggap penting sebuah hubungan? Ini bukan hubungan yang bisa kamu tinggalkan seenak hati seperti dulu! Ini pertunangan! PERTUNANGAN!!"
Dewa memejamkan mata saat Nala berteriak. Suara melengking gadis itu mengirisnya jadi seribu. Ketika Dewa membuka mata lagi, dilihatnya mata Nala berkaca meskipun gadis itu masih menatapnya nyalang. Dewa menguci pintunya sebelum kembali bersandar pada daun pintu dan menghadap gadis itu.
Nala memejamkan matanya lelah. Ia menghenyakkan diri di tepi tempat tidur sembari menangkupkan tangan ke wajahnya, merasa luar biasa letih.
" Cukup, Dewa. Cukup." Katanya bergetar. " Jangan main-main lagi, please, please!"
Dewa menarik kursi kerjanya dan duduk menghadap Nala. Dengan satu tangannya yang sehat, Dewa menarik tangan Nala yang menutupi wajahnya.
Apa yang telah diperbuatnya, Tuhan?
" Aku pernah cerita tentang Raya sama kamu." Kata Dewa pelan. Laki-laki itu membawa tangan Nala di pipinya, membuat Nala mengeratkan rahangnya. " Tentang kehidupannya, tentang penyebab kehamilannya, kekasihnya, depresinya dan alasan mengapa dia ada di sini."
Bibir gadis itu mengatup erat. Nala berusaha menarik tangannya dari pipi Dewa, namun Dewa menahannya.
" Aku nggak pernah menyangka, Raya akan bilang sama orangtuanya kalau itu anakku."
Apa?
Nala mengerjap. " Hah?"
Dewa menarik satu ujung bibirnya ketika melihat keterkejutan Nala sebelum senyum samar itu lenyap sepersekian detik. Bahkan di situasi seperti ini, wajah gadis itu menghangatkan hatinya.
" Beberapa minggu lalu, orangtua Raya kemari." Kata Dewa pada Nala yang masih terkejut.
" Mereka meminta, memaksaku, lebih tepatnya. Untuk menikahi Raya. Aku paham perasaan mereka, tapi aku jelas nggak mungkin menikahi Raya. Cuma kamu yang ingin aku nikahi, La." Suara Dewa bergetar. "Raya depresi. Sebelum ini, anak itu pernah mabuk, meminum obat peluruh berulang kali bahkan pernah mencoba bunuh diri. Jika dia dengar aku menolak permintaannya, dia bisa saja gantung diri saat itu juga."
Dewa berhenti bicara ketika mata Nala kembali berkaca, menemani keterkejutan yang masih saja setia di sana. Laki-laki itu menunduk sejenak untuk mereguk udara sebelum menghadapi Nala lagi, yang sepertinya kehilangan kemampuan mengedipkan mata.
" Maka aku minta agar kami bertunangan dulu. Aku berencana menemukan kekasih Raya di waktuku yang sempit ini, La. Pertunangan ini cuma sandiwara. Aku cuma pakai cincinnya di rumah. Selain itu, aku melepasnya."
Dewa menghembuskan nafas melalui mulutnya. Rasanya lega ketika dia menceritakan penyebab semua kejadian salah ini pada Nala.
" Jadi aku minta kamu nunggu aku menyelesaikan ini semua." Kata Dewa menatap Nala. " Setelah ini, kembali sama aku, La. Aku butuh kamu."
Sedetik,dua detik...
Gadis itu mengerjapkan mata, Kemudian terkekeh.
" Kamu memang ahlinya bohong ya, De." Nala masih tertawa meskipun sudut matanya mulai basah. Gadis itu membalas tatapan Dewa yang terpaku.
" Pikirkan." Ucap Nala mengusap ujung matanya dengan geli, " Apa aku harus begitu aja percaya sama kamu? Meskipun aku harus kasih kamu pujian karena cerita kamu menarik sekali."
Cengkraman Dewa di pergelangan tangan Nala mengerat. " Nala!" Geramnya. Namun lagi-lagi Nala terkekeh.
" Kita andaikan kamu bicara jujur." Katanya balas menatap Dewa dengan tenang, " Bahkan dengan kamu bilang semua itu, kamu tetep salah sangka, De."
Nala mengamati wajah Dewa, menyusurkan jemarinya di sana dengan lembut. Ia menikmati wajah itu sejenak sebelum berkata.
" Kamu bicara seolah aku akan kembali sama kamu. Seolah selama ini aku masih cinta kamu. Tapi De, kamu salah. Aku udah nggak ada perasaan apapun lagi sama kamu. Kita teman, dan hanya sebatas itu aku menganggap kamu."
Nala mempertahankan ketenangannya ketika menyadari perubahan air muka Dewa.
" Dengan atau tanpa kembalinya kekasih Raya. Nggak ada yang berubah di antara kita." Nala menyusur rambut Dewa yang sedikit melebihi telinga, merapikannya. " Ini yang aku coba bilang sama kamu dari dulu. Bukan karena Samuel, Raya, bukan siapapun, tapi kita. Karena aku yang nggak mungkin bisa balik lagi sama kamu. Kita selesai. Seperti yang kamu bilang."
Nala mengedarkan pandangan pada foto-foto dirinya di dinding. " Kalau apa yang kamu bilang tentang hari sial itu benar, kamu tetap mengejar orang yang salah. Obsesimu berlebihan. Ini semua sia-sia, Dewa. Berhenti sekarang."
Wajah Dewa mengeras. Bibirnya mengatup menjadi satu garis. Nala menangkup wajah Dewa dan menatap sepasang manik legam itu.
" Berhenti. Jangan begini, tolong." Bisik Nala. " Setelah apa yang kamu lakukan sama aku, kamu minta aku kembali, De? Kamu bercanda! Kamu bikin kepercayaanku sama kamu musnah saat itu juga dan sekarang, apa kamu kira aku bisa percaya semudah itu lagi sama kamu? Mungkin aja ini cuma efek dari penyesalan kamu karena kamu menyakitiku dulu. Atau, mungkin aja kamu sedang bertaruh atau ada perjanjian lain, mana aku tahu? Mengingat kamu yang bisa berbohong sebegitu alaminya."
Setiap kata yang Nala ucapkan, Nala seperti ingin merobek mulutnya sendiri ketika melihat luka di mata Dewa. Namun Nala bertahan.
" Nala, aku nggak pernah melepaskan kamu. Waktu aku bilang hari sial itu satu-satunya kebohongan, aku bicara yang sebenarnya sama kamu. Perjanjian itu, itu..."
" De." Nala menghentikan racauan Dewa. Tidak. Ada sebuah ketakutan menyusup ketika Nala menyadari Dewa hendak menjelaskannya. " Yang aku tahu, kamu menyuruhku pergi. Kamu melepaskan aku dan aku berusaha melupakan kamu. Itu hal wajar. Semuanya selesai saat itu juga."
" Kamu bohong, La." Kata Dewa tak lebih dari sekedar bisikan. Nala menggeleng lagi, teringat dahulu ia juga mengatakan hal yang sama. Apakah saat ini Dewa sedang merasakan apa yang dulu ia rasakan?
Nala membiarkan Dewa menahan tangannya untuk tetap menangkup wajah Dewa. " Pertemuan ini cuma kebetulan. Bukan kesempatan untuk apapun."
Nala menghirup nafas dalam-dalam sebelum melepaskannya lewat mulut. Ia menarik tangannya dari wajah Dewa.
" Kita tetap teman, kok. Kamu juga berhenti bilang aneh-aneh." Kata Nala tenang. " Aku tetap di sini sampai kamu sembuh. Masakin Dafa, masakin Dilla, masakin kamu juga. Masakin Raya juga, karena seperti yang kamu bilang, aku bukan lagi ancaman buat dia. Memangnya dia mau merasa teran..."
" Kamu bohong, Kanala." Dewa bangkit tanpa mengindahkan satupun kata-kata Nala.
Nala terdiam sembari menatap Dewa yang kini menjulang di depannya. Debar ketakutan kini semakin besar ketika melihat sorot kemarahan di sana, mengingatkannya akan Dewa yang murka saat mendapati Nala diselamatkan oleh Reno bertahun silam. Nala menelan ludah, namun gadis itu berusaha tenang.
" Aku nggak..."
Kalimat Nala terpotong ketika Dewa meraih dagunya dan menciumnya. Hanya mencium, sekedar menempelkan bibir untuk menghentikan kata-kata Nala. Namun seluruh tubuh Nala berhenti bekerja.
Dewa melepasnya setelah beberapa saat.
Nala mengepalkan tangannya erat-erat, " Ciuman? Heh! Apa karena itu kamu jadi salah sangka? Aku udah biasa ci..."
Lagi-lagi, Dewa menciumnya. Kali ini dengan sedikit melumat bibir Nala, membuat Nala bisa merasakan kemarahan yang menggelegak di sana. Nala mati-matian berdiam diri agar tidak membalas ciuman Dewa. Ini susah, karena bibirnya penuh syaraf simpatik yang akan merespon setiap kali Dewa menciumnya.
Dewa melepaskan pagutannya dan mengusap bibir bawah Nala.
" Sudah aku bilang kamu milikku. Jangan pernah bermimpi aku melepas kamu." Kata Dewa datar sebelum berbalik dan menuju pintu. Namun sebelum membukanya, Dewa berbicara lagi dengan tubuh membelakangi Nala.
" Kamu tetap di sini sampai aku sembuh. Pegang kata-katamu." Katanya dingin lalu membuka pintu.
" AHHHHH!!"
" Duh Bang ren...aku kegencet!!"
" Ini apa lagi kak Leon, ck!!"
" Duh, bentar kaki gue kepuntir. Fab! Tolong astaga!! Malah cengengesan!"
Leon, Reno, Dilla dan Dafa. Keduanya jatuh bertumpuk di ambang pintu seperti roti tawar begitu Dewa membuka pintu. Sedangkan Fabian yang berdiri di belakang mereka mengangkat alis dengan tangan bertaut di belakang.
" Minggir!" Kata Dewa dengan nada rendah yang berbahaya.
Serentak, kelima orang itu buru-buru menyibak dengan segenap tenaga melihat sang iblis keluar dari peraduan. Mereka menelan ludah saat Dewa melangkah pergi dengan tangan terkepal erat. Kemudian setelah dirasa aman, lima kepala melongok ke dalam.
Mata Nala masih mengikuti punggung yang menjauh itu. Nala menghela nafas dalam-dalam demi membuka jalan nafasnya yang sesak.
Bisa saja Dewa juga berbohong tentang pertunangannya dengan Raya, pikir Nala yang hanya menambah sakit hatinya. Dewa bisa mendapatkan kepercayaan apapun dari Nala. Apapun. Kecuali hatinya.
Semerana apapun hatinya berteriak mendamba Dewa, Nala tidak akan pernah mau menyerahkannya.
Nala menunduk seraya menghapus air mata yang kini justru mulai mengalir deras ke pipinya.
Tuhan, mengapa berbohong rasanya menyakitkan?
*TBC*
Nao, yang nggak doyan sarapan gegara nonton Parasyte -_-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top