25. Penyelamat

" I can't live without you"

" Disruduk truk dan cuma ringsek? Bener-bener mobil pembawa keberuntungan."

" Soalnya yang disruduk bagian belakang mobil. Lo liat lokasinya, kan? Dia nge-drift 180 derajat biar..."

Nala membuka matanya yang terasa berat. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit ruangan berwarna putih.

" Ngghhh..." Nala mengerang kala merasakan tusukan panas di tulang belakangnya.

" La? Nala? Udah sadar?"

" Panggil dokter! Cepetan!"

" Dit?" Panggil Nala tidak berniat memfokuskan pandangan. " Radit?"

" Eh? Radit?"

" Cepetan ck! Nala, sadar! Lihat gue!" Seseorang menepuk-nepuk kecil pipi Nala, meminta perhatiannya. Nala mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha mencari fokus.

" Le?" Panggil Nala serak. " Lo...mati juga?"

" HAH??"

" Gue ketemu Radit. Artinya gue mati kan? Lo ditinggal Katie ya?" Tanya Nala ngawur.

" Gue belum mati dan lo juga, Nala. Fokus sama suara gue. Lihat gue coba!" Kata suara tadi. Mau tidak mau, Nala menurutinya. Semakin dia berusaha mengumpulkan kesadaran, semakin ia bisa merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Nala mengerang.

" Leon..." Panggil Nala saat wajah laki-laki itu masuk dalam pandangannya, hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.

" Bisa lihat gue? Hm?"

Nala mengangguk lemah. Laki-laki itu menempelkan keningnya di kening Nala, mendesah lega. Ia menangkupkan kedua tangannya di pipi Nala.

" Kalian itu ya, mau sampai kapan bikin gue harus bolak balik gini?" Ucapnya frustasi meskipun kelegaan membanjirinya.

Kalimat Leon menyentil nalar Nala. Tapi ia terlalu lemah untuk mencari lebih jauh.

" Ini dimana?" tanya Nala akhirnya berusaha memahami keadaan sekitar.

" Di rumah sakit Aditama. Apa kejadian terakhir yang lo inget, La?" Tanya Leon.

Nala memejamkan mata, berusaha memilah antara nyata dan mimpi yang beberapa waktu terakhir teraduk jadi satu.

" Truk." Ucapnya mengerjap. " Lalu cahaya yang terang banget. Terus, truk itu nabrak gue..."

Mndadak, gadis itu membelalak.

" Farel!" Serunya keras hingga kerongkongannya sakit. Tapi Nala tidak peduli. Sebuah gelayar ketakutan membuat perutnya mulas. " Farel gimana? Dia...dimana? Farel..."

" Easy girl, ajudanmu nggak papa." Sahut Leon cepat-cepat menenangkan Nala yang panik.

" T...tapi dia, beneran nggak papa? Maksudku..."

Leon menghela nafas, " Tulang rusuk retak, tapi dia keras kepala banget. Dia sadar lebih dulu daripada kamu dan sekarang nemeni Fabian. Cukup?"

Nala mengedipkan mata dengan mulut terbuka.

" Dia baik-baik aja. Lo yang nggak baik-baik aja." Kata Leon tegas. " Sekarang jawab gue, apa yang lo inget?"

Nala menatap Leon, berusaha menata memorinya lagi. " Truk itu oleng kayak...dikemudikan orang mabuk, rem blong, pecah ban atau apalah itu. Jalanan sempit banget terus dia..."

Nala mengerjap semakin cepat ketika detail memori semakin jelas. "Nggak. Truk itu nabrak mobil di depan gue. Mobilnya...hitam...Le! Gimana si pengemudi mobil di depan gue?"

Ia ingat suara memekakkan itu. Jika Nala dan Farel saja semengenaskan ini, bagaimana dengan...

Leon tersenyum sedih dan mengusap pipinya pelan. Nala menangkup mulutnya yang mendadak bergetar ketika dirinya menemukan sesuatu di mata Leon.

" Nggak mungkin..." Bisik Nala. Kerongkongannya tiba-tiba tercekat. "Gue utang nyawa sama dia, Le..."

" Mikir apa coba? Dia juga ada di sini, tapi masih kritis. Lo juga belum boleh kemana-mana dulu! Ck!" Kata Leon menahan dahi Nala yang hendak duduk.

" Tapi gue utang nyawa sama dia! Gue harus ketemu!"

" Ini anak ngeyel banget astaga! Dia kritis! Lo nggak boleh ganggu dia sedikitpun, ngerti!" Leon melotot pada Nala. Gadis itu menekuk mukanya ketika menyadari nada marah Leon.

"Kritis? Lukanya parah, Le?" Akhirnya Nala menyerah.

Leon menatap Nala dengan pandangan yang tidak bisa ditebak. " Retak tulang lengan atas, retak tulang belikat, perdarahan epidural, dislokasi tulang belakang, memar tulang panggul."

Nala mengedip dan sebuah rasa nyeri menyerang dadanya tiba-tiba. Membuat gadis itu menempelkan telapak tangannya di dada dan sedikit meringkuk.

" Nala, kenapa?" Tanya Leon cemas memegangi bahunya ketika gadis itu semakin menekuk tubuhnya.

" Dada gue sakit, Le." Gumam Nala mengernyit ketika rasa itu masih ada. Didengarnya Leon menghirup nafas dalam. Ia membantu Nala meluruskan badan dengan perlahan dan mengusap telapak tangannya.

" Dokter baru bisa memeriksa total ketika kamu udah sadar. Lo juga cidera tulang belakang, La. Nggak boleh banyak gerak sebelum dokter melakukan assessment. Nanti bilang sama dokter apa-apa yang lo rasakan." Kata Leon menenangkan. Nala mengangguk. Sekarang setelah Leon mengatakannya, sakit di punggungnya menjadi berkali lipat.

" Hai cewek!"

Reno muncul bersama seorang dokter yang langsung memeriksa Nala.

**

" Ngggghhh..." Nala mengusap keras-keras dadanya saking nyeri yang ia rasakan.

" Kenapa? Ada apa?" Tanya Fabian langsung. Nala menggeleng.

" Sakit." Kata Nala meringis.

" Tapi hasil pemeriksaan tidak menunjukkan apapun!" Kata Fabian tegang. " Aku akan meminta mereka melakukan pemeriksaan ulang!"

Nala memandang punggung Fabian yang menghilang di balik pintu dengan putus asa.

" Ck!" Nala mengusap keras dadanya sampai terasa panas. Apa ada sesuatu yang hilang dari dalam sana, ya? Nala menggelengkan kepalanya. Dia tidak sesak nafas, dadanya tidak terasa berat, dan kedua tangannya tidak kesemutan. Juga, denyut jantungnya baik-baik saja. Mungkin ini efek trauma atau apa.

Nala berusaha tidak memikirkannya dengan fokus pada majalah yang dibawakan Fabian untuknya. Kata Fabian, akan ada sesuatu yang menarik disitu. Apa? Nala membolak-balik majalah bisnisnya. Dimana...

Nala berhenti pada satu judul yang menarik perhatiannya, kemudian melotot.

" Bagaimana bisa?" Seru Nala terperangah. " Apa Ian benar-benar bikin mereka sengsara? Tapi kan Sam menyerah..."

Nala membaca berita tentang kebangkrutan perusahaan Maximillien. Bermula dari terungkapnya korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh Jacobu Maximillien, paman Sam. Kasus itu seperti gunung es. Sekarang, hanya tersisa satu perusahaan di daerah Belanda yang hanya merupakan cabang dari perusahaan raksasa yang pernah bertahta sekian dekade itu.

" Hmph! Korupsi selalu jadi awal dari sebuah kehancuran! Masa mereka nggak paham itu?" Tukas Nala mengusap dadanya tanpa sadar. " Ada satu aja pegawai gue yang korupsi, gue usut udah! Walaupun itu Fabian!"

Dia jadi teringat kasus yang terjadi di perusahaannya. Untungnya, sejauh ini penyelidikannya bersama Panca masih berjalan lancar. Tentang ini, dia belum memberitahu Fabian. Dia akan memberitahu anak itu nanti saja setelah semuanya selesai. Nala cukup mengenal Fabian sehingga dia bisa menyimpulkan sebenci apa anak itu terhadap sesuatu bernama korupsi.

Dokter datang bersama Fabian membuat Nala mendongak. Laki-laki berkaus Polo dengan warna krem itu bersedekap sembari mengamati sang dokter yang memeriksa Nala.

" Tidak ada yang salah." Kata beliau menurunkan stetoskopnya.

" Tapi dia merasa sakit, dokter."Kata Fabian dengan suara dalam. " Apa mungkin dilakukan rontgen sekali lagi..."

" Fabian, aku sudah di rontgen dua kali. Dua kali! Dan di tempat yang sama! Menurutmu kali ini hasilnya akan berbeda?" Tukas Nala menyudahi kegilaan Fabian.

" Saya akan berkonsultasi dengan dokter jantung yang bertanggungjawab, nona Halid. Mungkin ada memar kecil yang luput dari perhatian." Kata dokter itu membungkuk. Nala mengangguk berterima kasih dan mengawasi dokter itu pergi.

" Ini mungkin cuma lecet atau apa. Lecetnya kan banyak!" Protes Nala.

" Lecet tidak akan sesakit itu." Kata Fabian duduk di samping Nala. Nala mengerucutkan bibir.

" Kapan aku boleh turun?" Nala menggerakkan punggungnya dengan hati-hati. Sengatnya sudah jauh berkurang. " Sepertinya sudah membaik."

" Secepatnya." Kata Fabian singkat.

" Issss..." Nala mendelik pada Fabian. " Ngomong-ngomong, ini apa? Jangan bilang kalau kamu yang melakukan semua ini!"

Fabian mengikuti telunjuk Nala, kemudian mengangkat alis. " Kenapa menuduhku? Itu korupsi internal! Masalah mereka sendiri, kan?"

Nala menyipit. " Tidak ada rekayasa?"

" Astaga Kana! Apa aku sejahat itu?" Tanya Fabian tidak terima. Nala mengerjapkan matanya.

" Eh...itu..." Ucapnya terbata sembari mengalihkan perhatian. Fabian mendengus.

" Aku hanya membantu menyingkap kasus itu." Kata Fabian membuat Nala menoleh padanya.

" Ian! Apa maksud kata-katamu?" Tanya Nala tidak percaya. Fabian menghirup nafas dalam-dalam.

" Korupsi besar-besaran telah terjadi di perusahaan Maximillien, Kana. Tidak bisa diperbaiki lagi. Aku hanya mengupas kulitnya. Sungguh, aku tidak melakukan apa-apa. Justru aku membuat Samuel sadar betapa brengsek pamannya selama ini."

" Tapi bukan seperti ini caranya, Ian! Ini menyangkut kehidupan keluarganya! Maximillien hancur!" Nala emosi. Pandangan Fabian mengeras.

" Memangnya aku peduli? Kecelakaanmu adalah rekayasa. Samuel, mantan tunanganmu itu berusaha membunuhmu, Kanala Halid." Ucapan dingin Fabian membuat darah Nala membeku.

Apa?

Tidak. Tidak mungkin Sam sejahat itu.

Sebuah kilat melintas di mata biru jernih itu, menegaskan auranya yang tadi menghangat kini perlahan dingin penuh kebekuan.

" Aku tidak pernah melepasmu dari pandanganku barang sedetik pun. Dan aku telah memberinya pandangan jika dia berani mengganggumu. Bersyukurlah aku tidak membunuhnya seketika." Kata Fabian membuat Nala lemas saat itu juga.

Fabian Halid. Terkadang dia bisa begitu mengerikan.

**

Tidak. Tidak ada yang salah dengan jantungnya, begitu yang dokter tadi katakan. Lalu mengapa rasa sakit ini masih saja menyiksanya? Nala mengerang putus asa di atas kursi roda.

" Ian, apa dia sudah siuman? Kan aku sudah boleh keluar ruangan. Ayo ke ruangannya, ya?" Pinta Nala ketika Fabian mendorong kursi rodanya menuju kamar. Nala benar-benar suntuk berada di ruangan itu hampir dua minggu lamanya, dan hanya bersama Fabian. Laki-laki itu dengan tegas melarang siapapun datang selain Tristan dan Farel.

Sebenarnya sih dia sudah bisa jalan-jalan. Tapi Fabian tentu saja tidak mengizinkannya.

Fabian berhenti tepat di pintu ruangan Nala, menatap Nala dengan ekspresi yang tidak bisa Nala tebak. Sedetik kemudian, ia berbalik.

" Oke. Dia juga sudah sadar dua hari lalu. Dan sangat ingin bertemu denganmu." Kata Fabian mendorong Nala menuju salah satu lorong.

" Dia, eh...baik-baik saja? Maksudku, sudah lewat masa kritisnya?"

" Hmm..." Fabian mengangguk.

Mereka sampai pada sebuah ruangan dan Fabian membuka pintunya.

" Permis..."

" LALA!!"

" Dafa!" Celetuk Nala riang tanpa sadar, kemudian ia mengerutkan kening, " Dafa? Ini...kenapa kamu..."

Sebuah kesadaran mengerikan menimpa Nala seperti seribu ton besi padat yang menimpa dadanya. Seketika itu juga lehernya berputar ke arah tempat tidur pasien.

Di sana, seseorang dengan sepasang mata legam sedang duduk bersandar di tempat tidur yang dielevasi. Kepalanya diperban, lengan kanannya digendong, sebuah perban putih bersih yang membebat tulang belikatnya mengintip dari baju pasien biru pucat yang tidak dikancingkan.

Orang itu menatap Nala dengan sama diamnya.

" Ian?" Panggil Nala bergetar menahan matanya yang memanas. Pandangannya tertawan.

" Iya Kana?"

" Aku memintamu mengantarku kepada orang yang menyelamatkanku." Kerongkongan Nala semakin tercekik.

" Dan aku sudah mengantarmu."

Nala menangkupkan tangannya erat-erat ke mulut, menahan apapun yang akan keluar dari sana. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa pada air mata yang meleleh entah sejak kapan.

Laki-laki itu menghela nafas.

" Sini!" Pintanya pelan seraya mengulurkan tangannya yang sehat.

Nala menggeleng. Takut. Dia takut sekali.

Fabian menepuk bahunya. " Kita ada di luar."

Nala tidak bisa melihat apapun selain kepada orang itu. Ia bahkan tidak peduli siapa yang memeluk atau mencium pipinya. Saat ini, seluruh dunianya terpusat pada satu wajah.

Fabian menutup pintu dan keheningan melanda.

" Mau sampai kapan disitu? Sini!" Suara Dewa membuat seluruh tubuh Nala merinding. Seperti tersihir, Nala bangkit dari kursi rodanya. Gadis itu berjalan tertatih dan duduk di kursi di samping tempat tidur Dewa. Ia mencengkram erat-erat selimut yang menutupi kaki laki-laki itu.

Dewa menatap Nala beberapa saat, membiarkan gadis itu memahami apa yang terjadi. Ia mengangkat tangan, membelai rambut Nala yang terkuncir rapi.

Nala mengamati Dewa dari atas sampai kakinya yang tertutupi selimut.

" Kamu itu maunya apa sih, De?" Celetuk Nala gemetar. " Kayaknya hobi banget cari gara-gara. Hah? Kamu kenapa ada di sana segala?"

" Itu jalan umum, Nala." Jawab Dewa masih memainkan rambut Nala. Nala mengusap air matanya dengan kasar.

Nala menghembuskan nafas putus asa melalui mulutnya. " Sekarang gimana kalau kayak gini? Aku nggak mau terlibat lagi sama kamu! Sekarang aku malah utang nyawa sama kamu!"

Melihat Nala yang gusar, Dewa justru tergelak, " Mana ada orang marah-marah sama orang yang udah nyelametin dia? Kamu itu aneh."

" Issssss!!" Seru Nala kesal setengah mati. Gadis itu menekuk wajahnya, sama sekali tidak bisa membantah bahwa kata-kata Dewa adalah benar. Akhirnya, ia mengalihkan perhatian pada luka-luka Dewa. Tubuhnya seketika mendingin meskipun Nala berusaha bersikap biasa saja.

Nala mengulurkan tangannya yang gemetar, menyentuh pelan gips di tangan kanan Dewa.

" Sakit?" Cicit Nala seperti suara tikus terjepit.

" Lihat kamu semua sakitnya hilang." Kata Dewa yang diabaikan Nala saking lelahnya gadis itu.

" Kamu gimana? Apa aja yang luka?" Tanyanya lagi mengamati Nala dari atas sampai bawah.

Nala menggeleng. " Cuma memar tulang belakang, tapi udah sembuh. Sama dada..."

Nala berhenti meraba dadanya dan menatap Dewa.

" Kenapa?" Tanya Dewa khawatir.

" Nggak. Nggak papa." Kata Nala lagi.

Karena sekarang dia tahu apa sumber sakit di dadanya.

Dewa menangkup sisi pipi Nala dan menatap gadis itu penuh syukur," Syukurlah kamu nggak papa."

Nala membiarkannya, sesaat tidak ada yang berbicara selain saling bertukar pandangan.

" Aku marah sama kamu, De. Tapi kayaknya aku tetep harus bilang makasih." Nala berkata lirih membuat Dewa geli akan kata-katanya.

Dewa menatap Nala beberapa saat, memainkan ibu jarinya di pipi gadis itu. " Aku boleh minta sesuatu sama kamu?"

Nala terdiam, kemudian mengangguk singkat. " Apa?"

Dewa mengedikkan kepalanya pada tangan kanan yang digendong. " Tanganku. Untuk sementara, aku nggak bisa ngapa-ngapain. "

Nala menyipit, " Jadi?"

Dewa menatap Nala. Seringai muncul di wajah itu. " Kamu harus tanggung jawab."

" Haa?" Nala ternganga. " Maksudnya?"

Nala seperti melihat iblis bermain di matanya. Seringai itu makin lebar. " Sampai tanganku sembuh, aku mau kamu datang setiap hari buat masak di tempatku. Bukan buatku, tapi buat Dafa. Aku nggak makan juga nggak papa."

Nala melotot tanpa sadar mendengar kalimat terakhir Dewa, dan Dewa tahu bahwa ia telah menang.

" Kamu masih setengah sadar, ya? Di tempatmu kamu ada Raya!" Sembur Nala.

" Memangnya kenapa? Kehadiran kamu bukan ancaman lagi buat dia."

Gravitasi menjadi seratus kali lipat di bawah Nala saat mendengar kata-kata Dewa. Nala menurunkan tangan kiri Dewa dari pipinya, tapi tidak ada cincin di sana.

" Cincinnya aku lepas."

Nala segera berpaling. " Raya mana? Kenapa dia nggak di sini?"

Dewa terdiam sejenak, kemudian berkata, " Dia di rumah orang tuanya. Di sini nggak ada yang jaga."

Nala mengerjap. Gadis itu duduk dengan gelisah.

" Kamu keberatan tanggung jawab? Aku belum nyuruh kamu jadi istriku...aduh ini kalau patah siapa yang gendong kam...iya iya aku diemh!"

" Kayaknya nyawamu ada yang nyasar gara-gara kritis kemarin, De!" Seru Nala menjapit kedua bibir Dewa dengan ibu jari dan keempat jarinya yang lain.

Dewa terdiam dengan mulut terkatup di tangan Nala. Sesaat, kedua orang itu hanya berpandangan. Kemudian Dewa meraih tangan Nala, membawanya perlahan menyusuri luka-luka di wajahnya.

Nala menahan nafas ketika tekstur lebam itu dilalui ujung jemarinya.

" Jadi gimana?" Tanya Dewa memejamkan mata merasai tangan lembut gadis itu.

Nala masih tidak bisa bersuara.

" Nala?" Panggil Dewa lembut. Nala mengerjap, kemudian menarik tangannya.

" Iya aku mau." Kata Nala pelan. Kemudian ia menghirup nafas dalam-dalam. " Tapi De, aku minta tolong sama kamu. Berhenti bermain, oke? Berhenti ngomong nggak penting! Hargai tunangan kamu!"

Tatapan Dewa menajam hingga membuat Nala membuang muka. Tidak, Nala sudah mengatakan hal yang benar.

" Kalau itu bikin kamu nyaman, aku terima." Akhirnya Dewa sembari mengusap puncak kepala Nala. " Teman."

Mata Nala memanas, namun ia mengangguk.

" Iya." Katanya pelan.

Dewa menyusuri wajah Nala, kemudian menyusupkan tangannya di rambut Nala, membawa kepala gadis itu mendekat.

" Temani aku sampai tidur." Katanya menahan kepala Nala bersandar di bahunya.

Tubuh Nala menegang. " Ini apa lagi sih? Ck! Kan aku bilang jangan aneh-...."

" Kita teman, Nala. Teman membantu satu sama lain. Akhir-akhir ini aku nggak bisa tidur." Kata Dewa dengan mata terpejam. Dalam posisi seperti ini, Nala bisa melihat luka di wajah Dewa dengan lebih jelas. Nala meremas selimut erat-erat ketika dorongan menyentuh luka itu tiba-tiba menguat. Gadis itu memposisikan dirinya agar lebih nyaman.

" Kamu barusan tidur lama. Nggak inget?" Tanyanya. Sekarang setelah dia tahu bahwa Dewa yang menyelamatkannya, seluruh perkataan Leon tentang kondisi Dewa terdengar sepuluh kali lipat lebih mengerikan. Dia tidak bisa tidak bersyukur.

Dewa hanya tersenyum kecil tanpa gadis itu sadari. Tangannya membelai lembut rambut Nala.

" Kamu...nggak papa?" Bisiknya tanpa membuka mata.

" Hmm?"

Dewa mendekatkan kepala Nala sehingga kini pipinya menempel ringan di puncak kepala Nala. " Terakhir kali kita ketemu..." Bisiknya bergetar, " Kamu nggak papa?"

Nala menelan ludah.

" Aku nggak papa." Jawab Nala parau. " Makasih."

Dewa melepaskan nafas yang sedari tadi ia tahan. Ia membelai kepala Nala, menenangkannya karena dia tahu dia membuka luka gadis itu. Tapi dia butuh tahu agar dirinya tahu apakah dia harus membunuh Samuel atau tidak.

" Dan orang seperti dia yang kamu percaya jadi suamimu?"

Nala tidak bisa mengabaikan secercah nada dingin yang menyusup di kalimat Dewa. Tubuh Nala menegang, namun dia tidak bergeming.

" Sudah aku bilang itu bukan urusanmu lagi, De. Jangan cerewet atau aku pergi!"

Belaian Dewa berhenti ketika Dewa menahan tubuh Nala seolah gadis itu bisa bangkit dan berlari kapan saja.

" Disini saja." Ucap Dewa buru-buru.

" Ck! Makanya udah diem aja!" Nala berdecak sebelum memejamkan mata. Gadis itu menggerutu pelan. Pikiran gadis itu masih penuh dengan ketakutan. Tapi lama-lama, aroma familier yang sempat tertutupi pewangi dan desinfektan rumah sakit kini mulai menyeruak ke udara. Merambat perlahan melingkupinya hingga memenuhi paru-parunya.

Aroma itu adalah ganja bagi Nala. Membuatnya tenang hingga detak jantungnya melambat. Perlahan kelopak mata itu tertutup, menghantarkannya ke dalam kedamaian yang tenang tanpa mimpi.

*TBC*

I will never let you fall
I'll stand up with you forever
I'll be there for you through it all
Even if saving you sends me to heaven

Your Guardian Angel-The Red Jumpsuit Apparatus

Nggak ngerti kenapa, tapi lagu ini ngena banget di hati.

Hope you enjoy ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top