24. Menyerah

"Letting you go doesn't mean I want to"

" Bu?"

Nala mengerjap, kemudian memfokuskan pandangan pada sosok di depannya.

" Iya? Kenapa?" Tanya Nala berusaha kembali ke masa kini.

Raka mengerutkan kening sekilas, kemudian memutuskan untuk mengabaikan tingkah gurunya yang sering melamun sejak tadi siang. Cowok itu menunjuk ke atas nakas dengan tangannya yang sehat.

" Minum!" Perintahnya. Nala mengangkat alis. Raka mendengus.

" Tolong ambilkan minumnya, Bu Kanala." Kata Raka melengkungkan senyum geram. Nala terkekeh geli. Ia memenuhi permintaan Raka.

" Kapan bisa keluar? Bosen ini! Ck!" Gerutunya setelah menyedot minumannya.

" Kalau dokter udah memperbolehkan kamu keluar." Jawab Nala singkat.

" Aku udah sehat! Bu guru nggak dengar apa kata Gardan? Wilayah kita diserang, bu! Banyak anak dipalak! Dan itu cuma gara-gara aku di sini beberapa minggu!" Protes Raka sebelum menyandarkan punggung pada tempat tidur yang dinaikkan. Cowok itu mendelik kesal pada televisi di depannya.

" Kan ada Ali sama Gardan. Ada yang lain juga." Kata Nala menenangkan.

Ini aneh. Dia harus menenangkan anak didiknya yang lebih memikirkan tawuran daripada ujian akhir semester yang belum diikutinya.

Raka menggeram. " Ini bukan soal menang atau kalah, Bu! Ini soal mempertahankan kehormatan! Ini soal melindungi anak-anak di wila...aduh!!"

Sebuah boneka pokemon kuning gendut sebesar telapak tangan melayang tepat ke dahi Raka. Membuat anak itu terpejam, kemudian lunglai seketika di kasur.

" Upsss!" Seru Gaby menutup mulutnya. Ia menghampiri Raka, " Raka, suer gue nggak sengaja! Rakaaaaa bangun dong! Kaaaaaa...nggak temen nih!!"

Nala terkekeh, kemudian menoleh untuk mendapati Kezia, Ali dan Gardan masuk dengan wajah penuh tanya.

" Rakaaaa!" rengek Gaby. " Bu! Raka koma lagi! Hiks...aku nggak niat kena kepalanya! Duh Kaaa, bangun dong! Masa ketimpuk gitu doang mau mati sih? Lo kesambit mobil aja nggak papa! Jangan mati dong kaaaa!!"

Gaby menggoncang-goncangkan tubuh Raka dengan panik.

Sebuah tangan melayang dari arah belakang Gaby, menjentik pelan belakang kepalanya.

" Gue bakal mati beneran kalau lo nggak berhenti ngegoncang gue!" Celetuk Raka dengan mata terpejam. " Kepala gue masih kocak!"

" Emang pernah nggak kocak?" Cibir Gardan kepanikannya mereda. Ia menjotos lutut Raka.

" Siapa suruh ngomong ngawur! Pingin tawuran segala. Digoncang gitu aja mewek lo!" Sungut Gaby menabok lengan Raka yang sehat, membuat laki-laki itu meringis.

" Gimana hasil ujiannya?" Tanya Nala menengahi. Beberapa waktu yang lalu, anak didiknya menghadapi ujian akhir semester kecuali Raka. Dan sekarang, hasil itu diumumkan.

Kezia menggaet leher Ali hingga anak itu terbatuk. " Ini bu, berandal ini jadi juara satu masa?"

" Gue nggak campur tangan kalau ini!" Kata Gardan mengangkat tangan dan nyengir lebar.

" Beneran lo?!" Seru Raka menegakkan diri dan menatap Ali lekat-lekat.

" Ini..duduuuhh leher gue..." Keluh Ali sembari mengulurkan secarik kertas pada Raka. Raka membacanya sebelum meremasnya dan menatap Ali sumringah.

" Hah? Tobat lo, Li?" Raka tertawa melempari Ali dengan kertas tadi.

" Soalnya Kezia, duduh iya...dia ngancem bakal putus sekolah kalau gue nggak jadi juara satu." Ujar Ali masih berkutat dengan Kezia.

" Elah Li. Mana bisa Kezia jauh dari lo. Gitu aja lo dengerin." Sergah Gaby bersedekap.

" Tapi ini beneran hasil lo, kan? Nggak nyontek, kan?" Tanya Raka menyelidiki.

Ali mendengus, " Nggak, lah! Gue seumur-umur nggak pernah nyontek, ya! Catur nggak pernah bisa nyontek, bego!"

" Lah pantes lo selalu dapet jelek! Sengaja lo kan?!" Gardan menyalak kesal.

Ali nyengir. " Susah tau nggak. Kalian semua cuma milih satu jawaban yang bener. Lhah gue harus milih satu di antara empat jawaban yang salah. Ck! Perjuangan gue!"

" PERJUANGAN MOYANG LO SETAN!" Tabok Gardan keras-keras di punggung Ali.

Nala terkekeh geli. Ia keluar ruangan meninggalkan kelima muridnya bercanda. Gadis itu menikmati taman kecil yang berada di depan ruang rawat Raka, memutuskan untuk mendekatinya. Di sana, terdapat sebuah kolam kecil berisi tiga ikan koi sebesar lengan orang dewasa. Nala bersandar di tiang, mengusap lengannya.

Apakah dia sudah berguna untuk anak-anak kelas PE? Nala teringat janjinya dulu tentang rokok. Dan mereka bisa memenuhinya. Nala pernah mencoba. Ia mengeluarkan sebatang rokok di tengah-tengah pelajaran. Hasilnya, kelima murid itu berubah pias dan Raka harus berlari ke kamar mandi untuk muntah. Mengingatnya, Nala geli sendiri.

Kemudian, perlahan senyum itu memudar dari bibirnya. Kepulangannya ke Perancis semakin dekat. Gadis itu menghembuskan nafas melalui mulut ketika pikirannya kembali mengingat Samuel.

Ayahnya menerima dengan besar hati, untungnya. Dia harus berterima kasih kepada Fabian karena bisa menyelesaikan permintaan egoisnya. Tapi ini perlu. Karena sekarang dia tahu betapa salahnya dia mempertahankan suatu hubungan ketika tidak ada rasa di sana. Tiga tahun Nala menunggu dirinya untuk bisa jatuh cinta pada Samuel, sekarang dia tahu hal itu sia-sia saja.

Logika tidak pernah punya hati, dan hati tidak mengenal logika.

Meskipun demikian, bukan berarti dirinya sama sekali tidak kehilangan Samuel. Tiga tahun bersamanya cukup membuat Nala mengenal Samuel dengan baik. Dia laki-laki yang baik, bertanggung jawab dan sangat memperhatikan Nala. Tipe pasangan yang akan selalu memperhatikan dan mengkhawatirkanmu jika lama tidak berjumpa, dan bukan sekali dua kali saja Nala dibuat terharu oleh aksi manis laki-laki itu.

Samuel tulus, dia tahu itu. Tapi di lain pihak, laki-laki itu tidak bisa menguasai egonya. Perempuan mana yang sudi menerima, walau Nala tahu sekali gaya hidup seperti itu bukanlah sesuatu yang tabu di masa sekarang. Tapi tetap saja, dia punya prinsip sendiri. Rasanya salah jika teman sehidup semati disamakan dengan teman semalam.

Anggap saja dia kolot tapi hei, dia pewaris Halid yang itu! Seorang Shadow Queen yang siap menjadi mata pedang bagi Fabian Halid di saat Halid diganggu. Siapa peduli apa prinsip hidupnya jika dia mampu memastikan pegawai-pegawainya mampu hidup sejahtera, klien-klien yang puas dan parter-parter yang selalu merasa diuntungkan?

Nala mendesah pelan ketika pikirannya melantur. Dia kehilangan Samuel. Suatu hari, dia pasti akan merindukannya. Tapi bukan dengan suatu romansa, hanya lebih seperti merindukan sahabat lama yang pergi karena mengkhianatinya.

Well, setidaknya ia sudah mengambil keputusan baik dengan memutus pertunangannya dengan Samuel. Karena dia memastikan dirinya tidak akan mampu menerima kekecewaan Samuel akan kondisi dirinya yang sekarang.

Sebelum menjenguk Raka, Nala memeriksakan diri sekali lagi pada dokter Tiara. Tentu saja, dia tidak pernah periksa di rumah sakit ini. Dan hasilnya, infeksi itu semakin menyebar. Bahkan dokter Tiara tidak bisa mempertahankan ketenangannya lagi kali ini. Dia berkata dengan berat bahwa jika infeksi semakin parah, maka jalan satu-satunya adalah mengangkat ovarium Nala.

Nala menyandarkan kepalanya ke tiang, membiarkan air matanya menetes sembari memandangi gemericik air di depannya. Perkataan Samuel yang lebih seperti kutukan terngiang di telinganya.

Mungkin saja Samuel benar. Bukankah laki-laki itu sudah membuktikannya? Tidak akan ada laki-laki yang bisa menerimanya sepenuh hati karena dia tidak bisa memberikan keturunan. Kalaupun nanti ada yang menikahinya, mungkin dia harus merelakan suaminya menikah lagi demi mendapatkan keturunan. Dan Nala tidak bisa menghalanginya.

Nala terkekeh kecil, menunduk dan mengusap air mata yang entah sejak kapan semakin deras saja.

Dia baik-baik saja, sungguh.

Dia sudah terbiasa dengan segala hal yang membuatnya sedih.

Dewa.

Nala memejamkan mata, menikmati getar halus yang hadir ketika Nala mengingatnya. Sebuah getar dimana Samuel tidak akan pernah bisa menyamai walau hanya satu persen saja.

Nala menyerah. Gadis itu menyerah pada rasa yang selalu diabaikannya. Karena kini dirinya tahu, meskipun Nala sepenuhnya sadar bahwa Dewa hanya bermain dengannya, dia masih sangat merindukan laki-laki itu.

Bodoh sekali, ya. Dia rindu sampai sakit rasanya.

Bayangan Dewa dan Raya yang memakai cincin yang sama terlintas di depannya, membuat Nala bersedekap dan membungkuk ketika luka berdenyut di sebuah titik di sana. Tidak, dia tidak pernah berpikir untuk merebut Dewa dari Raya.

Yah, dia sudah kalah banyak dari Raya sebagai perempuan.

Lagipula, dia mencintai Dewa yang balik mencintainya, bukan Dewa yang berbohong padanya. Dewa yang berhasil menariknya ketika dirinya tenggelam di lautan tidak berdasar saat itu, membimbingnya dan memberikan kekuatan padanya. Dewa yang selalu hidup dalam memori dan imajinasinya.

Tapi, mereka mempunyai wajah yang sama!

Nala mengerjap. Oke, sepertinya dia mulai gi...

" Perancis."

Nala buru-buru mengusap pipinya dan menoleh. Ali membalas tatapannya dengan kedua tangan di dalam saku.

" Kita sepakat mau ke Perancis." Kata Ali membuat Nala mengangkat alis. " Jangan bilang Bu Nala lupa sama janjinya!"

Ali menatap Nala kesal. " Tentang rokok itu!"

Nala terkekeh. Ia membelai lembut puncak kepala cowok yang lebih tinggi darinya itu. " Kenapa mau ke Perancis?"

Ali mengangkat bahu. " Karena Bu Nala tinggal di situ. Jadi kita bisa jalan-jalan bareng, bisa minta dibeliin ini itu sama Bu Nala. Uwoh...usul Gardan emang top!"

Nala mendengus dan menjewer pelan telinga Ali yang bertindik. " Tiga permintaan untuk lepas tindik kamu. Sekalian hadiah karena pencapaian kamu."

Ali mencibir, " Hadiah itu gratis!"

Nala tertawa singkat. " Siapa bilang?Jangan pernah percaya hadiah itu gratis, Ali. Hadiah ada karena kamu mencapai sesuatu."

" Ada! Sepeda presiden!" Debat Ali tidak mau kalah.

" Setelah kamu menjawab pertanyaan." Balas Nala santai. " Nggak ada yang gratis di dunia. Semua ada karena suatu pencapaian. Meskipun orang bilang itu hadiah, dia pasti punya alasan."

" Set catur ke anak-anak panti itu gratis dari gue, bu Nala yang cantik!" Geram Ali.

" Karena kamu menyayangi mereka, iya kan? Dan mereka pasti sudah melakukan sesuatu hingga kamu menyayangi mereka." Jawab Nala terkekeh geli. " Ini sangat penting kamu pahami, Ali. Jangan pernah mengharapkan sesuatu terjadi begitu saja tanpa kamu berusaha. Keberuntungan bermain, tentu. Tapi usaha kamu yang menentukan seberapa besar keberuntungan yang akan kamu dapat, dan berapa lama keberuntungan itu menempel padamu."

" Kalau orang tiba-tiba nemu uang semilyar di jalan, gitu?" Seloroh Ali.

" Dia cuma dapat semilyar. Kamu yang berusaha bisa dapat satu triliun." Jawab Nala ceria.

" Katakanlah, dia nemu uang itu cuma lima menit waktu dia keluar rumah. Mana ada yang bisa menyaingi keberuntungan itu!"

" Keberuntungan dia mungkin cuma sekali seumur hidup, Ali." Jawab Nala lembut. "Sedangkan kamu yang mendapatkan satu triliun dengan usaha, bisa mendapatkan hasil yang sama berkali-kali."

" Tetep aja namanya beruntung." Dengus Ali tidak terima.

" Dia melakukan sesuatu. Dia keluar di tempat dan waktu yang tepat. Keberuntungan ketika dia mendapatkannya. Dibelanjakan, terus habis. Keberuntungan itu menghilang dengan cepat. Berbeda jika dia menggunakannya sebagai modal usaha. Keberuntungannya akan terasa lebih besar." Jawab Nala sabar. " Sekali lagi, ada unsur usaha di sini."

 " Itu namanya keberuntungan! Keluar di tempat dan waktu yang tepat terus nemuin uang satu milyar!"

" Kalau kamu bisa, kamu juga bisa menemukan waktu dan tempat yang tepat untuk keberuntunganmu sendiri. Dan saya jamin ini lebih bisa diandalkan daripada hanya menunggu kesempatan."

" Tetap aja bu Nala nggak bisa mengelak si penemu satu milyar tadi! Dia beruntung!"

" Memangnya uang itu darimana? Perampok yang nggak sengaja jatuhin? Atau memang cuma orang iseng yang naruh satu milyar di sana? Lagipula kenapa dia harus keluar? Mungkin aja dia punya kebiasaan jogging yang nggak dipunyai tetangganya? Atau dia disuruh ibunya beli merica di warung? Dia melakukan sesuatu yang nggak dilakukan orang lain. Itu alasan mengapa dia mendapatkan uang itu."

" Kok jadi ribet banget?"

" Karena uang yang tiba-tiba ada di tengah jalan itu cuma uang punya tante Kunti." Jawab Nala serius. " Nggak pernah ada akibat tanpa sebab, Ali. Meskipun sebab itu tidak pernah kamu sadari."

" Ini apa bawa-bawa tante Kunti segala? Bu Nala nggak percaya keberuntungan?" Tuding Ali menyipitkan mata.

" I do believe in it, Ali.  Tapi terkadang, saya lebih memilih menamainya takdir yang baik." Jawab Nala lembut. " Tidak pernah ada yang tahu bagaimana cara Tuhan menunjukkan kasih sayang pada kita. Dia menyayangi kita semua. Terkadang, Dia hanya ingin kita lebih berusaha."

Ali mendengus, "Gue diceramahi tanpa sadar! "

Nala terkekeh. " Jadi, jangan harap saya memberikan hadiah gratis buat kamu."

"  Astaga! Sekali iblis tetap iblis ya?" Sungut Ali kesal. Tapi ia segera memikirkannya keras-keras. Nala menikmati wajah Ali dari samping selagi anak itu tenggelam dalam pemikirannya.

Semua anak kelas PE mempunyai alasan tersendiri untuk menjadi seperti sekarang, dan Nala memahaminya lebih dari apapun. Seperti yang dulu Dewa lakukan, karena kini Nala tahu bahwa setiap orang dilahirkan dengan kemampuan berbeda. Dan kali ini, giliran Nala menunjukkannya pada anak-anak PE.

" Permintaan pertama." Celetuk Ali menyadarkan Nala. " Saya minta tanding catur sampai Bu Nala kalah!"

Nala mengangkat salah satu alisnya. " Saran saya, sebaiknya kamu ganti. Demi kesehatan mental kamu sendiri."

" Cih! Ibu nggak percaya saya bisa ngalahin ibu?" Tanyanya tidak terima.

" Nggak." Jawab Nala polos.

Ali menyipitkan mata dan menatap Nala penuh dendam. " Dua puluh set. Saya yakin akan mengalahkan ibu pada set kesepuluh!"

" Oke!" Jawab Nala ceria. Ali memandang benci satu-satunya orang yang tidak bisa ia kalahkan ini.

" Permintaan kedua." Kata Ali memasang wajah serius. " Aku minta Bu Nala datang waktu aku wisuda jadi sarjana kedokteran."

Cengiran Nala lenyap, digantikan raut kecurigaan. " Ali, kamu...sadar?"

" Ck! Ini namanya proyeksi masa depan! Pencatur selalu punya rencana ke depan, bu Nala!" protes Ali menatap Nala putus asa. " Dan aku udah putuskan aku mau jadi dokter kayak dokter Dewa. Katanya yang bisa jadi dokter itu harus orang pinter, kan? Makanya aku di sini! Aku kan pinter!"

" Astaga!! Iya iya Ali pinter!" Nala terbahak. " Oke. Ibu tunggu wisuda kamu."

Ali mencibir menatap gurunya yang tertawa. Lalu menggelengkan kepala.

" Permintaan ketiga..." Ali mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai. Tanpa sadar, Nala menahan nafas.

" Aku simpen buat nanti. Siapa tahu butuh banget." Kata Ali nyengir.

Sialan.

**

Nala mengecek jam tangannya. Pukul setengah dua belas malam dan dia baru kembali ke apartemen. Dia harus mengurusi beberapa hal di butik. Kabar baiknya, La Belle Femme langsung mendapat respon baik di sini. Beberapa desain pribadi sudah masuk di meja kerjanya sampai membuat kewalahan.

" Farel, masih awas?" Tanya Nala pada Farel di sebelahnya. Farel meliriknya sekilas sebelum tersenyum dan Nala menemukan mata yang selalu siaga di sana.

" Maaf membuatmu harus menungguku sampai selarut ini." Ucap Nala merasa bersalah.

" Jangan minta maaf, Nona. Ini sudah tugas saya. Lebih baik saya dihukum seribu kali daripada membiarkan Nona mengemudi sendiri." Ucap laki-laki itu tegas dan Nala tidak mempunyai keberanian untuk berdebat dengan Farel.

Farel mengemudi dengan kecepatan yang pantas di jalanan yang sepi. Maklum, hari sudah larut dan jalanan ini bukan jalan raya yang menjadi pilihan banyak orang. Ini jalan alternatif sehingga mereka bisa memangkas waktu.

Kilatan cahaya tiba-tiba membutakan pandangan Nala, membuat matanya menyipit. Sebuah truk dengan kecepatan penuh melaju dari arah berlawanan. Nala mengerutkan kening.

" Bocor?" Tanya Nala.

Farel tidak menjawab. Laki-laki itu mengklakson agar truk itu tahu bahwa di depannya ada mobil lain. Namun sepertinya, truk itu sama sekali tidak berniat mengurangi kecepatan. Seperti hilang kendali. Truk itu melaju zig zag dengan mengerikan. Rodanya berdecit berulang kali.

Farel masih berusaha tenang ketika jarak terkikis semakin dekat. Dia tidak bisa menyingkir kemanapun di jalan sempit dengan jurang dan tebing sebagai sisinya. Dia tidak bisa memperkirakan arah truk itu.

Nala mencengkram kursinya, " Farel?" Panggil Nala ketika mobil berbeda arah itu terus melaju.

" FAREL!"

Dalam sepersekian detik, Farel menarik Nala ke arahnya. Tepat sebelum sebuah suara menulikan pendengaran mereka bersamaan dengan tubuhnya yang terhempas keras ke depan.

Kepala Nala terbentur airbag yang terasa keras saking kencangnya tabrakan.Suara tumbukan itu begitu memilukan. Seperti benda yang patah dan berderak. Kaca mobil Nala pecah, menghujani Nala dengan serpihan tajam yang menggores kulitnya.

Lalu tiba-tiba saja ia merasa sebuah capit raksasa menghimpit tubuhnya hingga membelah jadi dua, menusuk dan mengoyak dagingnya.

Rasa sakit yang amat sangat mengambil kesadaran Nala.

Memang.

Kata orang, kita akan melihat kilasan balik ketika maut datang menjemput. Dan itu yang dirasakan Nala. Seperti adegan slow motion. Kilasan kehidupannya sedari Radit meninggal terasa paling jelas berputar di balik matanya.

Melalui kaca mobil yang kini berlubang, Nala hanya sempat melihat sebuah mobil hitam  sebelum bercak kemerahan menutupi pandangannya hingga gelap gulita. Nala terjatuh di jurang tak berdasar.

Di tengah kegelapan itu, seorang laki-laki  yang selalu Nala rindukan kini tengah tersenyum geli padanya.

Ah...

Kalau ini kematian, tidak terlalu buruk. Batin Nala menyambut uluran tangan Radit.

*TBC*

Anonim : Nao, kok aku nggak paham sih? Itu kenapa Nala kayak nggak mau banget balikan sama Dewa? Perasaan nggak ada ceritanya di sini! Atau belum aja?

Nao : Perasaan kamu nggak salah, yang salah aku#plak. Ceritanya di FATAMORGANA, Silahkan di cek. Disana kamu bakal tahu alasan Nala mengidap dilematisasi cinta, stresisasi dunia sekaligus kontroversi hati gegara virus cintrus sp. yang menginfeksi sebuah inang bernama Dewangga Abirama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top