23. Berpisah
"Love is not a choice. That's why it's "falling", not "choosing'."
Jika ada yang bisa Nala sadari di tengah kejadian ini adalah dia yang tidak lagi bisa mengenal Samuel. Laki-laki yang kini ada di depannya, menatapnya nyalang dengan tarikan nafas yang berat.
Samuel mendorongnya masuk ke sebuah ruangan dengan pintu bertulisan 'Staff Room'. Nala membelalakkan mata ketika Samuel mengunci pintunya dan mendorong Nala hingga gadis itu menabrak deretan rak baju, membuatnya rubuh.
Rasa dingin mulai menjalar di kaki Nala saat menyadari Samuel menatap dirinya dari atas sampai bawah dengan pandangan yang membuatnya risih.
" So beautiful!" Bisik Samuel menahan tubuh Nala yang hendak bangkit dengan tergesa, membuat Nala kembali terjatuh di tumpukan baju yang kini berserakan di bawah mereka. Laki-laki itu menaungi Nala dengan kasar, menutupi sinar lampu hingga membentuk siluet kelam mengerikan. Samuel menahan tangan Nala di kanan kirinya dan menciumi leher Nala.
" Stop it!" Nala mengatakannya dengan gigi terkatup. Ia berusaha melawan, namun Sam seakan dirasuki setan hingga laki-laki itu tidak bergeming.
"Tidak ada yang salah. Aku tunanganmu! Sudah cukup aku menunggumu, Kanala."
Nala berusaha menjauhkan lehernya, " Apa tidak cukup permainanmu dengan wedding organizer kita? Hah?"
Perkataan Nala membuat Sam berhenti meyusur leher Nala. Perlahan, laki-laki itu mengangkat wajahnya, kemudian mendekatkan hidung mereka hingga nyaris bersentuhan. Kalau bisa, Nala ingin menenggelamkan kepalanya di lantai berkeramik ini agar dia tidak perlu merasakan hembusan nafas Samuel yang amat sangat mengganggunya.
" Darimana kamu tahu?" Bisiknya dingin.
Hatinya mencelos. Nala menatap sepasang mata abu-abu itu dengan berani. "Aku berusaha mengabaikan semua bukti, Samuel Maximillien. Aku berusaha berpikir baik tentangmu dan sekarang kamu mengakuinya sendiri. Kamu pikir aku bodoh, Sammy?"
Bukannya merasa bersalah, Samuel justru menunduk dan mengecup kecil ujung hidung Nala. Nala berpaling, namun Samuel terkekeh. " Ternyata susah mengelabuimu, ya? Kenapa? Kamu tidak memberikan hal yang aku butuhkan. Kamu tidak bisa menyalahkanku."
" Itu bukan alasan!" Bentak Nala. "You promised me!"
" Memangnya kamu sendiri pantas?" Teriak Samuel sembari melotot pada Nala. " Kamu harusnya menurut padaku! Aku sudah berbaik hati menerima perempuan cacat sepertimu!"
Nala membeku.
" Benarkah? Bukankah itu karena aku seorang Halid?" Bisik Nala bersusah payah mengeluarkan suara.
Pandangan Samuel berubah melembut. Ia mencium dahi Nala meskipun dengan rasa frustasi. " Tentu saja karena aku menyayangimu, Kanala. Hanya kamu ratuku."
Nala tertawa pedih. " Begini dan kamu masih berani bilang mencintaiku? Berapa kali kamu tidur dengan wedding organizer kita? Kamu masih berani bilang aku satu-satunya?"
" Itu hanya hubungan fisik! Tidak lebih! Hatiku hanya milikmu!" Seru Samuel.
Nala menatapnya tidak percaya, " Bagaimana bisa kamu masih membenarkan kelakuanmu, Sam? Bagaimana bisa? Selama ini aku percaya kamu akan berubah karena bisa menahan diri padaku. Tapi ternyata aku salah!"
" Aku memegang janjiku! Aku hanya bermain-main dengan wedding organizer itu. Tidak ada yang lain. Hanya sekedar melampiaskan kebutuhan yang tidak pernah sudi kamu berikan." Geram Samuel tidak terima.
" Itu sama saja!" Bentak Nala.
" Memangnya kamu berhak menolak? Aku yang terbaik yang bisa kamu dapatkan!" Bisiknya berbahaya. " Memangnya ada yang mau menerimamu selain aku? Perempuan yang tidak bisa menghasilkan keturunan! Perempuan cacat! Harusnya kamu memperlakukanku sebagai raja!"
Cukup! Nala menjauhkan Samuel dengan lututnya, membuat laki-laki itu berguling dan mengerang. Melihat kesempatan itu, Nala segera berlari ke arah pintu, namun Samuel lebih cepat. Ia menjambret keras tangan Nala, membuat gadis itu jatuh tersungkur.
" Aku berterima kasih karena kamu tidak mengatakan apapun pada Fabian. You are too naïve, Kanala, that's why you've been fooled easily. Malam ini, akan kubuat kamu tidak bisa melawanku, Mademoiselle Halid!"
Samuel membopong Nala di sofa dan mengunci tubuhnya. Nala berusaha melawannya dengan segala daya yang ia punya. Tapi tenaganya tidaklah sebanding dengan Samuel yang sedang kalap.
" TOLONG! TO...HMMMPH!" Samuel menutup mulut Nala dengan satu tangan, sementara tangan yang lain merayap di bahunya.
" Aku selalu membayangkan kamu, Nala. Tidakkah itu bukti cintaku?" Bisik Samuel sebelum mencium pundak Nala yang kini telanjang. Nala memukul Samuel, namun laki-laki itu tidak bergeming. Samuel membiarkan Nala meronta hebat. Rambut indah gadis itu sudah terurai, membuat Samuel semakin menggila. Ia mulai menyusuri tulang selangka Nala, membuat Nala membelalak.
" Benar. Jangan melawan..." Desahnya membuat Nala jijik. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya menyadari betapa besarnya perbedaan kekuatan mereka. Nala memukuli punggung Sam tanpa henti, yang diabaikan laki-laki itu. Sam merangkak ke atas sofa dan mulai menurunkan restleting gaun Nala dengan paksa.
Dewa.
Nama itu begitu saja terlintas di benaknya ketika Samuel mulai melakukan sesuatu yang membuat Nala ingin membunuhnya.
" Cantik." Gumam Samuel kehilangan kendali sebelum semakin menempelkan tubuhnya.
Dewa. Dewa.
Air mata Nala turun dengan deras. Semua kenangan dengan laki-laki itu berputar kembali dan berakhir dengan kejadian di ballroom. Nala terisak.
Dewa.
Tangan Samuel mulai menyusup di bawah gaunnya, membelai pelan betis Nala dan mengerang. Nala memejamkan mata erat-erat, tidak ingin melihat wajah puas Samuel yang terlihat memuakkan.
Dewa.
BRAKK!!
" Shit!!" Seru Samuel menoleh ke arah pintu.
BRAKKK!!!
Pintu itu terkoyak dari engselnya. Sesosok iblis berdiri di sana, dengan mata merah mengerikan dan kedua tangan terkepal hingga memunculkan urat-uratnya.
Dewa masuk dengan langkah besar dan menjambret Samuel dari tubuh Nala, melemparkannya hingga terbentur dinding di seberang ruangan. Tanpa berhenti, Dewa menerjang Samuel dan menahannya di dinding.
Seperti dejavu, Nala segera berteriak ketika dirinya sadar apa yang akan terjadi.
" Dewa, stop! Berhenti!!"
Namun terlambat. Dengan wajah padam dan bibir terkatup, Dewa melayangkan satu, dua, tiga tinju berkekuatan maksimal di wajah Samuel. Dengan segera wajah Samuel begitu berantakan. Dewa mencengkram lehernya dan mengangkatnya beberapa senti dari lantai hingga kaki laki-laki itu berjinjit demi menyelamatkan lehernya. Dewa menatap Samuel lekat-lekat hingga hidung mereka nyaris bersentuhan.
"Gue bunuh lo." Bisiknya dingin. Samuel melotot, pembuluh darah di matanya mulai memerah. Sepertinya ia hendak mengatakan sesuatu, namun ia justru terbatuk.
" Dewa!" Seru Nala panik. Ia berusaha keras memperbaiki pakaiannya. Namun Dewa mengabaikannya. Laki-laki itu kesetanan, iblis yang lebih kuat daripada iblis yang merasuki Samuel. Sam tersedak lagi, kali ini dengan sebentuk cairan merah mengiringinya.
Sepertinya Dewa memang benar-benar ingin membunuhnya.
" DEWA!"
Dengan satu hantaman keras, Dewa memukul wajah Samuel hingga laki-laki itu merosot hilang kesadaran. Dewa memejamkan matanya, dadanya bergemuruh. Di antara dengung dan hawa panas yang melingkupi keberadaannya, ia mulai bisa mendengar suara Nala.
Dewa mengusap wajahnya dengan kasar dan menyugar rambutnya. Laki-laki itu berusaha menenangkan diri. Setelahnya, ia berbalik.
Nala meringkuk di sana, memeluk dirinya sendiri dengan begitu menyedihkan. Gaunnya terkoyak, wajahnya basah oleh air mata, rambutnya terurai seperti orang gila. Matanya membelalak menatap Dewa penuh ketakutan.
Dewa merasa jiwanya tercabik. Gemetar hebat, Dewa mengambil satu langkah mendekat dan gadis itu mengkeret. Dewa berhenti. laki-laki itu menghembuskan nafas pelan dari mulutnya, berusaha menguasai gemetar yang kini mengguncang ujung kaki hingga ujung rambutnya. Dewa menelan ludah, kemudian mulai mendekat kembali.
" Nala?" Panggilnya lembut meskipun suaranya bergetar. Gadis itu masih tidak bergeming. Dewa memungut apapun kain yang berserakan di kakinya dan perlahan mendekati Nala. Nala semakin mengkeret, seakan ia ingin sekali menyatu dengan punggung sofa.
Dewa membentangkan kain di atas tubuh Nala, menutupinya. Nala tetap tidak bicara. Gadis itu hanya memandanginya dengan nanar.
Fase syok. Itu yang dialami gadis ini. Dewa menahan diri untuk lebih mendekatinya karena tahu hal itu hanya akan menambah ketakutan Nala. Maka laki-laki itu hanya merapikan kain agar menutupi tubuh Nala dengan sempurna sebelum berjalan ke arah pintu. Dewa bersandar di kusen sembari menutupi matanya dengan satu tangan.
" Dia di ruang staf." Kata Dewa bergetar pada seseorang di seberang telfon.
Beberapa saat kemudian, Fabian datang dengan Tristan dan beberapa pengawal lainnya. Fabian melangkah masuk, kemudian matanya melebar saat melihat kondisi Nala.
" Jangan berani-berani masuk ke dalam." Geram Fabian dengan suara mengerikan. Fabian menyeret Samuel keluar seakan dia tidak lebih dari benda yang tidak berharga. Saat itu, Dewa berbalik dan mengunci tatapan Nala.
" Bawa dia jauh-jauh!" Terdengar sayup suara Fabian di luar ruangan.
" Kamu juga pergi!" Perintah Fabian pada Dewa yang masih tidak bergeming. Fabian mengangkat pintu yang terkoyak itu, memasangnya dengan kasar di kusen untuk memutus pandangan Nala dan Dewa yang masih saling bersitatap. Nala mengedip. Ia berusaha fokus pada sosok itu. Aroma yang dikenalnya, figurnya.
" Ian?" Tanyanya gemetar sembari berusaha mencari fokus pada bayang-bayang yang menari di depan matanya. Fabian berjongkok di depannya, mengusir rambut dari wajah Nala.
" Iya, ini aku." Fabian berusaha menekan kuat-kuat kemarahannya. " Apa yang dia lakukan padamu, Kana? Kamu tidak...belum..."
Tangis Nala pecah. Ia merengkuh leher Fabian dan menggeleng keras-keras.
" Aku takut, Ian. Takut sekali." Bisik Nala di pundak Fabian. Gadis itu tidak pernah tahu betapa Fabian mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk tidak kembali menyambangi Samuel dan mematahkan lehernya sekarang juga.
" You're safe, Kana. Sssh..." Dendang Fabian memeluk Nala sembari membelai belakang kepala gadis itu dengan lembut.
" Batalkan pertunanganku, Ian. Aku mohon." Nala terisak di telinga Fabian.
Fabian mencengkram tubuh Nala erat-erat.
" Pikirkan lagi, Kana. Malam ini mungkin dia bukan dirinya sendiri. Aku tidak mau kamu menyesal melepas orang yang kamu cintai." Kata Fabian meskipun detik ini juga, dia akan membunuh Samuel. Tapi dia menahan diri. Dia tidak mau kakaknya menyesal di kemudian hari.
Nala menggeleng lagi. " Aku tidak pernah cinta padanya. Tidak pernah sekalipun."
Perkataan Nala membuat Fabian menarik dirinya. Ia menatap Nala lekat-lekat, " Kamu hanya dikuasai emosi."
Nala menggeleng putus asa. Ia mengeratkan kain yang menutupi tubuhnya. " Aku tidak pernah mencintainya. Dari awal. Aku hanya...berharap rasa itu datang seiring waktu karena Samuel orang yang baik, aku kira. Dia..." Nala memejamkan mata, " Dia bukan orang baik seperti yang kamu kira selama ini. Aku hanya berharap dia berubah, tapi..."
" Aku tahu." Potong Fabian. Ia mengusap pipi Nala dengan kedua ibu jarinya. " Aku tahu seperti apa dia. Tentu saja aku tahu. Tapi aku diam saja karena aku menyangka kamu mencintainya. Demi apapun di dunia ini, aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu walaupun itu berarti aku harus menjauhkan Sam dari wanita selain dirimu setiap hari."
Nala menatap mata biru jernih itu, kemudian tertawa sedih meskipun air matanya justru mengalir semakin deras.
" Batalkan pertunangannya." Kata Nala memohon. " Bilang pada papa, bantu aku."
" Tanpa kamu minta, aku akan mengatakannya pada papa." Kata Fabian.
Nala memeluk leher Fabian. " Katakan dengan hati-hati. Ini pasti akan berdampak besar."
Fabian mengetatkan rahangnya, " Memangnya aku peduli? Mereka yang sudah menyakitimu adalah musuhku. Dan musuh Fabian Halid tidak pernah merasa bahagia." Ujar Fabian dingin hingga Nala bergidik pelan.
Fabian meraih kain yang berserakan di lantai banyak-banyak dan membalutkannya di tubuh Nala, memastikan kakaknya tertutupi sempurna. Kemudian, ia merengkuh tubuh Nala dan membopongnya keluar ruangan. Dia harus memastikan kakaknya tidak terluka. Jika sampai terluka, Fabian bersumpah akan menusuk jantung Samuel sebanyak luka yang ada di tubuh Nala.
" Nala! Nala!" Nala menoleh dan mendapati Jess, Lila, Reno, Leon dan Katie berlari ke arah mereka dengan wajah pias. Lila dan Jess menutup mulutnya begitu menyadari kondisi Nala. Sesuatu dalam tatapan Lila membuat Nala berpaling dan menenggelamkan wajahnya di pundak Fabian.
" Rumah sakit. Aku sudah menelfon mereka untuk mempersiapkan kedatanganmu." Kata Leon dengan gigi terkatup.
" Aku temani." Kata Katie yang diangguki Lila dan Jess.
" Mana dia?" Geram Reno mengepalkan tangan kuat-kuat.
" Pingsan. Dewa memukulnya tanpa menahan diri." Jawab Fabian membuat perut Nala menghentak hebat.
" Kalau bajingan itu masih hidup, artinya Dewa menahan diri." Jelas Reno gusar. " Dia langsung pulang, anak itu."
Leon menggeplak kepalanya keras-keras, mengingatkan bahwa di sini masih ada orang yang tidak tahu apapun. Reno mendengus keras.
**
" Jangan..." Kata Fabian tajam. " ...berani mengambil satu langkah lagi, Samuel."
Samuel yang hendak melangkah mendekati tempat tidur Nala mengurungkan niatnya. Sedangkan gadis itu duduk di tepi tempat tidur dan menatap Samuel dengan datar. Ia melilitkan selimut di tubuhnya, mengingat bagaimana Samuel memandangnya dengan begitu memuakkan beberapa hari lalu.
Samuel menjatuhkan dirinya di lantai, berlutut dan menunduk. Beberapa lebam sudah tampak memudar, meskipun bekas robekan di bibirnya masih membuatnya kesulitan membuka mulut.
" Kalau kamu mencintaiku, kumohon maafkan aku, Nala." Katanya dengan penyesalan yang nyata. " Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Aku hilang kendali malam itu. Maafkan aku, kumohon!"
Nala menutup matanya Ia menyayangi Samuel, tapi hanya sebatas itu. Dan apa yang Samuel lakukan padanya membuat rasa itu hilang tanpa bekas.
" Kenapa aku berpikir kamu bisa berubah?" Ujarnya pelan. " Harusnya aku tahu kalau kamu akan selalu seperti itu. Sifatmu tidak akan pernah berubah."
Samuel menatap Nala dengan pandangan memohon. Dia marah pada dirinya sendiri.
" Beri aku kesempatan lagi, Nala. Aku benar-benar mencintaimu. Aku tidak bisa kehilangan kamu." Bisik Samuel dengan mata memerah.
" Kamu bisa kehilangan aku." Kata Nala datar. " Kamu bisa hidup dengan yang lain selain aku, Samuel. Kamu sudah membuktikan itu."
" Kanala...Kanala aku mohon..."
" Kita selesai." Kata Nala tegas seperti ketukan palu di dada Samuel. Ia menatap Nala dengan takut.
" A...apa maksudmu?" Tanyanya tertawa tidak percaya.
" Pertunangan ini, kita selesai." Kata Nala menegaskan.
Samuel terperangah, " Ta...tapi kenapa, Kanala? Malam itu aku benar-benar tidak mengerti..."
" Kamu sedang tidak mabuk, Samuel. Bayangkan saja apa yang akan terjadi jika kamu mabuk. Mungkin saja Fabian langsung membunuhmu di tempat." Kata Nala datar.
Samuel ternganga, kemudian ia cepat-cepat menguasai diri. " Nala, Kanala...bagaimana bisa kamu memutuskan..."
" Sammy..." Panggil Nala lembut. " Sammy, aku tidak pernah mencintaimu. Aku tidak pernah menyayangimu seperti kamu sayang padaku. I've tried to fall in love with you, but I can't. Daripada berlarut-larut, mari kita selesaikan sekarang."
Samuel menatap Nala terkejut. Lama laki-laki itu terdiam berharap gadisnya tertawa lalu mengatakan bahwa ini semua hanya candaan.
Namun Nala tetap diam dengan ekspresi datar. Sesuatu yang dingin mulai merambat di tulang belakang Samuel, kemudian laki-laki itu tertawa keras-keras. " Jadi ini alasannya?"
Samuel menatap Nala dengan pandangan terluka, " Kamu memang tidak pernah mencintaiku? It does make a sense! It does! Lalu mengapa kamu menerima pertunangan kita?"
"Samuel Maximillien, di antara semua calon yang dibawa ayahku, adalah laki-laki yang bertanggung jawab, beretika dan mampu menahan diri padaku. Aku tahu bagaimana sepak terjangmu di klub-klub malam dan ketika kamu mengatakan akan berhenti, aku memutuskan untuk memberikanmu kesempatan kedua." Desis Nala. "Sayangnya, setelah malam itu kamu kehilangan rasa hormatku."
Samuel tidak bergeming. Kemudian berdiri. " Tapi aku mencintaimu."
" Tidak. Kamu tidak pernah mencintaiku, Sam." Nala menelan pahit. " Apa yang kamu sangka adalah cinta, itu bukan cinta. Jika aku bukan Halid, kamu tidak akan pernah melirikku."
Samuel tiba-tiba tertawa keras, " Kamu menerima pertunangan juga karena aku Maximillien!"
Nala menggeleng pelan, " Aku memilihmu karena kamu bisa menghormati keputusanku, prinsipku, keyakinanku, dan bersedia berubah. Aku menghormatimu, aku menyayangimu, tapi mencintaimu, being crazy about you, aku belum bisa. Tidak akan pernah bisa."
Samuel terperangah, kemudian dia mendesis, " Tetap saja, tidak ada hubungan tanpa suatu keuntungan, Nona Halid! Tanyakan pada adikmu tercinta! Itu alasannya ayahmu mempertunangkan kita! Halid butuh Maximillien!"
" Dalam mimpimu, Samuel Maximillien." Geram Fabian merasa cukup dengan semua omong kosong ini. Harusnya dia langsung mendepaknya sejak pertama kali tahu tabiat Samuel! Fabian meraih Samuel, namun Samuel menepis tangan Fabian.
" Jangan coba-coba membatalkan pertunangan, Fabian. Tanpa Maximillien, Halid tidak ada apa-apanya!" Tukas Samuel sombong di depan Fabian.
Sombong di depan Fabian? Bercanda!
Fabian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Ia menatap Samuel tajam, namun demikian bibirnya tersenyum dingin.
" Sekarang juga. Detik ini juga. Aku bisa menghancurkan Maximillien sampai ke akar-akarnya dan aku pastikan Halid masih berdiri." Bisik Fabian dingin. " Aku memegang jantungmu, Maximillien. Mau bertaruh?"
Kelebat keterkejutan muncul di mata kelabu Samuel, namun ia mempertahankan wajah angkuhnya. " Kamu tidak akan berani. Ayahmu tidak akan memaafkanmu karena menyakiti sahabatnya, Halid! Kamu yang hanya anak angkat ingin memutuskan hubungan dengan Maximillien! Bah! Kamu tidak punya hak!"
Seringai Samuel melebar kala Fabian menegang.
" Kamu pikir aku tidak tahu rahasia Alexander Halid? You are just outsider!" Hujam Samuel tajam.
Fabian mengangkat alis. " Koreksi. Kamu dan para pemegang saham."
Mendengarnya, kata-kata tajam Samuel menghilang digantikan mulut yang terperangah.
" Para orang tua angkuh itu kini menunduk untuk mencium ujung kuku ibu jari kakiku. Mereka tahu siapa aku dan mereka tetap menobatkanku sebagai raja mereka. Siapa yang buta? Kamu, atau mereka?" Fabian mendekati Samuel hingga hidung mereka nyaris bersentuhan. " Seorang Fabian Halid tidak pernah mempunyai teman, Sam. Dalam hidupnya hanya ada dua pilihan, sekutu atau musuh. And this time, you've proved that you're my damn enemy."
Samuel mundur selangkah. Wajahnya memucat.
" Jadi sampaikan pada ayahmu tercinta, bahwa Kana membatalkan pertunangan karena sikap brengsekmu." Fabian berkata rendah. "Jika ada satu saja kata yang terbalik, aku pasti akan tahu."
Samuel memandang Fabian dengan jijik. Ia menggelengkan kepala beberapa saat, kemudian menoleh ke arah Nala.
"Seperti kataku, Kanala, you're too naive. Aku adalah yang terbaik yang bisa kamu harapkan! Setelah ini tidak akan ada laki-laki yang sudi menerimamu, perempuan cacat!"
Nala memberikan peringatan pada Fabian ketika anak itu hendak menerjang Samuel. Maka Fabian hanya bisa menggeram dan mengepalkan jemarinya.
" So let it be, then. Aku hanya yakin Tuhan membuatku seperti ini dengan sebuah alasan." Jawab Nala tidak ambil pusing membuat Samuel menggeram.
Samuel mendorong pundak Fabian agar menjauh darinya. " Kalian tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kanala, you'll regret everything !" Serunya penuh dendam sebelum keluar dari kamar Nala dengan harga diri terkoyak.
Fabian menjentik pundaknya seperti mengusir kotoran dari sana, kemudian menatap Nala yang memasang wajah datar seakan drama tadi sudah biasa terjadi.
" Itu akibatnya jika hanya menerima kepewarisan secara instan. Kekanakan." Komentar Fabian mendekat.
" Sikapmu terlalu lembek, Ian." Komentar Nala kembali berbaring. " Dan berhenti merendahkan orang lain. Itu sama sekali bukan gayamu." Katanya seraya bergelung di dalam selimut dan membelakangi Fabian. Fabian terkekeh. Ia duduk di tepi tempat tidur Nala, mengusap kepala kakaknya.
" Bagaimanapun juga dia pernah berarti untukmu." Kata Fabian membuat Nala tersenyum kecil.
" I don't cherish him as big as you think, Fabian."
" You really okay?"
" Hmm...Kalau aku, apakah aku sekutumu?" Tanya Nala berusaha mengalihkan perhatian Fabian.
Fabian mengangkat alis sebelum merendahkan diri dan berbisik di telinga Nala, " Kamu bukan pilihan, Kana. Kamu tanggung jawabku." Katanya sebelum mencium rambut Nala dengan sayang.
Nala menarik selimut agar menyembunyikan wajahnya yang akan segera banjir.
**
Samuel memukul keras-keras kemudi mobilnya. Argh! Kacau! Semuanya kacau!
Bagaimana dia akan menjelaskan kepada ayahnya? Bagaimana dia masih punya muka setelah membuat sekutu terkuat mereka murka?!
Heh...
Beraninya nona kecil itu mempermainkannya. Beraninya dia menyalahkan Samuel atas apa yang seharusnya bukan kesalahannya. Terlalu kolot! Terlalu kampungan! Memangnya semua orang itu suci?
Bukankah cukup dengan menempatkan Nala sebagai wanitanya yang paling penting? Bukankah cukup dengan dia yang menyandang permainsuri Maximillien? Memangnya apa lagi jika itu bukan cinta?
Dan sekarang rasa cinta itu musnah, digantikan sesuatu yang terluka dan membara tepat di tengah dadanya.
Samuel mencengkram roda kemudi hingga kuku jarinya memutih.
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top