22. Going Wild
Melewatkanmu di lembaran hariku, selalu terhenti di batas senyumanmu
🎶Adera-Melewatkanmu
Nala berjalan melintasi lorong menuju apartemennya. Tangan kanannya penuh dengan belanjaan dari supermarket di depan sana, sedang tangan yang satunya memegangi ponsel yang menampakkan agenda-agenda penting yang harus segera ia selesaikan terkait dengan masalah perusahaan, kelas PE dan juga La Belle Femme. Wajah gadis itu nampak letih. Beberapa rambut lolos dari kuncir kudanya, terjuntai lemas di sisi wajah gadis itu.
Langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu apartemen. Nala menyimpan ponselnya ke dalam saku dan membuka pintu apartemen.
" Aku pulang." Nala bersuara dengan lelah. Ia menyeret kakinya ke dalam, lalu sesuatu masuk ke dalam pandangannya.
Nala bahkan belum sempat berkedip ketika Lila menubruknya dengan heboh.
" Nala, gue kangen."
Nala mengerjapkan mata, bingung dengan dua orang lain yang kini duduk di sofa. Samuel yang tersenyum penuh pengertian mendekatinya dan meraih plastik belanjaan dari tangan Nala yang membeku. Laki-laki itu mengusap puncak kepala Nala dan berbisik.
" Enjoy your time, sweetheart." Ucapnya.
Tepat ketika Samuel menghilang di dapur, pelukan Lila di lehernya mengerat. Tiba-tiba saja, matanya memanas. Nala balas memeluk Lila dengan erat.
" Gue juga, La. Gue juga." Bisik Nala tercekat. " Maaf, gue nggak bisa datang di nikahan lo."
Lila terkekeh dan menepuk-nepuk punggung Nala. " Nggak usah kepikiran. Gue paham."
Nala tersenyum guna menepis bibirnya yang mulai bergetar. Rasanya lama sekali ia tidak mendengar suara cempreng sahabatnya ini. Nala menjauhkan dirinya agar bisa melihat Lila lebih jelas.
" Beneran. Waktu gue baca email lo itu, gue perlu baca berkali-kali." Kata Nala menunjuk laki-laki berkacamata fullframe dengan tidak sopan. " Sama Reno? Sama dia? Seriously? Foto nikahan lo aja gue yakin itu photoshop!"
" Lo sama gue sentimen terus dari dulu emang, La." Cibir Reno berdiri. Namun ia tersenyum. " Sini lo, dasar!"
Nala berlari dan melompat ke pelukan Reno tanpa ragu. " Baik-baik kan lo sama Lila? Awas lo!"
" Iya, gue baik kok. Sampe dapet bonus tapi gue tinggal di rumah. Tapi rencananya mau bikin la...aduhhh." Reno berhenti ketika Lila mencubit pipinya tanpa ampun.
Nala tertawa. " Ya ampun, Lila dari dulu emang bakat bikin orang aneh deketin dia. Heran gue."
Gadis itu melepaskan pelukannya pada Reno dan menatap satu-satunya orang yang tersisa.
Nala mengangguk singkat dan segera memalingkan wajahnya.
" Lo di sini udah dua bulan La? Kenapa nggak ngabarin gue?" Hardik Lila ketika mereka kembali duduk di sofa.
Nala melepas tasnya dan menaruhnya di samping. Gadis itu duduk di sofa single di antara Leon dan Reno yang duduk berdua dengan Lila.
" Waktu itu rencana gue nggak selama ini." Jawab Nala menyadari bahwa di meja rendah di depan mereka, sudah tersedia minuman dan makanan ringan. Tunangannya itu tanggap juga.
" Adik lo mana?" Tanya Reno tiba-tiba.
" Ian? Jam segini anak itu masih sibuk di kantor. Pulangnya malam, kalau kalian mau ketemu." Jawab Nala. " Udah kenalan sama Sammy?"
Lila mengerut, " Sammy?"
" Samuel. Bukannya kalian tadi sempat ngobrol?" Kekeh Nala.
" Oh...iya." Jawab Lila. Nada suara Lila yang aneh membuat Nala mengerjap.
" Kenapa?" Nala mengerutkan kening. Lila menggeleng.
" Nggak. Itu...beda aja sama foto yang lo kirim." Jawabnya nyengir salah tingkah.
Nala tertawa geli, " Tambah ganteng, ya?"
Tawa Nala meredup ketika Reno dan Lila saling pandang. " Errr...ada apa? Sam ngomong yang aneh-aneh ya?"
" Sejujurnya, dia nggak bisa ngomong banyak karena nggak paham bahasa slang Indonesia." Leon angkat bicara untuk pertama kalinya. Nala meliriknya sekilas.
" Itu wajar. Itu kenapa cara bicara Ian dan Sam masih kaku." Jawab Nala menghindari Leon.
Leon menghela nafas, "Maafin gue. Nggak seharusnya gue nyalahin lo."
Nala memejamkan mata ketika ingatan tentang Leon yang hadir di pertunangannya tiba-tiba menyeruak. Dengan wajah penuh amarah dan pandangan dingin, laki-laki itu menghadapi Nala.
" Gue udah bilang jangan ninggalin Dewa, apapun yang terjadi! Kenapa lo malah kabur ke Perancis, hah?"
Dia tidak mengerti mengapa Leon harus marah padanya. Demi apapun, Dewa yang menyakiti Nala dan bukan sebaliknya! Sampai sekarang pun, Nala tidak tahu caranya menghadapi Leon. Karena sekarang Nala tahu jika Leon tahu tentang perjanjian itu dan dia membiarkan Dewa, sahabat terbaiknya, mempermainkan Nala.
" Nggak masalah." Nala membuka mata. " Paling nggak sekarang lo paham kata-kata lo itu nggak pantes."
Siapapun yang mendengarnya, akan menyadari nada sarkatis di sana. Saat itu Samuel muncul.
" Sorry, aku keluar dulu." Ucapnya nyengir sembari mengangkat ponselnya.
" Ada apa?" Tanya Nala ketika Samuel terkesan terburu-buru.
" Panggilan dari kantor." Jawab Samuel mendekati Nala dan membungkuk untuk mengecup puncak kepalanya. " Aku tidak akan lama. See you, then."
" Hmm..." Jawab Nala mengawasi Samuel yang menghilang.
" Dia...eh, kelihatannya orang baik." Komentar Lila masih memandangi titik di mana Samuel menghilang. Nala mengangkat alis.
" Dan kenapa pula Sammy lo kira bukan orang baik?" Tanya Nala penasaran. Lila menggeleng cepat-cepat, sementara Reno di sebelahnya membuang muka.
Leon menelengkan kepala, " Gue masih menganggap pilihan lo kacau."
Nala mendengus, " Di dunia ini, nggak ada orang yang benar-benar jahat dan nggak ada orang yang benar-benar baik. Kalau kita melihat hanya dari satu sisi, kita bakal kehilangan banyak."
Reno menjentikkan jari, " Prinsip itu yang nyelametin gue, sumpah!"
Lila menggeplak tangan Reno, membuat laki-laki itu meringis. Nala mengabaikannya dan menatap Leon. " Gue punya alasan, dan gue harap lo hormati itu."
Leon menatapnya sejenak, kemudian mengangkat satu ujung bibirnya. Laki-laki itu mengurai tangannya yang sedari tadi bersedekap untuk meraih minuman di depannya. " Shadow Queen gue udah bertitah, gue bisa apa." Ucapnya mengedikkan minuman itu pada Nala sebelum meminumnya. " Asli, gue kangen banget sirup rasa jeruk macam gini!"
"Lo kebanyakan minum cocktail di sana sih!" Sambar Reno.
" Nggak ya, gue masih penggemar mocktail." Dengus Leon. " Bisa dihabisi Dewa kalau dia sampai tahu gue mabuk."
" Yakali presdir Aditama mabok itu headline news yang nggak banget." Cibir Lila. Leon mendengus, tapi tidak berkata apa-apa.
" La?" Panggil Leon membuat Nala mendongak. Laki-laki itu menatap Nala dalam-dalam.
" Semua kelakuan Dewa, gue pastikan dia nggak bohong." Ucap Leon tiba-tiba.
Hening sejenak. Atmosfir santai kini berubah menjadi sesuatu yang dingin ketika kecanggungan merambat. Nala membasahi kerongkongannya yang mendadak kering.
" Kalau kamu mau ngomongin Dewa di sini, mending kamu pergi aja, Le!" Kata Nala tegas. " Kalau kalian kesini cuma mau ngomong tentang Dewa, mending kalian pergi aja. Karena gue nggak mau dengar apapun tentang dia lagi."
Nala menatap mereka bertiga sembari mengepalkan tangan di pangkuan. Sudah cukup dengan kelakuan Dewa yang membuatnya hampir jantungan. Dia tidak butuh ceramah mereka bertiga tentang Dewa.
Itu tidak berarti apa-apa untuknya.
Lila tidak bisa menahan isakannya lebih lama lagi. Ia menghambur ke arah Nala dan memeluknya erat-erat.
" Nggak, kita nggak akan ngomong tentang dia." Ucapnya terbata di samping telinga Nala yang tidak bergeming. " Kalau mereka berani ngomong tentang Dewa, gue suntik mereka satu-satu. Kamu tenang aja."
Nala mengerjap ketika kini matanya mengabur dengan cepat. Sepasang matanya masih menatap Reno dan Leon dari atas pundak Lila yang merangkulnya, dan dua pria itu bisa melihat luka yang tidak pernah sembuh di mata yang basah itu. Bersamaan, keduanya membuang muka.
Untuk beberapa saat, Nala hanya ingin menunjukkan pada kedua sahabat Dewa untuk kesekian kalinya bahwa bukan dia yang salah di sini. Dia tidak pantas diadili!
Nala menghirup nafas dalam-dalam untuk menyingkirkan aliran emosi yang menguasainya, kemudian berdehem membuat Lila menarik diri.
" I am fine, really." Ucap Nala setelah menghirup nafas dalam-dalam. Lila mengerucutkan bibir membuat Nala terkekeh.
" Sumpah, kangen banget gue sama lo, La. Kapan-kapan main ke Perancis, dong. Gue belum pernah ketemu keponakan gue."
Lila memutar bola mata, "Gue juga pinginnya main ke sana, tapi Reno sibuk banget nge-hack Pentagon. Jadi susah cari waktu gue."
Nala mencibir pada Reno yang terkekeh. Saat itu, Leon mengulurkan sesuatu pada Nala.
" Undangan pembukaan cabang Aditama Brain Medical Center." Tanya Leon. " Secara resmi. Karena Fabian udah tahu dan kalau dia tahu, lo pasti juga tahu."
Nala menerimanya, "Hmm, iya. Gue juga nunggu kabar itu dari pihak Aditama. Selamat ya, Tuan Aditama. Fabian pasti menyiapkan yang terbaik untuk anda." Kata Nala tulus.
**
Sepertinya, gaun maxi adalah favorit Nala. Kali ini ia memilih mengenakan gaun maxi berbahan sifon dengan warna soft pink. Nala memilin rambutnya dan menyila ke salah satu pundak dengan rapi sebelum menyematkan japit mawar merah merekah di pangkal pilinannya. Nala memakai heels berwarna senada yang tersembunyi di balik gaunnya. Ia sedang memoleskan lipbalm ketika Samuel muncul di pintu.
Pria itu menelan ludah kala menatap tulang selangka Nala yang mengintip. Terlihat begitu menggoda. Juga leher jenjang nan putih itu. Namun ia menahan diri. Dia tahu Nala tidak pernah suka sentuhan berlebihan.
Gadis itu berbalik dan seluruh nafasnya hilang. Bagaimana ada wanita secantik ini? Sesempurna ini? Dia bisa mengalahkan seluruh wanita tercantik yang pernah Samuel kenal hanya dengan polesan lipbalm transparan di bibir mungilnya yang justru menegaskan warna merah alami dari bibir Nala.
Samuel menggeleng, menenangkan dirinya yang mulai berpikiran liar. Ia tersenyum dan mengulurkan tangan.
" Ready?" Tanya Samuel melingkarkan tangan di pinggang ramping Nala. Nala mengangguk dan merapikan jas Samuel.
" Fabian?" Tanya Nala menatap Samuel dengan matanya yang indah.
" Menunggu kita di bawah. Ayo, nona Halid." Kata Sam mengecup punggung tangan Nala dengan sayang. Nala terkekeh canggung.
Di kaki tangga, seorang pemuda dengan jas hitam terlihat sangat sempurna. Nala yakin adiknya akan langsung mencuri jiwa semua perempuan yang memandangnya. Nala merengkuh pipi Fabian yang mulus setelah bercukur. Fabian menunduk, balas memegang pinggang Nala dengan kedua tangannya.
" Indah sekali." Puji Nala dengan sayang. Nala berjinjit untuk mengecup kening Fabian.
Fabian menyila rambut di belakang telinga Nala, menyatukannya dengan yang lain, " Aku mendoakan kebahagiaanmu, Kana. Selalu."
Nala tersenyum membuat hati Fabian menghangat. " Untukmu juga, Ian. Ayo berangkat?"
Fabian mengangguk. Ia menoleh pada Samuel dan mengangkat alis. " Kenapa? Kana kakakku. Jangan bilang kamu cemburu."
Samuel mengendurkan otot wajahnya. " Sayangnya, aku cemburu. Nala tidak pernah memperlakukanku selembut itu." Candanya merajuk. Samuel meraih tangan Nala dan menuntunnya.
" Karena belum pantas, Sam. Tunggu sampai kalian menikah." Celetuk Fabian membuat Samuel memutar bola mata.
" Ahh, tunggu aku!" Seru Jess menuruni tangga dengan tergesa. Ia mengenakan gaun selutut berwarna ungu, cocok dengan penampilan Fabian karena malam ini Jess adalah pasangan Fabian. Tapi siapapun yang mengenalnya akan tahu bahwa tidak ada romansa apapun di antara mereka. Mereka lebih seperti...
PLETAK!
" Aduh!" Fabian meringis merasakan tangan Jess di kepalanya.
" Jangan sekali-kali meninggalkanku lagi! Kalau kamu berani, aku selotip kamu!" Jess berkacak pinggang dan menata Fabian galak.
" Iya iya. Sudah, ayo berangkat!" kata Fabian setelah memukul pelan kepala Jess, membuat anak itu meninju punggungnya yang kokoh.
" Ah, semoga Charlie tidak tahu aku berselingkuh dengan tiruan Sean O'pry!" Kata Jess saat mereka di jalan.
Fabian mengerjap, " Sean? Siapa?"
Jess hanya memutar bola mata, " Kamu tidak perlu tahu. Yang penting nanti jangan sampai ada foto tentang kita yang bisa menjadi skandal, Fab. Atau aku bisa menjamin Charlie mengulitimu hidup-hidup!"
" Kenapa? Charlie tidak akan marah kamu pergi denganku. Dari dulu dia tahu kalau cintamu hanya untuknya." Kata Fabian mengomentari Charlie, sahabatnya sejak SMA.
" Yep!" Seru Jess ceria. " Makanya sana cari kekasih! Jangan selalu merepotiku, ck!"
**
Vellfire milik Fabian berhenti di pelataran parkir premium hotel Halid terbesar di Indonesia yang berada di ibukota. Untuk semua rekannya, Fabian memang selalu mengusahakan yang terbaik. Itu yang membuatnya selalu disegani oleh rekan-rekan Fabian.
Ballroom terlihat begitu mewah dengan segala interior bernada keemasan. Dengan segera Leon mendatangi mereka. Tapi dia tidak sendiri.
" Katie. Kapan datang?" Tanya Nala pada tunangan tuan muda Aditama yang memakai gaun berwarna merah terang dengan sentuhan perak di pinggangnya untuk menambah jelas lekuk tubuhnya. Katie Jasmine, adalah seorang fotografer internasional luar biasa cantik dengan lekuk tubuh yang tidak kalah cantiknya. Ditambah kemampuannya dalam merias diri, tunangan Aditama ini mampu membuat model manapun merasa rendah diri. Tapi seorang Katie sekalipun tidak bisa berkutik di bawah pesona menawan seorang Aditama.
" Kanala! Jess!" Serunya ceria memeluk mereka berdua. " My beautiful ladies! Aku baru datang tadi pagi. Halo Sammy, aku tidak menyangka kamu sudah di sini. Beautiful country, eh? Aku belum sempat kemana-mana."
" Ajak pacarmu itu. Jangan biarkan dia sibuk hingga melupakanmu." Celetuk Fabian setelah bersalaman dengan Leon.
" Ah Fabian. As hot as usual, eh? But mine is hotter." Kata Katie mengecup singkat pipi Leon. " Are they your friends?"
Katie menunjuk di belakang mereka, membuat mereka berempat menoleh.
" Nala!" Seru Lila memeluknya.
Namun Nala terpaku. Ia bahkan lupa dia sedang berada di tengah-tengah banyak orang karena saat ini, mereka semua tidak penting kecuali dua orang yang berdiri tepat di depannya.
" Nala." Sapa Raya melepaskan tautan tangannya dengan Dewa dan memeluk Nala setelah Lila melepaskannya. Nala memaksa pandangannya lepas dari cincin di tangan kiri Dewa, untuk kemudian naik dan memandang sepasang mata hitam legam itu.
Tentu saja. Leon pasti mengundang Dewa.
Suara Katie samar-samar terdengar oleh Nala.
" Dewangga, sepertinya ada yang perlu kalian katakan. Siapa wanita cantik ini?" Tanya Katie ramah pada Dewa yang terdiam. Dia sedikit banyak mengenal Dewa dari Leon yang sering menceritakannya.
Raya tersenyum, merasa penting karena berada di tengah perhelatan besar yang digelar oleh keluarga Aditama. Sedangkan Reno dan Leon, keduanya berusaha untuk tidak menatap Nala hanya untuk menghindari perasaan bersalah mereka masing-masing. Lila, perempuan itu menatap Raya setajam silet, berharap bisa mengoyak Raya seribu kali lipat lebih parah daripada apa yang dialami Nala.
" Raya, tunangan Dewa." Kata Raya penuh percaya diri dan menjabat tangan Katie. Kemudian, ia menoleh pada Nala.
" Nala, lihat ini!" Seru Raya gembira mengacungkan tangan dimana terdapat cincin perak yang identik dengan milik Dewa. Mata Nala beralih dari Dewa kepada Raya, namun kerongkongannya belum mau bersuara.
" Wah, selamat! Mengapa kalian tidak mengundang kami?" Protes Samuel meskipun matanya berbinar.
" Ah, acaranya tertutup. Sederhana juga. Kami hanya mengundang kerabat." Jelas Raya dengan wajah malu-malu. Perempuan dengan gaun ketat yang menampakkan perut buncitnya itu tidak pernah kehilangan senyum bahagianya.
" Selamat." Kata Nala menarik ujung-ujung bibirnya yang terasa kaku. Raya menatapnya, kemudian tersenyum tulus. Yah, Nala bukan lagi ancaman baginya.
" Terima kasih." Katanya kembali ke samping Dewa dan menautkan tangan mereka. Seketika itu juga, Nala menoleh pada Samuel.
" Ayo kesana. Aku pingin makan puding." Kata Nala mengabaikan pandangan dari Lila. Apa dia terlihat menyedihkan hingga Lila dan Reno harus memandangnya seperti itu?
Dia juga harus menunjukkan bahwa dia bahagia, kan?
" Tentu, Ma cherie." Kata Samuel tertawa pelan dan membiarkan Nala melingkarkan tangan di sikunya.
Dewa tidak mengatakan apapun. Dia tadi hanya memandangnya tanpa ekspresi. Untung saja. Untung saja Nala tidak pernah mendengarkan omong kosong Dewa. Nala menunduk untuk menyembunyikan air matanya. Dia kenapa sih? Bukankah itu bagus?
" Ini, coba cicipi." Kata Samuel menyendok secuil puding vanilla dan menyodorkannya pada Nala. Siapa yang membukakan mulutnya? Siapa yang menyuruhnya menerima suapan Samuel? Nala tidak tahu. Dia tidak peduli lagi. Dia tidak bisa berpikir. Dia hanya melakukan apa yang orang lain perintahkan padanya.
" Enak, kan?" tanya Samuel berbinar karena ini pertama kalinya Nala menerima perlakuan lembut darinya. Nala mengangguk singkat sebelum balas menyuapkan satu sendok puding di tangannya untuk Samuel.
" Ini juga enak." Katanya merasa-rasa. Ia menatap Nala yang menunduk dengan pipi merona. Sungguh, gadisnya bisa membuat siapa saja gila malam ini.
Jika Katie Jasmine adalah ratu kecantikan, maka gadisnya adalah simbol dari kecantikan alami yang sejati. Tanpa bisa berpikir, Samuel menundukkan kepala dan mencium pipi Nala, menggesekkan bibir dan hidungnya di pipi lembut gadis itu. Pikirannya nyaris hilang ketika disadarinya Nala tidak menjauh seperti biasa.
" Not here, Sam." Tepukan Leon di pundak Sam menyadarkan laki-laki itu. Samuel hanya nyengir. Sedikit berterima kasih karena Leon menghindarkannya dari apapun yang mungkin akan membuatnya malu.
" Is she okay?" Tanya Katie karena Nala mengabaikan mereka dan lebih memilih memakan pudingnya.
" She is fine. Dia dengan tunangannya." Kata Leon tidak berminat mengatakan yang lainnya.
Samuel meraih tangan Nala dan mengecup punggung tangannya. " Dance with me."
Nala mengangguk saja. Ia menerima genggaman tangan Samuel yang mengajaknya ke lantai dansa. Ia membiarkan tangan Samuel melingkar di pinggangnya, membimbingnya berdansa.
Aneh sekali. Padahal dia tahu bagaimana masa depannya. Tapi kini masa depan itu serasa memburam di depan matanya.
Rasanya seolah Nala kembali pada hari itu. Hari dimana Dewa memutuskan untuk merenggut jiwa Nala. Rasanya masih sama. Sakitnya masih terasa. Nala mengeratkan pegangannya pada Samuel hanya untuk mencegah dirinya tersungkur.
Nala mengerjap, kemudian menarik kepalanya tepat waktu.
" Sam?" Panggil Nala memperingatkan. Samuel menegakkan diri kembali. Meskipun ia tersenyum, Nala bisa menangkap frustasi di matanya.
" Maafkan aku. Hanya saja kamu terlihat begitu cantik, Kanala." Kata Samuel. Nala tersenyum tipis sebelum membelai pipinya.
" Maaf." Kata Nala sungguh-sungguh.
" Hmm...aku masih bisa menunggu." Kata Samuel berusaha melucu.
Bukan. Bukan tentang itu. Tapi tentang diri Nala yang selalu menghindari Samuel. Tunangannya sendiri. Orang yang paling berhak atas dirinya dibandingkan siapapun.
Nala mengalihkan pandangan dari Samuel, merasa sangat bersalah. Tapi yang dilihatnya justru Dewa dan Raya yang sedang tidak jauh dari mereka dengan Dewa yang berdiri memunggunginya. Raya memainkan kedua tangan Dewa, berputar di bawah lengannya dengan tawa lebar yang tidak pernah terlepas dari bibirnya.
" Kenapa?"
Nala sadar ternyata ia sudah melepaskan kedua tangannya dari Sam.
" Ah...itu, aku perlu ke toilet dulu." Kata Nala terbata dan berbalik dengan tergesa. Rasanya satu ruangan dengan mereka terasa menyesakkan.
**
Nala memegang tepi wastafel erat-erat ketika ia tidak bisa lagi menahan lelehan air matanya. Ia membiarkan sedikit saja rasa sesak itu keluar.
Ayo La, kamu kuat! Batin Nala memberi semangat. Just take the pain and let go. Take the pain and let go. Nala membuka matanya dan melihat dirinya di cermin begitu menyedihkan. Nala tergelak kecil dan membersihkan apapun yang ada di wajahnya. Dia sudah membuat Samuel menunggu terlalu lama.
Nala keluar kamar mandi dan mengambil lorong sepi yang mengarah ke ballroom. Namun di tengah jalan, ternyata ia bertemu Samuel.
" Sammy? Kamu juga mau ke toilet?" Tanya Nala tersenyum. Samuel menggeleng kecil tanpa melepaskan pandangannya pada Nala.
" Oh...ya sudah, ayo kembali ke...Sam!" Pekik Nala ketika Sam tiba-tiba memeluknya. Laki-laki itu menyusupkan wajahnya di leher dan menghirup dalam-dalam. Bulu roma Nala berdiri.
" Sam...tidak enak dilihat orang lain!" Nala berusaha mendorong tubuh Sam yang kokoh. Tapi sia-sia, Sam justru mengeratkan pelukannya.
" You're so beautiful." Katanya parau tepat di telinga Nala. Nala terbelalak ketika Sam menyusurkan bibirnya di pundak Nala.
" Sam! Lepas!" Nala mendorong Sam sekuat tenaga hingga laki-laki itu terhuyung. Nala menatap Sam nanar dan menemukan mata Sam menggelap. Ia menggeram.
" Kenapa, Nala?" Tanyanya frustasi mencekal tangan Nala. " Aku tunanganmu! Kita pasti akan menikah! Mengapa kamu tidak pernah mengizinkanku menyentuhmu?"
" Karena kita belum menikah, Sammy." Nala mencoba menyadarkan Sam dengan menepuk-nepuk kecil pipinya. "A...ayo kita kembali, ya?"
Sam tidak bergeming. Laki-laki itu menangkup wajah Nala dengan kedua tangan. "Alasanmu selalu saja seperti itu. Apa jangan-jangan kamu tidak mencintaiku?"
" Bicaramu ngawur, Sammy." Kilah Nala berusaha membebaskan diri. Sammy menahan wajah Nala.
" Kalau begitu buktikan!" Bisiknya lebih berupa perintah. " Memangnya apa yang salah kalau aku menyentuhmu? Seakan kita orang asing saja!"
" Sam...umh!!" Nala membelalak ketika tiba-tiba Samuel menunduk. Nala menutupi bibirnya dengan punggung tangan tepat waktu sehingga laki-laki itu hanya mencium telapak tangan Nala.
" JUST A KISS! DAMN IT!!" Teriaknya frustasi hingga Nala mundur dan membentur dinding. Samuel lepas kendali. Laki-laki itu mengacak rambutnya dan memandang Nala dengan pandangan kelam.
" Sam, ini bukan kamu! Sadar! SAMUEL! HENTIKAN!" Nala menampar Samuel karena laki-laki itu justru merangsek maju dan memaksa mencium Nala.
Sepertinya, Nala sudah melakukan hal yang salah. Samuel menggeram rendah seperti binatang yang terluka. Laki-laki itu mencekal kedua bahu Nala kuat-kuat dan menahannya di dinding hingga gadis itu tidak mampu bergerak sedikitpun.
"Enough with that stupid thing!" Bisiknya dingin dengan mata berkabut. Ia menyatukan kedua tangan Nala di atas kepala gadis itu, sedangkan tangan lain meraih dagu Nala dan memaksanya mendongak." Tonight, you're mine!"
*TBC*
Kalau gamon, selain Melewatkanmu dari Adera apa lagi ya? 😶😶
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top