21. Permainan Takdir
"True friend don't give what you want. They throw what you need right on your face, and you're fixed"
Seharusnya, apartemen adalah tempatnya melepas penat setelah seharian berkutat dengan berbagai penyakit hingga nyawa seseorang. Sudah cukup Dafa yang memulai ketidaknyamanan dengan menjauhi Dewa karena membiarkan Nala pergi.
Sekarang, dia harus menghadapi kedua orangtua Raya yang sudah ada di sini entah sejak kapan.
" Kamu kenapa baru pulang?" Tanya Raya menuntut.
" Aku banyak kerjaan, Ray." Kata Dewa setelah mencium kedua tangan orangtua Raya dengan sopan. Walau bagaimanapun, dia cukup mengenal keluarga Raya. Dewa menghindari tiga orang yang duduk di ruang tamu itu dengan pergi ke dapur. Di sana, ia malah bertemu bi Sumi yang sedang membuat minuman. Dewa menghela nafas lelah.
" Biar aku saja, bi." Pinta Dewa mengambil alih baki berisi tiga gelas itu. Dewa membawanya keluar dan meletakkannya di meja rendah. Kemudian, ia memutuskan untuk menghadapi apapun itu. Kebahagiaan karena kebersamaannya dengan Nala meredup, digantikan amarah yang berusaha ditahannya. Ia mengambil tempat duduk di sofa single, jauh dari Raya yang memandangnya tidak setuju.
Dewa sama sekali tidak bersalah, dia tahu itu. Tapi tetap saja dia tidak bisa menghadapi wajah kedua orangtua Raya yang menatapnya dengan mengerikan. Menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi terasa sangat salah.
" Setelah selama ini kami kenal kamu, kami percaya kamu, lalu kamu berhak bertindak seperti ini?" Ujar ayah Raya dengan gigi terkatup. Tanpa basa basi, jelas sekali kemurkaan di setiap katanya. Dewa memejamkan matanya dan menunduk. Sungguh, sikapnya benar-benar mendukung apapun yang ada di pikiran orangtua Raya.
" Kenapa kamu sembunyikan?" Seru ayah Raya. " Sejak kapan kamu jadi laki-laki kurang ajar yang tidak bertanggung jawab? Menunggu Raya sendiri yang menceritakannya kepada kami? Sebenarnya apa yang ada di pikiran kamu? DEWA? JAWAB SAYA!"
" Ayah...sudah..." Raya cemas melihat ayahnya kehilangan kendali.
" BIAR, RAYA. BIAR DIA TAHU SEBERAPA BEJAT KELAKUANNYA SAMA KAMU! DAN SETELAH INI, KAMU TETAP TENANG SAJA? SAMA SEKALI TIDAK ADA ITIKAD BERTANGGUNG JAWAB? APA YANG KAMU PIKIRKAN? KALAU IBUMU TAHU, SEBERAPA KECEWANYA DIA SAMA KAMU, DEWA? APA KAMU PERNAH BERPIKIR SEPERTI ITU?" Teriak ayah bangkit dan menujuk Dewa dengan jari telunjuknya. Matanya nyalang.
Dewa membuka matanya. " Jangan membawa-bawa ibu, pak." Kata Dewa datar. Dia setengah mati berusaha menahan diri untuk tidak balas berteriak. Bagaimana mungkin ibunya dipertaruhkan di sini, di kasus yang bahkan tidak pernah terjadi?
PLAK!
Sepertinya, suara acuh Dewa menambah kemurkaan pria itu menjadi sepuluh kali lipat. Ia bergegas mendekati Dewa dan menampar Dewa dengan keras hingga wajah laki-laki itu terlempar.
" Ayah, ayah, sudah..." Kata ibu Raya menyeret ayah dengan susah payah meskipun dia sama sekali tidak menyesali tindakan suaminya.
" Dewa, bagaimanapun ibumu tetap akan tahu. Ini sudah keterlaluan. Raya hamil gara-gara kamu, De. Ini masalah serius." Kata ibu dengan mata berkaca. Padahal ia sangat menyukai Dewa sejak dulu. Dia tidak munafik. Dia berharap pertemanan Raya dan Dewa langgeng hingga pernikahan. Tapi bukan dengan cara seperti ini.
" Tidak. Jangan memberitahu ibu dulu." Kata Dewa meminta.
" Sekarang kamu baru mikir, iya?" Geram ayah Raya dengan tangan terkepal di lututnya. " Sekarang apa yang mau kamu lakukan? Kami tidak akan membiarkan kamu lari dari tanggungjawab kamu! Cukup lama Raya menanggung malu. Dia sampai tidak berani pulang! Tidak berani menemui kami, orangtuanya sendiri! Semua itu gara-gara kamu!"
" A...ayah..." Panggil Raya takut-takut, " Sebenarnya Dewa mau nikahin aku, kok. Cuma belum bilang aja, iya kan De?"
Apa?
Dewa mengalihkan pandangannya pada Raya yang menatapnya dengan pandangan memohon. Benar-benar, dia tidak salah di sini! Itu bukan anaknya! Kenapa pula dia harus menikah dengan Raya?
Matanya mengunci mata Raya yang mendadak gentar ketika pandangan mereka bertemu. Sungguh, dia tidak bisa mengerti apa keinginan perempuan itu.
" Beri waktu." Kata Dewa bergetar.
Tidak. Dia tidak mungkin menikah. Dia tidak mau orang lain selain Nala.
" Sampai kapan?" Hujam ayah Dewa. " Sampai Raya melahirkan? Sampai anaknya bersekolah dan akhirnya dipermalukan karena dia tidak punya ayah? Kamu laki-laki, demi Tuhan!! Apa selama ini kamu memang seperti ini? Apa selama ini kami salah menilai kamu?"
Seharusnya, batin Dewa kalut.
Seharusnya yang menerima semua ini bukan dia, tapi laki-laki bernama Mario. Mengingatnya, rahang Dewa mengetat.
Saat itu Raya menjatuhkan diri menghadap Dewa. Gadis itu bersujud sembari menahan perutnya dengan satu tangan. Ia terisak.
" De, kita menikah, ya?" Kata gadis itu menolak ibunya yang menariknya agar berdiri.
" Raya, jangan begini. Ayo berdiri, kasihan anakmu." Ujar ibu tidak bisa menahan diri lagi. Ia berusaha menarik Raya dengan wajah penuh tangis. Sangat menyayangkan nasib sial putrinya.
" De...kita nikah sebelum kamu berangkat ke Belanda, ya? Aku ikut kamu ke sana. Aku nggak mau pisah dari kamu..." Isak Raya masih bersujud.
Melihatnya, Dewa membuang nafas panjang melalui mulutnya. Laki-laki itu menutup matanya dengan tangan di kala dirinya tidak bisa menghadapi drama perempuan itu.
" Oh bagus!" Demi mendengar itu, amarah ayah Raya kembali meninggi. " Kamu sudah berencana kabur? Kalian harus segera menikah, selambat-lambatnya sebelum kamu berangkat ke manapun itu! Pikirkan Raya, Dewa. Selama ini dia sudah cukup menderita! Anak yang Raya kandung itu anakmu juga!"
" Ibu mohon, Dewa. Ibu mohon tanggung jawab dari kamu. Kasihan anak kami."
Tidak ada jawaban dari Dewa membuat Raya tambah terisak. Gadis itu tahu apa alasan Dewa, dan dia ketakutan.
" Kalau kamu nggak mau, aku mending mati aja De. Aku nggak bisa kayak gini terus. Aku malu!" Teriak Raya merengkuh perutnya sementara hidungnya mencium lantai. Air mata mengalir deras dari kedua matanya yang terpejam penuh penyesalan.
" Nggak...nggak..." Seru ibu Raya panik. Raya menepis tangan ibunya.
" Biar! Daripada aku harus malu, bu! Aku mati aja agar semua selesai!" Teriak gadis itu menggelepar di lantai.
" DEWA, KAMU NGGAK KASIHAN LIHAT RAYA? SELAMA INI DIA CUKUP BERSABAR MENGHADAPI KEEGOISAN KAMU!" Teriak ibu Raya tidak bisa menahan diri melihat kelakuan putri satu-satunya.
Dewa menyingkirkan tangannya, dan apa yang ada di hadapannya membuat Dewa membatu.
Di depannya, tepat di depan kakinya, ayah dan ibu Raya berlutut sembari menenangkan Raya yang histeris. Kalau bisa, Dewa ingin membunuh Mario sekarang juga. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, menahan teriakan yang sudah mencapai ujung lidahnya.
Dewa melemaskan jemarinya dengan susah payah dan mengangkat ayah Raya. Dia tidak tega melihat seorang kepala keluarga merendahkan dirinya.
" Bagaimana..." Dewa menghentikan kata-katanya ketika menyadari suaranya bergetar. Ia berdehem. " Bagaimana kalau kita bertunangan dulu? Butuh waktu untuk mempersiapkan pernikahan."
Dia memikirkannya dengan cepat. Paling tidak, mereka harus bisa melihat bahwa Dewa serius.
Mendengar itu, Raya dan ibunya mengangkat kepala.
" Tuna...ngan?" Cicit Raya terpaku dengan mata terpancang pada Dewa. Wajahnya rembes dengan beberapa rambut yang basah menempel di pipinya. Namun bisa terlihat jelas binar yang kini tercipta di matanya.
Ingin menatapnya sejenak, kemudian mengangguk.
" Iya nggak papa." Jawab Raya cepat dengan kelegaan yang nyata. " Kita bisa tunangan sekarang. Nggak perlu ada orang lain. Aku nggak mau mereka lihat aku dalam keadaan begini!"
Dewa membantu Raya berdiri dan mendudukkannya di sofa. " Lusa. Aku belum beli apa-apa."
Raya mengangguk sembari bergelung di lengan Dewa. Perempuan itu bahagia.
Melihat perubahan anaknya, orangtua Raya merasa sedikit lega. Ayah Dewa kembali duduk meskipun masih menyipit pada Dewa. " Lusa kalian bertunangan. Satu bulan lagi, kalian harus menikah. Dan kamu, Dewa, segera persiapkan pernikahan kalian. Kalau kamu mencoba kabur, saya pastikan ibu kamu akan tahu sebarapa brengsek anak kebanggaannya selama ini." Hujam ayah Raya.
" Jangan ibu, yah. Ibu di pernikahan saja." Pinta Dewa segera.
Ayah Raya berdecih. Tapi dia menyetujuinya. " Saya mengerti keberatan kamu, meskipun harusnya kamu tahu kamu hanya menunda bencana."
Dewa tidak menjawab. Ia membelai puncak kepala Raya dengan canggung. Namun sentuhan kecil itu hanya menambah kebahagiaan Raya.
" Malam ini aku mau tidur sama kamu ya, De?" Pinta Raya manja. Mendengarnya, tubuh ayah Raya kembali menegang. Ia menatap penuh amarah pada Dewa.
" Butuh bertahun-tahun untuk mengerti sifat asli kamu, Dewangga." Bisik ayah Raya dingin. Dewa tidak menjawabnya. Ia hanya menatap Raya.
" Jangan dulu. Aku nggak mau ada apa-apa sama kamu. Sebelum ada pernikahan, kita tidur di kamar sendiri-sendiri."
Dewa benar-benar merasa jijik dengan dirinya. Tapi dia tidak sudi ada wanita lain memasuki kamarnya. Kamar yang hanya boleh ditempati Nala selain dirinya.
" Benar-benar munafik!" Ayah Raya mencibir lagi, namun Dewa menulikan telinga. Ia memilih mengabaikan semua cibiran itu agar tidak lepas kendali. Sedangkan Raya semakin bermanja padanya.
Mario. Sepertinya dia harus segera menemukan orang itu. Waktunya tidak banyak.
**
Dewa menatap langit yang sedang mendung. Apa? Bagaimana? Dia benar-benar berpikir keras untuk menemukan Mario. Anak itu seperti lenyap. Semua orang yang mengaku temannya sama sekali tidak tahu dimana dia.
Dewa menoleh ke balkon di kanannya. Apakah ini karma? Dulu, mereka berpisah karena Dewa berbohong. Sekarang, Dewa pun nyaris tidak bisa mempertahankan Nala karena kebohongan orang lain. Dewa menghirup nafas dalam-dalam dan mengusap wajahnya dengan letih.
Ia mengambil keputusan, kemudian mengusap ponsel yang selama ini digenggamnya erat-erat.
" Le, gue butuh bantuan lo."
**
" LO.JELAS.JELAS.KENA.KARMA!"
Leon menendang tempat tidur Dewa dengan murka. Dewa tidak bergeming di pojok ruangan dengan kedua lutut tertekuk, menenggelamkan wajah dalam-dalam di lipatan tangannya.
" Tapi gue nggak nyangka Raya bertindak segila itu." Kata Reno di sisi Dewa. " Maksud gue, dari dulu gue tahu dia suka sama lo, tapi sampai sebegininya. Dia beneran udah putus asa, kayaknya."
Leon melemparkan diri di kasur Dewa, menutupi wajahnya dengan punggung tangan. Dia lelah sekali. Perjalanan London Indonesia sangat menguras tenaga meskipun dia sudah memakai pesawat pribadi. Dia bahkan belum melepas pakaian formalnya. Namun begitu Dewa menjelaskan apa yang terjadi, Leon langsung memutuskan kembali ke Indonesia.
" Ngomong lo!" Senggol Reno pada siku Dewa. Dewa menghirup nafas sejenak, kemudian mengangkat wajahnya.
" SHIT!" Seru Reno menjauhi Dewa dengan ngeri. " Lo nggak tidur semalaman De?"
" Gimana gue bisa tidur, setan!" Kata Dewa serak. Matanya terasa sangat berat. Tapi pikirannya tidak pernah mau istirahat. Dewa mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakan mengingat ada lebih dari seratus kali dia mengacak rambutnya setiap frustasi menghampirinya.
" Kenapa lo nggak ngomong yang sebenarnya sama orangtua Raya? Tentang si Mario itu?" Tanya Reno tidak habis pikir.
" Dan nemuin minum pemutih pakaian? Ide bagus, Ren." Dengus Dewa.
Reno mengerjap. Benar juga apa kata Dewa. Tidak sulit baginya memahami sudut pandang Dewa. Dia pernah ada di posisi Raya dan hanya Dewa satu-satunya orang yang peduli padanya. Untuk beberapa hal, sahabatnya itu mempunyai keyakinan dan kekuatan yang tidak biasa. Meskipun Reno kesusahan mengesampingkan Raya sebagai perempuan sakit jiwa, dia tahu bahwa Raya juga sebagai korban di sini.
" Lo tau apa pikiran gue selama ini?" Celetuk Reno kemudian, " Lo mempersilahkan orang sakit jiwa tinggal di rumah lo, De."
Anehnya, Dewa setuju dengan itu.
" Jangan gitu. Dia pernah jadi temen seperjuangan gue." Kata Dewa memainkan selembar kertas di tangannya.
" Lo sih ya. Coba lo jadi gue waktu SMA, De. Pingin gue pithes itu anak." Geram Reno.
" Gue udah berusaha cari si Mario ini, tapi nggak ketemu." Celetuk Leon tanpa mengangkat tangannya. " Itu justru aneh. Karena gue nggak pernah gagal nemuin orang yang pingin gue cari."
" Kalian mirip, lo sama Fabian." Kata Dewa lelah.
" Itu cara main kita, bego! Lo kira tenang-tenang aja jadi pimpinan perusahaan besar? Kita punya musuh banyak!" Tepis Leon menoleh pada Dewa dengan tidak terima.
" Hmm..." Reno mengangguk-angguk. " Kayak lo waktu itu, De. Waktu minimarket lo ke-hack sampai kasir-kasir pada bingung. Siapa dalangnya coba? Saingan lo, kan?"
Dewa bungkam. Pikirannya terlalu kusut untuk mengomentari Reno.
" Besok pertunangan lo kan?" Tanya Leon menusuk Dewa dengan jeruji besi. Dewa mengangguk berat.
" Ck! Harusnya gue selalu bilang selamat sama orang yang mau tunangan. Lebih-lebih sahabat gue. Lhah ini?" Decak Reno frustasi.
" Gue bakal cari informasi tentang si Mario ini. Masih ada waktu satu bulan. Semoga itu cukup." Kata Leon duduk di tepi tempat tidur king size itu.
" Gue juga bakal nyoba nyari lewat situs underground. Siapa tahu dia kenalan gue. Sesama hacker nggak pernah nunjukin identitas asli, soalnya." Celetuk Reno memperbaiki kacamatanya sembari memainkan plant vs zombie di laptop Dewa. " Game lo cupu banget, De."
" Itu Dafa yang main." Cetus Dewa semakin sengsara mengingat kelakuan Dafa akhir-akhir ini.
" Gue nggak percaya. Nala beneran ke Indonesia, eh?" Celetuk Leon menatap pigura super besar dengan Nala, Dafa dan Dewa di dalamnya. Kemudian laki-laki berambut cepak itu menghela nafas dan menatap Dewa.
Leon mengangkat alis pada Dewa yang menatapnya kosong. " Pacarmu itu, sori, mantan..." Seringai jahat Leon melebar melihat mata Dewa menajam, " Panggilannya Shadow Queen. Posisi resminya sebagai ketua Dewan, tapi siapa aja yang kenal dia tahu bahwa dia bisa bertindak sebagai apapun demi Halid."
" Mungkin ada masalah di cabang Indonesia. Halid bersaudara, seumur-umur gue mendalami perusahaan-perusahaan partner gue, mereka kolaborasi paling jenius yang pernah gue temui. Fabian dan Kanala Halid, mereka bawa Halid berada di puncak kejayaannya melebihi Alexander. Padahal gue udah nganggap Alexander luar biasa."
Tidak ada yang terkejut mendengarnya. Justru Reno mengedikkan bahu, " Dari dulu juga dia begitu. Gue nggak kaget kalau suatu saat lo bilang Nala itu ketua mafia. Pertama gue kenal Nala, gue punya perasaan dia bukan cewek biasa.Ck! Heran gue cewek kayak dia bisa jatuh cinta sama kucrut satu ini!"
Reno dan Leon terkekeh keras kala melihat Dewa yang melemparkan wajahnya kembali ke lipatan tangannya.
Leon beralih ke foto yang lain. Pigura yang menampilkan foto candid Nala dalam balutan dress biru laut selututnya ketika menghadiri perpisahan kelas tiga. Dia ingat saat itu Dewa merebut kamera Leon demi mendapatkan foto Nala dari sudut tersembunyi. Leon mendengus mengamati foto-foto Nala lainnya yang hampir menutupi dinding kamar Dewa.
" Kamar lo jadi studio pribadinya Nala gini. Sumpah De. Lo itu bego apa gimana sih?" Kata Leon tidak habis pikir. " Delapan tahun, De. Lo bisa nyoba buka hati lo buat cewek lain!"
" Yang jelas jangan yang kayak Raya." Timbrung Reno yang diabaikan Leon.
Dewa menggeleng kuat-kuat, " Nggak mau. Gue maunya Nala."
" Iyuh De, geli gue." Erang Reno memandang Dewa jijik.
Leon menghirup nafas dalam-dalam, " Gue tahu caranya biar lo bisa dapetin Nala. Cara ini sembilan puluh sembilan persen berhasil."
Dewa dan Reno langsung mendongak. Leon bersedekap, memandang Dewa dengan serius.
" Lo hamilin Nala."
Sebuah headphone berdesing tepat di sebelah telinga Leon yang berhasil menghindarinya tepat waktu.
" Apa? Gue serius!" Serunya tidak terima. " Apa lagi coba, De? Lo nemuin jalan buntu! Yang lo incer itu calon istri orang!"
" Tutup mulut, Le! Lo kena jetlag!" Tukas Dewa tajam. " Seputus asanya gue, gue nggak akan pernah ngerusak Nala! Gue sayang dia, gue cinta dia dan gue nggak mau dia menderita, setan!!"
" Cih! Gue kan cuma ngasih saran yang kemungkinan besar berhasil!" Gerutu Leon berguling menelungkup.
" Kalau saran lo nggak waras, mending diem aja!" Sergah Dewa semakin pusing.
" TERUS APA?" Seru Leon putus asa. " GUE HARUS LIHAT LO MENDERITA TIAP HARI, GITU?"
" Udah Le. Lo tidur aja sana! Capek lo." Saran Reno menengahi.
" DIEM LO!" Sentak Leon kalap pada Reno.
Reno terperangah. Ia membanting laptop Dewa ke sampingnya, kemudian menerjang Leon.
" LO MABOK? HAH? KENAPA LO JADI BENTAK-BENTAK GUE?!" Seru Reno hingga mereka berdua bergumul di kasur Dewa.
Dewa menghembuskan nafas lelah. Ia mulai mempertanyakan apakah meminta bantuan pada dua makhluk ini adalah keputusan yang tepat.
BRAAAKK!
Pintu kamar Dewa menjeblak terbuka, membuat tiga laki-laki itu menoleh. Detik berikutnya, sepasang sarung tangan karet menyambar dahi Dewa.
" Teriak di depan aja sekalian biar semuanya denger!" Sentak Lila melotot. Ia mendengus sebal dan menutup pintu Dewa keras-keras.
" Udah selesai?" Tanya Reno bergegas turun dari atas tubuh Leon. Lila mengangguk.
" Jangan berisik. Ada ibu hamil di sini, dan dia depresi!" Desis Lila menatap tajam mereka satu persatu. Tidak ada yang bicara ketika bidan yang satu ini mulai menampakkan taringnya.
" Dan lo, De!" Hujam Lila menatap Dewa lurus-lurus. " Lo yang lepasin Nala! Lo yang bikin dia menderita! Sekarang lo berharap bisa dapetin Nala dengan mudah? Lo nggak pernah tahu akibat perbuatan lo buat Nala. Lo siksa dia pelan-pelan. Lo bunuh dia pelan-pelan!"
Pandangan Lila berbalik seratus delapan puluh derajat sejak ia tahu perlakuan Dewa pada Nala. Dia tidak akan pernah memaafkan laki-laki itu!
" Makanya gue berusaha, Lila." Cetus Dewa pelan. Detik berikutnya, tangan mungil itu sukses menampar Dewa.
" Berusaha buat apa? HAH?" Desis Lila dengan bibir bergetar.
" Lila, udah udah..." Seru Reno berusaha menjauhkan Lila dari Dewa. Namun Lila menepis tangan reno. Wanita itu berdiri di depan Dewa, menatap tajam laki-laki yang kini menoleh perlahan kembali ke arahnya.
" Berusaha buat apa?" Tanyanya lagi menahan sakit. " Lo tahu, De? Delapan tahun lalu, gue lihat Nala hancur." Bisiknya benci.
" Gue lihat dia tersiksa!" Bisik Lila. Dia pernah mengatakan ini, berulang kali,setelah dia akhirnya tahu alasan Dewa memutuskan Nala. Tapi mengingatkan laki-laki ini akan dampak perbuatannya pada Nala rasanya tidak pernah cukup.
" Gue lihat dia sakit. Waktu itu gue bahkan belum ngerti duduk perkaranya dan gue selalu ikut hancur setiap lihat dia. Lo kira bisa semudah itu balik lagi sama Nala? Lo emang nggak punya malu ya?"
Dewa menerima segala tatapan penuh amarah Lila. Dia bahkan akan menerima jika wanita itu menamparnya semalaman penuh. Karena dia memang pantas dihukum.
" Buat Nala, lo itu harapan." Ucap Lila ketika matanya mulai berkaca. " Buat Nala, lo itu hidupnya. Buat Nala, lo itu segalanya dan lo hancurin dia hanya dalam satu hari, Dewa."
" Lo udah ngerti alasan gue." Jawab Dewa tanpa perlawanan.
" Dan gue selama ini harus menyayangkan sikap lo yang nggak mau terus terang sama Nala." Ucap Lila dengan tangan terkepal. " Dia bukan cewek lemah, De. Gue yakin dia bisa memahami kesulitan lo tapi...lo malah bikin dia menderita. Dan sekarang apa? Lo berharap balik sama dia, Ya Tuhan emang muka tembok banget! Lo kira Nala masih sayang sama lo sampai lo jadi cowok brengsek kayak gini? Hm?"
Dewa menatap Lila beberapa saat, kemudian memalingkan wajah, " Banyak yang lo nggak ngerti."
" Ribet amat! Jangan ganggu Nala lagi! Dia udah bahagia tanpa kamu!" Tukas Lila kejam. " Lepasin Nala! Jelas-jelas tunangannya lebih baik, lebih kaya dan lebih bisa jaga Nala dibanding kamu!"
Reno menengahi karena merasa ucapan Lila semakin mengerikan, " Jangan bawa-bawa harta. Dua tahun lagi Dewa juga bisa masuk forbes. Kamu nggak ingat sekarang dia mulai main properti?"
Lila menoleh tajam pada Reno. " Hoooo...Jadi kamu bela Dewa? Kamu bela orang yang nglepasin orang yang dia sayang, terus dengan nggak tahu malu berharap orang itu balik lagi, gitu? Siapa? Kamu ngarep siapa? Hah?"
" Eh...kok jadi..." Reno merepet panik sembari memeluk laptop Dewa, kemudian ia menatap Dewa sungguh-sungguh, " Iya De. Lo nggak pantes!"
" GILA PADA!" Leon melemparkan guling pada pasangan suami istri sableng itu. Leon beranjak. " Stres gue di sini. Gue mau ketemu Nala dulu, cuci mata. Apa lo?" Leon melotot pada Dewa yang menatapnya tajam.
" Gue ikut!" Seru Reno langsung berdiri.
" Aku juga!" Kata Lila mengekori Reno.
" Jangan bilang apa-apa tentang pertunangan gue!" Kata Dewa memperingati.
" Iya iya gue ngerti." Kata Leon. " Ah, sampai kelupaan kan, lihat medical record papa gue!"
" Ah iya, kamu duluan aja, beb. Aku mau ngopi plant vs zombie dulu." Ucap Reno menepuk dahinya. Lila mendengus, kemudian berjalan menjauh dengan langkah kasar.
Leon mengangkat kepala dari sebuah map berwarna hitam ke arah Lila yang berjalan menjauh, kemudian menghela nafas dan menutup map. Reno berkacak pinggang, mengawasi istrinya menghilang di sudut dan kembali melangkah ke dalam kamar Dewa.
" Lo...beneran serius sama Nala?" Tanya Reno mewakili Leon yang kini menatap Dewa dengan lekat.
" Apa masih perlu tanya?" Balik Dewa lelah. Laki-laki itu menyandarkan kepalanya ke tembok dan memejamkan mata. " Gue nggak bisa kepikiran siapa-siapa, Ren. Gue...nggak bisa lepasin Nala."
" Selama ini?"
" Selama ini."
Leon dan Reno bertukar lirikan. " Tentang Raya ini, lo gimana kalau semisal Mario nggak ketemu juga?"
Dewa membuka mata dan menatap langit-langit. " Mario harus ketemu, nggak ada pilihan lain."
Reno berdehem, " Semisal nggak ketemu, De. Kita harus mikir konsekuensi terburuknya."
Manik legam Dewa berpindah kepada Reno tanpa menggerakkan tubuhnya yang masih menekuk lutut di lantai. " Kalau dia nggak ketemu juga, gue lepasin Raya."
Leon mengangkat alis, " Lo udah janji sama orangtuanya Raya."
" Gue nggak pernah janji nikahin anaknya." Celetuk Dewa datar. Dewa menatap salah satu pigura Nala, " Udah cukup gue bantu dia."
" Walau akibatnya dia bunuh diri?" Lirik Reno sangsi.
Dewa menghela nafas dan menggeleng, " RSJ. Gue...nggak bisa lagi nge-handle dia. Ini udah di luar kuasa gue."
Leon menatap Dewa beberapa saat, kemudian bangkit dan meletakkan map hitam ke atas meja. " Kayaknya kita emang nggak punya pilihan lain selain nemuin si Mario ini eh, Ren."
Reno mendengus. Laki-laki itu menepuk pundak Dewa dan berjalan ke ambang pintu, " Udah lama juga gue nggak main ke underground. Walaupun konsekuensinya parah kaau ketahuan Lila."
" Makasih udah ngawasi papa gue." Leon merogoh tasnya dan melemparkan sesuatu pada Dewa. " Gue nggak mau nyiksa lo, tapi gue yakin banget kalian bakal ketemu di sini. Demi gue, jangan pernah lo nggak dateng di acara itu."
Dewa meraih undangan itu dan membacanya. "Bagus. Lo emang pingin bunuh gue, Le."
Leon mendengus, " Nggak cuma sekali gue berpikir Tuhan sayang banget sama lo, De."
" Lo bisa sebut ini takdir. Tapi Tuhan pasti kasih jalan keluar dan apapun itu, itu yang terbaik buat lo." Ucap Reno berusaha membesarkan hati Dewa. "Kita pergi dulu. Usahakan lo masih hidup beberapa jam ke depan."
*TBC*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top