2.Paviliun E
Tok...tok...tok...
" Masuk!"
Pintu terbuka, mengundang Nala untuk mengangkat wajahnya.
" Oh, makasih. Taruh di sini saja." Nala menyisihkan beberapa berkas di mejanya untuk memberi ruang pada berkas baru yang dibawa salah satu pegawainya. Sang pegawai yang bernama Panca itu menurut.
" Silahkan duduk. Kita perlu bicara." Kata Nala singkat, terdengar seperti perintah mengerikan di telinga Panca yang bekerja di bagian arsip.
Panca adalah pegawai berusia dua puluh satu tahun, jangkung, kurus, berkacamata, pendiam dan kikuk. Bertemu pertama kali dengan salah satu anggota Halid saja sudah membuat lututnya gemetar, apalagi kali ini ia diminta duduk berhadapan dengan Kanala Halid yang gaungnya sudah sering terdengar di kalangan pegawai Halid tanpa mereka tahu wajahnya. Panca mengira, Kanala Halid adalah seorang nyonya yang memancarkan aura kekuasaan mengingat bagaimana para pegawai selalu memberikan respon serius jika membahas tentangnya.
Tapi ternyata, Kanala Halid adalah seorang putri.
" ...mengerti?"
Panca mengerjap. " Maaf?"
Anak rambut melingkar di depan telinganya itu sungguh mengalihkan perhatian. Dilihatnya Nala menghirup nafas berat, pertanda gadis itu menyadari bahwa Panca sedari tadi tidak mendengarkan perkataannya. Jantung Panca mulai bertalu. Di hari pertama dia bertemu saja, Panca sudah membuat sang majikan marah. Panca mengalihkan tatapannya ke tepi meja untuk mencegah dirinya semakin berkeringat dingin kala menatap sepasang iris coklat cantik itu.
Tunggu, cantik?
" Aku meminta semua data tentang pontensi kawasan ini. Jumlah dan akses pengunjung selama lima tahun terakhir. Juga kalau bisa, laporan perkembangan selama lima tahun terakhir. Kamu bisa membantuku?" Suara Nala kembali terdengar. Meskipun tanpa penghakiman, namun nyali Panca menciut. Suaranya biasa saja, tidak membentak, tidak juga bernada memerintah. Namun ada sesuatu di suaranya yang membuat Panca tidak bisa menolaknya.
Panca mengangguk canggung. " Saya bisa membantu anda."
Hening. Kemudian, " Oke, kamu boleh kembali. Dan Panca, besok lagi aku tidak mau melihatmu berjalan membungkuk seperti itu. Kenapa? Ada tuyul di pundakmu, iya?"
" Hah?" Kalimat itu tidak sengaja lolos dari mulut Panca. Tanpa sadar ia mengangkat wajah tidak terima pada Nala, namun yang ia dapati hanyalah wajah cantik itu tersenyum geli. Nala mengulurkan selembar kertas padanya.
" Itu. Aku sudah menuliskan beberapa arsip yang aku minta." Katanya ringan.
Panca menerimanya dan segera berdiri. " Besok akan saya bawa kemari, bu." Katanya cepat-cepat tanpa menatapnya.
" Ck! Panca, lihat orang yang sedang bicara denganmu!" Protes Nala bersedekap. "Dan jangan pernah berjalan membungkuk di depanku. Aku bisa mematahkan punggungmu sekalian!"
Panca menelan ludah sembari membenarkan kacamatanya yang sudah sempurna. Kebiasaan dirinya jika canggung.
" Panca?" Tuntut Nala.
Panca mengedipkan mata beberapa kali sebelum akhirnya memberanikan diri menatap nona Halid. Nonanya itu bersedekap dan menatapnya dengan sepasang alis berkerut.
Bukannya apa-apa, tapi mendadak ia merasa resah dengan mereka yang bertemu pandang.
" Saya...permisi dulu." Katanya cepat-cepat.
" Aku bilang jangan membungkukkan badan di depanku." Ucap Nala pelan namun berhasil membuat punggungnya panas. Panca buru-buru menegakkan badannya. Ia membungkuk hormat dan berbalik.
Dia lebih memilih Kanala Halid sebagai seorang nyonya tua yang angkuh daripada tadi. Kanala Halid yang sebenarnya lebih mengerikan dengan cara yang berbeda.
Nala masih menatap pintu yang tertutup di belakang Panca ketika akhirnya ia bisa menghembuskan nafas panjang. Nala meregangkan tubuhnya dengan menarik tangannya ke atas sembari menguap.
Sudah hampir satu minggu dirinya mengambil alih sementara hotel yang sedang bermasalah. Dan selama itu pula dia belum pergi kemanapun selain apartemen dan hotel ini. Bukan suatu keharusan, sih. Hanya saja lama-lama penat juga.
Nala menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul tiga sore. Gadis itu mengelus singkat pelipisnya, memutuskan bahwa hari ini cukup sampai disini jika dia tidak mau stres di usia muda. Nala menempelkan dahinya di tepi meja sembari mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang dengan mata terpejam.
" Farel? Dimana?"
**
Tangan Nala sedang sibuk memilah buku-buku bergambar ketika ponsel miliknya berdering. Ia segera memberikan tumpukan buku di pelukannya kepada Farel dan mengangkat ponselnya.
Kerutan muncul di dahi Nala ketika membaca nama yang tertera. Ada apa dia menelfon? Bukankah Nala sudah pamitan dia hendak ke Indonesia selama tiga bulan?
" Allo?" Sapa Nala sopan.
" Allo, mon amour Kanala, sudah sampai di Indonesia?" Sapa suara di seberang sana dalam bahasa Perancis.
" Errr...sudah Profesor. Ada apa? Apa ada masalah di panti?" Tanya Nala berubah cemas dengan kemungkinan-kemungkinan yang muncul.
" Tidak, sayang. Aku hanya ingin minta tolong padamu." Jawabnya dengan suara antusias. Kerutan semakin dalam di dahi Nala.
" Untuk jurnal tahun depan, aku jadi berpikir untuk mengangkat kasus anak asuhmu di Indonesia dan bagaimana dampaknya metode kalian bagi perkembangan mereka terlepas dari kenyataan bahwa mereka terlambat mendapatkan pendidikan formal seperti anak-anak normal lainnya. Bagaimana menurutmu?" Tanyanya antusias.
Tentu saja, Nala kehilangan kata-kata.
" Hah?" Serunya kelepasan saat menemukan kembali kata-katanya. Dia perlu waktu mencerna ini semua!
" Pasti menarik jika dibahas dari sudut yang tepat. Kamu juga bisa mengangkat masalah pendeskriminasian kelas, misalnya, dan menerapkan metodemu itu. Bukankah itu akan jadi suatu bahasan yang menarik, pembelajaran yang baru? Kita terlalu sering membahas masalah-masalah sepele. Paling tidak tahun ini kita harus mencoba sudut pandang baru..." Ujar sang profesor mulai nyerocos.
Sebentar. Sebentar.
Nala disini bukan untuk jalan-jalan! Kalau bukan karena ada keperluan, Nala tidak akan mau kembali kesini! Lalu ini apa?
" T...tapi..."
" Kanala, berbagi ilmu itu selalu baik. Masih ada sekitar delapan bulan lagi, tidak perlu buru-buru. Cukup data dasar saja, kita bisa mengolahnya setelah kamu kembali ke Perancis. Ngomong-ngomong, anak panti benar-benar merindukanmu. Ck! Selamat sore, mon amour Kanala. Semoga sukses dengan urusanmu."
Tut...tut...tut...
Dengan mulut masih terbuka lebar, Nala menatap ponselnya dan mengerjap beberapa kali.
" Itu tadi...maksudnya apa??" Pekiknya tiba-tiba hingga membuat beberapa pengunjung di dekatnya menoleh kaget.
" Siapa? Ada apa?" Tanya Farel mengagetkan Nala. Dia lupa jika Farel tengah di sebelahnya.
Nala memasukkan ponselnya dengan menggerutu. " Profesorku di sana bikin ulah. Ck! Memangnya dia pikir aku piknik disini? Memangnya masalah pendidikan di sana sudah habis sampai-sampai menelfonku segala? Isssss!!"
Nala meraih buku-buku di tangan Farel dengan kesal. Profesor yang dia maksud adalah mantan dosennya saat Nala kuliah di Perancis. Seiring berjalannya waktu, Nala tahu sang profesor sangat memperhatikan anak-anak terlantar dan yatim piatu sehingga dia mempunyai sebuah panti asuhan dan lembaga khusus untuk mengurus mereka. Profesornya juga lah yang mengajak Nala untuk bergabung. Tentu saja Nala setuju dengan senang hati. Hingga saat ini ketika Nala sudah menyelesaikan pendidikannya di bidang psikologi pendidikan, dia masih aktif dengan aktivitas-aktivitas sosial di sana.
" Mana bisa aku melamar jadi guru dalam sehari? Mana bisa?" Pekiknya tanpa sadar ketika rasa frustasi menghampirinya. Profesornya adalah orang yang sangat sulit ditolak. Dia mempunyai seribu cara untuk meneror Nala hingga Nala tidak bisa melakukan apa-apa selain mematuhinya, dengan cara yang lebih lembut dari sutra.
" Eh? Kenapa tiba-tiba nona kepingin jadi guru?" Tanya Farel di sebelahnya ingin tahu. Ingin sekali Nala menangis.
" Karena profesorku tercinta memintaku begitu. Mana bisa aku cari-cari lowongan pekerjaan jadi guru sementara sebagian hariku juga tersita untuk mengurusi hotel? Belum lagi La Belle Femme. Seolah urusanku belum banyak saja!" Gerutu Nala melangkah dengan langkah berat.
" Ada!" Celetuk Farel tiba-tiba membuat Nala menoleh padanya. Farel, sang sopir pribadinya yang berusia dua puluh tiga tahun dengan lesung pipit itu tersenyum. Matanya berbinar menatap Nala. Nala sebal sekali jika Farel melakukannya, karena dia merasa Farel menyembunyikan sesuatu darinya.
" Jangan bercanda! Ck! Aku baru kepingin bakar orang, ini!" Dengus Nala kesal.
" Aku tidak bercanda, nona. Waktu istirahat siang tadi, aku kebetulan semeja dengan seorang guru. Kami mengobrol dan dia mengeluh bahwa sekolahnya membutuhkan guru bahasa Inggris sementara karena guru bahasa Inggris yang lama cuti hamil selama enam bulan." Kata Farel berbinar. " Ini sulit, karena sebagian pencari kerja pasti menginginkan posisi yang permanen nantinya."
Nala mengerjap. Ia melupakan tujuan awal mereka mencari buku untuk anak-anak asuhnya dan menghadap Farel dengan serius.
" Farel, aku tidak mencari sekolah biasa. Aku cari sekolah yang 'bermasalah'. Itu permintaan sang profesor. Paham kan kesulitanku?"
" Aku belum selesai, nona." Kata Farel membuat Nala kembali memicingkan mata. Farel ini terkadang mempunyai aura yang mengerikan. Seorang master judo dibalik wajahnya yang imut mirip Miura Haruma ini harusnya cukup menjadi bukti.
"Oke, lanjutkan." Kata Nala akhirnya.
" Dia tadi, sedikit menumpahkan isi hatinya. Katanya mekipun demikian, bukan berarti tidak ada pelamar sama sekali. Ada satu dua pelamar yang bersedia. Tapi mereka selalu mengundurkan diri satu minggu setelah mengajar, karena mereka juga diminta menjadi wali kelas sebuah kelas yang isinya perusuh semua."
Nala mengedip.
" Lalu? Apa masalahnya?"
Senyum Farel agak surut.
" Sekolahnya lebih dekat dengan hotel Halid yang sedang anda tangani daripada Penthouse tuan."
Namun senyum Nala merekah. " Aku tidak punya banyak waktu. Kita kesana besok pagi! Astaga Farel, kamu minta hadiah apa?"
**
Pandangan pria botak berambut putih itu menyapu dari atas sampai ke bawah.
" Anda yakin ingin menerima pekerjaan ini?" Tanyanya untuk ketiga kalinya dengan penekanan pada kata-kata 'menerima'.
Untuk ketiga kalinya pula, gadis berkuncir kuda itu mengangguk pasti. Ia merapikan blus warna kremnya dengan tenang.
Jawaban Nala membuat sang kepala sekolah semakin mengerutkan keningnya yang sudah berkerut. Sebelum-sebelumnya, hanya ada dua orang yang melamar pekerjaan ini. Kesemuanya terlihat lebih profesional. Namun tetap saja, dua orang itu langsung mengundurkan diri di satu minggu pertama mereka mengajar.
" Anda tidak mempunyai lisensi pengajar yang kami butuhkan." Kata Kepala Sekolah menatap berkas-berkas di mejanya. " Sejauh ini, anda tidak pernah menempuh pendidikan guru. Walaupun anda tinggal di luar negeri, bukan berarti anda bisa seenaknya melamar jadi guru di sini. Anda paham itu."
Nala mengerutkan kening, " Apakah itu perlu? Saya hanya mengisi kekosongan. Jika anda mencari kualifikasi terlalu tinggi, saya takut apa yang anda berikan tidak sebanding. Saya yang terbaik yang bisa anda dapatkan. Lagipula, guru terbaik adalah pengalaman."
Sekali lagi, kepala sekolah menatap Nala dari balik kacamatanya. Gadis ini masih muda, tapi dia sudah pandai bicara.
" Karena anda membutuhkan bahan untuk tugas anda. Benar?" Tanya sang kepala sekolah akhirnya. Dia setuju dengan pernyataan bahwa mungkin saja gadis ini adalah kesempatan terbaik yang bisa ia dapatkan.
" Jurnal, ya." Jawab Nala membetulkan. Kepala sekolah menghela nafas dalam.
" Apakah anda mengerti? Saya tidak hanya membutuhkan guru bahasa Inggris sementara. Tapi juga posisi wali kelas yang kosong. " Katanya berusaha memberi pengertian pada gadis yang masih menatapnya dengan tenang itu. " Sebelumnya, dua pelamar kami adalah orang yang jauh lebih profesional, lebih berpengalaman, dan lebih tangguh. Mereka menyerah pada minggu pertama mereka. Lalu mengapa anda menganggap anda mampu?"
Nala menyunggingkan senyumnya dengan mata yang berbinar. " Anggaplah karena saya mempunyai pengalaman pribadi."
Mendengarnya, sang kepala sekolah mengangkat alis. " Dari cara anda berbicara, anda masih berminat."
" Tentu saja. Bagaimana saya melewatkan menyaksikan sendiri pendeskriminasian terang-terangan yang masih terjadi di negara ini?" Kata Nala dengan nada ringan.
Wajah sang kepala sekolah mengeruh. " Pendeskriminasian? Apa yang bisa saya perbuat kalau guru-guru yang lain sudah angkat tangan?"
Nala tersenyum maklum, " Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Siapa lagi yang membimbing mereka di sini kalau bukan kita? Itu, bagi saya, adalah pendeskriminasian.Hanya karena mereka berbeda, bukan berarti anda bisa menyerah dengan cepat."
Mata sang kepala sekolah menajam, " Saya tidak bisa memaksa para guru untuk bertahan. Seharusnya anda lihat dulu sebelum anda menghakimi kami."
Gadis itu mengangguk cepat, " Saya yakin begitu."
Sang kepala sekolah kembali menilai dengan siapa dia berbicara, kemudian bangkit. " Mari saya antar untuk melihat-lihat lebih dulu. Kontraknya menyusul. Saya khawatir anda akan berubah pikiran satu menit setelah berkenalan dengan mereka."
Nala mengerucutkan bibir tidak setuju, namun toh sepertinya ia harus menghormati usaha sang kepala sekolah yang sangat menjaganya. Akhirnya, ia mengikuti jejak kepala sekolah.
Sang kepala sekolah membawanya menyusuri lorong-lorong kelas yang sedang berada di tengah pelajaran. Hingga sang kepala sekolah membawanya pada bangunan yang terdapat di paling belakang area sekolah, terletak agak jauh dari kelas-kelas yang lain. Bagunan itu bagus, terawat dan terletak agak jauh dari kelas yang lain. Di sisi kanan kirinya adalah sebuah area terbuka penuh dengan pepohonan rindang.
" Kami menyebutnya Paviliun E. Kelas 3 PE." Kata sang kepala sekolah setibanya di depan pintu coklat yang tidak tertutup rapat itu. Sekilas, terlihat siswa yang duduk rapi dan tampak serius belajar buku di mejanya. Sang kepala sekolah ikut melihat arah pandang si gadis, kemudian terkekeh pelan.
" Jangan terjebak. Apa yang anda lihat bukanlah kebenarannya. Mari saya antar ke dalam. Mereka pasti agak segan karena anda bersama saya." Kata sang kepala sekolah memberi ketenangan. Namun Nala mengangkat alis dan menahan sang kepala sekolah.
" Saya harap seperti itu." Katanya yang justru celingukan. Ia bergegas mengambil sebuah ranting panjang dari bawah salah satu pohon sebelum kembali ke sebelah sang kepala sekolah.
" Untuk apa?" tanya Kepala sekolah terkejut. " Asal anda tahu, kita tidak mengizinkan adanya kekerasan disini!"
Nala mengerjap, kemudian melambaikan tangan dengan buru-buru, " Tidak! Saya tentu tidak setuju dengan kekerasan. Ini untuk ini, coba anda lihat!"
Nala kemudian berjalan mendekati pintu dan menempelkan punggung di tembok sebelahnya. Sedangkan sang kepala sekolah melongo. Tapi gadis itu mengabaikannya, ia menempelkan ujung ranting di pintu, kemudian dengan sekali hentakan, ia membukanya.
BYAKKKK...PRAK!!
" SHIT!!"
" What the....!"
Segera setelah pintu terbuka, sebuah ember berisi air berbau busuk langsung terbalik dari atas. Air berbau itu lantas mengenai lantai, menciprati sang kepala sekolah yang berdiri tepat di depan ambang pintu. Beberapa menciprati bagian dalam kelas. Nala menggigit bibirnya keras-keras untuk menahan tawa.
"Apa yang anda lihat bukanlah kebenarannya." Kata gadis itu melihat sang kepala sekolah yang sebagian tubuh tambunnya terbalut air hijau tidak jelas itu. Saking syoknya, bahkan sang kepala sekolah tidak beranjak. Ia hanya terlihat tegang dengan mata terbelalak.
" RAAAKAAAAAAAAAAA!!!!"
Teriaknya menggelegar. Serentak, kelas PE dipenuhi tawa riuh. Sang kepala sekolah menggulirkan matanya yang memerah pada gadis yang masih menggenggam erat ranting tadi.
" Anda bisa memberitahu saya lebih dulu, kan?" Tanyanya jengkel. Namun Nala hanya menggeleng.
" No. Mood yang baik itu sangat diperlukan. Saya membutuhkan mereka berada dalam mood yang baik sebelum memperkenalkan diri."
" Dan saya dijadikan umpan?" Kata sang kepala sekolah semakin jengkel. Si gadis terkekeh geli.
Sang kepala sekolah mendengus. " Saya lihat anda mempunyai cara yang tidak biasa. Saya harap anda berhasil." Kata sang kepala sekolah memutuskan untuk menjauh. Dirinya sudah seperti monster lumpur dengan celana kehijauan dan berlendir. Ia melangkah perlahan agar celananya tidak menempel di kulit, sesekali mengernyit tidak suka.
Gadis itu mengamati sang kepala sekolah hingga hilang di tikungan, kemudian memutuskan untuk menghadapi kelas yang dikenal sebagai neraka itu. Dengan masih memegang rantingnya, kaki jenjang beralas flatshoes pink itu melangkah melewati ambang pintu, meredam keriuhan yang sedari tadi timbul. Dengan sekali lompat, tubuh mungil itu melewati genangan berbau busuk.
Paviliun E adalah sebuah ruang kelas bercat keabuan tanpa jendela. Alira udara hanya berasal dari dua pendingin ruangan yang berada di sisi kanan dan kiri dinding. Beberapa lampu yang kini tengah menyala menjadi satu-satunya sumber penerangan di ruang kelas ini. Ruangan ini lebih menyerupai penjara eksklusif daripada sebuah ruang kelas.
Gadis itu sampai di meja guru, kemudian berputar untuk menghadapi murid-murid barunya yang berjumlah lima orang. Mata menyapu ruangan. Bibirnya tersenyum kecil menyadari keterkejutan mereka. Beberapa diantaranya terang-terangan melepas seragam dan melemparkannya ke pojok kelas, membuat sebuah onggokan kain putih dengan warna hijau di beberapa bagian.
" LOH??" Seru salah satu murid perempuan berambut panjang berwarna ungu. Ia terang-terangan menunjuk dengan terbelalak. Ia jelas kaget melihat sang calon korban selamat dari jebakan maut itu!
" Hmph, jebakannya kurang, Ka." Celetuk salah satu murid laki-laki yang bermain catur di pojokkan.
Seorang siswa yang berbadan paling tinggi mendengus. Ia menatap gadis itu dengan tajam, yang dibalas dengan menaikkan alis.
" Lo wali kelas kita yang baru?" Tanya murid perempuan yang lain dengan nada tidak suka.
Gadis itu melebarkan senyumnya dan mengangguk. Seketika, semuanya menyunggingkan senyum meremehkan. Si siswa dengan tubuh tinggi tadi mendekati gadis itu. Ia melompat di meja guru dan berjongkok di sana, mensejajarkan pandangan mereka dengan kurang ajar.
" Ini neraka, bu guru yang cantik." Desisnya menyeringai hingga membuat gadis itu membaui tembakau dari nafasnya.
Nala membalas tatapan pemuda itu, kemudian senyumnya melebar.
Sepertinya, kelas PE akan menjadi selingan menyenangkan.
*TBC*
Selamat sore semuanya. Saya up hari ini karena besok mau pulkam,hohoho...
Selamat Idul Adha bagi yang merayakan.
Hope you enjoy it ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top