19. Safest Place
Still, I can't find a safer place than you
Sebuah klakson nyaring dan panjang menyadarkan Nala dari lamunan. Ia mendongak dan mendapati lampu sudah berubah menjadi hijau.
" Jalanan macet sekali." Keluh Nala pada Farel yang fokus ke depan.
" Karena ketergantungan menggunakan kendaraan pribadi masih tinggi, Nona." Jawab Farel melajukan mobilnya demi meredakan emosi pengendara lain yang sudah diburu waktu.
" Hmm, Jepang justru menggunakan sepeda untuk bepergian kemana saja. Dan sepeda itu kendaraan pribadi,ngomong-ngomong."
Farel terkekeh pelan, " Kalau begitu ada yang salah dengan gaya hidup orang-orang Indonesia."
Nala terkekeh geli. Farel, pemuda itu hanya bertugas menjadi sopir Nala selama berada di Indonesia. Dia mengajukan diri dengan sukarela dan menunda kuliahnya di Perancis demi menemani Nala, anak dari Alexander Halid yang telah berbaik hati memberinya beasiswa dan mengizinkannya tinggal di Mansion Halid begitu orangtua Farel telah tiada.
Untuk sesaat, keheningan melanda. Nala membiarkan Farel mengemudi dengan tenang agar mereka bisa segera sampai di hotel. Nala menghembuskan nafas lelah. La Belle Femme, masalah perusahaan dan kelas PE, semuanya menyita waktu Nala selama beberapa minggu belakangan. Dia memang sudah menyingkirkan Dewa dari pandangannya. Namun laki-laki itu terus datang di pikiran Nala. Menyela apapun yang sedang dipikirkannya hingga Nala jengkel dengan dirinya sendiri.
Farel menginjak rem kuat-kuat ketika mobil di depannya berhenti mendadak.
" Ck...dasar labil..." Gerutu Nala. " Ada apa sih?"
Nala menjulurkan leher ke depan agar bisa melihat lebih jelas, karena kini mobil-mobil di kanan kiri mereka juga ikut berhenti tiba-tiba. Kemudian matanya menangkap alasan mengapa mobil itu berhenti mendadak. Sebuah kerumunan di depan sana menarik perhatian Nala.
" Kecelakaan, ya?" Celetuk Nala menjulurkan kepala keluar dari jendela. Saat itu, matanya menangkap seseorang dengan seragam sekolah yang sangat familier bagi Nala. Mata Nala terbelalak. Ia segera turun dan berlari menuju kerumunan.
" Nona!" Seru Farel yang tidak digubris Nala. Kecemasan mulai melandanya.
" Gaby!!" Seru Nala saat kecurigaannya terbukti. Gaby menoleh dengan wajah pias. Gadis itu terkejut, namun segera berlari ke arah Nala.
" Ra..." Katanya kesulitan. Ia menunjuk kerumunan itu. " BU NALA, RAKA KECELAKAAN!!" Tangisnya meledak.
Demi mendengar itu, jantung Nala berdegup kencang. Nala berusaha menyibak kerumunan yang semakin bertambah.
" Maaf! Saya gurunya!" Ujar Nala gemetar bersusah payah menyingkirkan orang-orang yang memadat. " Maaf! Beri saya jalan! Permis..."
Kata-katanya berhenti ketika matanya menangkap pusat kerumunan. Saat itu juga, ia merasa darah surut dari tubuhnya.
Raka terbaring di sana, di tengah kerumunan dengan darah pekat keluar dari kepala dan hidungnya. Tangan kanannya mendekap sebuah tas tangan perempuan berwarna putih gading yang kini ternoda darah. Sedangkan tangan kirinya terpuntir aneh.
Nala menangkupkan tangannya ke mulut. Seluruh tulangnya meleleh. Ia susah payah menyeret kakinya untuk mendekat dan berlutut di sebelah tubuh yang terdiam dalam posisi ganjil itu.
Tidak!! Tidak tidak!!
Ia merogoh sakunya, hendak mengambil ponsel ketika seseorang menyentuh bahunya.
" Saya sudah menelfon ambulan dari rumah sakit terdekat. Ambulan akan datang sebentar lagi." Kata seorang wanita berpakaian seragam serba putih yang dilapisi jaket jeans. Ia menghadapi kerumunan yang riuh itu.
" Mohon jangan menutupi jalan! Maaf, saya perawat! Tolong minggir! Beri jalan untuk ambulan..."
Suara di sekitarnya perlahan mengecil, seperti suara televisi yang dikecilkan. Pandangan Nala yang terpaku pada tubuh lunglai di depannya perlahan memburam saat ingatan tentang Radit menerjangnya tanpa ampun.
Gaby memeluk leher Nala dari belakang, menangis terisak.
" It's okay." Nala berkata serak seraya menepuk-nepuk lengan Gaby yang melingkar di lehernya. " It's okay."
Saat itu, suara Farel yang sayup terdengar di sampingnya.
" Nona, kita bisa mengikutinya dari belakang..."
Nala meneguk ludahnya dan berdiri, " Farel, aku harus menemani Raka ke rumah sakit."
" Tapi Nona, anda tidak bisa begitu saja..."
Nala berbalik untuk menghadapi Farel. " Ini lebih penting. Aku akan ikut ambulans. Kamu boleh mengikutinya dari belakang, atau bawa mobilnya pulang, terserah!"
" Tapi Nona..."
Namun gadis itu mengabaikan sisa kata-kata Farel karena saat itu ambulans tiba, membuat Nala sibuk membantu dan mengawasi ketika Raka dipindahkan ke atas dengan hati-hati. Begitu Raka dan Gaby sudah masuk, Nala langsung mengikutinya, meninggalkan Farel yang diliputi kecemasan sampai ke ubun-ubun.
**
Nala segera melompat dari ambulan untuk menyusul Raka yang sudah diturunkan lebih dulu. Paramedis itu membawa Raka ke dalam nyaris berlari.
" Kenapa?"
Demi apapun, suara itu mengirimkan gelayar kelegaan yang meluap pada dirinya. Nala menoleh dan langsung mendapati Dewa yang menghampiri Raka. Tentu saja Dewa langsung mengenalinya. Ia menilai kondisi anak itu dengan cepat.
" Dokter Harris. Keluarganya?" Kata Dewa tanggap.
" Bu..." Panggil Gaby bergetar di samping Nala. Gadis itu menggeleng, " Orangtua Raka di luar negeri. Dia nggak punya siapa-siapa di sini..."
" Keluarganya?" Tanya salah satu perawat.
" Biar saya saja." Jawab Nala membuat Dewa menoleh.
" Maaf, apa hubungan anda dengan pasien?"
" Saya gurunya. Saya wali kelasnya. Apa itu tidak cukup?" Tanya Nala cepat.
" Nala, kamu nggak bisa." Kata Dewa menyentuh bahu Nala. " Jangan khawatir. Raka akan langsung ditangani karena keadaannya darurat. Persetujuan bisa menyusul."
Nala menatap Dewa nanar. Mencari ketenangan di mata legam itu, " Benar? Dia langsung ditangani?"
Dewa mengangguk seraya berusaha menenangkan Nala. " Dalam kasus darurat, keselamatan pasien lebih utama. Sekarang kamu yang tenang."
Nala mengerjap, berusaha mengumpulkan nyawa yang terasa berceceran saat kepanikan melandanya. Ia memejamkan mata beberapa saat sebelum membukanya dan menatap Dewa yang masih mengusap pelan bahunya.
" Kalau ada apapun..." Kata Nala terbata karena tenggorokannya kering, " Biaya atau donor atau apapun, bilang sama aku. Golongan darah kami sama."
" Dokter Dewa, dokter Harris meminta anda dan dokter Adnan untuk membantunya." Kata salah satu perawat yang tadi kembali lagi.
" Iya, aku kesana." Kata Dewa mengerling perawat itu beberapa saat. " Kamu tenang, oke? Jangan panik, kasihan Gaby."
Nala mengangguk singkat. Suara tenang Dewa mempengaruhinya, membuat kepanikannya sedikit mereda.
Nala tidak tahu, dia tidak mengerti. Seluruh hidupnya saat ini, dia tidak akan mau lagi percaya pada Dewa. Namun kali ini, ia mendapati dirinya dialiri kelegaan ketika tahu bahwa Dewa lah yang akan menangani Raka.
Saat itu ponsel di saku blazernya berbunyi nyaring. Dengan gemetar, Nala mengambilnya dan membaca nama Fabian di sana.
" Mademoiselle Kanala! Apa yang kamu pikirkan?!" Suara geraman Fabian cukup menandakan bahwa Fabian tahu Nala mengabaikan sistem keamanan yang dipasangnya. Saat itu pula Nala teringat Farel. Ia menyapu ruangan, namun tidak menemukan laki-laki itu di sana.
" Maaf Ian...aku tidak bisa meninggalkannya sendirian..." Jelas Nala masih gemetaran. " Farel, dia...mungkin kehilangan jejak ambulans. Jalanan macet..."
" Tapi bukan seperti ini caranya, Kana! Demi Tuhan! Tingkahmu bisa membuatku mati berdiri! Beritahu aku alamat rumah sakitnya! Aku akan mengirimkan pe..."
Ponsel Nala ditarik mendadak dari genggamannya.
" Fabian, ini aku, Dewa." Ucap Dewa, " Nala di sini bersamaku. Kamu tidak perlu khawatir."
Fabian mengucapkan sesuatu yang membuat Dewa menatap Nala dengan tatapan tidak terbaca.
" Hmm...iya, aku akan menjaganya. Tidak perlu, mereka hanya akan membuat rumah sakit ini seperti penjara, jangan lakukan itu, Fab! Iya aku kabari. Oke, iya. Selamat pagi."
Nala mengedip ketika Dewa mengulurkan ponsel kepada dirinya.
" Fabian...dia..." Ucap Nala terbata.
"Mengizinkanmu di sini." Sambung Dewa mengecek jam di tangannya. Ia menghirup nafas panjang dan kembali menatap Nala. " Tetap di rumah sakit ini. Aku pergi dulu."
Keadaan masih begitu membingungkan bagi Nala hingga ia menyadari Dewa sudah berjalan menjauh. Tanpa aba, gadis itu meraih ujung jas Dewa.
" Tolong Raka, De. Tolong dia." Pinta Nala dengan wajah penuh ketakutan. Dewa berbalik untuk menghadapi Nala. Dia mengerti sekali apa yang menjadi penyebab ketakutan gadis ini.
Dewa menangkupkan tangan untuk merengkuh pipi Nala dan mendekati tubuh mungil itu. Ia mencium puncak kepala Nala beberapa saat, berusaha memberinya ketenangan. Dewa membuka mata dan menjauhkan wajahnya untuk menatap wajah mungil yang gemetar itu.
. " Kami lakukan yang terbaik."
Nala mengangguk, membuat Dewa tersenyum dan mengusap puncak kepala Nala. Nala membiarkan Dewa berlalu, kemudian menghempaskan diri ke tembok. Gadis itu menutupi wajahnya, berusaha menghilangkan teror dari ingatan akan Radit.
" Bu guru!"
Nala mengangkat wajahnya dan mendapati Ali, Kezia dan Gardan berlari terengah ke arahnya. Sama sekali tidak memperdulikan bahwa mereka masih berada di ruang UGD. Ketiganya menatap Nala dengan ngeri.
" Raka!" Seru mereka serabutan dengan wajah pias.
Nala berusaha tersenyum dan membelai rambut Ali dan Gardan. Sedangkan Kezia sudah memeluk Gaby yang masih terguncang di samping Nala.
" Dia akan dioperasi sama dokter Dewa." Kata Nala berusaha tenang. " Ayo, kita harus pindah dari sini. Mari berdoa Raka diberi kekuatan menjalani operasinya."
Keempat muridnya mengangguk patuh. Kali ini, untuk pertama kalinya, hati anak-anak itu berdoa demi keselamatan teman mereka yang sedang melawan maut.
Rombongan heboh itu menghilang di koridor. Meninggalkan beberapa perawat yang masih terperangah tidak percaya.
" Sekarang kalian tahu aku nggak bohong, kan?" Celetuk Riana menang.
" Dia...benar-benar ada! Dokter Dewa manggil dia Nala. Cewek itu beneran ada, ya..." Bisik Paula kecewa.
" Kamu lihat cara dokter Dewa tadi? Itu pasti kekasihnya. Pasti!" Kata Eka. " Kasihan Vera sama Shinta, eh...nggak nonton adegan premium tadi."
" Jadi itu cewek yang jadi gosip sama dokter Dewa?" Sambung Ridho, perawat laki-laki yang baru saja bergabung.
Ketiga perawat itu mengangguk bersama. Ridho menyipit.
" Selera dokter Dewa bagus juga." Komentarnya berbuah cubitan bertubi dari ketiga perawat perempuan yang lain.
**
Gemetar di tangan Nala belum hilang sepenuhnya, namun ia tetap membuka-buka lembar catatan kecilnya sementara tangan yang lain menggenggam ponsel.
Ia sedang menghubungi satu per satu nomor yang dicantumkan Raka sebagai nomor keluarganya. Namun tidak ada satupun yang mengangkat. Sekalinya mengangkat, ternyata dia hanyalah tetangga Raka. Nala mendengus kesal mengingat kelakuan anak didiknya.
Nala menghembuskan nafas untuk menangkan diri.
" Bagaimana?" Tanya Kezia yang sedari tadi mengamati Nala. Nala menggeleng.
" Apa Raka tidak punya keluarga satu pun di sini?" Tanya Nala pada keempat anak itu. Mereka langsung menggeleng serempak.
" Ya sudahlah. Paling tidak kita ada di sini." Kata Nala tersenyum. " Kalian nggak sekolah?"
Keempatnya lagi-lagi menggeleng serempak.
" Berangkat sana, ketidakhadiran lebih dari 20% dipertimbangkan." Kata Nala. " Pingin cepet lulus, kan?"
" Aku mau di sini aja." Kata Kezia bersedekap dan mengetatkan lilitan kakinya. Tampak bertekad bulat.
" Masih dua kali lagi sebelum lebih dari dua puluh persen kok." Sahut Ali menyandarkan kepalanya ke tembok.
" Padahal nanti ada tawuran." Celetuk Gardan membuatnya mendapat geplakan keras dari Gaby.
" Bu Nala, kenapa dokter Dewa di sini? Kenapa dia nyium ibu?" Tanya Gaby yang sesekali terisak. Di antara semuanya, anak itu yang menangis paling keras dan lama.
Mendengar itu, ketiga anak lain langsung menegakkan diri.
" Nyium ibu?? Astaga!!" Seru Gardan tidak percaya. Nala memutar bola mata.
" Dokter Dewa juga bekerja di sini selain di Panti, dan bicara yang lengkap, Gaby. Cuma nyium di dahi. Bukan di manapun yang kalian pikirkan." Kata Nala membuat Gardan mengerjap polos.
" Iya iya terserah. Jadi kenapa bisa? Apa selama ini kalian pacaran? Pantesan sering makan siang bareng di kantin panti." Tanya Gaby yang sepertinya sedang berjuang mengalihkan pikirannya dari kekalutan.
Nala menatap mereka yang mendadak tertarik pada dirinya, kemudian berpikir-pikir.
" Dokter Dewa teman ibu." Kata Nala akhirnya. " Dia kakak kelas ibu waktu di SMA."
" Oh...mantan, ya?" Tanya Kezia menusukkan pasak di dada Nala. Namun Nala menggeleng dengan sabar.
" Bukan. Dia tutor ibu." Jawab Nala membuat mereka semua mengerutkan kening. Gadis itu merendahkan suaranya dengan dramatis, " Kalian percaya dulu ibu seliar kalian?"
" Percaya!" Seru mereka serempak sembari mengangguk mantap. Nala mendengus. Dasar!
" Dulu, ibu hobi bolos. Kabur dari sekolah dengan melompat pagar untuk mengajar anak-anak kampung pinggir sungai yang sekarang tinggal di panti asuhan." Lanjut Nala.
" Oh pantes!" Seru Gardan menjentikkan jarinya.
" Dulu, ibu berpikir sekolah sama sekali nggak ada gunanya. Ibu bolos, terlambat, kabur, apapun untuk menghindari sekolah. Sampai suatu saat Dewa ikut lompat pagar. Bayangkan saja, murid paling teladan satu sekolah ikut lompat pagar hanya demi mengejar ibu. Daripada melarang ibu kabur, dia ikut kabur bersama ibu. Terus seperti itu sampai ibu gerah sendiri!"
Mereka terkekeh.
" Kayak ibu, dong." Celetuk Ali menyeringai. Nala tertawa pelan.
" Dia membuat ibu merasa tertemani. Dari Dewa, ibu belajar banyak. Dewa bukan hanya bicara. Dia menunjukkan bagaimana cara menjadi orang yang lebih berguna. Dia membuat ibu percaya dengan kemampuan ibu sendiri." Kata Nala.
" Tanpa dia, ibu yakin ibu hanya bisa menangisi anak-anak kampung yang kehilangan orangtua dan tempat tinggal tanpa bisa membangun panti asuhan itu. Dengan kamu yang menjadi orang sukses, kamu bisa lebih membantu mereka. Itu yang dia katakan dan itu yang ibu ingat sampai sekarang."
Ali, Gardan, Gaby dan Kezia menatap Nala tanpa kedip.
" Pasti dokter Dewa orang yang hebat, ya. Dia berhasil menyegel jiwa iblis Bu Nala." Celetuk Gardan yang diangguki Ali.
" Semacam kyuubi, gitu sih." Sambung Ali. Nala mencibir.
" Pantes jadi dokter." Kata Kezia.
" Yakin cuma itu?" Tanya Gaby menyipit. " Soalnya tadi aku lihat dokter Dewa nyium ibu lembut banget. Kayak...penuh kasih sayang gitu."
Nala terkekeh. " Iya, cuma itu."
**
Nala kembali melirik lampu indikator yang terpasang di atas pintu operasi. Masih sama dengan lima jam lalu. Paling tidak, sekarang ia merasa lega karena sudah berhasil menghubungi orangtua Raka setelah panggilan ke sekian ratus kali. Sesaat, ia melihat Raka sebagai cerminan dirinya.
Nala menoleh ke arah empat muridnya yang masih setia menunggu. Gaby tertidur di pundaknya dengan Kezia yang juga tertidur di bahu Gaby. Sedangkan Gardan dan Ali tentu saja bermain catur mini yang dibawa Ali.
Nala menghembuskan nafas panjang dan menyandarkan kepala. Ia menatap lampu indikator tanpa minat ketika akhirnya lampu itu berubah warna.
Nala langsung berdiri.
" Duh..." Erang Gaby dan Kezia yang kehilangan sandaran. Namun keempat anak itu ikut berdiri ketika beberapa paramedis keluar membawa Raka.
Nala hanya menatap tanpa bisa berkata apapun ketika Raka yang tergolek tak sadarkan diri dengan balutan perban di kepala dan lengannya lewat di depan mereka. Nala mengenali Dewa sekilas di antara orang-orang yang mengiringi rolling bed Raka. Laki-laki itu melirik Nala dari balik kacamatanya sesaat sebelum menanggapi pembicaraan serius dari orang di sebelahnya.
" Keluarganya?"
Nala tersadar dan menoleh ke arah sumber suara. Seorang laki-laki dengan rambut dan kumis kepirangan melepas maskernya.
" Saya gurunya. Orangtuanya sedang berada di luar negeri." Kata Nala memberikan penjelasan. Laki-laki itu mengangguk.
" Saya dokter Harris yang menangani Raka." Ia mengerling ke arah Kezia dan yang lain sebelum tersenyum. " Teman kalian akan baik-baik saja. Tapi dia masih harus memulihkan diri secara intensif. Dia akan dirawat di ruang ICU sampai tubuhnya cukup kuat. Kalau keluarganya sudah datang, silahkan menemui saya. Selamat siang."
Nala mengedip.
" Cuma itu?" Seru Kezia menyuarakan pikiran Nala.
" Kenapa harus masuk ICU?" Tanya Ali membuat yang lain mulai panik.
Kezia menarik-narik lengan Nala, " Bu Nala, tanyakan sama dokter Dewa, Raka baik-baik aja, kan? Ayo, bu! Kenapa harus masuk ICU? Kenapa tadi perbannya banyak banget?!"
Nala menelan ludah, namun mengangguk. Ia sependapat dengan Kezia. Mereka menyusuri lorong rumah sakit, mencari-cari deretan ruang kerja dokter yang bekerja di sana.
"Maaf." Nala menghentikan seorang dokter yang masih memakai jubah hijau dan masker seperti Dewa. Dokter itu berhenti dan menurunkan maskernya.
" Ya?" Tanyanya penuh selidik.
" Bisa anda memberitahu saya ruangan dokter Dewa?" Tanya Nala kemudian. Ia mengusap tangan dingin Gaby yang meremas lengannya. Dokter itu mengangkat alis, kemudian menatap Nala lekat-lekat.
" Apa keperluan anda mencari dokter Dewa? Pasien tidak diperkenankan bertemu dengan dokter secara pribadi kecuali di ruang periksa." Kata dokter itu tegas.
" Ck! Banyak omong banget. Kami cuma mau tanya soal teman kami! Dia baru saja dioperasi dokter Dewa dan dokter tua tadi cuma ngasih omong kosong nggak jelas!" Seru Gardan habis kesabaran.
" Gardan!" Nala memperingatkan. Gardan langsung bungkam meskipun ia masih menatap dokter itu dengan tajam.
" Oh..." Seru dokter itu. " Raka?"
Nala mengangguk meskipun ia tidak mengerti bagaimana dokter di depannya ini bisa tahu. Mendadak, dokter tadi tersenyum.
" Saya juga ikut operasi Raka." Katanya mulai mengamati Nala hingga membuat gadis itu risih.
" Gitu? Kalau gitu kita tanya sama pak dokter aja!" Seru Kezia buru-buru. Namun dokter tadi menggeleng.
" Sayangnya, saya masih banyak keperluan. Tadi tanya ruangannya dokter Dewa, kan? Kami satu ruangan. Kebetulan saya mau balik ke ruangan saya. Mari saya antar." Kata dokter itu berubah seratus delapan puluh derajat.
Dokter itu berjalan lebih dulu sembari memasang kembali maskernya. Nala dan yang lain mengekor dokter itu.
" Jangan salah sangka. Tidak membocorkan keadaan pasien selain hanya kepada yang berhak adalah etika seorang dokter." Kata dokter tadi menoleh kecil.
" Yatapi kan kita temannya! Bu Nala gurunya! Ck!" Protes Kezia emosi. Dokter tadi terkekeh dan membuat anak-anak lain menatap punggungnya benci.
Dokter itu sampai pada suatu ruangan dan membuka pintu kaca buram sebelum berbalik.
" Lebih baik guru kalian saja yang ikut masuk. Ruangan di dalam sempit sekali." Kata dokter tadi.
" Nggak bisa! Kita juga mau..."
" Gaby." Potong Nala memahami kata-kata dokter itu. Nala mengangguk dan menoleh pada yang lain.
" Ibu masuk. Kalian di sini tunggu ibu." Kata Nala.
Air mata sudah menggenang lagi di mata Gaby. " Dokter Dewa mau bilang hal yang nggak boleh kita dengar, kan?" Isaknya. " Kita teman Raka, bu. Kita kenal Raka jauh sebelum ibu! Kita lebih berhak daripada ibu!"
Nala menghirup nafas dalam-dalam, kemudian menepuk kedua bahu Gaby. " Ibu janji akan memberitahu apapun yang kalian tanyakan. Cukup?"
Ali menatap Nala dengan keras, " Pastikan ibu tanya keadaan Raka. Progresnya dia ke depan!"
Nala mengusap pelan kepala Ali. " Tentu."
Ali melepaskan tangan Gaby dari lengan Nala, menahan gadis itu yang masih meronta. Ali mencengkram kedua bahu Gaby, memaksa gadis yang kalut itu untuk memandangnya.
" Kita tunggu di sini!" Katanya tegas. Namun Gaby menepis kuat-kuat tangan Ali.
" Gue nggak mau! Gue juga mau ketemu dokter Dewa! Gue mau tanya..."
Racauan Gaby berhenti ketika Ali meraihnya ke dalam pelukan. " Kita tunggu di sini, By. Bu Nala yang tanya sama dokter Dewa, oke?"
Terdiam sejenak, kemudian tangis Gaby pecah di bahu Ali. Ali membelai rambut Gaby, menghirup nafas dalam-dalam ketika dirinya mempererat pelukannya, " Nggak akan ada apa-apa, By. Raka itu kuat."
Tangisan Gaby semakin keras, namun ia mengangguk juga. Kezia memeluk Gaby dari sisi lain, sedangkan Gardan memeluk mereka semua dalam sekali rengkuhan.
Untuk kesekian kalinya, anak-anak itu berhasil membuat hati Nala menghangat. Nala melangkah masuk. Ia mendengar dokter tadi menutup pintu di belakangnya.
" Ruangan Dewa ada di paling ujung kanan lorong ini." Kata dokter tadi membimbing langkah Nala. Nala mematuhinya. Ruangan ini hanya terdiri dari satu lorong sekat-sekat di kanan kirinya. Setiap pintu tertera nama dokter yang menempati ruangan itu. Sampai pada ruangan dengan pintu kaca buram yang tertera nama Dewa, dokter tadi langsung membukakan pintu.
" Ketok, Nan. Ketok!!" Suara Dewa langsung terdengar.
" Kelamaan. Ada yang mau ketemu." Kata dokter tadi.
" Siapa?" Nala bisa mendengar suara Dewa di antara suara gemericik air. Dokter tadi menoleh pada Nala dan mengedik, memberitahunya untuk masuk.
Nala berdehem dan mendorong pintu agar terbuka lebih lebar.
Dewa yang sedang mencuci tangan di wastafel menatapnya terpaku.
" Ternyata gosip perawat bener, ya?" Kekeh dokter yang mengantar Nala. Dewa mengalihkan pandangannya dari Nala dan menatap dokter tadi dengan datar.
" Silahkan pergi, dokter Adnan." Kata Dewa mematikan keran dan mengusap tangannya dengan tisu.
" Elah De, nggak ngenalin kita...oke oke!! Gue pergi daripada disambit wastafel!" katanya mengangkat kedua tangannya. Namun sebelum beranjak, ia menatap Nala dengan senyum lebar.
" Cantik, eh iya iyaaa!!" Serunya melompat keluar. Suara tawanya bergema sepanjang lorong.
Dewa menghembuskan nafas keras, kemudian kembali menatap Nala.
" Aku baru saja mau cari kamu." Katanya mengedik pada kursi di tengah ruangan. Nala mematuhinya. Dia benar-benar tidak bisa berpikir apapun. Pikirannya masih dipenuhi Raka. Ia menunggu Dewa membersihkan diri.
Nala mengamati ruangan itu. Ruangan yang didominasi warna putih itu terkesan rapi. Beberapa berkas tertumpuk tinggi di salah satu sudutnya. Sedangkan di sudut yang lain terdapat laci setinggi satu meter berwarna biru muda. Di sisi lain, terdapat meja panjang dengan alat-alat kedokteran yang Nala tidak tahu apa. Juga buku kedokteran masing-masing dengan tebal sepuluh senti dan tidak terlihat berdebu. Nala buru-buru mengalihkan pandangan ke meja ketika matanya mendadak pening. Bacaan ringan seorang dokter memang mengeri...
Racauan dalam kepalanya terhenti ketika matanya tertumbuk pada sebuah foto di atas meja.
Foto saat dia, Dewa dan Dafa pergi ke kebun binatang.
*TBC*
'Cause you are the piece of me, I wish I didn't need
Chasing relentlessly, still fight and I don't know why
🎶Clarity~Zedd
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top